Rabu, 21 November 2018

KOMPETENSI PROFESIONAL PEGAWAI ASN

ABSTRAK
Kompetensi Pegawai ASN dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara keterampilan (skil), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Kompetensi dapat dibedakan menjadi dua tipe. Pertama, soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan  erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency bagi para Pegawai ASN adalah leadership, communication, interpersonal relation, dan lain-lain. Kedua, hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi Pegawai ASN disini berkaitan dengan seluk-beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah electrical engineering, marketing research, finansial analysis, manpower planning, dan lain-lain.
Kata kunci: Kompetensi, Profesional, Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
ABSTRACT
ASN Employee Competencies can be understood as a combination of skills (skills), personal attributes, and knowledge that is reflected through performance behavior (job behavior) that can be observed, measured and evaluated. Competencies can be divided into two types. First, soft competencies or types of competencies that are closely related to the ability to manage work processes, human relations and build interactions with others. Examples of soft competencies for ASN employees are leadership, communication, interpersonal relations, and others. Second, hard competency or type of competency related to functional or technical abilities of a job. In other words, the competence of ASN Employees here relates to the technical intricacies related to the work being undertaken. Examples of hard competency are electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, and others.
Keywords: Competence, Professional, State Civil Service Staff (ASN)
PENDAHULUAN
Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah (Tenaga Kontrak). Pegawai ASN terdiri dari pegawai Negeri Sipil  dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pegawai ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik; pelayanan publik; dan perekat dan pemersatu bangsa. Sedangkan Pegawai ASN bertugas: melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Berkenaan dengan hal tersebut dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) serta mewujudkan pelayanan publik yang baik, efisien, efektif dan berkualitas tentunya perlu didukung adanya Pegawai ASN yang profesional, bertanggung jawab, adil, jujur dan kompeten dalam bidangnya. Dengan kata lain, Pegawai ASN dalam menjalankan tugas tentunya harus berdasarkan pada profesionalisme dan kompetensi sesuai kualifikasi bidang ilmu yang dimilikinya. Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan saat ini terdapat hampir empat juta lebih Pegawai ASN di Indonesia. Kritik tentang rendahnya mutu pelayanan Pegawai ASN selalu dikaitkan dengan profesionalisme semata. Padahal, tidak memadainya kualitas kerja Pegawai ASN, juga merupakan akibat tidak berimbangnya rasio antara jumlah Pegawai ASN dengan para stakeholders-nya, di samping rendahnya kompetensi para Pegawai ASN yang bersangkutan. Menurut Palan (2014) mengungkapkan competency(kompetensi) merupakan deskripsi mengenai perilaku, sementara competence (kecakapan) sebagai deskripsi tugas atau hasil pekerjaan. Dengan demikian kompetensi merujuk kepada karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas), konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul (supperior performer). Kompetensi terdiri dari beberapa jenis karakteristik yang berbeda yang mendorong perilaku. Fondasi karakteristik ini terbukti dalam cara seseorang berperilaku di tempat kerja. Kompetensi adalah mengenai orang seperti apa dan apa yang dapat mereka lakukan, bukan apa yang mungkin mereka lakukan. Selanjutnya ditegaskan bahwa inti manajemen kepegawaian lebih berorientasi pada profesionalisme Pegawai ASN, yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara jujur, berkompetensi, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
Dengan demikian, maka Pegawai ASN dituntut tidak partisipan dan netral, keluar dari semua pengaruh golongan dan partai politik, tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk bisa melaksanakan tugas pelayanan dengan persyaratan yang demikian, maka Pegawai ASN dituntut memiliki profesionalisme yang ditunjang dengan kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan wawasan global serta memiliki kompetensi yang tinggi. Permasalahananya adalah pegawai ASN yang profesional dan memiliki kompetensi tinggi seperti  seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan dinginkan oleh semua pihak, hingga saat ini masih merupakan impian daripada kenyataan. Sebenarnya, jumlah Pegawai ASN di Indonesia tersebut masih relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 265 juta. Ditegaskan bahwa Pegawai ASN di Indonesia hanya 1,7% dari total jumlah penduduk Indonesia. 
Secara spesifik dijelaskan bahwa kualifikasi Pegawai ASN dapat ditinjau dari tiga unsur, yaitu Pertama, keahlian, yang dimaksud bahwa setiap Pegawai ASN harus memiliki pengalaman yang sesuai dengan tugas dan fungsinya; memiliki pengetahuan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya; memiliki wawasan yang luas; dan beretika. Kedua, kemampuan teknis, yaitu Pegawai ASN harus memahami tugas-tugas di bidangnya. Ketiga, sifat-sifat personal yang baik yakni harus memiliki disiplin yang tinggi, jujur, menaruh minat, terbuka, objektif, pandai berkomunikasi, selalu siap dan berlatih.
Peningkatan kinerja dan kualitas pelayanan publik yang profesional, maka kepada Pegawai ASN perlu dilakukan optimalisasi  antara lain: pertama, peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan melalui promosi untuk mengikuti beasiswa kedinasan, melaksanakan bimbingan teknis yang dapat menunjang kinerja profesi serta mengikutsertakan berbagai diklat atau lokakarya. Kedua, penyelenggaraan pelayanan prima sebagai salah satu instansi yang berfungsi sebagai pelayanan publik, sudah seharusnya terjadi peningkatan kepuasan masyarakat selaku pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan, menetapkan standarisasi yang tinggi serta komitmen di dalam diri Pegawai ASN untuk memberikan pelayanan terbaik menjadi faktor kunci dalam pelayanan prima. Ketiga, peningkatan kultur budaya kerja organisasi publik.  Salah satu faktor penunjang peningkatan kinerja dan profesionalisme Pegawai ASN dalam pelayanan publik adalah iklim kerja yang sehat dan dinamis. Hal ini perlu didorong agar budaya organisasi yang terbangun adalah budaya kerja yang positif, membangun komunikasi yang perspektif, meningkatkan kedisiplinan pegawai, menegakkan aturan organisasi serta menerapkan reward and punishment sebagai bentuk peningkatan motivasi kerja. 
PEMBAHASAN
A. Kompetensi Pegawai ASN
Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Bab I butir 8 disebutkan secara jelas bahwa manajemen Pegawai Negeri Sipil (sekarang Pegawai ASN)  adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian. Hasil penelitian Political Risk Consultancy (PERC, 1999) menyimpulkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara terburuk dalam bidang birokrasi di Indonesia memperoleh skor 8,0 dari kisaran skor untuk yang terbaik dan 10 untuk yang terburuk.
Rendahnya kinerja birokrasi (Pegawai ASN) mengakibatkan rendahnya kualitas pelayanan punlik, bahkan mengakibatkan pengguna jasa harus membayar biaya yang mahal (high cost economny). Gambaran buruknya birokrasi (kinerja Pegawai ASN yang rendah) disebabkan kurangnya atau bahkan tidak kompetensinya sebagian pejabat struktural dan staf di lingkungan aparatur negara tersebut. Untuk mewujudkan SDM aparatur (Pegawai ASN) yang profesional dan berkompetensi tinggi ini, din antaranya ditunjukkan dengan pentingnya pembinaana karier Pagawai ASN yang dilaksanakan atas dasar perpaduan antara sistem prestasi kerja dan karier. Untuk itu maka pengembangan Pegawai ASN berbasis kompetensi merupakan suatu keharusan, agar organisasi (birokrasi) dapat mewujudkan  kinerja lebih baik dan memberikan pelayanan publik yang prima.
Menurut Kamus Kompetensi (LOMA, 1998), kompetensi didefinisikan sebagai aspek pribadi dan seorang karyawan yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifaat, motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja (Lasmahadi, 2008). Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua aspek pribadi dari seseorang Pegawai ASN itu merupakan kompetensi. Hanya aspek-aspek pribadi yang mendorong diri Pegawai ASN untuk mencapai kinerja tinggi, yang merupakan pencerminan kompetensi yang dimilikinya. Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa kompetensi akan selalu terkait dengan kinerja, sehingga kompetensi Pegawai ASN tersebut adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai ASN berupa pengetahuan, keahlian, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya (Suprapto, 2002).
Selanjutnya, menurut Spencer and Spencer (1993) kompetensi dapat dibagi atas dua kategori yaitu threshold competencies dan “differentiating competencies’’Threshold competencies adalah karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya. Tetapi tidak untuk membedakan seorang yang berkinerja tinggi dan rata-rata. Sedangkan differentiating competencies adalah faktor yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Milsanya, itu berarti pada tataran threshold competencies. Milsanya, apabila dosen dapat mengajar dengan baik, cara mengajarnya mudah dipahami dan analisisnya tajam sehingag dapat dibedakan tingkat kinerjanya maka hal itu sudah masuk differentiating competencies.   
  Makna kompetensi sebagai an underlying characteristic’s merupakan sesuatu yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kinerjanya. Sesuatu yang dimaksud, bisa menyangkut motif, konsep diri, sifat, pengetahuan maupun kemampuan/keahlian. Kompetensi individu yang berupa kemampuan dan pengetahuan bisa dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Sedangkan motif kompetensi dapat diperoleh pada saat proses seleksi. Causally related artinya kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Kata criterion-referenced mengandung makna bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan.
Secara general kompetensi Pegawai ASN sendiri dapat  dipahami sebagai sebuah kombinasi antara keterampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge)yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. 
Selain itu, Dharma (2002) juga merangkum pendapat beberapa ahli, tentang komponen kompetensi. Menurutnya terdapat lima karakteristik komponen kompetensi, yaitu: 1) motives, adalah sesuatu dimana, seseorang secara konsisten berpikir sehingga, ia melakukan tindakan; 2) traits,adalah watak yang membuat orang untuk berperilaku atau bagaimana seseorang merespons sesuatu dengan cara-cara tertentu; 3) self concept, adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang; 4) knowledge, adalah informasi yang dimiliki seseorang, untuk bidang tertentu; 5) skill, adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik secara fisik maupun mental.
Sedangkan menurut Prayitno (2004) komponen kompetensi profesional dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1) kemampuan spesialis, melimputi kemampuan keterampilan dan pengetahuan, menggunakan perkakas dan peralatan dengan sempurna, serta mengorganisasikan dan menangani masalah; 2) kemampuan metodik, meliputi kemampuan mengumpulkan dan menganalisis informasi, mengevaluasi, orientasi tujuan kerja, bekerja secara sistematik; 3) kemampuan sosial, meliputi kemampuan untuk berkomunikasi, bekerja kelompok dan bekerja sama; 4) kemampuan individu, meliputi kemampuan untuk inisiatif, dipercaya, motivasi dan kreatif.
B.  Profesionalisme Pegawai ASN
Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan unsur utama sumber daya aparatur yang mempunyai peranan menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerinatahn dan pembangunan. Pegawai ASN di sini adalah setiap warga negara Indonesia yang telah memiliki syarat yang ditentukan diangkat oleh pejabat yang berwenang dan disetujui untuk suatu jabatan pegawai negeri dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan profesionalisme Pegawai ASN di sini dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan keterampilan ASN dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing.
Profesionalisme menyangkut kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic competence) dengan kebutuhan tugas (task requirement). Terpenuhinya  kecocokan antara kemampuan dengan kebutuhan tugas di bidang pemerintahan ini merupakan syarat terbentuknya aparatur profesional. Artinya keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu organisasi. Dalam kaitan ini, Sianipar (2001) (dalam Sudarso, dkk., 2006) mengemukakan bahwa untuk menjadi seorang profesional dalam memberikan pelayanan, aparatur negara harus memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang bidang tugas masing-masing. Jadi, profesionalisme Pegawai ASN tersebut adalah terkait dengan pelayanan publik.
Pelayanan Pegawai ASN yang profesional adalah kemampuan seseorang Pegawai ASN yang miliki profesi melayani kebutuhan orang lain atau profesional menanggapi kebutuhan orang lain atau profesional menanggapi kebutuhan khas orang lain. Sedangkan pengertian profesionalisme menurut Departemen Dalam Negeri (2004) adalah kehandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa profesionalisme adalah mutu, kualitas, daan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi, atau orang yang profesional. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk melayani kepentingan masyarakat/publik dibutuhkan atau diperlukan konsentrasi yang maksimal dari para Pegawai ASN, sehingga diharapkan pelaksanaan pekerjaan yang sepenuh hati dan penuh rasa tanggung jawab tersebut, maka masyarakat yang dilayani merasa terpuaskan kebutuhannya.
Apabila kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan para Pegawai ASN tinggi, maka hal tersebut dapat menjadi indikator bahwa kualitas organisasi pemerintahan tersebut tinggi atau pelayanan kepada masyarakat tersebut efektif dan efisien. Widodo (2007) memberikan penekanan kepada pentingnya kualitas pelayanan pegawai oleh organisasi publik yang lebih profesional efektif, efisien, sederhana, transparan/terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi profesionalisme Pegawai ASN dalam pelayanan publik, di antaranya adalah budaya organisasi publik yang timbul dan mengkristal dalam rutinitas birokrasi, tujuan organisasi, struktur organisasi, prosedur kerja dalam birokrasi, sistem insentif dan lain-lain.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme Pegawai ASN dalam pelayanan publik di antaranya adalah:
a.   Budaya organisasi. Budaya organisasi yang terbangun di lingkup birokrasi pada umumnya bersifat formalistik, yaitu Pegawai ASN cenderung bekerja sesuai aturan formal yang telah ditentukan sebelumnya, kebiasaan yang turun temurun selalu dilakukan oleh aparatur sebelumnya, dan juga pegawai ASN selalu berpedoman prosedural yang berlaku. Ketidakberanian mendobrak kebiasaan tersebut menjadikan Pegawai ASN cenderung kurang kreatif, responsif dan inovatif yang pada akhirnya menghambat profesionalisme Pegawai ASN dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.
b.   Hierarki struktural organisasi. Batasan antara atasan dan bawahan kerap menjadi permasalahan dalam membentuk profesionalisme Pegawai ASN, karena umumnya komunikasi internal dalam organisasi publik tersebut relatif tidak berjalan dengan lancar, namun kondisi demikian tentu tidak pada semua instansi pemerintahan. Di banyak tempat ditemukan keadaan yang berbeda, yaitu kondisi hierarkis struktural yang justru tidak ada masalah berarti dalam menjalin komunikasi internal. Hal ini karena gaya kepemimpinan dalam mengelola administrasi dan mengatur jalannya organisasi dapat dikatakan telah berjalan cukup baik. Selain menggunakan pendekatan secara formal kedinasan, pimpinan juga menggunakan pendekatan informal sehingga terjalin kedekatan emosional dengan bawahannya.
c.    Sistem balas jasa, misalnya sistem insentif yang ada. Sistem insentif bagi Pegawai ASN berupa reward and punishment  dianggap masih belum diterapkan dengan optimal, hal ini pada gilirannya dapat melemahkan fokus aparatur dalam menjalankan pelayanan publik secara profesional. Kebijakan ASN berdasarkan prestasi kerja, merupakan domain kebijakan pemerintah pusat. Jadi, sistem insentif yang memungkinakan dapat dilakukan di lingkungan instansi pemerintah adalah dengan mengatur honor-honor yang bersumber dari pelaksanaan berbagai kegiatan secara lebih adil dan merata kepada setiap aparaturnya.
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam hal-hal sebagai berikut:
A.    Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah. Upaya peningkatan kapasitas Pegawai ASN dilakukan melalui promosi untuk mengikuti beasiswa kedinasan, melaksanakan bimbingan teknis yang dapat menunjang kinerja profesi, serta mengikutsertakan dalam diklat atau lokakarya yang sekiranya memberikan dampak pada sikap profesionalisme pegawai sehingga dapat mengoptimalisasi pelayanan kepada masyarakat.
B.   Penyelenggaraan pelayanan prima sebagai salah satu instansi yang berfungsi sebagai pelayan publik, sudah seharusnya terjadi peningkatan kepuasan masyarakat selaku pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan, menetapkan standarisasi yang tinggi serta komitmen di dalam diri Pegawai ASN untuk memberikan pelayanan terbaik menjadi faktor kunci dalam pelayanan prima.
C.  Peningkatan kultur budaya kerja organisasi publik. Salah satu faktor penunjang peningkatan kinerja dan profesionalisme Pegawai ASN dalam pelayanan publik adalah iklim kerja yang sehat dan dinamis. Hal ini perlu didiorong agar budaya organisasi yang terbangun adalah budaya kerja yang positif, membangun komunikasi yang respektif, meningkatkan kedisiplinan pegawai, menegakkan aturan oragnisasi serta menerapkan reawrd and punishment sebagai bentuk motivasi kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Dharma. 2002. Manajemen Prestasi Kerja. Jakarta: Rajawali.
Kadarisman, Muh. 2018. Manajemen Aparatur Sipil Negara. Depok: Rajagrafindo Persada.
Prayitno. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Grasindo.
Spencer & Spencer. 1993. Competency at Work, Models For Superior, Performance. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Suprapto. 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi dan Peran. Yogyakarta: Buku Seru
Widodo, Joko. 2007. Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.







Selasa, 20 November 2018

PILAR-PILAR PENDIDIKAN KARAKTER DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA NEGARA

ABSTRAK
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. Nilai budaya dan karakter bersumber  dari falsafah, pola hidup, agama dan dasar negara yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam sistem politik, yang mana disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing warga negara. Partisipasi politik warga negara meliputi: voting, aktif, dan diskusi politik, terlibat dalam rapat umum, demonstrasi, menjadi anggota pasif suatu organisasi semua politik, keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik, keanggotaan pasif suatu organisasi politik, keanggotaan aktif organisasi politik, mencari jabatan politik dan menduduki jabatan politik dan administratif.
Kata kunci: Pilar, Pendidikan Karakter, Partisipasi Politik, Warga Negara.

ABSTRACT
Cultural education and national character are interpreted as education that develops the cultural values ​​and national character of the students so that they have values ​​and character as their character, apply those values ​​in their lives, as members of society, and religious citizens, nationalist, productive and creative. Cultural values ​​and characters come from the country's philosophy, lifestyle, religion and foundation, namely Pancasila and the 1945 Constitution.
Political participation is the involvement of citizens in the political system, which is adjusted to the capabilities of each citizen. Citizens' political participation includes: voting, active and political discussion, engaging in rallies, demonstrations, being a passive member of an all political organization, active membership of a pseudo political organization, passive membership of a political organization, active membership of political organizations, seeking political office and occupy political and administrative positions.
Keywords: Pillars, Character Education, Political Participation, Citizens.




PENDAHULUAN
Indonesia sebagai satu-satunya negara yang memiliki kekayaan budaya yang jauh lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, kadang-kadang mengalami pasanag surut dalam membangun harmoni. Keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan masyarakat telah membawa dampak positif sekaligus negative dalam menciptakan keutuhan bangsa. secara positif, pluralitas suku, Bahasa, dan agama memberi kebanggaan tersendiri bagi terciptanya keberagaman budaya khas bangsa Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tetap terpelihara dengan baik. Namun keterpeliharaan nilai-nilai budaya dan karakter belum berhasil membangun kesadaran kolektif bangsa ini untuk mengakui bahwa keanekaragaman ini merupakan kekayaan dan milik bersama yang harus digali. Dikembangkan, dan dipelihara secara bersama. Akibatnya, prinsip ke-bhinekaaan tunggal ika-an masih berada dalam domain yang parsial, yang sekat-sekatnya sangat terasa dalam kehidupan kepartaian, keorganisasian, dan bentuk-bentuk kehidupan primordial lainnya.
Tindakan premanisme menjadi fenomena yang sering menghiasi layar kaca, ketidak harmonisan hubungan antara umat beragama mewarnai halaman-halaman surat kabar, dan demonstrasi anarkis telah memasuki wilayah yang sangat mengkhawatirkan. Seolah-olah keterpurukan bangsa ini dari berbagai sisi memberi isyarat kuat untuk mengatakan bahwa energy bangsa masih terkuras untuk mengurusi persoalan internal yang secara primordial belum terselesaikan. Visi bangsa jauh ke depan masih terbelenggu oleh derasnya arus perbedaan yang selalu mengemuka. Itulah sebabnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berpandangan bahwa salah satu solusi terbaik untuk membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan yaitu dengan melakukan reorientasi terhadap nilai-nilai karakter dan budaya bangsa, dan pendidikan adalah tempat terbaik untuk membangun pilar-pilar karakter dan budaya bangsa yang dimaksud. 
Satuan pendidikan dapat secara langsung menerapkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tersebut atau dapat menambah dan mengurangi, namun diharapkan menetapkan minimal lima karakter, yakni nilai karakter religius, nasionalis, gotong royong, kemandirian dan nilai karakter integritas. Nilai-nilai karakter dan budaya bangsa bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional (Sarbaitinil, 2014 dalam Yaumi, 2014:82). Sumber-sumber tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: Pertama, nilai-nilai karakter dan budaya bangsa bersumber dari ajaran agama. Bangsa Indonesia memiliki keberagaman keyakinan dan kepercayaan. Agama Islam, Kristen, Budha, Hindu, aliran kepercayaan, dan berbagai bentuk kepercayaan lain dapat hidup dengan baik di negeri ini walaupun sering juga terjadi gesekan-gesekan kecil. Pluralitas dalam beragama telah melahirkan tata nilai, dan budaya yang beragam yang menghasilkan nilai-nilai agung dalam kehidupan bernegara dana bermasyarakat. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan nilai-nilai yang dianut secara nasional oleh warga negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun oleh para pendiri bangsa atas dasar prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan  dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Ketiga, budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Keempat, tujuan pendidikan nasional, sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam kehidupan sistem politik, yang mana disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing warga negara. Menurut Rush dan Athoff (2005) menguraikan luasnya partisipasi politik, dalam bentuk hierarki atau berjenjang, yang dimulai dari yang rendah sampai ke yang tinggi, yakni voting, aktif, dan diskusi politik, terlibat dalam rapat umum, demonstrasi, menjadi anggota pasif suatu organisasi semua politik, keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik, keanggotaan pasif suatu organisasi politik, keanggotaan aktif organisasi politik, mencari jabatan politik, dan terakhir menduduki jabatan politik atau administratif.
Partisipasi politik secara teoretik dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu partisipasi politik yang konvensional (pemberian suara (voting), diskusi politik, kampanye, membentuk dan aktif dalam kelompok kepentingan (interest kekerasan politik group), komunikasi individual dengan kekerasan politik pejabat politik dan administratif. Dan Partisipasi politik non-konvensional (pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan terhadap harta benda, tindakan terhadap manusia, perang gerilya dan revolusi.

PEMBAHASAN
A.  Pilar-Pilar Pendidikan Karakter
Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) mengidentifikasi lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu religious, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas. Pertama, religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 1) kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama adalah tuntutan semua penganut agama pasti berkeyakinan bahwa ajaran agamanya yang paling benar.pada saat yang sama, mereka meyakini bahwa ajaran agama lain tidak ada yang benar, namun harus menghormati keyakinan yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap keberagaman keyakinan menandakan adanya penghargaan yang tulus terhadap perkembangan kepercayaan dan keyakinan yang memicu keberlangsungan kehidupan yang harmonis di antara para penganut agama. Bagi penganut ajaran agama Islam, tidak perlu merasa risaukarena Al-Qur’an telah menggaris bawahi begitu pentingnya sikap terbuka dan demokratis terhadap semua agama. Peringatan Al-Qur’an seperti “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku’’ dan ‘’Tidak ada paksaan dalam agama’’, menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi toleransi antara umat beragama. 2) toleransi adalah jalan tengah yang terbaik yang harus tumbuh dalam ruang kesadaran para penganut agama. Mengakui keberadaan agama lain bukan berarti  memepercayai apalagi meyakini kebenarannya, melainkan justru menambah keyakinan terhadap kebenaran dan keunggulan agama sendiri. Toleransi berarti mengakui pluralitas agama dan kepercayaan tanpa harus memaksa penganut yang berbeda untuk mengikuti agama yang kita anut. Walaupun demikian, penyebarluasan agama harus terus dilakukan, namun terbingkai oleh batas-batas keyakinan yang membuka ruang dialogis dengan menegaskan justifikasi yang merendahkan keyakinan penganut agama yang berbeda. 3) kerukunan hidup antara penganut agama merupakan pilar penting dalam membangun relasi sosial dalam bernegara dan bermasyarakat. Kekuatan suatu negara sangat mudah diukur dari harmonisasi hubungan yang tidak tersandera oleh pola piker sectarian dan primordial, atau pemaksaan kehendak yang berbasis pada kepicikan. Sebaliknya, kelemahan suatu negara, ketika tidak mampu menciptakan kerukunan hidup, harmoni, dan kedamaian bagi setiap orang karena terganggu dalam mamandang perbedaan suku, ras, agama, etnik, dan budaya. Religius dalam Kurikulum 2013 diarahkan pada aspeksikap spiritual yang dipahami sebagai cara pandang tentang hakikat diri termasuk menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianut. Sikap spiritual mencakup suka berdoa, senang menjalankan ibadah shalat atau sembahyang, senang mengucapkan salam, selalu bersyukur dan berterima kasih, dan berserah diri. Mengucapkan doa sebelum dan sesudah melakukan sesuatu, bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Tuhan, mengucaapkan salam sebelum dan sesudah menyampaikan pendapat, mengungkapkan kekaguman tentang kebesaran Tuhan, membuktikan kebesaran Tuhan melalui ilmu pengetahuan, memberikan kepuasan batin tersendiri dalam diri seseorang yang telah mengintegrasikan nilai dalam aktivitas keseharian. Mengintegrasikan nilai adalah melakukan internalisasi nilai-nilai ke dalam jiwa dan setiap derap langkah mencerminkan sikap dan perilaku religi.
Kedua,nasionalis. Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap Bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Menurut Komalasari dan Didin Saripudin (2017:10), subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghornati keragaman budaya, suku dan agama. Ketiga, mandiri. Kemandirian harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya peserta didik dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Pribadi yang mandiri tidak tergantung kepada orang lain dalam menghadapi  berbagai masalah, tidak lari dari tanggung jawab, dan berupaya mencari jalan keluar untuk mengatasi setiap masalah. Mandiri (independent) adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas. Kemandirian berkembang melalui proses belajar yang dilakukan secara abertahap dan berulang-ulang mulai dari tahap awal perkembangan kapasitas sampai tahap perkembangan kemandirian yang sempurna. Vygotsky dalam Rajeev (2014) menguraikan empat tahap perkembangan yang terkenal dengan istilah Zone of Proximal Development (ZPD), di mana ZDP adalah jarak antara zona (daerah) perkembangan actual (kemampuan saat ini) dan perkembangan poptensial (kemampuan sebenarnya). Keempat tahap tersebut yaitu: (1) Full dependence (ketergantungan sepenuhnya), bantuan banyak diberikan oleh orang lain; (2) Less dependence (ketergantungan yang kurang), dapat dilakukan sendiri, tetapi masih membutuhkan arahan dari orang lain; (3) Automatization (otomatisasi), sepenuhnya dapat dilakukan sendiri walaupun masih terjadi sedikit kekeliruan; (4) De-automatization (kemandirian yang sempurna), terjadi penyatuan antara jiwa dan raga. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai kemandirian sepenuhnya, seseorang melewati tahapan perkembangan awal yang harus dibantu oleh pihak lain, perkembangan yang bisa dilakukan sendiri melalui arahan dan keamandirian awal. Dua tahap pertama merupakan bentuk ketidakmandirian, sedangkan dua tahap berikutnya sudah mencapai kemandirian. Oleh karena itu karakteristik kemandirian dapat dijelaskan ke dalam empat bagian seperti diutarakan oleh Yaumi (2014:100) yaitu: (a) mencari orang lain (orang tua, ahli, guru, dan teman sejawat) untuk meminta bantuan menyelesaikan tugas tertentu; (b) melakukan sendiri melalui arahan dan nasihat dari orang lain; (c) melakukan latihan sendiri secara berulang-ulang melalui prosedur dan langkah-langkah penyelesaian; (d) mengembangkan dan menciptakan cara lain untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Keempat, gotong royong. Nilai karakter gotong royong. Mencerminkan tindkan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bentuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Subnilai gotong royong antara lain menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah  mufakat, tolong-menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan dan sikap relawan. Kelima, integritas. Nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari  perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan, dan menghargai martabat individu (terutama penyandang disabilitas).
         
B.  Partisipasi Politik Warga Negara
Partisipasi politik merupakan keterlibatan atau keikutsertaan warga negara dalam sistem politik. Menurut Huntington dan Nelson (1990), bahwa partisipasi dalam konteks politik yang selanjutnya dikonsepsikan partisipasi politik, yaitu kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Lebih lanjut Huntington dan Nelson menekankan 3 (tiga) hal yang terkandung dalam pengertian partisipasi politik tersebut, yaitu pertama,  partisipasi mencakup kegiatan-kegiatan politik yang objektif, akan tetapi tidak sikap-sikap politik yang subjektif. Kedua, yang dimaksud warga negara preman adalah warga negara sebagai perorangan dalam berhadapan dengan masalah politik.Ketiga, kegiatan dalam partisipasi itu difokuskan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam kehidupan sistem politik, yang sama disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing warga negara. Banyak contoh lain partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh warga negara sesuai dengan kemampuan masing-masing. Berikurt dikemukakan beberapa contoh perwujudan atau manifestasi partisipasi politik Pertama, Mengkritisi secara Arif terhadap Kebijakan Pemerintah. Setiap warga negara dituntut untuk senantiasa merespon dan mengkritisasi berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah. Di era keterbukaan saat ini, bukan zaman lagi warga negara hanya menerima begitu saja setiap kebijakan yang diambil pemerintah, tanpa memberikan respond an kritik terhadap kebijakan tersebut. Budaya politik parokial kaula di mana warga negara bersifat pasif dan cenderung menerima atas output politik dalam bentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Respon dan kritik tersebut diwujudkan masyarakat melalui berbagai kegiatan di antaranya melakukan demonstrasi atau unjuk rasa yang dilakukan dengan damai (peace) dan secara konstitusional dalam menyikapi setiap kebijakan pemerintah. Terutama jika kebijakan tersebut secara nyata dan jelas tidak berpihak atau tidak membela kepentingan masyarakat luas (populis). Terlebih jaminan konstitusional yang memberikan jaminan tentang hak mengajukan pendapat di muka umum telah diundangkan, yakni Undang_undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaaan menyampaikan pendapat di muka umum, semakin memberikan peluang yang sangat terbuka bagi anggota masyarakat untuk secara aktif dan positif mengajukan berbagai gagasan atau pendangannya tentang kebijakan pemerintah. Kedua, aktif dalam Partai Politik. Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijakan mereka. (Budiardjo, 1989).  Sementara itu seorang ahli politik, yakni Roger H. Sultau, mendefinisikan partai politik sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, yang bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. Ketiga, aktif dalam kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga Swadaya Masyarakat atau sering juga disebut dengan Ornop (Organisasi Non Pemerintahan) atau dalam Bahasa Inggris NGO (Non Governmental Organization) merupakan wadah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mewujudkan cara berpolitik. Konsentrasi kegiatan LSM adalah memberikan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, guna menuju pemerintahan yang baik, transparan, dan bertanggung jawab. Keempat, diskusi politik. Dewasa ini berbagai acara diskusi politik berjalan dengan sangat pesatnya. Tidak hanya yang bersifat diskusi dalam forum langsung, melainkan juga difasilitasi oleh media massa terutama TV dan Koran yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang melibatkan pertisipasi aktif anggota masyarakat untuk melalui diskusi interaktif yang sengaja dikemas semenarik mungkin ssehingga menarik minat keterlibatan masyarakat. Wacana politik diangkat ke permukaan untuk memperoleh respon dari masyarakat. Proses diskusi inilah yang merupakan bentuk pendidikan politik yang efektif guna meningkatkan kemelekan politik dan kedewasaan politik warga masyarakat.   

PENUTUP
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A.    Pilar-pilar pendidikan karakter terdiri dari enam pilar, yang mencakup amanah atau dapat dipercaya (trustworthiness), rasa hormat atau penghargaan (respect), pertanggungjawaban (responsibility), keadilan (fairness), kepedulian (caring) dan nasionalis, kewarganegaraan (zitizenship)
B.    Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengidentifikasi lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
C.   Partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam kehidupan sistem politik, yang mana disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing warga negara. Partisipasi politik meliputi: mengkritisasi secara arif terhadap kebijakan pemerintah, aktif dalam partai politik, aktif dalam kegiatan LSM, dan diskusi politik.

DAFTAR PUSTAKA


Athoff, Philip dan Rush, Michael. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Budiardjo, Miriam. 1989. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.  

Huntington, Samuel P & Joan Nelson. 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta.

Yaumi, Muhammad. 2014. Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar & Implementasi. Jakarta: Kharisma Putra Utama.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.  

Komalasari, Kokom dan Didin Saripudin. 2017. Pendidikan Karakter: Konsep dan Aplikasi Living Values Education. Bandung: Refika Aditama.


Rajeev, Lovelee. ‘’Zone of Proximal Development’’. Online: http://www.buzzle.com/artticles/zone-of-proximal-development.html. Diakses 6 Oktober 2014.