Jumat, 13 Februari 2009

KEPEMIMPINAN NASIONAL DALAM DEMOKRATISASI DI INDONESIA PASCA SOEHARTO

Abstrak

Kepemimpinan adalah hubungan di mana satu orang yaitu pemimpin mempengaruhi pihak lain untuk bekerjasama secara sukarela dalam usaha mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan untuk mencapai hal yang diinginkan oleh pemimpin. Kepemimpinan nasional dapat dilihat dari kelompok status (posisi elite), tokoh, fungsi dan proses kepemimpinan.

Demokratisasi merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, di mana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivtas kesehariannya, termasuk interaksi dengan lingkungannya. Demokratisasi berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Demokratisasi dapat mencakup dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya

Kata Kunci: Kepemimpinan, kepemimpinan nasional, demokratisasi dan masyarakat madani.

Pemerintah Orde Baru memang memanfaatkan preman sebagai strategi untuk melakukan porak poran dan yang pada akhir riwayatnya terkenal dengan teori layang-layang putus. Artinya sewaktu kita menjadi anak-anak kita berebut laying-layang dan daripada tidak mendapat sama sekali kita merobek-robeknya, begitulah dengan pemerintah bila tidak lagi berkuasa dan ada kemungkinan dihujat bahkan diadili maka sebaiknya negara yang dulu diperintah ini dihancurkan. Namun mau tidak mau, suka tidak suka, sejarah terus berjalan dan reformasi pun diambang pintu.

Pada tanggal 1 Mei 1998 Pak Suharto akhirnya mengundurkan diri yang disambut oleh masyarakat, utamanya di Jakarta dengan tumpah ruah di jalan, mereka bersujud kepada pemilik ala mini dengan berlinang air mata, sesyukur itukah mereka, entahlah, mereka memang sudah bosan dipimpin selama setengah abad hanya oleh dua orang saja.

Pengganti beliau wakil presiden Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie menggantikan beliau dengan mengucapkan sumpah di istana Merdeka Jakarta,S karena tidak mungkin melangsungkannya di gedung rakyat MPR RI yang sedang diduduki mahasiswa. Berbagai kontroversi muncul akan pemengambilan sumpah tersebut, ada yang mengatakan konstitusional dan ada pula yang mengatakan inkonstitusional. Hal ini seperti dikemukakan oleh Inu Kencana Syafiie dan Azhari yang disebabkan sebagai berikut:

Habibie mengambil sumpah tidak disaksikan oleh seluruh anggota MPR/DPR RI, lalu Pak Harto tidak sedang mendapat halangan sesuai Pasal 18 UUD 1945, tetapi dihujat oleh orang banyak dan diminta untuk turun.

Bila dilangsungkan pengambilan sumpap tersebut di Gedung MPR hal tersebut akan beresiko tinggi oleh maraknya demontrasi dan bukankah anggota MPR yng ada di Senayan adalah buatan Pak Harto sendiri yang tidak disenangi oleh masyarakat ketika itu.

Bila anggota MPR diganti pemilu tidak memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin, lagi pula berbagai Undang-Undang Pemilihan Umum selama ini dituding sebagai tidak demokrastis.

Pemerintah Habibie sebenarnya memang tidak sama dengan pemerintah Soeharto, bagaimana pun Habibie mengucapkan sebagai murid Soeharto beliau adalah seorang demokratis yang ilmuwan, di masa beliaulah para tahanan politik dibebaskan bahkan di masa beliaulah untuk pertama kalinya pemilihan umum dilangsungkan secara demokratis melebihi Pemilihan Umum tahun 1955.

Pemilihan Umum 1999 diikuti oleh 48 partai yang bersaing ketat walaupun hanya 21 partai yang mendapat bagian kursi di DPR RI. PDI Perjuangan yang didukung oleh rakyat jelata memang tidak menang mutlak Karena Golkar masih tetap mengimbanginya terutama di wilayah Indonesia Bagian Timur. Itulah sebabnya Prof. Dr. Amien Rais, M.A. yang memimpin demontrasi pada tanggal 20 Mei 1998 mengatakan bahwa masyarakat Indonesia belum cukup pintar untuk mengerti arti sebuah demokrasi di negara sebesar Indonesia, Prof. Dr. Amien Rais, M.A. yang partainya mendapat nomor urut 5 (lima) ini mengalami kekecewaaan lalu melirik kepada partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan oleh KH. Abdurrahman Wahid.

Dalam Suasana Sidang Istimewa MPR RI yang digelar di bawah pimpinan Amien Rais, dengan telak menolak pertanggungjawaban presiden RI ke-3, Prof. Dr. BJ. Habibie, dan setelah itu Golkar kehilangan calon presidennya. Prof. Dr. Amien Rais, M.A. llu dengan cantik menggiring suara Golkar yang sakit hati untuk beralih kepada Gus Dur, daripada memilih Megawati Soekarno Putri yang pernah dipecundangi pada tanggal 27 Juli.

Partai Amanah Nasional yang didirikan oleh Amien Rais bersama Partai Keadilan yang bernuansa Islam membentuk Fraksi Reformasi, dan profesor yang menulis disertasi tentang Ikhwanul Muslimin Hasan Al Banna lalu menggiring Gus Dur ke kursi kepresidenan Republik Indonesia. Gus Dur memang seorang ahli manajemen konflik karena dalam waktu sekejap berhasil melemahkan kekuatan TNI POLRI yang memang sudah ingin berganti paradigma.

Letjen Agus Wirahadikusumah yang reformis diorbitkan untuk menjadi Panglima Kostrad sedangkan Prof. Dr. Baharudin Lopa, S.H. yang sangat jujur itu diigiring menjadi Jaksa Agung, tetapi sayang keduanya meninggal ditengah perjalanan jihadnya. Contoh konflik yang diciptakan oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid antara lain:

Menurut Presiden Wahid apabila Presiden dijatuhkan melalui Memorandum I, Memorandum II dan selanjutnya Sidang Istimewa MPR RI, maka keadaan akan menjadi kalut (darurat). Oleh karena itu sebaiknya perlu dikeluarkan Dekrit, sedangkan menurut Ketua MPR Amien Rais apabila MPR dibubarkan oleh Presiden, hl tersebut menyalahi konstitusi karena Presiden dipilih oleh MPR.

Menurut Presiden Wahid jabatan Wakapolri yang sudah dibekukan, diaktifkan kembali dan diangkatlah Jenderal Polisi Chairudin Ismail untuk memangkunya, sedangkan Jenderal Polisi S. Bimantoro menolak usul tersebut dengan tetap menjabat Kapolri non aktif.

Menurut Presiden Wahid pencalonan Bagir Manan dan Muladi, untuk menjadi calon Ketua Mahkamah Agung adalah tidak tepat karena keduanya terlibat kasus masa lalu, sedangkan menurut Ketua DPR RI, Akbar Tanjung, hal ini terlalu mencampuri urusan Legislatif dan Yudikatif.

Menurut Presiden Wahid Jenderal Endriartono Sutarto taat kepada Presiden apabila menolak Dekrit, sementara oleh hampir seluruh Perwira Angkatan Darat pengumuman keadaan darurat walaupun menguntungkan mereka tetapi akan mempersulit posisi TNI.

Menurut Presiden Wahid, Megawati tidak menciptakan suasana Dwi Tunggal apabila membiarkan partainya menggelar Sidang Istimewa MPR, kendati menurut Megawati hal tersebut dapat dilakukan sepanjang konstitusional.

Selain daripada itu juga dalam pengangkatan pejabat, Presiden Wahid menciptakan konflik sebagai berikut:

Ryaas Rasyid yang gentar dengan keberadaan federalism malah diberikan jabatan Menteri Otonomi Daerah.

A.S. Hikam yang banyak mengkritik keadaan Kementerian Riset malahan diberikan jabatan di tempat tersebut.

Khofifah Indar Parangwangsa yang menghendaki emansipasi melalui pembubaran Kementeriaan Peranan Wanita, malah diberikan Jabatan Menteri Pemberdayaan Perempuan.

Memang masyarakat Indonesia belum mengerti dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Wahid dalam manuvernya. Beliau sengaja melemahkan eksekutif, dengan demikian sebagai Bapak Demokrasi maka isu-isu akan menjadi wacana yang menarik dalam menghimpun masa. Bayangkan saja isu komunis, isu Israel, isu judi, isu pemecatan, isu Asalamualaikum, dan lain-lain akan membuat umat bersatu karena diciptakannya musuh monumental, dan kemudian beliaulah yang menggiring persatuan tersebut, ketegangan dianggap menjadi kemesraan setelah keresahan itu terlewati. Dan beliau sendiri berada di tengah-tengah masa karena memiliki Banser NU. Tetapi orang hanya berani mengkritik dan mengatakan beliau turunan Sinchan, itu saja.

Akhirnya Gus Dur yang controversial digulingkan juga lewat kasus Bruneigate dan Buloggate yang dikonstitusionalkan melalui Memorandum I, Memorandum II dan Sidang Istimewa MPR RI, kemudian Megawati melangkah mulus ke kursi Kepresidenan, lagi pula bukankah beliau pemenang Pemilu 1999. Sayang Mega pada awal pemerintahannya tampak terlalu berbeda dengan ayah kandungnya yang proklamator, kalau dulu Soekarno menolak aggressor Amerika Serikat dengan mengatakannya sebagai Nekolim, Megawati malah dengan rendah hati berhiba kepada Negara Adikuasa ini, bukankah Amerika Serikat juga cukup banyak mempunyai keterikatan dengan Indonesia.

Inilah yang disambar oleh Wakil Presiden Hamzah Haz dengan mempebesar isu akan pergi ke musuh Negara Adikuasa ini yaitu Lybia, bersamaan dengan terjadinya konflik antara Amerika Serikat dengan Usamah bin Laden. Megawati Soekarno Putri memang harus memperhatrikan akar rumput yang dulu mendukungnya, karena apabila tidak orang terpaksa berceloteh bahwa bukankah Megawati hanya memakai jilbab kalau pergi ke Mekah atau ke Aceh saja. Itulah sebabnya beliau harus lebih banyak belajar filsafat politik Islam sebagai Doktor Honorris Causa.

Akhirnya koalisi kebangsaan yang terisi dari partai pemenang Pemilu 2004, yaitu Partai Golkar dan PDIP sangat kuat perseteruannya dengan koalisi kerakyatan yang menggiring Susilo Bambang Yudoyono (SBY) ke puncak kekuasaan yaitu, PKS dan Demokrat.

Transisi demokrasi yang telah berlangsung beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan perubahan yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dewasa ini semakin banyak partai politik bermunculan, baik sebelum pemilihan umum 2004 maupun sesudahnya. Badan legislative, yang pada masa rezim Orde Baru relative tunduk pada eksekutif, sekarang telah menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Setidaknya keberanian berbeda pendapat dengan eksekutif semakin menonjol. Pada waktu yang sama, pihak eksekutif juga mulai menunjukkan pengahrgaan yang cukup bagaimana diharapkan pihak legislative. Kritik terhadap pemerintah, baik di pusat maupun di tingkat daerah, juga semakin marak dan senantiasa memenuhi halaman surat kabar dan majalah. Bertambah pula LSM baru yang memusatkan perhatian pada isu-isu tertentu yng terjadi sebagai akibat implementasi agenda pemerintahan.

Walaupun peningkatan kesadaran tentang nilai-nilai demokrasi terasa semakin marak di kalangan aktivis politik, LSM, intelektual, peneliti dan media massa, bukan berarti bahwa demokrasi telah benar-benar tegak di bumi Indonesia. Dewasa ini tindakan para politisi yang dapat dikategorikan sebagai penyimpangan masih saja terjadi. Setidaknya, masih sering dijumpai adanya upaya pemaksaan kehendak dengan kekerasan oleh orang-orang yang seakan berdiri di atas hukum; tindakan korupsi di kalangan pejabat justru semakin merajalela di tengah kritik masyarakat yang terus berdengung; dan ancaman terhadap hak asasi dan keamanan pun masih sering muncul, baik oleh aparat keamanan maupun oleh kalangan sipil terhadap sesama sipil. Walhasil, sekalipun bangsa ini telah bergerak meninggalkan era ootoritarianisme, di beberapa kesempatan masih bermunculan tindakan yang anti-demokrasi dalam berbagai bentuknya. Kondisi ini sudah tentu memerlukan penyegaran kembali berkenaan dengan apa yang disebut dengan nilai dan kondisi yang diperlukan untuk membangun tatanan demokrasi.

Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan denokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini, pemerintahan tersebut akan sulit ditegakkan. Nilai-nilai tersebut seperti dijelaskan oleh Askuri, antara lain, adalah, kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan kepercayaan. Di samping nilai-nilai tersebut di atas, diperlukan pula sejumlah kondisi agar nilai-nilai tersebut dapat ditegakkan sebagai pondasi demokrasi.

Kebebasan dalam berrdemokrasi sesungguhnya bukan merupakan sebuah kebebasan yang mutlak, melainkan kebebasan yang memiliki koridor dan batasan, termasuk dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain. Kebebasan berpendapat sangat dihargai di alam demokrasi, karena kebebasan berpendapat ini merupakan hak setiap warga negara dijamin hak-haknya untuk menyuarakan aspirasi dan gagasannya melalui berbagai macam saluran public, seperti media massa, buku, karya seni, maupun melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen. Penindasan terhadap kebebasan berpendapat akan menyebabkan negara menjadi represif dan tidak dapat dikontrol, sehingga negara akan sangat mudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Akibatnya, demokrasi akan mati.

Berkelompok dalam suatu organisasi merupakan nilai dasar demokrasi yang diperlukan bagi setiap warga negara. Kebebasan berkelompok ini diperlukan untuk membentuk organisasi mahasiswa, partai politik, organisasi massa, perusahaan, dan kelompok lain. Kebutuhan berkelompok merupakan naluri dasar manusia yang tak mungkin diingkari. Masyarakat primitif berkelompok dalam mencari makan dan perlindungan dari kejaran hewan liar maupun kelompok lain yang jahat.

Dalam era modern, kebutuhan berkompok ini tumbuh semakin kuat. Persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang sedemikian kompleks seringkali memerlukan organisasi untuk menemukan jalar keluar. Ketika banjir melanda suatu daerah, upaya penyelematan dan pemberian bantuan akan lebih cepat bila dilakukan secara berkelompok. Pemilihan presiden memerlukan keterlibatan partai politik sebagai kelompok untuk mengumpulkan dukungan maupun dana untuk berkampanye. Seorang presiden sudah tentu tidak mungkin mencalonkan dirinya sendiri kecuali dicalonkan oleh partainya. Berkelompok merupakan cara kuno dan sekaligus modern untuk menjaga kelangsungan hidup bermasyarakat.

Demokrasi menjamin kebebasan warga negara berkelompok, termasuk membentuk partai baru maupun mendukung partai apapun. Tidak ada lagi keharusan mengikuti ajakan dan intimidasi pemerintah. Tak ada lagi ketakutan untuk menyatakan afiliasinya dalam partai selain partai penguasa/pemerintah. Demokrasi memberikan alternatif yang lebih banyak dan lebih sehat bagi warga negara. Itu semua karena jaminan bahwa demokrasi mendukung kebebasan berkelompok.

Kebebasan berpartisipasi sesungguhnya merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat dan berkelompok. Adapun jenis partisipasi yang pertama di dalam demokrasi adalah pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pemilihan anggota DPR maupun pemilihan presiden. Bentuk partisipasi kedua yang belum berkembang luas di negara demokrasi baru adalah apa yang disebut sebagai kontak/hubungan dengan pejabat pemerintah. Melakukan protes terhadap lembaga masyarakat atau pemerintah adalah bentuk partisipasi ketiga yang diperlukan negara demokrasi, agar system politik bekerja lebih baik. Sementara bentuk partisipasi keempat adalah mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan publik mulai dari pemilihan lurah, bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, hingga presiden, sesuai dengan system pemilihan yang berlaku.

Nilai-nilai kesetaraan perlu dikembangkan dan dilembagakan dalam semua sector pemerintahan dan masyarakat. Diperlukan usaha keras agar tidak terjadi diskriminasi atau kelompok etnis, bahasa, daerah, atau agama tertentu, sehingga hubungan antarkelompok dapat berlangsung dalam suasana egaliter. Penbolakan terhadap asas kesetaraan ini sudah tentu bertentangan dengan demokrasi. Kesetaraan atau egalitarianism merupakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Kesetaraan di sini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara.

Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, di mana kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama di depan hukum, karena memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk social. Dalam demokrasi, kesetaraan gender harus diwujudkan. Proses kea rah itu memang memerlukan waktu panjang. Dalam proses politik di Indonesia perkembangan kea rah kesetaraan gender dalam politik di era pasca reformasi 1998 (awal perkembangan menuju demokrasi) sudah cukup progresif, terbukti dengan diakomodasikan gagasan 30% kuota perempuan bagi calon anggota legislatif. Namun hal itu hanyalah sebagian kecil solusi dalam persoalan kesetaraan gender. Masih ada banyak hal lagi yang perlu dilakukan dalam mewujudkan kesetaraan gender, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.

Orde Baru telah mengalami keruntuhan seiring jatuhnya Soeharto sebagai presiden yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun, setelah sebelumnya krisis ekonomi menghancurkan legitimasi pemerintahan Orde Baru. Dalam kaitan ini, John McBeth memberikan komentar bahwa tanpa kehancuran di bidang ekonomi, yang selama ini menjadi landasan legitimasi pemerintahan Soeharto, tidak akan pernah ada kesempatan untuk perubahan politik. Menurut McBeth, jika keadaan ekonomi dan masalah yang ditinggalkan pemerintahan Soeharto tidak sedemikian menjadi faktor yang mendatangkan ketidakstabilan, masa itu akan menjadi periode yng sangat menggairahkan bgi Indonesia sejak kemerdekaan.

Apa yang dikemukakan oleh McBeth di atas, barangkali memang benar. Bagaimanapun selama hamper keseluruhan kurun waktu Pemerintahan Soeharto, legitimasi pemerintahah ini hamper sama sekali disandarkan pada pembangunan ekonomi, yang dalam kenyataannya rapuh. Namun, di luar kerapuhan yang tidak begitu tampak itu pada awalnya, komentar-komentar yang muncul terutama yang berasal dari Bank Dunia misalnya, menyebutkan Indonesia dan beberapa negara lain seperti Malaysia, Taiwan, Thailand, Korea Selatan dan Singapura akan menjadi kekuatan baru di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Namun krisis ekonomi telah merontokkan prediksi tersebut. Ini dapat dilihat dari kehancuran ekonomi yang melanda Indonesia selama masa krisis moneter 1997-1998. Pada kenyataannya, krisis ekonomi dan moneter yang dialami Indonesia jauh lebih parah dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami hal yang sama. Indonesia memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan negara-negara lain dalam kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti Thailand, Korea Selatan dan Malaysia untuk keluar dari krisis. Sementara itu, keterpurukan ekonomi Indonesia sebagai akibat krisis tersebut masih dapat dirasakan hingga saat ini oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kebangkrutan pemerintahan pasca-Soeharto telah mendorong pemerintahan berikutnya mengurangi subsidi bahan Bakar Minyak (BBM), dan ini tentunya berimbas pada perluasan kemiskinan dan pengangguran. Sebagaimana Andi Suruji (Kompas, 20 Mei 2006) mencatat bahwa angka pengangguran terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 misalnya, pengangguran hanya sebasar 5,6 juta orang atau 6%, namun angka ini meningkat menjadi 10% atau 9,5 juta orang pada tahun 2003 lalu melompat lagi menjadi 10,3 persen atau 10,9 juta orang pada tahun 2005. Jumlah orang yang bekerja memang terus mengalami peningkatan, tetapi menurut Laporan Bank Pembangunan Asia (April 2006), sebagaimana dikutip Kompas, hanya sebesar 29,2% yang bekerja di sector formal, sedangkan selebihnya sebesar 70,8% bekerja di sektor informal yang sangat rentan terhadap jaminan sosial.

Meskipun demikian, krisis tidak hanya mempunyai dimensi buruk. Sebaliknya, krisis juga membawa serta peluang kea rah kehidupan yang lebih baik. Di antaranya, sebagaimana dikemukakan oleh McBeth, bahwa tanpa adanya krisis ekonomi tidak akan pernah ada perubahan politik. Kenyataannya, krisis ekonomi telah menjadi penyulut tidak hanya kejatuhan Rezim Soeharto yang despotis, tetapi juga reformasi politik. Rfeormasi ini, beberapa diantaranya, telah menggeser struktur politik Orde Baru yang otoriter dan digantikan dengan struktur politik yang lebih demokratis. UUD 1945 yang selama pemerintahan Orde Baru disakralkan untuk tujuan pelanggengan kekuasaan yang korup, tetapi pada masa reformasi telah dilakukan amandemen. Badan legisltaif sekarang ini kedudukannya lebih diperkuat, sementara presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi langsung oleh rakyat. Dengan demikian, presiden tidak lagi harus mempertanggungjawabkan jabatannya di depan Sidang Umum (SU) MPR sebagaimana biasanya. Pemilu yang pada masa Orde Baru hanya menjadi ritual demokrasi tanpa makna, kini telah menjadi bgian penting demokrasi. Partai politikyang sebelumnya dimandulkan oleh kebijakan pemerintah dengan membatasinya hanya tiga partai saja, sekarang ini partai yang sudah lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum 38 Partai Politik untuk Pemilu 2009. Pendeknya, Indonesia kini telah memasuki masa yang menggairahkan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan penduduk lebih dari 220 juta orang.

Mengomentari hal ini, dalam sebuah artikel yang dipublikasikan, Henk Schulte Nordholt mengemukakan bahwa jika menilai perubahan struktural ketatanegaraan yang telah tercapai selama beberapa tahun yang lalu, perubahan-perubahan di Indonesia dapat dikatakan sebagai silent revolution. Sebetulnya, demikian Henk Schulte Nordholt mengemukakan, kalau menilai perubahan structural ketatanegaraan yang telah tercapai selama beberapa tahun yang lalu kita boleh saja bicara tentang silent revolution., yaitu suatu perubahan yang sangat mendalam yang telah tercapai lewat proses demokratis, tentang baik mengenai posisi MPR sendiri, yang diganti dengan sistem bikameral, maupun tidak kalah penting juga, adalah posisi legislative (DPR) vis-à-vis eksekutif yang jauh lebih kuat ketimbang situasi sebelumnya.

Meskipun tidaklah selalu mudah untuk memberikan penilaian terhadap apakah suatu perubahan yang terjadi merupakan suatu silent revolution ataukah suatu reformasi, tetapi mungkin saja penilaian Nordholt di atas benar atau setidaknya mengandung kebenaran. Revolusi, seperti dikemukakan oleh Huntington, melibatkan perubahan nilai-nilai, struktutur sosial, lembaga-lembaga politik, kebijakan pemerintah dan kepemimpinan sosial politik dalam tempo yang begitu cepat, menyeluruh dan penuh kekerasan. Semakin utuh semua perubahan ini berlangsung maka semakin total revolusi yang mengikutinya. Sementara itu, reformasi merujuk pada perubahan yang terbatas dalam hal cakupan dan moderat dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan pranata politik. Ia mengandung perubahan yang mengarah pada persamaan politik, social dan ekonomi yang lebih merata, termasuk perluasan peran serta politik dalam masyarakat dan Negara. Perubahan moderat dalam arah yang bertentangan lebih tepat disebut sebagai konsolidasi diabandingkan dengan sebagai suatu reformasi.

Dengan pemahaman seperti ini, perubahan di Indonesia mungkin dapat dikatakan sebagai suatu silent revolution sebagaimana pendapat Nordholt di atas mengingat telah terjadi perubahan yang cukup mendasar terhadap struktur politik dan pemerintahan. Presiden dan wakil presiden telah dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia. UUD 1945 yang sebelumnya dianggap sakral oleh rezim Orde Baru yang otoriter dan despotis telah diamandemen beberapa kali, dan lembaga legislatif telah diberdayakan sedemikian rupa, sehingga lembaga ini menjadi sangat kuat jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Selain itu, media massa telah dijamin kebebasannya berdasarkan undang-undang kebebasan pers. Sementara itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah telah didasarkan pada asas desentralisasi dengan lebih memperhatikan potensi yang ada di daerah masing-masing, dan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi yang memilih presiden dan wakil presiden. Keseluruhan ini merupakan perubahan yang cukup mendasar. Namun, apakah perubahan ini juga menyentuh struktur sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat, tentunya akan memerlukan energi yang lebih besar untuk mendiskusikannya.

Di sisi lain, perubahan-perubahan tersebut telah mendorong munculnya pertanyaan menyangkut bagaimana implikasi perubahan itu bagi system politik Indonesia? Pertanyaan yang mendasar adalah apakah reformasi politik mempunyai implikasi terhadap perubahan sistem politik? Jika ya, maka bagaimanakah perubahan sistem politik Indonesia era reformasi tersebut berlangsung? Pakah sistem politik demokratis juga memicu kinerja sistem yang demokratis pula atau sebaliknya perubahan hanya menyentuh pada tingkatan struktur, tetapi tidak pada budayanya? Akibatnya, sistem politik boleh saja demokratis, tetapi kinerja tetap mewarisi sistem politik Orde Baru.

Sebagai salah satu contoh dapat dirujuk laporan Kompas ketika memperingati sewindu reformasi. Kompas menurunkan laporan yang cukup menarik dan diantaranya menyangkut birokrasi. Dalam laporan itu, Kompas menuliskan bahwa birokrasi pemerintah misalnya, yang sekarang bekerja merupakan peninggalan system birokrasi Pemerintahan Soeharto, yang selama 32 tahun berkuasa. Sistem ini, demikian tulis Kompas, setelah sewindu reformasi, tidak pernah direformasi secara mendasar. Kalaupun ada, hanya sebatas bedak yang menempel dan memulas wajah birokrasi pemerintah. Adapun watak, sifat, dan hati nuraninya tidak berubah.

Reformasi mengandung perubahan yang mengarah pada persamaan politik, sosial dan ekonomi yang lebih merata,termasuk perluasan perean serta politik dalam masyarakat dan negara. Perubahan moderat dalam arah yang bertentangan lebih tepat disebut sebagai konsolidasiu dibandingkan dengan sebagai suatu reformasi. Masalah-masalah yang dihadapi oleh para reformis jauh lebih kompleks dibandingkan dengan yang dihadapi oleh para revolusionis. Huntington mencatat bahwa dalam melakukan pembaharuan politik para reformis akan menghadapi setidaknya tiga hal. Pertama, perjuangan kelompok reformis merupakan perjuangan dengan sisi ganda, yaitu menghadapi kelompok-kelompok konservatif dan revoluesioner. Untuk mencapai sukses, para reformis harus bertarung dari segala penjuru dan melibatkan pengikut sebanyak mungkin di mana musuh di satu sisi akan menjadi teman seperjuangan pada sisi yang lain. Sementara target kaum revolusioner adalah mengotak-ngotakkan politik yang lantas menggampangkan, mendramatisasi, dan menggabung-gabungkan ke dalam dikotomi tunggal yang tegas antara tekanan-tekanan kemajuan dan semua rekasi serta memperbesar perpecahan, kaum reformis berusaha mempersatukan dan mengawinkannya. Para revolusioner berusaha mendorong kebekuan politik, sedangkan kaum reformis melakukan hal sebaliknya. Kaum revolusioner harus mempunyai kemampuan untuk memecah-belah kekuatan sosial-politik, sedangkan kaum reformis harus mampu mendayagunakan kekuatan politik tersebut. Oleh karena itu, kaum reformis atau agen pembaharu membutuhkan lebih banyaknya tata tertib pendayagunaan keahlian politik dibandingkan dengan kaum revolusioner. Dalam konteks ini, reformasi tidak umum terjadi ketika talenta politik yang dibutuhkan untuk menyukseskan menjadi angka. Revolusi yang berhasil tidak membutuhkan politisasi yang jenial, tetapi reformasi yang berhasil akan senantiasa sangat tergantung pada kehadiran factor ini.

Rintangan kedua yang akan dihadapi oleh kaum reformis adalah para agen pembaru, demikian Huintington menyebutnya, tidak hanya lebih ahli dalam menggerakkan dan mendayagunakan kekuatan sosial politik dibandingkan dengan kaum revolusioner, tetapi juga hrus lebih berpengalaman dalam mengendalikan perubahan social. Dalam kaitan ini, kaum reformis mempunyai satu tujuan, yakni untuk satu perubahan dan bukannya perubahan total. Kaum reformis melakukan perubahan yang bersifat gradual, sedangkan kaum revolusioner lebih berorientasi pada perubahan yang bersifat cepat dan mendadak.

Terakhir, rintangan yang harus dihadapi oleh kaum reformis adalah menyangkut masalah prioritas dan alternatif antara berbagai perbedaan tipe-tipe reformasi yang jauh lebih akut bagi agen pembaharu dibandingkan dengan kaum revolusioner. Target utama kaun revolusioner adalah perluasan basis peran serta politik di mana secara politis seluruh kekuatan yang diciptakannya akan dipergunakan sebagai pendorong laju perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi. Sementara pada waktu bersamaan, kaum konservatif menentang setiap usaha yang ditujukan untuk melakukan penataan social ekonomi dan perluasan partisipasi politik. Dalam hal ini, kaum reformis harus mampu menyeimbangkan kedua kelompok ini. Menurut Huntington, kedua tujuan ini bukanlah bersifat kontradiktif, tetapi pengalaman banyak negara kerajaan modern memperlihatkan bahwa terlalu besar konsentrasi kekuasaan di tangan satu lembaga, secara inheren ketidakmampuan dalam menyebarkan kekuasaan dapat mengarahkan sistem politik menuju lorong gelap yang serba tidak pasti. Oleh karena itulah, para agen pembaharu harus mampu menyeimbangkan perubahan-perubahan dalam struktur sosial ekonomi terhadap perubahan dalam pranata politik dan mengawinkan satu sama lain dengan cara mana keduanya dikendalikan.

Begitu sulitnya tugas oara agen pembaharu dalam melakukan reformasi tatanan politik ini sehingga membuat kisah-kisah sukses reformasi tidak banyak yang berhasil. Fenomena ini dapat dilihat dalam konteks Indonesia di mana reformasi mendorong alienasi masyarakat dan situasi transisi yang tidak berujung. Kelompok-kelompok pro-status quo kembali memegang tumpuk pemerintahan, sementara agen pembaharu berada dalam komunitas politik yang kurang lebih marginal. Masyarakat tetap terpinggirkan secara ekonomi dan politik, sementara para pendukung rezim politik masa lampau nyaris mampu menguasai semua posisi politik penting. Bahkan, pada dimensi atau bidang tertentu, situasinya menjadi lebih buruk dibandingkan dengan masa sebelumnya. Otonomi daerah, misalnya sebagai salah satu hasil reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih mengarah pada pola-pola penggusuran yang brutal terhadap kelompok marginal dibandingkan dengan mendayagunakannya. Selain itu, otonomi daerah yang seyogyanya diharapkan mampu mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pada kenyataannya hanya mendorong semakin suburnya raja-raja kecil di tingkat local. Padahal jika definisi Hirschman di atas diikuti, maka salah satu tugas pokok reformasi adalah bagaimana kekuasaan berbagai kelompok istimewa dikekang, sementara posisi ekonomi dan status social kelompok-kelompok kurang beruntung diperbarui. Kenyataannya, proses marginalisasi terus berlanjut, jumlah petani gurem terus bertambah, kemiskinan semakin luas, dan kelompok-kelompok yang pada masa lampau mendapatkan privilege sampai sekarang pun masih tetap mendapatkannya. Kemiskinan menjadi penyakit pembangunan yang terus berkembang semakin parah, terlebih ketika pemerintahan yang berkuasa mengambil jalan pembangunan ala neoliberal. Hasilnya kemiskinan secara terus-menerus semakin meningkat.

Selain talenta politik sebagaimana telah dikemukakan dalam paparan sebelumnya, suatu reformasi politik yang berhasil akan sangat ditentukan oleh ketersediaan strategi yang dapat digunakan. Secara umum, Huntington menawarkan dua strategi yang secara teoretis dapat dilakukan agar sebuah reformasi kepemimpinana nasional berhasil. Pertama, membuka peluang untuk memperkenalkan semua saran pada tahap awal dan mendesak agar dapat menghasilkan manfaat, secepat, dan sebanyak mungkin. Kedua, strategi alternatif dapat ditempuh dengan menyembunyikan tujuan, membilah-mbilah perubahan satu dengan yang lain serta mendesak untuk melakukan hanya satu indeks perubahan dalam setiap termin. Perubahan strategi pertama disebut sebagai comprehensive root atau blitzkrieg, sedangkan yang kedua disebut sebagai incremental branch atau Fabian approach. Penggabungan antara kedua metode ini akan mendorong reformasi dapat dilaksanakan secara efektif. Oleh karena itu, untuk meraih berbagai tujuan dalam reformasi, para agen pembaharu harus meraih berbagai tujuan dalam reformasi, para agen pembaharu harus mampu memecah-mecah dan saling memisahkan satu persoalan dengan yang lain, dan selanjutnya menggerakkannya kembali pada egnda politik sebelum lawan-lawan politiknya mampu memobilisasi kekuatan potensial. Menurut Huntington, kemampuan mewujudkan perpaduan harmonis antara strategi fabianisme dengan taktik blitzkrieg merupakan indicator pengukur yang paling tepat dalam menakar kapasitas dan keahlian politik para agen pembaharu. Namun perlu dicatat, strategi blitzkrieg hanya efektif ketika partai politik tidak mengalami perubahan atau struktur bargaining berada dalam situasi yang stabil. Oleh karena itu, ketika partai-partai politik mengalami transformasi dan karenanya bargaining politik berada dalam ketidakpastian maka strategi blitzkrieg menjadi kurang efektif untuk dilakukan.

Dari paparan di atas, jelas bahwa istilah reformasi bukanlah merupakan istilah yang mempunyai makna tunggal. Penggunaannya tidak dapat dilepaskan dari konteks social politik yang melingkupinya. Meskipun reformasi merujuk pada kasus yang kurang lebih sama, yakni usaha untuk melakukan pembaruan, tetapi motif dan tujuan-tujuan dilakukan reformasi mengalami perbedaan. Namun, diantara perbedaan-perbedaan itu perlu ditegaskan bahwa reformasi mempunyai makna dan unsur kritis adalah relevan. Bagaimanapun sebuah usaha reformasi akan senantiasa dilatarbelakangi oleh ketidaksesuaian tatanan atau aturan nilai lama untuk diterapkan pada situasi baru yang menuntut adanya perubahan. Dalam konteks Indonesia makna korektif reformasi ini sangat relevan karena keburukan-keburukan tatanan sosial politik masa lampau. Olek karena itu, sebuah reformasi perlu dilakukan agar tatanan lama yang buruk tersebut dapoat digantikan dengan suatu tatanan social politik baru, yang tentunya diharapkan lebih baik.

Jika reformasi mengandung unsur korektif terhadap tatanan nilai atau kesalahan-kesalahan masa lampau yang tidak lagi dapat diterima untuk masa sekarang, maka menjadi penting untuk mengidentifikasi tatanan atau kesalahan-kesalahan macam apa yang dilakukan Orde Baru sehingga sebuah upaya reformasi perlu dilakukan. Riswandha Imawan mengemukakan bahwa reformasi perlu dilakukan setidaknya terdapat enam alasan. Pertama ,telah membangun sistem politik monolitik, yang sebenarnya bertentangan dengan heterogenitas bangsa Indonesia.Pluralisme ditekan di bawah hasrat menciptakan keseragaman yang di dalamnya terkandung maksud pemusatan kekuasaan untuk mempertahankan status quo. Kedua, pembatasan jumlah partai politik yang bertolak belakang dengan modernisasi ekonomi, yang menjadi pilar utama legitimasi pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru, hanya dua partai politik (PDI dan PPP), dan satu Golongan Karya (Golkar). Kedua partai politik ini hanya bertindak sebagai satelit dam ,emjadi semata-mata alat legitimasi bagi rezim demi formalitas demokrasi. Ketiga, politisasi birokrasi yang menguatkan sifat alamiah birokrasi otoriter. Birokrasi yang tumbuh pada masa Orde Baru tak ubahnya birokrasi yang berkembang di Negara-negara sedang berkembang lainnya, yakni sifatnya yang lebih mengabdi kepada kepentingan warga Negara. Pada masa Orde Baru, birokrasi patrimonial dibiarkan berkembang yang membuat wabah korupsi berlangsung dalam skala massif. Hasilnya, birokrasi bekerja tanpa kuntabilitas yang cukup, ketiadaan transparansi, dan hanya menjadi pengabdi setia para penguasa negara. Keempat, membangun klientelisme ekonomi melalui praktik kolusi antara birokrasi pemerintah dengan swasta sehingga dua kekuatan utama dinamika masyarakat (ekonomi dan politik) dikontrol oleh kelompok kecil yang dekat dengan kekuasaan. Kelima, melakukan represi ideologis serta penggunaan wacana otoriter secara eksesif sehingga memunculkan ketakutan politik di dalam masyarakat yang sebenarnya bertujuan untuk menghindari kritik masyarakat atas pemerintahan dan sistem politik. Keenam, manipulasi simbol-simbol kultural sehingga rakyat memandang penguasa sebagai makhluk paling arif, tanpa cacat, dan karenanya tidak perlu dikontrol. Pemusatan kekuasaan di tangan penguasa yang intensif dan eksesif nyaris menjadikan pribadi penguasa identik dengan hukum.

Selain keenam hl di atas, reformasi menyeluruh di Indonesia juga dilatarbelakangi oleh berkembangnya apa yang sering disebut sebagai kolusi, korupsi, dan nepotisme atau sering disebut KKN. Istilah ini begitu popular pada masa awal-awal reformasi. Pada masa Orde Baru dan bahkan mungkin masa sebalumnya, korupsi telah menjdi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan social, ekonomi, dan politik di Indonesia. Korupsi sudah dianggap sebagai kenyataan hidup. Korupsi jusru dianggap sebagai salah satu bentuk surviving in life. Bill Dalton menyebutkan bahwa korupsi sebagai cara hidup (the way of life) masyarakat Indonesia.

Dampak yang ditimbulkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme ini adalah jelas, yakni pemiskinan negara dan masyarakat dalam skala luas. Pertama, kehancuran modal social atau social capital. Modal social merupakan serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Dalam konteks ini, kepercayaan menajdi semacam pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi menjadi efisien. Jika modal social didefinisikan sebagai nroma kooperatif yang dilembagakan dalam berbagai hubungan di antara suatu kelompok masyarakat, maka kejahatan sebagaimana diungkapkan oleh Fukuyama bahwa ipso facto merepresentasikan mangkirnya kapital sosial karena ia merepresentasikan pelanggaran terhadap norma komunitas. Dalam hal ini, kondisi sosio ekonomi yang terendah telah menjadi salah satu pendorong munculnya kejahatan.

Dalam kasus Indonesia, mangkirnya modal sosial ini tidak saja muncul dalam bentuk kejahatan yang semakin luas, tetapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Bentuk-bentuk penghakiman sendiri oleh warga Negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum tak pelak merupakan indikasi hilangnya kepercayaan masyarakat yang dimaksud. Di sisi lain, penyakit korupsi telah mendorong munculnya ketidakpercayaan dalam masyarakat yang dilembagakan oleh elit-elit politik yang korup. Berjalin dengan ketidakpercayaan terhadap institusi hukum, ketidakpercayaan semacam ini telah membuat kekerasan menjadi bahasa yang lazim digunakan untuk memecahkan persoalan dibandingkan dengan menyandarkan pada proses peradilan yang jujur dan fair. Akibatnya, bukan konsolidasi demokrasi yang muncul, tetapi lebih pada pelembagaan kekerasan atau consolidated anarchy.

Kedua, kemiskinan ekonomi. Dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan, kondisi ekonomi Bangsa Indonesia jauh tertinggal di belakang. Padahal, sebagai sebuah bangsa yang besar dengan dilimpahi oleh sumber daya alam yang memadai, seharusnya bangsa Indonesia telah mampu menjadi sebuah bangsa yang besar dan kuat secara ekonomi dan politik. Namun, penyakit korupsi yang kuat telah membuat bangsa ini,setelah lebih dari 38 tahun melakukan pembangunan, tetap tidak beranjak dari kategori Negara Dunia Ketiga yang mengenaskan. Meskipun jika dibandingkan dengan Negara-negara tadi, modal pembangunan yang dimiliki oleh Indonesia tidak jauh berbeda dan bahkan mungkin lebih baik.

Korupsi juga telah mengurangi secara drastis kecukupan sumber daya keuangan. Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara pengutang terbesar di dunia. Namun sayangnya, utang-utang tersebut tidak digunakan seluruhnya untuk melakukan pembangunan ekonomi, tetapi dikorup oleh para pejabat. Laporan Bank Dunia seperti dikemukakan oleh Winter menyebutkan bahwa keseluruhan, diperkirakan sebesar 20-305 dana pembangunan pemerintah Indonesia diselewengkan melalui pembayaran informal kepada pejabat dan politisi. Selama pemerintahan Orde Baru, Bank Dunia memberikan ponjaman sebesar US $ 30 miliar kepada Indonesia. Perkiraan penyelewengan pada proyek-proyek di Indonesia adalah sebesar satu per tiga dari nilai pinjaman sehingga dana menguap atau Winters menyebutnya sebagai utang criminal kurang lebih sebesar US $ 10 miliar. Kondisi ini telah membuat Bangsa Indonesia terjebak ke dalam utang yang dalam dan sangat membebani ekonomi nasional.

Sementara itu, nepoteisme yang telah mengakar dalam tubuh birokrasi membuat proses rekrutmen tidak berjalan secara jujur dan adil. Berjalin dengan budaya sogokan, proses rekrutmen dalam tubuh birokrasi didasarkan pada dua faktor kunci, yakni seberapa besar uang yang mereka tawarkan sebagai pelican untuk menjadi pegawai negeri dan seberapa kuat jaringan yang mereka miliki. Dalam konteks ini, seseorang yang berhasil lolos seleksi dan diterima menjadi pegawai negeri akan sangat ditentukan oleh siapa yang berada di belakang mereka dan berapa jumlah total uang yang mereka setorkan. Dalam situasi seperti ini, persoalan kualitas menjadi pertimbangan nomor sekian yang tidak perlu dipikirkan. Cacat dalam proses rekrutmen ini berujung pada ketiadaan loyalitas para birokrat terhadap kepentingan masyarakat dan negara. Sebaliknya, mereka hanya menjadi rent-seeker yang merugikan ekonomi nasional.

Keseluruhan latar belakang inilah yang pada akhirnya menggerakkan mahasiswa dan kekuatan demokrasi yang lain bergerak guna membongkar kekuasaan otoritarianisme Soeharto yang telah digengamnya selama 32 tahun. Krisis ekonomi yang terjadi mulai pertengahan 1997 menjadi katalisator bagi percepatan pergantian rezim dan sekaligus mendesakkan reformasi. Hasilnya, Soeharto jatuh dari tumpuk pemerintahan dan agenda reformasi di segala bidang mulai dilaksanakan meskipun dalam perkembangan selanjutnya berjalan tersendat-sendat.

Runtuhnya rezim Orde Baru telah membawa harapan baru bagiu tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahapawal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis, karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi yang akan dibangun. Selain itu dalam fase ini pula bisa saja terjadi pembalikan arah perjalanan bangsa dan negara yang akan menghantar Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada periode orde lama dan orde baru.

Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor kunci sebagaimana dijelaskan oleh Azyumarsi Azra yakni: (1) komposisi elite politik, (2) desain institusi politik, (3) kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik di kalngan elite dan non elite, dan (4) peran civil society (masyarakat madani). Keempat faktor itu harus jalan secara sinergis dan berkeadilan sebagai modal untuk mengonsolidasikan demokrasi.

Lebih lanjut Azra mengemukakan langkah yang harus dilakukan dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam bidang besar. Pertama, reformasi sistem (constitusional reform) yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal system politik. Kedua, reformasi kelembagaan (institusional reform and empowerment) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis.

Kenapa kapabilitas dan perilaku elite politik penting? Karena dalam demokrasi modern dengan bentuknya demokrasi perwakilan rakyat mendelegasikan kedaulatan dan kekuasaannya kepada para elite politik. Merekalah (para elite politik) yang mendesain institusi pemerintahan, menjadikan satu dengan yang lain bertanggungjawab, melakukan tawar-menawar, memobilisasi dukungan, dan merespon opini publik. Dalam bahasa Larry Diamond di balik transisi, elite politik memiliki pengaruh besar dalam menentukan apakah demokrasi baru menjadi stabil, efektif dan terkonsolidasi, para elite mengakui sistem legitimasi dan memperlihatkan kepercayan mereka terhadap demokrasi dengan cara bekerja untuk memajukan agenda-agenda politik dalam kerangka institusi demokrasi. Mereka menerima kekalahan tanpa mengutak-atik legitimasi institusi tersebut. Para elite yang tidak menghormati institusi demokrasi, harus disingkirkan agar demokrasi betul-betul terkonsolidasi.

Kultur politik mengacu pada sikap terhadap sistem politik. Kultur politik sebagaimana dinyatakan oleh Sidney Verba adalah pola-pola tertentu yang mengarahkan dan membentuk tindakan-tindakan politik. Lebih lanjut ia membedakan antara kultur politik partisipan dan rakyat biasa. Dalam demokrasi yang sehat, kultur politik partisipan terbentuk dimana warga negara percaya akan kemampuan mereka untuk mempengaruhi proses politik. Sebaliknya, rakyat biasa merasa tidak punya kekuasaan (power less) dalam arena politik. Masyrakat harus mengembangkan sikap baru agar institusi demookrasi berfungsi sebagaimana semestinya. Karena itu pembentukan kultur politik baru harus terarah dan komprehensif dengan melibatkan perubahan polapikir aktor dan elit politik serta ingatan kolektif (collective memory) masyarakat secara keseluruhan.

Pengalaman negara-negara demokrasi yang sudah established memperlihatkan bahwa institusi demokrasi bisa tetap berf\ungsi walaupun jumlah pemilihannya kecil. Karena itu, untuk mengukur tingkat kepercayaan public terhadap institusi demokrasi tidak terletakkan pada seberapa besar partisipasi politik warga. Yang bisa dijadikan indikasi bahwa masyarakat memiliki kepercayaan terhadap intitusi demokrasi adalah apakah partisipasi politik mereka itu dilakukan secara suka rela atau dibayar dan digerakkan. Mencermati para elite saat ini yang hanya masygul berebut kekuasaan, rasanya terlalu jauh panggang dari api kalau kita berharap bahwa semua itu akan mewariskan kultur politik yang menyokong sentimen demokrasi. Yang terjadi justru sebaliknya: radikalisasi massa.

Harpan lain dalam suksesnya transisi demokrasi Indonesia mungkin adalah pada peran civil society (masyarakat madani) untuk mengurangi polarisasi politik dan menciptakan kultur toleransi. Penelitian Seymour Martin Lipset membuktikan civil society juga dapat berpengaruh secara berefisial terhadap kultur politik. Ada dimensi edukasi dalam civil society. Partisipasi dalam masyarakat madani dapat mengajarkan keterampilan dan nilai-nilai demokrasi, seperti moderasi, sikap kompromi dan menghargai pandangan yang berbeda. Makanya akan sangat memprihatinkan jika benar bahwa sekarang mulai muncul kecenderungan kanbtong-kantong civil society larut ke dalam arus permainan politik. Sebab hal itu bukan hanya mengancam kemandirian civil society, tetapi juga semakin menguras modal demokrasi yang kita miliki.

Transisi ini yang sekarang dialami bukan pengalaman khas yang hnya dilalui oleh Indonesia. Beberapa negara Amerika Latin pada decade 80-an, dan juga negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina pernah mengalami proses serupa. Transisis demokrasi selalu dimulai dengan jatuhnya pemerintahan otoriter. Sedangkan panjang pendeknya masa transisi tergantung pada kemampuan rezim demokrasi baru mengatasi problem transisional yang menghadang. Problem paling mendasar yang dihadapi negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi adalah ketidakmampuan membentuk tata pemerintahan baru yang bersih, transparan dan akuntabel. Akibatnya legitimasi demokrasi menjadi lemah. Tanpa legitimasi yang kuat, rezim demokrasi baru akan kehilangan daya tariknya. Teori hilangnya legitimasi ini juga dapat menjelaskan asal-muasal keruntuhan rezim otoritarian. Hal itu disebabkan setiap rezim membutuhkan legitimasi, dukungan atau paling tidak persetujuan tanpa protes agar dapat bertahan. Bila rezim kehilangan legitimasi, ia harus mereproduksinya atau ia akan jatuh. Dari sudut pandang empiris, teori ini meramalkan hadirnya kekacauan massa atau paling tidak ketidakpatuhan masa sebelumnya lahirnya setiap liberalisasi.

Azyumardi Azra Demokratisasi di Indonesia nampaknya tidak bisa dimundurkan lagi. Proses transisi kea rah demokrasi, setelah demokrasi terpenjerakan sekitar 32 tahun pada rezim Soeharto dengan ‘’demokrasi Pancasila’’-nya dan 10 tahun pada masa rezim Soekarno dengan ‘’demokrasi terpimpin’’-nya. Dengan demikian secara empirik demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia belum terwujud. Karena itu membangun demokrasi merupakan pekerjaan rumah (PR) dan agenda yang sangat berat bagi pemerintah.

Dalam upaya membangun demokrasi (Indonesia) dapat terwujud dalam tatanan negara dan pemerintahan Indonesia bila tersedia delapan faktor pendukung yakni: keterbukaan sistem politik, budaya politik partisipatif egalitarian, kepemimpinan politik yang berorientasi kerakyatan, rakyat yang cerdik-cerdas dan berkepedulian, partai politik yang tumbuh dari bawah, penghargaan terhadap hukum, masyarakat sipil (masyarakat madani), dan dukungan dari pihak asing dan pemihakan pada golongan mayoritas.

Simpulan

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

Kepemimpinan nasional hendaknya sinergi dengan masyarakat madani dan pasar internasional juga harus mengambil prakarsa untuk menawarkan konsep dan visinya ke depan serta lebih proaktif, tegas dan berani melakukan berbagai terobosan untuk kemajuan bangsa dan negaranya.

Kebebasan dalam demokrasi sesungguhnya bukan merupakan sebuah kebebasan mutlak,melainkan kebebasan yang memiliki koridor dan batasan, termasuk dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain.

Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini, pemerintahan tersebut akan sulit ditegakkan. Nilai-nilai demokratis tersebut antara lain: kebebasan berpendapat, berkelompok, berpartisipasi; menghormati orang, kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Askuri, I.C, dkk. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Azra, Azyumardi. 2002. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Fukuyama, Francis. 2003. The End of History a nd The Last Man. Yogyakarta: Qalam.

Henk Schulte Nordholt. 2003. Pelembagaan Civil Society dalam Proses Desentralisasi di Indonesia. Dalam Henk Schulte Nordholt dan Gusti Asnan (eds). Indonesia in Transition: Work in Progress. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Huntington, Samuel. 2004. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. (terjemahan). Jakarta: Rajawali Press.

Imawan, Riswandha. 2000. Reformasi Politik dan Demokratrisasi Bangsa. Dalam Selo Sumardjan. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia.

John McBeth. 2002. Political Update. Dalam Geoff Forrester (ed.). Post Soeharto Indonesia: Renewal or Chaos. The Netherlands: KITLV Press.

Rosyada, Dede, at.al 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

Syafiie, Inu Kencana dan Azhari. 2008. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonbesia: Era Reformasi. Jakarta: MedPress.

Winter, Jeffrey A. 2004. Utang Kriminal. Dalam Jonathan R. Piscus dan Jeffrey Winters (eds). Membongkar Bank Dunia. Jakarta: Djambatan.

Syafiie, Inu Kencana dan Azhari. 2008. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama, h 52.

Askuri, I.C, dkk. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, h 81.

John McBeth. 2002. Political Update. Dalam Geoff Forrester (ed.). Post Soeharto Indonesia: Renewal or Chaos. The Netherlands: KITLV Press, h 4-5.

Henk Schulte Nordholt. 2003. Pelembagaan Civil Society dalam Proses Desentralisasi di Indonesia. Dalam Henk Schulte Nordholt dan Gusti Asnan (eds). Indonesia in Transition: Work in Progress. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h 26.

Huntington, Samuel. 2004. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. (terjemahan). Jakarta: Rajawali Press, h 407.

Huntington, Samuel. 2004. Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah. (terjemahan). Jakarta: Rajawali Press, h 409-410.

Riswandha Imawan (2000:265-267). Reformasi Politik dan Demokratrisasi Bangsa. Dalam Selo Sumardjan. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia. h. 265-267.

Dalam Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonbesia: Era Reformasi. Jakarta: MedPress, h 52.

Fukuyama, Francis. 2003. The End of History a nd The Last Man. Yogyakarta: Qalam, h 22.

Winter, Jeffrey A. 2004. Utang Kriminal. Dalam Jonathan R. Piscus dan Jeffrey Winters (eds). Membongkar Bank Dunia. Jakarta: Djambatan, h 1-36.

Azra, Azyumardi. 2002. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Remaja Rosdakarya, h 135.

Azra, Azyumardi. 2002. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Remaja Rosdakarya, h. 36.

Dalam Rosyada 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, h.137.

Azra, Azyumardi. 2002. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Remaja Rosdakarya, h. 136.

Dalam Rosyada, at.al (2003:137). Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, h.137

Azra, Azyumardi. 2002. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Remaja Rosdakarya, h. 139.

1 komentar:

  1. tak dapat dipungkiri bahwa memang tak ada demokrasi di Indonesia pada zaman soeharto, dari demenshare dan sainsologi

    BalasHapus