A. Abstrak
Birokrasi merupakan keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga-lembaga non departemen, baik di pusat maupun di daerah. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, dihadapkan pada suatu kebutuhan untuk menciptakan dan menerapkan sistem politik yang modern yang didukung oleh birokrasi pemerintah sebagai kekuatan utamanya. Namun realitas politik menunjukkan, perhatian harus dipusatkan pada masalah yang lebih penting yakni bagaimana meletakkan dasar yang kokoh dan kuat sebagai negara kebangsaan di tengah-tengah ke-Bhinekaan loyalitas primordial sempit yang pada saat tertentu dapat memicu konflik.
Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan bahwa masyarakat diberi kuasa, dalam upaya untuk mernyebarkan kekuasaan, melalui pemberdayaan masyarakat, organisasi agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya untuk semua aspek kehidupan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan dan sebagainya.
B. Pendahuluan
Negara merupakan wadah utama birokrasi yang di dalamnya diselenggarakan proses untuk mencapai tujuan suatu masyarakat bangsa. Adapun penyelenggaraan proses pencapaian tujuan tersebut adalah pemerintah dengan komponen dan kelengkapannya yang populer disebut dengan birokrasi. Oleh karenanya banyak yang mengidentikan dalam artian luas, negara adalah pemerintah dan pemerintah adalah birokrasi walau dalam kajian-kajian spesifik bisa ditarik garis-garis perbedaan.
Sebagai kajian keilmuan negara, pemerintah walaupun birokrasi telah intensif dibicarakan sejak sekitar 400 SM. Kala itu di Yunani Purba terdapat negara yang makmur, sejahtera yang disebut polis atau the greet state. Pada polis, negara kota, demokrasi diselenggarakan secara langsung. Rakyat ikut serta dalam mengawasi jalannya pemerintahan yang disebut ecclesia. Demokrasi saat itu dapat dilaksanakan secara langsung. Menurut Suhendra (2006:24) disebabkan oleh beberapa alasan yaitu: (1) wilayah negara masih sangat kecil, layaknya suatu kota pada saat kini; (2) jumlah penduduknya masih terbatas sekitar 200.000-300.000 orang dan; (3) masalah-masalah yang dihadapi negara belum terlalu kompleks.
Oleh karenanya dapat dipahami jika dewasa ini penyelenggaraan negara tidak mungkin melalui demokrasi langsung. Demokrasi dilaksanakan melalui perwakilan yang kemudian menimbulkan kajian pelik yang perlu dibahas lebih seksama. Dewasa ini memang beberapa jabatan seperti Presiden dan Wakil Presiden (UU Nomor 23 Tahun 2003), jabatan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Nomor 23 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2005) dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi setelah para pejabat yang dipilih dan bekerja melaksanakan tugas-tugasnya para pejabat bertindak untuk dan atas nama rakyat (mewakili). Kemudian para pejabat ini menyampaikan laporan pertanggung jawab kepada wakil rakyat (DPR-DPRD). Oleh karenanya secara formal demokrasi langsung hanya pada saat pemilihan. Demokrasi secara formal juga secara materil kadang-kadang perlu pengujian, terbukti di beberapa daerah pemilihan kepala daerah terjadi keributan seperti issu money politics, issu mark-up suara dan lain sebagainya.
Pada masa Yunani Purba pun yang disebut rakyat ”citizen” sebenarnya terbatas pada penduduk yang berdomisili di sekitar pusat pemerintahan seperti dikatakan RM Mac Iver (Basah 1967:85) “… But The citizen were a smallish fraction of the population of attica, the territory of the Athenian state”.
Yunani purba semakin kaya dan makmur setelah dapat mengalahkan Persia, kemakmuran yang melimpah ini telah merubah pada kehidupan para penguasanya. Dari penguasa yang arif dan bijaksana, menjadi penguasa yang tamak, boros, korupsi dan melupakan kepentingan rakyat banyak.
Menurut Plato (Suhendra, 2000:26) mengajarkan tiga bentuk negara yaitu: Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi. Monarki, berasal dari “mono” artinya pemerintah, jadi berarti pemerintahan yang diperintah satu orang raja yang memerintah suatu kerajaan. Penguasa tunggal ini sangat mementingkan kepentingan rakyat. Raja yang memerintah ini, mempunyai kekuasaan yang amat besar sebagai penguasa tunggal, akan tetapi dengan kearifan penguasa ini sangat memperhatikan kepentingan dan aspirasi rakyatnya. Aristokrasi, berasal dari kata “aristol”, artinya cerdik pandai secara bersama-sama yang berasal dari keluarga bangsawan menjalankan pemerintahan secara arif dan bijaksana. Penguasa kolektif ini, secara bersama-sama melanjutkan kearifan penguasa tunggal Monarchi. Negara Cita kedua ini menambah kemakmuran menjadi lebih baik, karena kolegialitas orang-orang bijaksana ini tentu hasilnya lebih baik dibandingkan hasil karya pemikiran satu orang.
Demokrasi, berasal dari kata majemuk “demos” (rakyat) dan “cratia” (pemerintah). Suatu pemerintahan yang dipimpin dan dikendalikan oleh rakyat. Bentuk negara cita ketiga inilah yang populer hingga di abad modern ini. Pemerintah rakyat ini tentunya tidaklah diartikan secara harfiah dapat dibayangkan rakyat banyak pemerintah, lantas siapa yang diperintah?. Demokrasi dimaksudkan sang penguasa memperhatikan aspirasi rakyat, mengakomodasi, menyeleksi, dalam hal-hal tertentu membuat resultante dari aspirasi yang demikian banyak dan berbeda sepanjang secara obyektif itulah terbaik bagi bangsa. Bukan terbaik bagi buat orang perorang, kelompok, maupun satu partai tertentu. Di dalam praktek demokrasi ini adalah kriteria good governance.
Pengertian birokrasi dapat dilihat dari 3 (tiga) kategorisasi, yakni pertama birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau-rationality); kedua birokrasi dalam pengertian suatu penyakit (bureau-pathology); dan ketiga birokrasi dalam pengertian netral (value-free). Dalam pengertian netral ini birokrasi diartikan sebagai keseluruhan pejabat negara di bawah pejabat politik, atau keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif, atau birokrasi bisa juga diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar (every big organization is bureaucracy).
Secara umum birokrasi dapat diartikan sebagai keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga-lembaga non-departemen, baik di pusat maupun di daerah. Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi menurut Rahman (2002:136) dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) katagori, yakni:
1. Birokrasi Pemerintah Umum, yaitu serangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan dari pusat sampai daerah yang bersifat mengatur (regulative-function).
2. Birokrasi Pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan dan lain-lain yang fungsi pokoknya adalah development-function atau adaptive-function.
3. Birokrasi Pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakekatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah service (pelayanan) langsung kepada masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa birokrasi itu pada hakekatnya bersifat mengatur, menjalankan roda pembangunan secara fisik maupun psikis juga harus dapat melayani berbagai kebutuhan masyarakat secara langsung kepada seluruh masyarakat, tanpa membedakan status sosial masyarakat.
Serangkaian usaha untuk menyehatkan birokrasi pemerintah sebagai instrumen penting yang oleh Max Weber disebut “legal-rasional” akankah mampu menopang dan memperlancar usaha pembangunan ekonomi yang efisien dan produktif. Pengertian legal-rasional ditandai oleh: (a) tingkat spesialisasi yang tinggi; (b) struktur kewenangan hirarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas; (c) hubungan antara anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi; (d) rekruitmen yang didasarkan atas kemampuan teknis; (e) diferensiasi antara pendapatan resmi dan pribadi.
Hal tersebut berarti kualitas yang ingin dicapai melalui pengaturan struktural seperti hirarki kewenangan, pembagian kerja, profesionalisme, tata kerja, dan sistem pengupahan yang kesemuanya berlandaskan peraturan yang berlaku. Juga pengertian yang dilontarkan oleh Weber, sering dianggap terlampau ideal, karena sering muncul pertanyaan apakah mungkin sosok birokrasi yang demiakian dapat sepenuhnya terwujud, karena ditentukan oleh banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya peraturan perundang-undangan, institusi dan pemberdayaan juga mentalitas masyarakat.
C. Pembahasan
1. Peran Birokrasi
Birokrasi menurut Blow dan Meyer (1987:5) adalah organisasi besar merupakan lembaga yang sangat berkuasa yang mempunyai kemampuan sangat besar untuk berbuat kebaikan atau keburukan. Pengertian birokrasi tersebut di atas sesuai dengan kenyataan birokrasi dewasa ini dengan tiga kata kunci yaitu organisasi besar yang sangat berkuasa, untuk berbuat kebaikan atau untuk berbuat keburukan.
Pertama, organisasi besar dan sangat berkuasa. Hal ini dengan mudah dapat dipahami. Dimanapun birokrasi dapat memaksakan berjalannya regulasi seperti penagihan pajak, dan apabila wajib pajak tidak membayar pada waktunya maka birokrasi dapat mengenakan penalty (denda). Apabila batas toleransi pembayaran pajak telah habis, birokrasi dapat melakukan sita atas asset wajib pajak dengan paksa melalui peradilan. Pemerintah kota dapat memaksa merobohkan dan menggusur rumah rakyat yang dinyatakan tidak sesuai dengan peruntukannya dan seterusnya. Birokrasi memiliki personalia hingga jutaan orang, suatu jumlah yang sangat besar bagi organisasi yang besar pula.
Organisasi besar dalam artian birokrasi pemerintah yang memiliki jutaan pagawai, kadang merupakan pemborosan keuangan negara yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain: pengkajian informasi yang tidak obyektif, nepotisme, penyelewengan dan sebagainya. Pertengahan Tahun 2006 Menteri PAN (pendayagunaan Aparatur Negara) ternyata menemukan angka fiktif PNS (Pegawai Negeri Sipil) ratusan juta orang. Angka fiktif berasal dari PNS yang sudah meninggal atau pensiunan masih terdaftar sebagai PNS dan mendapat gaji, ada PNS yang memiliki status PNS di dua instansi dan di dua tempat tersebut mendapat gaji.
Pemerintah Indonesia mencoba melakukan berbagai upaya efisiensi PNS antara lain tidak menambah PNS yang dikenal dengan zero growth PNS, menyerahkan pekerjaan kasar kepada pihak ketiga seperti petugas sekuriti petugas kebersihan maupun pemeliharaan rutin. Pemerintah juga melakukan upaya-upaya down sizing jabatan melalui PP Nomor 8 Tahun 2003 yang membatasi dinas atau jabatan eselon II pada Pemerintah Daerah maksimal 14. Akan tetapi upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu meningkatkan efisiensi birokrasi secara signifikan.
Kedua, untuk berbuat kebaikan. Tidak sedikit negara menganut “welfare state” yang mengalokasikan anggaran negara untuk social assurance atau jaminan social, guna memberikan jaminan hidup bagi para penganggur maupun penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya. Tidak sedikit negara yang birokrasinya sangat akomodatif terhadap aspirasi rakyat menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan serta membuat rakyat “ayem tentrem totorahjo” (aman damai, makmur dan sejahtera).
Banyak negara yang berbentuk kerajaan, kepala negaranya Ratu atau Raja sebagai simbol; sedang kepala pemerintahannya dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Wibawa Ratu dan Raja demikian tinggi dan mampu mempengaruhi program-program kesejahteraan rakyatnya. Oleh karenanya tidaklah berlebihan apabila Ratu dan Raja ini sangat dicintai rakyatnya.
Ketiga, berbuat keburukan. Ada pula pemerintah negara yang menjadikan rakyat bangsanya hanya menjadi alat tujuan sekelompok elit. Ada kelompok penguasa yang kalah dalam pemilihan umum, dengan kekuatan yang dimiliki malah menguasai pemerintah negara, justru yang menang dalam pemilihan umum meringkuk dalam penjara. Ada pemerintah negara yang menangkap tanpa proses hukum bagi rakyatnya yang berani berbicara dan berbuat beda dengan rulling clas yang sangat berkuasa. Ada pemerintah negara yang kaya, tetapi rakyatnya miskin sementara penguasanya hidup mewah dan lain sebagainya.
Menurut Moerdiono et. Al (1992:38): birokrasi pemerintahan adalah seluruh jajaran badan-badan eksekutif sipil yang dipimpin oleh pejabat pemerintah di bawah tingkat menteri. Tugas pokok birokrasi adalah secara profesional menindak lanjuti keputusan politik yang telah diambil pemerintah. Kabinet yang terdiri dari para menteri sebagai pemimpin negara. Lain halnya dengan Albrow (1989:XVI) bahwa: suatu ketika birokrasi tampak menunjuk pengertian efisiensi administrasi, pada saat yang lain berarti sebaliknya. Istilah ini mungkin nampak sangat bersahaja sebagai sinonim bagi pegawai negeri, atau mungkin merupakan sesuatu yang sama kompleksnya dengan gagasan yang meringkaskan ciri-ciri khsusus struktur organisasi modern.
Dewasa ini hampir disemua negara menempatkan Hak Asasi Manusia, semakin berkembang berbarengan bertambah banyaknya negara yang memproklamasikan diri sebagai negara hukum, oleh karenanya kinerja kebaikan dari birokrasi semakin menguat sementara kekuatan buruk menjadi tereleminasi. Hukum tidak lagi dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan penguasa malah sebaliknya dijadikan alat pembangunan masyarakat yang dipelopori mazhab Rescue Pound “Law is a tool of social engenering”. Bahwa hukum adalah sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini dimaksudkan dengan perubahan paradigma yang begitu cepat dan kompleks, maka agar tetap terjaminnya kepastian hukum, pihak-pihak yang berwenang haruslah sudah memprediksi sebelumnya dan mengakomodasikan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini agar tetap terjaminnya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Diperlukan upaya-upaya agar suatu perubahan tidak membawa kekacauan dan peluang yang digunakan oleh yang “kuat” untuk mendapatkan keuntungan secara tidak wajar, memangsa yang lemah.
Sejak awal konsep birokrasi modern yang disampaikan Max Weber (Suhendra, 2006:34-35) yang dikenal sebagai Bapak Birokrasi Weber optimis bahwa birokrasi mengandung hal-hal positif yang dikenal dengan birokrasi ideal antara lain:
a. Distribusi kegiatan atau pembagian tugas melalui cara yang telah ditentukan, ahli khusus dengan jabatan khusus (spesialisasi).
b. Prinsip birokrasi dalam pengorganisasian kantor setiap jenjang melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan dikontrol oleh atasannya.
c. Peraturan perundang-undangan yang jelas konsisten dilaksanakan untuk memberikan kejelasan tanggung jawab dan prosedur kerja.
d. Sine era et studio (formal dan tidak bersifat pribadi, like or dislike).
e. Pembinaan karier yang didasarkan atas senioritas atau prestasi atau gabungan serta memunculkan semangat corp (spirit de corp).
f. Pengalaman mendapat penghargaan disamping prestasi dan jasa.
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi dibangun atas otoritas rasional dan syah. Walau banyak kritik yang disampaikan berbagai pihak terhadap birokrasi ideal Weber akan tetapi banyak pihak yang mengakui bahwa enam prinsip birokrasi Weber masih dapat dijadikan patokan penting. Birokrasi keberadaannya masih sangat dibutuhkan dan setiap kajian birokrasi kini masih relevan dan menarik banyak peminat. Kalaupun ada ide-ide peran pelayanan dan sebagian fungsi pemerintahan (governanceI) tidak mungkin dialihkan.
Birokrasi yang kuat dan netral dapat menjamin Pemerintah yang stabil seperti dikatakan oleh Atmosoedirdjo (1973:12) bahwa: peranan birokrasi yang begitu menentukan antara lain dapat dilihat di Eropa Barat yang birokrasinya sudah berkembang sejak pertengahan abad ke-17 relatif tenang dan stabil terhadap gejolak internal maupun eksternal yang melandanya seperti perubahan politik cabinet, perubahan undang-undang dan sebagainya hal ini dikarenakan kemampuan mesin birokrasi yang dapat menanggung dan menetralisirnya. Berdasarkan pendapat di atas bahwa birokrasi merupakan kekuatan besar yang mampu melaksanakan perubahan sosial revolusioner akan tetapi juga sekaligus merupakan kekuatan besar untuk mempertahankan struktur kelembagaan yang sudah ada melalui berbagai kenyataan seperti penegakan hukum.
Pada era modern yang semakin kompleks tidak dapat dipungkiri arti penting dan peranan birokrasi yang menurut Henry (1988:5) yaitu: “Pluralisme politik; hipotesis pemindahan atau konsentrasi dan; tekhnobirokrasi”. Pertama, pluralisme politik. Bahwa masyarakat semakin modern, semakin kompleks dan semakin heterogen. Pada masa transisi dari tradisional ke masyarakat modern akan terjadi model prismatic sebagai berikut:
Memusat
Prismatik Memencar
Gambar 1: Prismatic Society (Diperbaharui dari Riggs,
1988:24)
Heterogenitas masyarakat menjadikan terjadinya persaingan-persaingan yang kadangkala terjadinya kepentingan yang saling bertentangan dalam upaya penggunaan asset dan lain sebagainya. Kepentingan penguasa industri, lapangan golf, pengembangan perumahan memerlukan lahan (tanah) yang luas untuk sementara petani juga memerlukan lahan yang luas. Perbedaan kepentingan inilah pemerintah memerankan diri sebagai penyeimbang yang bijaksana dengan prinsip “win-win solution” atau “non zero sum game” (skenario menang-menang). Pemerintah melalui regulasi misalnya membuat RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) bahwa untuk kepentingan non pertanian diarahkan pada daerah tandus yang kemungkinan sukar dijangkau irigasi teknis. Jangan terjadi seperti asumsi bahwa program yang menyangkut masyarakat rendah seperti melawan kemiskinan, kesejahteraan penyandang cacat, lebih menguntungkan kelas menengah dibanding kelas bawah. Kelompok kelas menengah menerima banyak lapangan pekerjaan yang tercipta melalui berbagai program kesejahteraan kelas bawah.
Kedua, hipotesis pemindahan atau konsentrasi. Kondisi darurat yang tidak diduga sebelumnya muncul seperti bencana alam, musim kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen, wabah penyakit dan lain sebagainya yang memerlukan anggaran belanja khusus. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang disebut hipotesis pemindahan. Sama halnya di Indonesia, melalui Inpres Nomor 5 Tahun 1993 yang dikenal dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT) pemerintah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk menolong masyarakat miskin di lokasi desa tertentu. Demikian pula halnya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi daerah yang kekeringan akibat kemarau panjang dan gagal panen, wabah penyakit di suatu daerah dan lain sebagainya. Konsep ini adalah baik, walaupun pada prakteknya di sana-sini terdapat kelemahan dan kekurangan.
Ketiga, teknobirokrasi. Dengan perubahan yang begitu cepat termasuk di bidang teknologi dan sosial, rakyat yang sebagian besar tidak mempunyai akses informasi secara memadai lebih-lebih masyarakat Kominitas Adat Terpencil, terisolasi memerlukan bantuan informasi. Apabila arus informasi tidak dapat dijangkau oleh kelompok ini, maka mereka akan tertinggal dan diam dalam keadaan kurang berdaya, tidak menikmati hasil pembangunan malah sebaliknya bisa menjadi korban dampak sampingan yang tidak diharapkan. Contoh sederhana misalnya di suatu kawasan, banyak orang kota membeli tanah warga masyarakat secara besar-besaran, dan masyarakat tertarik untuk menjualnya karena harga yang diberikan sedikit lebih tinggi dari biasanya. Selang waktu kemudian ternyata harga tanah tersebut menjadi berlipat ganda karena kawasan itu akan dijadikan lapangan terbang komersial. Orang kota yang cukup mendapat akses informasi menangkap peluang, sementara masyarakat setempat menghadapi korban penyesalan. Menghadapi seperti itu, birokrasi yang terdiri dari tenaga-tenaga professional dalam semua bidang dan sektoral mempunyai kewajiban menginformasikan dan menafsirkan perubahan yang sedang terjadi dan yang diperkirakan akan segera terjadi. Lebih jauh birokrasi diharapkan dapat memerankan sebagai change agent (pioner perubahan), agent of development (pioner pembangunan) dan agent of stability (pioner stabilitas).
2. Pemberdayaan Masyarakat
Secara politis sejak digulirkannya reformasi tahun 1997, pemberdayaan masyarakat, kekuatan dan kekuasaan rakyat berkembang cukup pesat. Presiden Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun terpaksa dijatuhkan oleh MPR karena tekanan masyarakat. Bupati Kampar Propinsi Riau dijatuhkan oleh para guru yang didukung oleh pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada pertengahan tahun 2004.
Banyak anggota DPRD di berbagai wilayah dipaksa menandatangani kontrak politik dengan masyarakat agar bersikap dan berbuat lebih memihak kepada kepentingan masyarakat, dipenghujung tahun 2004. Presiden dan wakil presiden telah dipilih langsung oleh rakyat di tahun 2004. Gubernur, Bupati dan Walikota, sesuai pengaturan pemerintah sejak Juni 2005 dipilih secara langsung pula oleh rakyat pemilih.
Kalau secara politis, rakyat telah relatif berdaya, bagaimana dengan aspek pendidikan, kesehatan, perekonomian dan lain sebagainya. Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono dengan berbagai pernyataan telah menjanjikan, semoga tidak sekadar retorika belaka. Yang pasti pemberdayaan masyarakat adalah upaya sadar berkesinambungan, jangka panjang, dan melibatkan semua potensi bangsa, membutuhkan kesungguhan, pengorbanan, kearifan, kejujuran, juga keberanian yang penuh damai.
Pemberdayaan masyarakat menurut Suhendra (2006:81) adalah: “suatu konsep yang mulia karena sangat menghargai harkat dan martabat manusia. Suatu cita yang idealis, suatu das sollen”. Pemberdayaan masyarakat analogis dengan konsep demokrasi dan kesejahteraan sosial serta kedaulatan rakyat. Dengan kondisi pemberdayaan masyarakat yang tercipta disuatu masyarakat bangsa, maka akan terbentuk suatu sinergitas berbagai komponen bangsa terdiri dari pemerintah, masyarakat serta penguasa. Akan terbentuk tatanan masyarakat yang harmonis, dinamis terhindar dari konflik sosial yang merugikan. Anggota masyarakat akan dapat mengoptimalkan kreativitas dan aspirasinya, saling bertoleransi, saling menyayangi, terbentuk suatu suasana yang tat-twan asi, homo sacra res homini (kamu adalah aku, manusia menyayangi sesama), walau dalam kemajemukan, semakin modern suatu masyarakat akan menjadi semakin majemuk dari unsur ras, agama, suku, golongan, profesi, akan tetapi dalam tatanan masyarakat yang berdaya akan menjadi “bhineka tunggal ika”, unity in diversity.
Masyarakat relatif akan menjadi lebih sejahatera, lebih puas karena aspirasinya terakomodasi dalam keputusan dan kebijakan penguasa maupun lembaga-lembaga yang mewakilinya. Kesenjangan sosial tidak terlampau dalam, oleh karenanya potensi kecemburuan sosial dapat diperkecil yang mempunyai ikatan konflik sosial dapat diperkecil. Masyarakat berkuasa dan berdaulat untuk merencanakan, mengelola asset lokal, mengawasi dan menikmati hasil jerih payahnya secara proporsional dalam tatanan yang penuh santun, modern dan beradab serta terhindar dari suasana “chaos” di bawah kepemimpinan dan perwakilan yang aspiratif dan akomodatif.
Konsep pemberdayaan masyarakat telah menjadi kuasa kata berbagai tulisan, lokakarya, seminar dan sebagainya lebih dari tiga dasa warsa di Indonesia. Kita telah familier dengan istilah people empowerment, people centered development, demokrasi, kesejahteraan social, kedaulatan rakyat, masyarakat madani (civil society). Suatu cita ke realita ternyata khususnya di Indonesia merupakan proses yang memerlukan waktu cukup panjang dan memerlukan banyak pengorbanan Munir pejuang hak-hak asasi manusia Ketua yayasan Kontras, yang wafat di pesawat terbang secara misterius. Marsinah pejuang buruh wanita di Jawa Timur yang juga wafat mengerikan. Peristiwa Semanggi 1997 beberapa orang mahasiswa yang tewas terhembus timah panas. Mereka adalah korban-korban pejuang keadilan dan pemberdayaan yang hingga kini belum terungkap secara tuntas. Hingga kini pemberdayaan masyarakat masih jauh dari kenyataan dan masih memerlukan proses perjuangan, baru merupakan wacana dan retorika.
Pemberdayaan masyarakat dalam prakteknya tidak sederhana seperti yang kita ucapkan berkaitan dengan aspek kemampuan rakyat, kesejahteraan, kultur, struktur maupun ”political will” penguasa. Kemampuan rakyat, dalam berbagai pertemuan ilmiah kadang berbau politis dikatakan “jangan diremehkan”, karena sejak dahulu rakyat punya keahlian di berbagai bidang seperti pertanian, industri, kelautan dan sebagainya. Rakyat mempunyai potensi adalah benar dan tidak terbantahkan, akan tetapi di era globalisasi yang penuh kompetitif maka setiap ukuran harus dipersandingkan dengan pihak lain. Kemampuan, keahlian menjadi sesuatu yang nisbi dan relatif.
Banyak kendala yang membelenggu percepatan proses pemberdayaan masyarakat Indonesia. Juga pemberdayaan masyarakat tidak serta merta terbentuk, masyarakat berangkat dari awal untuk dimotivasi mengartikulasikan peluang yang baru tersedia, akan memakan waktu berproses. Diperlukan banyak pemimpin lokal yang lebih memprioritaskan pemberdayaan masyarakat. Karena sebagian masyarakat sudah apatis dan selalu menyerah pada takdir.
D. Penutup
Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Birokrasi Indonesia menggambarkan bahwa: (a) birokrasi cenderung mengatur segenap segi kehidupan masyarakat dan negara; (b) dalam usahanya melayani masyarakat menggunakan pola Top down approach yang diterapkan oleh birokrasi cenderung semakin meningkat dan meluas sampai tingkat desa; (c) dalam usaha mempercepat pembangunan, birokrasi melakukan pembangunan besar-besaran dan dimotivasi melalui pentargetan.
2. Pemberdayaan masyarakat dengan ciri-ciri demokratisasi, kesetaraan masyarakat dengan pemerintah, kebebasan berbicara, kebebasan berkreativitas, hak untuk merencanakan, hak untuk mengelola asset lokal, hak untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan, hak untuk menikmati jerih payah sebagai buah pembangunan adalah sekaligus tujuan yang akan dituju oleh gerakan pemberdayaan masyarakat.
3. Unsur-unsur yang dapat mempercepat terjadinya pemberdayaan masyarakat di antaranya: (a) kemampuan politik mendukung; (b) suasana kondusif untuk mengembangkan potensi secara menyeluruh; (c) motivasi; (d) potensi masyarakat; (e) peluang yang tersedia; (f) kerelaan mengalihkan wewenang; (g) perlindungan dan; (h) awarness (kesadaran).
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirdjo, Prayudi. 1973. Dasar-Dasar Office Management. Jakarta.
Blow, Peter dan Marshall, W. Meyer. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Terjemahan Gerry R. Yusuf. Jakarta: UI Press.
Henry, Nicholas. 1998. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan. Terjemahan Lusiana D. Lontoh. Jakarta: Rajawali Press.
Martin, Albrow. 1989. Birokrasi. Terjemahan M. Rusli Karim dan Totok Daryanto. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Moerdiono. 1992. Birokrasi dan Administrasi Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rahman, Arifin. 2002. Sistem Politik Indonesia: Dalam Perspektif Struktural Fungsional. Surabaya: SIC.
Riggs, Fred W., 1988. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan. Terjemahan Lusiana D. Lontoh. Jakarta: Rajawali Press.
Suhendra, K. 2006. Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Alfabeta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar