A. Abstrak
Pembangunan dalam bidang pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar, pertama pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kedua relevansi, ketiga peningkatan kualitas, dan keempat efisiensi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso maupun mikro.
Guru yang profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi kriteria administratif, akademis, dan kepribadian. Juga di samping itu guru profesional dituntut sehat jasmani dan rohani, bertakwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan yang jelas, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan serta menguasai bidang yang ditekuni.
B. Pendahuluan
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu pembentukan manusia yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa memegang peranan penting dalam suatu sistem pendidikan. Maka kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan harus mampu mengantarkan anak didik menjadi manusia yang bertaqwa, cerdas, terampil dan berbudi luhur, berilmu, bermoral, tidak hanya sebagai mata pelajaran yang harus diberikan kepada murid semata, melainkan sebagai aktivitas pendidikan yang direncanakan untuk dialami, diterima, dan dilakukan.
Kurikulum sekolah merupakan instrumen strategis untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia baik jangka pendek maupun jangka panjang, kurikulum sekolah juga memiliki koherensi yang amat dekat dengan upaya pencapaian tujuan sekolah dan atau tujuan pendidikan. Oleh karena itu perubahan dan pembaruan kurikulum harus mengikuti perkembangan, menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan menghadapi tantangan yang akan datang serta menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Karim (Susilo, 2007:10) bahwa: ‘’dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, salah satunya adalah dengan perubahan kurikulum, sehingga mulai Cawu 2 Tahun Ajaran 2001/2002 sudah diperkenalkan kurikulum berbasis kompetensi yang merupakan pengembangan dari kurikulum 1994, dan kini dikenalkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang hampir sama dengan kurkulum berbasis kompetensi”.
Dasar perlunya perubahan kurikulum menurut Muhadi ((Susilo, 2007:10)) bahwa: “saat terjadi perkembangan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang perlu segera dianggap dan dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum baru pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Di mana peraturan perundang-undangan yang baru telah membawa implikasi terhadap pengembangan kurikulum seperti pembaruan dan diversifikasi kurikulum”.
Kurikulum berbasis kompetensi diharapkan mampu memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan pelaksanaan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien dan berhasil guna. Kurikulum berbasis kompetensi dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakpastian, dan kerumitan dalam kehidupan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ditujukan, untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam mengemban identitas budaya bangsanya. Kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas sosial serta membudayakan dan mewujudkan karakter nasional. Juga untuk memudahkan guru dalam menyajikan pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu pada empat pilar pendidikan universal sebagaimana yang telah dicetuskan oleh UNESCO sejak 1970 yakni: learning to know, learning to do, learning to life together dan learning to be.
KTSP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso maupun mikro. Kerangka makro erat kaitannya dengan upaya politik yang saat ini sedang ramai dibicarakan yaitu desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten sedangkan aspek mikro melibatkan seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang paling bawah, tetapi terdepan dalam pelaksanaannya yaitu sekolah.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepeduliaan pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan kurikulum yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah, KTSP tampil sebagai alternatif kurikulum yang ditawarkan.
KTSP merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, dan efisien pendidikan agar dapat memodifikasikan keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, industri, dan pemerintah dalam membentuk pribadi peserta didik. Hal tersebut dilakukan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam konsep ini sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik kepada orang tua, masyarakat, maupun pemerintah.
Otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kepada kelompok terkait dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Otonomi sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum tentang pemberdayaan sekolah, yang meyakini bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan sedapat mungkin keputusan dan seharusnya dibuat oleh mereka yang berada di garis depan (line staf) yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pelaksanaan kebijakan, dan terkena akibat dari kebijakan tersebut, baik guru maupun kepala sekolah.
Keterlibatan kepada sekolah dan guru dalam pengambilan keputusan sekolah juga mendorong rasa kepemilikan yang lebih tinggi terhadap sekolah yang pada akhirnya mendorong mereka untuk menggunakan sumber daya yang ada efisien untuk mencapai hasil yang optimal. Tujuan utama KTSP adalah memandirikan dan memberdayakan sekolah dalam mengembangkan kompetensi yang akan disampaikan kepada peserta didik, sesuai dengan kondisi lingkungan. Pemberian wewenang (otonomi) kepada sekolah diharapkan dapat mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Di samping lulusan yang kompeten, peningkatan mutu dalam KTSP antara lain akan diperoleh melalui reformasi sekolah (school reform), yang ditandai dengan peningkatan partisipasi orang tua, kerjasama dengan dunia industri, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan budaya mutu dalam suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan akan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Penetapan standar proses pendidikan merupakan kebijakan yang sangat penting dan strategis untuk pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan. Melalui standar proses pendidikan setiap guru dan atau pengelola sekolah dapat menentukan bagaimana seharusnya proses pembelajaran berlangsung. Proses pembelajaran adalah merupakan suatu sistem. Dengan demikian, pencapaian standar proses untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama proses pembelajaran dapat dimulai dari menganalisis setiap komponen yang dapat membentuk dan mempengaruhi proses pembelajaran. Begitu banyak komponen yang dapat mempengaruhi kualitas pendidikan, namun demikian, tidak mungkin upaya meningkatkan kualitas dilakukan dengan memperbaiki setiap komponen secara serempak. Hal ini selain komponen itu keberadaannya terpencar, juga kita sulit menentukan kadar keterpengaruhan setiap komponen.
Namun demikian, komponen yang selama ini dianggap sangat mempengaruhi proses pendidikan adalah komponen guru. Hal ini memang wajar, sebab guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa sebagai subyek dan obyek belajar. Bagaimanapun bagus dan idealnya kurikulum pendidikan, bagaimanapun lengkapnya sarana dan prasarana pendidikan, tanpa diimbangi dengan kemampuan guru dalam mengimplementasikan, maka semuanya akan kurang bermakna. Oleh sebab itu, untuk mencapai stndar proses pendidikan, sebaiknya dimulai dengan menganalisis komponen guru..
Meyakinkan setiap orang khususnya pada setiap guru bahwa pekerjaannya merupakan pekerjaan profesional merupakan upaya pertama yang harus dilakukan dalam rangka pencapaian standar proses sesuai dengan harapan. Mengapa demikian, sebab banyak orang termasuk guru sendiri yang meragukan bahwa guru merupakan jabatan profesional. Ada yang beranggapan setiap orang bisa menjadi guru walaupun mereka tidak memahami ilmu keguruan dapat saja dianggap sebagai guru, asal paham materi pelajaran yang akan diajarkannya. Apabila mengajar dianggap hanya sebagai proses penyampaian materi pelajaran, pendapat seperti itu ada benarnya. Konsep mengajar yang demikian, tuntutannya sangat sederhana, yaitu asal paham informasi yang akan diajarkannya kepada siswa, maka ia dapat menjadi guru. Tetapi, mengajar tidak sesederhana itu. Mengajar bukan hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi suatu proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh sebab itu, dalam proses mengajar terdapat kegiatan membimbing siswa agar bisa berkembang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya, melatih keterampilan baik intelektual maupun motorik sehingga sisiwa dapat dan berani hidup di masyarakat yang cepat berubah dan penuh persaingan, memotivasi siswa agar mereka dapat memecahkan berbagai persoalan hidup dalam masyarakat yang penuh tantangan dan rintangan, membentuk siswa yang memiliki kemampuan inovatif dan kreatif, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, seorang guru perlu memiliki kemampuan merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran yang dianggap cocok dengan minat dan bakat serta sesuai dengan taraf perkembangan siswa termasuk di dalamnya memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran untuk menjamin efektivitas pembelajaran. Dengan demikian seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan guru. Menurut James M .Cooper (1990:64): “A teacher is person charged with the responsibility of helping others to learn and to behave in new different ways”. Itulah sebabnya guru adalah pekerjaan profesional yang membutuhkan kemampuan khusu hasil proses pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan keguruan. Menurut Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. (2007:15) bahwa syarat-syarat pokok dari pekerjaan profesional antara lain: (1) pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; (2) suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalam bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas; (3) tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademis sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya, dengan demikian semakin tinggi pula tngkat penghargaan yang diterimanya; (4) suatru profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap setiap efek yang ditimbulkannya dari pekerjaan profesinya itu.
Dengan deikian, guru yang profesional berarti dituntut memiliki ilmu yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah; memiliki keahlian sesuai dengan bidang yang ditekuninya; keahliannya harus sesuai dengan latar belakang pendidikan yang didapatnya dan profesi guru yang profesional memiliki dampak sosial kemasyarakatan, baik kepada siswa, keluarga maupun masyarakat.
C. Pembahasan
1. Peran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama daan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka impelementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil, dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yasng tumpang tindih. Di samping itu, dituntut kemandirian dan kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran di balik otonomi yang dimilikinya. Sekolah harus mampu mencermati kebutuhan peserta didik yang bervariasi, keinginan staf yang berbeda, kondisi lingkungan yang beragam, harapan masyarakat yang menitipkan anaknya pada sekolah agar kelak bisa mandiri, serta tuntutan dunia kerja untuk memperoleh tenaga yang produktif, potensial dan berkualitas.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberi peluang bagi kepala sekolah, guru dan peserta didik untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial dan lain sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas dan profesionalisme yang dimiliki. Pelibatan masyarakat dalam pengembangan kurikulum mendorong sekolah untuk lebih terbuka, demokrasi dan bertanggung jawab. Pemberian kebebasan yang lebih luas memberi kemungkinan kepada sekolah untuk dapat menemukan jati dirinya dalam membina peserta didik, guru dan petugas lain yang ada di lingkungan sekolah. Dengan demikian, sekolah diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran yang efektif, dapat mencapai tujuan yang diharapkan, materi yang diajarkan relevan dengan kebutuhan masyarakat, berorientasi pada hasil (output), dan dampak (outcome), serta melakukan penilaian, pengawasan dan pemantauan secara terus menerus dan berkelanjutan. Hal tersebut diperlukan terutama untuk menjamin mutu secara menyeluruh (total quality), dan menciptakan proses perbaikan yang berkesinambungan (continues improvement), karena perbaikan tak kenal kata berhenti.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memerlukan pengajaran berbentuk tim, dan menuntut kerjasama yang kompak di antara para anggota tim. Kerjasama antara para guru sangat penting dalam proses pendidikan yang akhir-akhir ini mengalami perubahan yang sangat pesat. Meskipun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dapat diterapkan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan dan pada berbagai ranah pendidikan, kurikulum ini tidak dapat digunakan untuk memecahkan seluruh permasalahan pendidikan, namun memberi makna yang lebih signifikan kepada perbaikan pendidikan. Salah satu upaya yang menonjol dan dominan adalah pembelajaran individual, seperti modul dan pengajaran berprogram.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang ditawarkan merupakan bentuk operasional desentralisasi pendidikan yang akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan. Kebaruan ini harus diwaspadai dengan mengkaji berbagai sumber dan mendesiminasikannya kepada berbagai pihak terutama pada pelaksana dan calon pelaksana di lapangan agar tidak salah tafsir dan salah kaprah dalam penerapannya. Faktor lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kesiapan aparat pelaksanaannya. Kesiapan ini sangat ditentukan oleh para pelaku, antara lain ketulusan pemerintah pusat, aparat daerah, masyarakat dan sekolah itu sendiri. Kesiapan ini juga menyangkut kemampuan dalam mengajukan argumentasi dan rasionalisasi dan berbagai sudut pandang untuk mendukung diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan sosialisasi yang matang kepada berbagai pihak, agar kurikulum baru yang ditawarkan tersebut dapat dipahami dan diterapkan secara optimal. Sebagaimana dikemukakan oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Susilo, 2007:16) bahwa : “sosialisasi merupakan langkah penting yang akan menunjang dan menentukan keberhasilan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)”.
Sekolah yang dipandang sebagai suatu organisasi yang didesain untuk dapat berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat suatu bangsa. Sebagai salah satu institusi pendidikan, sekolah perlu dikelola, diatur, ditata dan diberdayakan agar sekolah dapat menghasilkan produk secara optimal. Sekolah sebagai tempat penyelenggara pendidikan merupakan sistem yang memiliki pemberdayaan. Dalam Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolah (Depdiknas, 2001) pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) bertujuan untuk: Pertama, meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan mampu mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Kedua, meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar.
Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka sekolah seharusnya memiliki komponen-komponen sekolah antara lain: kurikulum, tenaga pendidikan, kesiswaaan, sarana prasarana, keuangan, hubungan dengan masyarakat dan layanan khusus. Modal yang dimiliki oleh sekolah tersebut harus dapat dikelola dengan cara baik dan terarah, sehingga akan mampu dalam mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang merupakan harapan bagi upaya peningkatan mutu di dunia pendidikan.
Menurut Sukmadinata (2000:19) prinsip pengembangan kurikulum terbagi dalam dua hal yaitu: prinsip umum dan prinsip khsus. Yang termasuk prinsip umum antara lain: relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efekktivitas. Sedangkan yang termasuk prinsip khusus antara lain: prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, isi pendidikan, proses belajar mengajar, media dan alat pengajaran dan kegiatan penilaian. Lain halnya dengan Soetopo dan Soemanto (1986:24) yang mengatakan bahwa dalam usaha mengembangkan kurikulum, ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan agar kurikulum yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh semua pihak, baik itu sekolah, siswa, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Prinsip dasar yang paling utama dan harus diperhatikan adalah prinsip relevansi, efekktivitas dan efisiensi. Sedangkan prinsip dasar yang lain adalah prinsip kesinambungan dan fleksibilitas.
Langkah-langkah pengembangan perangkat kurikulum dalam bentuk silabus menurut Susilo (2007:114-138) antara lain: (1) penentuan format dan sistematika silabus; (2) penentuan kemasan silabus seperti penentuan format standar operasional pengembangan silabus dan penulisan identitas mata pelajaran; (3) penentuan kemampuan dasar; (4) penentuan materi pembelajaran dan uraiannya; (5) penentuan pengalaman belajar; (6) penentuan alokasi waktu; (7) penentuan sumber acuan dan: (8) pengembangan satuan pelajaran.
2. Guru Profesional
Paradigma baru pendidikan nasional telah menempatkan pendidik sebagai tenaga profesional, yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (Pasal 39 ayat (2) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Pasal ini tidak diikuti dengan perintah untuk pengaturan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Itulah salah satu sebab, maka pengaturan lebih lanjut tentang pendidik, khususnya guru dan dosen, perlu dibuat dalam bentuk undang-undang.
Dalam Pasal 39 ayat (2) UU Sisdiknas terlihat bahwa tugas pendidik (guru dan dosen) relatif sama. Namun dalam anak kalimat, ada terdapat perbedaan yang substansial. Tugas meneliti dan mengabdi kepada masyarakat lebih ditekankan kepada dosen, meskipun tidak berarti guru tidak boleh melakukan tugas tersebut. Dengan kata lain, bahwa melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, wajib bagi dosen, dan sunnat bagi guru.
Persamaan yang paling esensial, bahwa guru dan dosen adalah pendidik yang merupakan tenaga profesional. Pengertian professional memang tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU Sisdiknas, dan karena itu dalam Rancangan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, diberi rumusan: “Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi”.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen menurut Prof. Dr. Anwar Arifin (2007:44) ditetapkan dengan jelas sembilan prinsip profesional (Pasal 7 ayat 1), yaitu guru dan dosen: (a) memiliki bakat, minat dan panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; dan (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas; dan (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. Selain itu guru dan dosen harus juga: (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; dan (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Khusus bagi guru harus (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa dan kode etik profesi. Selain itu baik guru dan dosen tidak diberi pengertian dalam UU Sisdiknas, sehingga dalam Undang-Undang Guru dan Dosen perlu dirumuskan dalam ketentuan umum. Dalam Pasal 1 ayat (1) butir 1 ditetapkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur formal, serta pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, termasuk pada pendidikan usia dini. Demikian juga disebutkan bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui penelitian ilmiah dan melakukan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 1 butir 2) pada jenjang pendidikan tinggi.
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional diatur lebih rinci dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen Pasal 2 ayat (10 disebutkan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, yang diangkata sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedudukan guru sebagai tenaga professional dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Pasal 2 ayat (2) UU GD). Demikian juga dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 3 ayat (1) UU GD). Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga professional juga dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Pasal 3 ayat (2) UU GD).
Pengakuan kedudukan guru dan dosen yang masing-masing dibuktikan dengan sertifikat pendidik itu, menunjukkan adanya kesamaan antara guru dan dosen dalam meningkatkan martabatnya, meskipun proses memperoleh sertifikat pendidik itu diatur secara berbeda. Perbedaan itu, didasarkan pada fungsi yang relatif tidak sama antara guru dan dosen. Meskipun guru dan dosen berfungsi sebagai pendidik dan agen pembelajaran dalam meningkatkan mutu pendidikan, namun dosen juga mempunyai fungsi sebagai ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 4 dan 5 RUU GD). Guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam pendidikan juga mempunyai tujuan yang sama yaitu melaksanakan pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Pasal 6 UU GD).
Patut disadari bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dimaksudkan agar guru dan dosen memiliki kompetensi ilmu, teknis dan moral dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dengan jaminan kesejahteraan yang memadai untuk memenuhi hak warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 ayat 1 UU Sisdiknas). Bahkan lebih jauh dari itu adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mencapai tujuan pendidikan nasional.
Saat ini ada sekitar 67 juta anak Indonesia yang harus memperoleh pendidikan yang bermutu, agar dapat melanjutkan dan mengembangkan eksistensi bangsa di masa depan. Dengan kata lain, 67 juta anak bangsa itu harus dilindungi dari pendidikan yang tidak bermutu, karena jika mereka memperoleh pendidikan yang tidak bermutu, maka mereka dapat menjadi bukan sumber daya melainkan dapat menjadi sumber masalah. Justru itu perlindungan terhadap mereka harus dilakukan, dengan memperbaiki mutu guru, baik kompetensinya maupun kesejahteraannya.
Jika guru dan dosen itu sebagai pendidik yang professional, maka harus ada pendidikan khusus dan pengalaman yang cukup dalam bidang pendidikan yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Justru itu dalam Undang-Undang Sisdiknas diamanatkan bahwa pendidik (guru dan dosen) harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 42 ayat (1) UU Sisdiknas). Hal ini dipertegas dan diperluas oleh UU GD bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi sebagai agen pembelajaran, dan sertifikat pendidik, serta sehat jasmani dan rohani untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 8 UU GD). Khusus untuk dosen ditambah lagi satu unsur yaitu kualifikasi yang dipersyaratkan perguruan tinggi tempat bertugas (Pasal 45 UU GD).
Kualifikasi minimum yang dimaksud di atas, untuk guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10 ayat 1 UU GD). Penggunaan istilah agen pembelajaran itu hingga kini masih pro-kontra, namun untuk pengenalan tetap digunakan dalam UU GD. Bagi dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, yang diperoleh melalui pendidikan tinggi pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahliannya. Kualifikasi minimum bagi dosen adalah lulusan program magister untuk bertugas pada program diploma satu, diploma dua atau diploma tiga, diploma empat atau program sarjana. Untuk bertugas pada program pascasarjana, harus kualifikasi lulus program doktor (Pasal 46).
Kualifikasi akademik itu sangat penting diatur, karena selama ini banyak dosen pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang diangkat karena nepotisme (hubungan keluarga dan kekerabatan), tanpa memiliki kualifikasi akademik minimum dan kompetensi sama sekali baik ilmu maupun keterampilan mendidik. Justru kualifikasi minimum itu, bagi calon guru atau dosen, harus tetap menjadi syarat, untuk melindungi peserta didik dari pendidik yang tidak kompeten. Perlindungan terhadap peserta didik itulah yang harus diutamakan, sehingga pendidikan khusus itu diperlukan bagi calon guru dan calon dosen, yang dibuktikan dengan ijazah dan sertifikat pendidik. Dengan adanya ijazah dan sertifikat pendidik itu, maka akuntabilitas dapat terjamin, dan sekaligus sebagai alat seleksi bagi negara untuk memberikan berbagai keuntungan kepada guru dan dosen sebagai pendidikan profesional.
D. Penutup
Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Pengembangan KTSP dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Juga kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan potensi peserta didik.
2. Pengembangan KTSP berlandaskan pada tujuan filsafat dan pendidikan nasional; sosial budaya dan agama; perkembangan peserta didik; keadaan lingkungan, kebutuhan pembangunan dan; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga prinsip pengembangannya berorientasi pada tujuan; relevansi (kesesuaian); efisiensi dan efektivitas; fleksibilitas; kontinuitas (berkesinambungan); keseimbangan; keterpaduan dan peningkatan mutu.
3. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dimaksudkan agar memiliki kompetensi ilmu, teknis dan moral dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dengan jaminan kesejahteraan yang memadai untuk memenuhi hak warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga dapat dicapai tujuan pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 2007. Profil Baru Guru & Dosen Indonesia: Idealis, Profesional, Sejahtera. Jakarta: Pustaka Indonesia.
Cooper, James M. (ed.) 1990. Classroom Teaching Skill. Lexington, Massachusetts Toronto: D.C. Heath and Company.
Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat menjadi Guru Profesional. Jogjakarta: Prismasophie.
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Susilo, Muhammad Joko. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyajarta: Pustaka Pelajar Offset.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005. Guru dan Dosen. Bandung: Fokusmedia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar