Minggu, 13 Desember 2015

KEBIJAKAN REVITALISASI LPTK

Menurut Menristek dan Pendidikan Tinggi, Prof Dr. Mohamad Nasir pada acara Pembukaan A-LPTSI VI di Hotel Century Jakarta pada tanggal 10 Desember 2015 bahwa rencana revitalisasi LPTK 2016 meliputi jangka pendek yaitu 2015-2016 yang meliputi: Revitalisasi rekrutmen, revitalisasi kurikulum, finalisasi Standar Nasional Pendidikan Guru (SNPG), sistem penjaminan mutu LPTK, penyempurnaan PPG Berasrama dan penyempurnaan program SM3T. Sedangkan jangka panjangnya menciptakan LPTK sebagai World Class University. Jumlah LPTK di Indonesia saat ini 420 buah yang terdiri dari 40 buah LPTK Negeri dan 380 buah LPTK Swasta. Permasalahan yang dihadapi oleh LPTK saat ini yaitu belum semua LPTK terstandar, disparitas kualitas, over supply lulusan pendidikan akademik/sarjana pendidikan, sebagian besar LPTK belum memiliki sekolah laboratorium dan sistem kemitraan dengan sekolah mitra/dunia industri yang terstandar. Permasalahan guru sebagai landasan penetapan kurikulum untuk penyiapan guru profesional. Permasalahan guru meliputi: Distribusi tidak merata, mistmatched antara latar belakang pendidikan dengan tugas sebagai guru, kekurangan di daerah khusus, masih banyak yang belum berkualifikasi S1, profesionalisme masih rendah, lembaga pendidikan calon guru LPTK yang belum standar, pendidikan calon guru belum mampu membentuk guru profesional. Sedangkan kurikulum baru pendidikan guru Abad ke-21 meliputi: kompetensi kepribadian (patriotik, berkarakter kuat, cerdas, responsif dan inovatif), kompetensi profesional (penguasaan substansi bidang studi), kompetensi pedagogik, kompetensi sosial (kemampuan komunikasi kependidikan yang unggul). Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) menurut UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 menyebutkan bahwa lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan. Kemudian lebih lanjut UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 43, (1) sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerjasama dengan Kementerian, kementerian lain, LPTK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat pendidik; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut Pasal 44 menyebutkan (1) Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya; (2) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikat yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi. Penjelasan ayat tersebut. Pertama, sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tersebut. Kedua, perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi. Ketiga, ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri. Pendidikan guru saat LPTK menggunakan kurikulum lama yaitu guru SD/SMP/SMA bersertifikat melalui PPG baik S! Non Kependidikan sesuai dengan bidang keilmuannya maupun S! Kependidikan untuk pemenuhan guru SD/SMP/SMA tidak bersertifikat. Sedangkan pendidikan guru dengan pendidikan profesi yaitu guru SD/SMP/SMA bersertifikat diperoleh melalui PPG, baik S1/D4 Non Kependidikan maupun S1 Kependidikan. Mekanisme menuju guru bersertifikat yaitu S1/D4 Kependidikan dan S1/D4 Non Kependidikan mengikuti tes masuk lulus dengan bekal kurang mengikuti matrikulasi kemudian mengikuti PPG dan uji kompetensi (PT + Organisasi Profesi + Kementerian terkait) menjadi guru bersertifikat. Bagi mereka yang lulus tes masuk dengan bekal baik langsung PPG kemudian uji kompetensi (PT + Organisasi Profesi + Kementerian terkait) menjadi guru bersertifikat. Masukan Asosiasi LPTK meliputi, pertama, Pendidikan Profesi Guru satu kesatuan (terintegrasi) dengan pendidikan S1 seperti dokter/dokter gigi. Kedua, selesai PPG mengikuti uji kompetensi secara nasional yang dilakukan oleh PT bekerjasama dengan organisasi profesi dan kementerian terkait. Ketiga, peserta lulus uji kompetensi memperoleh sertifikat profesi. Elemen utama Revitalisasi LPTK usulan Asosiasi LPTK menuju standarisasi meliputi, pertama, kurikulum sistem pembelajaran yang berwawasan masa depan. Kedua, sistem rekrutmen calon guru yang komprehensif (termasuk seleksi bakat dan minat). Ketiga, tatakelola kelembagaan yang akuntabel dan sistem manajemen modern. Keempat, sumber daya manusia (pendidik/dosen) yang berkualitas. Kelima, sekolah laboratorium dan sekolah mitra. Keenam, sistem penjaminan mutu khas LPTK. Kebijakan Kemenristek Dikti dalam pengembangan LPTK meliputi, pertama, diperlukan pengkajian yang mendalam tentang jumlah dan jenis LPTK, sistem rekrutmen dan seleksi mahasiswa calon guru, tatakelola dan penguatan kelembagaan LPTK, kurikulum dan sistem pembelajaran serta penjaminan mutu khas LPTK. Kedua, strategi kendali pertumbuhan (berbasis standar mutu LPTK mengacu kepada aturan bahwa penyelenggara Program Pendidikan Profesi Guru/PPG ditetapkan oleh Pemerintah. Ketiga, penguatan keilmuan pendidikan, sistem penyelenggaraan pendidikan guru, substansi ilmu, teknologi dan seni, serta olahraga yang harus dikuasai oleh calon pendidik. Akhirnya mudah-mudahan terjadi sinergitas antara Kemendikbud dengan kemenristekdikti dalam tatakelola guru dimana Kemendikbud sebagai pengguna guru diharapkan dapat memperbaiki basis data guru, dan bersama Kemenristekdikti membangun sistem pembinaan guru berkelanjutan. Sedangkan Kemenristekdikti merupakan bagian dari LPTK sebagai penyedia guru diharapkan dapat menyiapkan calon guru yang bermutu, dan bersama Kemendikbud membangun sitem pendidikan dan pembinaan guru berkelanjutan. *** Semoga ***.

Jumat, 16 Oktober 2015

PRO & KONTRA BELA NEGARA

ENDANG KOMARA Guru Besar Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan, Ketua STKIP Pasundan, Ketua Korpri Kopertis Wilayah IV Program bela negara yang diinisiasi oleh Kementerian Pertahanan dikhawatirkan sebagai upaya untuk mencegah kritik masyarakat terhadap pemerintah. Program ini dinilai memiliki konsep yang sangat luas, tak hanya berkaitan dengan militerisme namun materi dasar berhubungan dengan Pancasila sebagai dasar negara, cinta tanah air, nilai kegotong royongan, hingga kerelaan berkorban demi kepentingan negara. Yang tidak kalah penting adalah penanaman nilai-nilai moral, karakter, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun landasan yuridis bela negara adalah UUD 1945 Pasal 27 ayat 3 yaitu: ‘’Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara’’. Kementerian Pertahanan akan mencetak kader bela negara yang akan dimulai bulan ini. Juga disamping itu pemerintah sedang menyiapkan konsep Undang-Undang Bela Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Konsep tersebut dinilai akan mampu meningkatkan disiplin dan etos kerja masyarakat. Menurut Mufti Makarin (2015) bela negara memiliki konsep sangat luas. Kritik korupsi terhadap penyalahgunaan wewenang juga disebut bela negara. Jangan-jangan orang yang kritik pemerintah nantinya malah dianggap melawan negara. Lebih lanjut Mufti (2015) mengatakan, bela negara seharusnya lebih ditekankan untuk meningkatkan kedisiplinan, etos dan pembentukan karakter. Adapun salah satu cara terbaik melakukan program tersebut ialah melalui jalur pendidikan. Tujuannya sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa nasionalisme.. Menhankam Ryamizard Ryacudu (2015) berencana merekrut 100 juta kader bela negara dari seluruh wilayah di Indonesia. Menurutnya keberadaan kader bela negara sangat penting dan mendesak mengingat adanya kecenderungan lunturnya wawasan kebangsaan belakangan ini. Karena sistem bela negara yang kuat akan menjadikan suatu negara lebih kuat. Sasarannya dari semua kalangan yang berusia 18-50 tahun, termasuk pelajar. Pembentukan kader bela negara akan dilakukan melalui program ketahanan negara di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pada tahun ini akan dimulai di 45 kabupaten/kota yang berada di 11 Kodam, yang berjumlah 4.500 kader bela negara yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 19 Oktober 2015. Setelah tahap awal selama sebulan ini, secara bertahap pendadaran bela negara ini disebarluaskan di semua kalangan, profesi dan tingkatan usia, hingga angka 100 juta kader bela negara ini terbentuk. Bela negara adalah tekad, sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan bangsa dan negara. Pembelaan negara bukan semata-mata tugas TNI, tetapi segenap warga negara sesuai kemampuan dan profesinya dalam kehidupan bermasysrakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian bela negara merupakan sikap dan tindakan warga negara yang didasari oleh kecintaan pada negaranya, untuk melindungi dan mempertahankan negaranya dari berbagai macam ancaman, baik ancaman dari dalam negeri maupun ancaman dari luar negeri. Era reformasi telah banyak perubahan di hampir semua bidang kehidupan IPOLEKSOSBUDHANKAMAG. Ada perubahan positif yang bermanfaat bagi masyarakat, namun ada juga yang bersifat negatif dan pada gilirannya akan merugikan bagi keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan Orde Baru menyebabkan arus informasi dari segala penjuru dunia seolah tidak terbendung. Berbagai ideologi, mulai dari ekstrim kiri sampai ke ekstrim kanan, menarik perhatian bangsa kita, khususnya generasi muda untuk dipelajari, dipahami dan diterapkan dalam upaya mencari jati diri bangsa setelah selama lebih dari 30 tahun merasa terbelenggu oleh sistem pemerintahan otoriter. Salah satu dampak buruk dari reformasi adalah memudarnya semangat nasionalisme dan kecintaan pada negara. Perbedaan pendapat antar golongan atau ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah adalah suatu hal yang wajar dalam suatu sistem politik yang demokratis, namun berbagai tindakan anarkis, konflik sara dan separatisme yang sering terjadi dengan mengatasnamakan demokrasi menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan sebagai suatu bangsa. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, telah menjadi tujuan utama semangat untuk membela negara seolah telah memudar. Menurut Anwar (2011) bahwa bela negara dapat terlihat dari sebuah kesadaran. Kesadaran bela negara pada hakikatnya merupakan kesediaan berbakti pada negara dan berkorban demi membela negara. Kesadaran bela negara dabangun sebagai bagian dari sistem pertahanan negara. Oleh sebab itu pertahanan negara dilaksanakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya. Upaya bela negara selain sebagai kewajiban dasar juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Pertahanan semesta tidak akan dapat dimobilisasi jika warga negara yang menjadi sentral bergeraknya sistem tidak memiliki sifat dan perilaku yang dijiwai oleh kesadaran bela negara. Menurut Wardana (2009) bahwa, indikator perilaku bela negara antara lain: mencintai tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban untuk bangsa dan negara serta memiliki kemampuan awal bela negara. Secara fisik, bela negara diartikan sebagai usaha pertahanan menghadapi serangan fisik atau agresi dari pihak yang mengancam keberadaan negara tersebut, sedangkan secara non fifik diartikan sebagai upaya untuk serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, baik melalui pendidikan, moral, sosial maupun peningkatan kesejahteraan sesuai dengan tujuan negara kita. *** Semoga ***.

Senin, 05 Oktober 2015

PERGURUAN TINGGI & PENINGKATAN MUTU

ENDANG KOMARA Guru Besar Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan, Ketua STKIP Pasundan, Ketua Korpri Kopertis Wilayah IV Berdasarkan Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) Kemenristek Dikti terdapat 243 PTS yang statusnya dinyatakan nonaktif. Sebanyak 47 diantaranya ada di Jawa Barat. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) Prof. Dr. Ainun Naim bahwa, kampus berstatus nonaktif tidak berarti penyelenggaraan kegiatan perkuliahan dihentikan. Akan tetapi untuk sementara kampus tersebut tidak diperkenankan menerima mahasiswa semester baru, hingga status kampus tersebut dinyatakan aktif kembali. Jika kampus nonaktif ini tidak bisa menyelenggarakan perkuliahan agar mahasiswa dipindahkan ke perguruan tinggi lain. Seluruh PTS yang berstatus nonaktif tersebut terindikasi melakukan pelanggaran mulai dari masalah laporan akademik, rasio jumlah dosen dan mahasiswa yang tidak ideal (rasio ideal untuk perguruan tinggi adalah1:30 untuk ilmu eksakta dan 1:45 untuk ilmu sosial), pelanggaran peraturan perundang-undangan, hingga masalah sengketa yayasan. Tuntutan masyarakat terhadap terhadap mutu pendidikan tinggi (PT) semakin meningkat. Perguruan tinggi dituntut untuk dapat melahirkan ilmuwan yang mandiri dan inovatif untuk membangun masyarakat. Inovasi yang dikembangkan perguruan tinggi perlu sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat yang cenderung berubah. Perguruan tinggi merupakan wadah pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, yaitu manusia yang memiliki kompetensi akademik, profesional dan intelektual. Sumber daya manusia yang menguasai sains dan teknologi, perguruan tinggi juga harus mengembangkan sains dan teknologi sehingga bisa berkembang dan bersaing, terutama dalam menghadapi MEA 2015, yang akan diberlakukan akhir tahun ini. Banyak faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan tinggi. Faktor yang dominan yang mempengaruhi mutu pendidikaan tinggi adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), terutama tenaga akademik, minimal enam orang dosen tetap untuk Strata 1 berijazah S2, enam orang doktor dosen tetap untuk Strata 2, serta enam orang doktor dan dua orang guru besar dosen tetap untuk Strata 3. Tenaga akademik merupakan faktor kunci dalam internal perguruan tinggi yang dapat menjadi penentu keberhasilan organisasi perguruan tinggi. Faktor internal ini sifatnya dapat dikendalikan oleh pelaku organisasi perguruaan tinggi yang terlibat dengan pencapaian tujuan. Menurut Soeparna dan Ridwan Saidi (2004) bahwa, sumber daya manusia merupakan asset paling berharga bagi suatu perguruan tinggi, dan sering dianggap sebagai keunggulan kompetitif dibandingkan industri, bisnis dan sektor pemerintahan. Salah satu kekuatan internal perguruan tinggi adalah adanya tenaga akademik yang berkualitas tinggi, yang ditandai dengan banyaknya jumlah dosen yang menguasai bidang dan disiplin ilmu yang memiliki kualifikasi S2, S3 dan guru besar. Oleh karena itu pengembangan terhadap sumber daya manusia menjadi kebutuhan penting dalam setiap perguruan tinggi. Salah satu cara untuk memperbaiki lembaga pendidikan adalah dengan melakukan pembinaan sumber daya manusia tenaga kependidikan agar mampu menjadi agent of change. Ini artinya, tingkat kualitas tenaga kependidikan yang mendapat pengembangan dan pembinaan profesi akan berimplikasi terhadap peningkatan mutu dan keberhasilan pendidikan tinggi. Pengembangan dan peningkatan kualitas dosen sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui perguruan tinggi. Pentingnya pengembangan dan peningkatan kualitas dosen dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, tuntutan terhadap pencapaian target akhir pendidikan tinggi yaitu menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kedua, adanya sorotan negataif terhadaap perguruan tinggi tentang rendahnya kualitas dalam belajar mengajar yang hanya mementingkan hafalan, rendahnya motivasi dosen menjalankan tugasnya, rendahnya kualitas publikasi ilmiah serta sedikitnya buku berkualitas tinggi yang ditulis oleh seorang dosen. Peningkatan kualitas tenaga akademik ini dilakukan sebagai upaya peningkatan profesionalisme tenaga akademik, baik dalam bidang pembelajaran , penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh tridharma perguruan tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan profesi dan mendidik bagi para dosen. Pasalnya, kedua unsur ini sangat perlu dalam pengembangan peserta didik dan dosen. Tanpa dididik dengan baik, perguruan tinggi akan menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian tertentu tetapi tidak dibarengi oleh perkembangan moral dan mental yang memadai. Lulusan seperti ini sangat berbahaya bagi masyarakat dan bangsa. Sementara itu, profesi dosen mutlak perlu dikembangkan agar dapat melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan zaman. Setiap perguruan tinggi seyogyanya terlibat dalam program pengembangan mengingat ia hidup dalam lingkungan yang selalu berubah dan berkembang yang terkadang mengandung ketidakpastian yang tinggi. Penelitian dan pengembangan diharapkan memunculkan inovasi pendidikan yang bermanfaat bagi lembaga pendidikaan tinggi dan masyarakat. Dengan demikian, pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia sangat diperlukan sebagai fasilitas pendidikan secara bersama untuk memperoleh efek sinergik dalam meningkatkan mutu lulusan sehingga mereka mampu bersaing secara kompetitif pada era globalisasi. Inilah salah satu peranan penting perguruan tinggi yang dituntut untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang handal. Langkah penting yang dapat dilakukan lembaga pendidikan tinggi adalah dengan mengembangkan program pembinaan profesi dosen yang meliputi bidang pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi berkualitas harus mampu mengembangkan potensi mahasiswa agar bisa menjadi sarjana yang bertaqwa, cakap, bermartabat, bermanfaat bagi pembangunan dan masyarakat, dan bisa berkompetisi dalam pasar global; serta memberi solusi bagi pembangunan sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan dan menciptakan pengetahuan dana teknologi yang meningkatkan daya saing (lulusan, perguruan tinggi, daerah, bangsa) membangun knowledge capital melalui riset dan pemberdayaan masyarakat. *** Semoga ***.

KEPEMIMPINAN MAHASISWA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh: Prof. Dr. Endang Komara, M.Si

I. Latar Belakang Mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of social change) dalam masyarakat begitu besar. Hal ini membawa konsekuensi serius dalam kehidupan masyarakat. Mahasiswa dalam perspektif masyarakat adalah kaum terdidik yang mampu menjadi motorik (pengagas sekaligus penggerak) perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. Jumlah mahasiswa Indonesia saat ini baru 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru 18,4 persen. Apabila dihitung terhadap populasi usia 19-30 tahun, angka partisipasi kasarnya baru 23 persen. Jumlah ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara maju. Menurut Mendiknas (2014), APK 30 persen artinya, 30 persen dari penduduk berusia 19-23 tahun bisa menikmati bangku perguruan tinggi. Ia mengatakan, dengan APK 30 persen itu kualitas bangsa akan meningkat dan pertumbuhan ekponomi Indonesia bisa lebih baik dari angka sekarang yang mencapai 6 persen. Bahkan, pada tahun 2045 mendatang Indonesia bisa meraih pendapatan perkapita 46.900 dollar AS. Pendidikan merupakan mesin mobilitas vertikal sosial ekonomi dan budaya. Kepemimpinan dalam konsep Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah, pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman, baik kezaliman dalam keilmuan dan perbuatan maupun kezaliman dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin harus mengetahui keadaan umatnya, merasakan langsung penderitaan mereka. Seorang pemimpin harus melebihi umatnya dalam segala hal: keilmuan dan perbuatan, pengabian dan ibadah, keberanian dan keutamaan, sifat, perilaku dan lainnya. II. Pembahasan Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang sehingga ia memperoleh rasa hormat (respect), pengakuan (recognition), kepercayaan (trust), ketaatan (obedience), dan kesetiaan (loyality) untuk memimpin kelompoknya dalam kehidupan bersama menuju tujuan yang diharapkan. Secara sederhana, apabila berkumpul 3 (tiga) orang atau lebih kemudian salah seorang diantara mereka ‘’mengajak’’ teman-temannya untuk melakukan sesuatu seperti: nonton film, bermain sepak bola, dan lain-lain, orang tersebut telah melakukan ‘’kegiatan memimpin’’, karena ada unsur ‘’mengajak’’ dan mengkoordinasi, ada teman dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah dan banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut pandangannya masing-masing. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut: 1. Koontz & O’donnel, kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya. 2. Wexley & Yurki (1977), kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka. 3. Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama. Arti keepemimpinan Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya. Kepemimpinan Islam sudah merupakan fitrah bagiann setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia diamanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah (wakil Allah) di muka bumu. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘’Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’’ Mereka berkata: ‘’Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’’ Tuhan berfirman: ‘’Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’’ (Q.S. al-Baqarah:30). Kholifah bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah (hamba Allah) yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah. Sabda Rasulullah: ‘’Setia kamu adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya (responsibilitinya)’’. Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah teresebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konseptual atau potensi (fitrah): dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: ‘’Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar-benar orang-orang yang benar!’’ (Q.S. al-Baqarah:31) serta hendak bebas untuk menggunakan dan memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah fil ardli menempati posisi sentral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinnya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah (Allah), yaitu: Pertama, mengerjakan semua perintah Allah. Kedua, menjauhi semua larangan-Nya. Ketiga, ridha (ikhlas) menerima semua hukum-hukum atau ketentuannya. Selain hubungan dengan pemberi amanah (Allah), juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkuingan yang diamanahkan kepadanya (Q.S. Ali Imran:112). Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertikal manusia dengan Sang pemberi (Allah) amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya. Jika kita memperhatikan teori-teori tentang funhsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia barat, maka kita akan menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan memgkoordinasi secara horizontal semata. Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan (planning and decision maker), pengorganisasian (organization), kepemimpinan dan motivasi (leading and mpotivation), pengawasan (controling) dan lain-lain. Konsep kepemimpinan Rasulullah dalam konteks modern tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang pemimpin yang sangat berhasil dan sukses secara gemilang. Dalam menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam kepemimpinan maka ada beberapa metode yang dapat dijadikamn pedoman dari kepemimpinan Rasulullah Saw yaitu: a. Selalu Dibimbing Wahyu. Dalam kepemimpinan Rasulullah selalu dibimbing oleh wahyu ini adalah kunci dari kepemimpinan Rasulullah. Dalam memimpin umat menuju jalan allah nabi selalu dibimbing oleh wahyu. b. Menghidupkan Syura. Rahasia selanjutnya adalah syura atau musyawarah. Rasulullah yang memiliki kedudukan sangat mulia itu banyak melakukan musyawarah dengan para sahabat dalam urusan yang tidak diatur oleh wahyu. c. Keteladanan. Selain itu kunci keteladanan Rasulullah adalah keteladanan dimana beliau selalu satu kata satu perbuatan. Keteladanan adalah cara paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai positif. d. Egaliter. Nabi adalah seorang yang egaliter. Egaliternya nabi dapat dilihat dari panggilan yang digunakan oleh nabi kepada umatnya dengan sebutan sahabat yang menunjukkan kesetaraan. e. Mementingkan kaderisasi. Dalam memimpin Rasulullah selalu memikirkan kaderisasi, yang dikader dengan tempaan yang luar biasa untuk menjadikan regenerasi ketika pada akhirnya wafat. Seorang pemimpin tidak boleh mematikan kader yang akan tumbuh. f. Integritas pribadi. Selanjutnya adalah Rasulullah memiliki akhlaqul karimah, nabi adalah pemimpin yang peduli, penuh empati, penyantun, lemah lembut, pemaaf, disiplin, kerja keras, menghormati waktu dan sifat terpuji lainnya. Sifat itulah yang menjadi referensi dan rujukan bagi para sahabat dalam berperilaku. Urusan kepemimpinan dalam islam merupakan salah satu kewajiban agama diantara kewajiban lainnya, sebab agama tidak mungkin tegak tanpa pemimpin. Hal ini erat kaitannya dengan fitrah manusia, dimana setiap manusia dilahirkan untuk menjadoi seorang pemimpin. Seperti sabda Rasulullah, ‘’setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya’’ (HR. Bukhari dan Muslim). Hanya tingkatan pemimpin itu yang berbeda, ada yang memimpin dal;am l;ingkup kecil sepertyi lingkup keluarga, sampai lingkup yang paling besar seperti menjadi pemimpin suatu negara. Namun di level manapun seorang pemimpin pasti ingin menjadi pemimpin yangh sukses dan ditaati. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu membawa perubahan yang lebih baik pada yang dipimpinnya. Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkau maupun jabatan seseorang. Kemimpinan adalah sesuatu yang muincul dari dalam damn merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitarnya, maupun lingkungan masyarakat luas atau negara. Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil proses dari perubahan karakter atau transformasi imnternal dalam diri seseorang. Kepemimpinan nukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi perdamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karaketr yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindkannya mulai memberikan pengaruh pada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, maka pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin sejati bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin yang sangat berhasil. Belaiu berhasil merubah masyarakat Arab yang awalnya berperilaku jahiliyah menjadi masysrakat madani yang berperadaban tinggi dan mulia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepemimpinan Rasulullah sangat berhasil diantaranya: 1) Sejak kecil; beliau telah memili,ki kepribadian yang mulia. 2) Dalam hal memimpin selalu berpedoman pada aturan, dalam hal ini adalah wahyu Allah. 3) Dalam hal yang bersifat ijtihadiyah belaiu selalu bermusyawarah dengan para sahabat. 4) Sebagai seorang pemimpin, belaiu selalu bersama umatnya dan merasakan apa yang dirasakan oleh umatnya. 5) Dalam memimpin, beliau tidak hanya membimbing dan mengarahkan dari balik meja, tetapi beliau terjun langsungh ke lapangan. 6) Belaiu sangat konsisten dengan apa yang disampaikan. 7) Belaiu sangat baik hati, lemah lembut, sederhana, jujr, amanah dan bersahaja. Mahasiswa sebagai puncak generasi muda merupakan ladang utama orang-orang yang mempunyai kreatif tinggi. Mahasiswa yang berilmu pengetahuan luas, menyukai hal-hal yang baru, bersemangat yang tinggi, berpikir kritis, dan berkepedulian sosial tinggi, merupakan agen yang mampu mengembangkan perekonomian Indonesia dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Mahasiswa yang telah berani berwirausaha membutkikan bahwa usaha yang dilakukan mereka dapat membuahkan hasil yang manis karena selain menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain, menambah pengalaman diri sendiri, juga dapat memotivasi mahasiswa lain untuk melakukan hal yang serupa (Astuti, 2011). Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sikdiknas Bab VI bagian keempat pasal 19, mahasiswa adalah sebuah akademis untuk siswa/murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Kata ‘’maha’’ berarti tinggi, paling, sementara ‘’siswa’’ berarti pelajar, subjek (bukan objek) pembelajaran. Begitu singkatnya bila diartikan secara harfiah. Sehingga dalam pengertian dari segi bahasa. Mahasiswa lebih kurang berarti pelajar yang tinggi (dalam hal ilmu) atau pelajar yang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi 9Universitas). Mahasiswa sebagai agent of change (pelaku perubahan) dituntut untuk dapat memberikan perubahan yang positif bagi lingkungannya. (Arshad, 2010). Gelar yang disandang mahasiswa ini membawa konsekuensi serius dalam kehidupan bermasyarakat. Mahasiswa dalam perspektif masyarakat adalah kaum terdidik yang mampu menjadi motorik (penggagas sekaligus penggerak) perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. Maka dengan demikian, pengharapan masyarakat akan kontribusi nyata mahasiswa begitu besar. Menyoal kontribusi mahasiswa dalam masyarakat yang melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yang terdiri dari pembelajaran, penelitian dan pengabdian masysarakat. Pembelajaran memang menjadi konsekuensi logis dari seorang pelajar. Sementara penelitian dilakukan untuk melengkapi proses pembelajaran itu sendiri. Sesdangkan pengabdian masyarakat adalah akumulasi dari proses pembelajaran dan penelitian yang bersifat aplikatif. Sebagai salah satu kelompok sosial yang merupakan bagian dari masyarakat, mahasiswa berperan sebagai kontrol sosial dan menjadi golongan masyarakat yang memberikan perubahan. Di dalam civil society mahasiswa harus memberikan peranan yang adil, egaliter, beretika, aspiratif, partisipatif, dan nonhegemonik. Intinya kekuatan mahasiswa terletak pada ide, pemikiran dan gagasannya. III. Kesimpulan 1. Kepemimpinan mahasiswa harus dilandasi dengan prinsip kepemimpinan: Pertama, bertaqwa kepada allah. Kepemimpinan yang dilandasi dengan taqwa akan melahirkan suatu sistem masyarakat yang tidak mengenal diskriminasi di antara mereka sebab pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya lebih merupakan pengabdian kepada masyarakat sekaligus dalam rangka beribadah kepada Allah Swt. Kedua, menjadikan pemimpin sebagai amanah. Sesungguhnya pemimpin itu adalah amanah dari allah Swt, sehingga tidak saja harus dipertanggungjawabkan di dunia akan tetapi juga harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Banyak di antara kita yang tidak menyadari, bahwa seorang pemimpin sejati seringkali tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpin. Bahkan ketika misi dan tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukan sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator dan maximizer . konsep pemikiran seperti itu adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang dipimpin. 2. Kepemimpinan Rasulullah sangat berhasil diantaranya: sejak kecil beliau telah memiliki kepribadian yang mulia, dalam hal memimpin selalu berpedoman pada aturan, dalam hal ini adalah wahyu Allah. Dalam hal yang bersifat ijtihadiyah beliau selalu bermusyawarah dengan para sahabat. Sebagai seorang pemimpin beliau selalu bersama umatnya dan merasakan apa yang dirasakan oleh umatnya. Dalam memimpin, beliau tidak hanya membimbing dan mengarahkan dari balik meja, tetapi beliau terjun langsung ke lapangan. Beliau sangat konsisten dengan apa yang disampaikan. Beliau sangat baik hati, lemah lembut, sederhana, amanah dan bersahaja. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Yaman. 2010. Peranan Mahasiswa dalam Pengembangan Ekonomi Islam: Studi Kasus pada Fakultas Syari’ah dan Hukum. Makassar: Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin. Astuti, Riani Dwi. 2011. Kontribusi Mahasiswa dalam Mengembangkan Perekonomian Indonesia Melalui Wirausaha. http://sayabermainkata.wordpress.com/2011/02/07. George, R. Terry. 2000. Prinsip-Prinsip Manajemen. Bandung: Bumi Aksara. Harold, Koontz dan C. O’donnel. 1964. Principles of Management. New York: MC Graw-Hill Book Company. Wexley, K.N., dan Yukl, G. 1977. Organizational Behavior and Personnel Psychology. Richard D. Irwin: Home Wood, Illionis.

Selasa, 22 September 2015

PENCAK SILAT & KEARIFAN LOKAL

Pencak silat adalah produk budaya lokal dalam kerangka budaya masyarakat rumpun melayu. Produk tersebut ada yang dinamakan Pencak dan Silat. Tetapi kedua nama itu mempunyai pengertian yang relatif sama. Pencaksilat merupakan kata majemuk yang satu sama lain saling memperkuat. Kata pencaksilat baru digunakan secara umum di Indonesia pada tanggal 19 Mei 1948, yakni saat didirikannya organisasi Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) di Surakarta yang mempersatukan perguruaan Pencak dan perguruan Silat di seluruh Indonesia. Dalam tataran internasional kata Pencaksilat baru digunakan pada saat didirikan organisasi Persekutuan Pencaksilat Antarbangsa (PERSILAT) di Jakarta tanggal 10 Mei 1980. Dalam konteks sistem beladiri yang sedang berkembang dewasa ini, pencaksilat adalah sistem beladiri produk yang khas masyarakat Rumpun Melayu. Jati diri pencaksilat meliputi 3 (tiga) hal pokok sebagai satu kesatuan yang holistik, yakni: Pertama, budaya masyarakat Rumpun Melayu sebagai sumber asal dan sumber coraknya. Kedua, falsafah budi pekerti luhur sebagai jiwa dan sumber motivasi penggunanya. Ketiga, mental-spiritual, beladiri, seni dan olah raga sebagai aspek-aspek substansinya yang merupakan satu kesatuan. Budaya masyarakat rumpun melayu yang merupakan sumber asal dan sumber corak pencaksilat adalah budaya ‘’paguyuban’’ atau ‘’paguron’’, yakni budaya kebersamaan, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan kekeluargaan. Amalan budaya ‘’paguron’’, antara lain adalah sikap dan perilaku seperti: menghormati sesama manusia, tenggang rasa, cinta damai, gotong royong, meletakkan kepentingan bersama di atas kepentingan diri sendiri, musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, adil, suka menolong manusia lain serta menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Landasan kejiwaan amalan-amalan budaya paguron adalah bukti pekerti luhur. Pencaksilat merupakan transformasi dari keterampilan laga (fighting skills) yang telah ada sebelumnya, yakni teknik dan metoda menaklukkan manusia lain atau menanggulangi ancaman fisikal manusia lain yang dapat digunakan semaunya sesuai dengan kemauan pemilik kiat tersebut. Berdasarkan nilai-nilai budaya paguron, pencaksilat hanya boleh digunakan untuk pembelaan diri. Selain itu, selaras dengan cita-cita sosial paguron, yakni perwujudan masyarakat ‘’tata tentrem karta raharja’’ (masyarakat tertib, tentram, adil dan makmur). Pencaksilat telah dikembangkan dari yang semula hanya bersifat teknis saja menjadi bersifat etis, teknis, estetis, dan atletis (keolahragaan). Sifat etis dan teknis mengacu pada keamanan batin dan lahir, sedangkan sifat estetis dan keolahragaan mengacu pada kesejahteraan batin dan lahir. Sifat etis, teknis, estetis dan keolahragaan sebagai satu kesatuan merupakan corak khas pencaksilat yang bersumber dari budaya masyarakat Rumpun Melayu. Menurut Asep Sukarna, dkk. (2015), bahwa pencaksilat sebagai sistem beladiri yang mempunyai corak atau sifat etis, teknis, estetis dan atletis (keolahragaan) sebagai satu kesatuan serta mempunyai 4 (empat) aspek integral (catur-gatra) yaitu: Pertama, aspek mental-spiritual menggambarkan tujuan pembekalan (pengkondisian) sikap mental pesilat (manusia pencaksilat) untuk menjadi pesilat sejati. Kedua, aspek beladiri menggambarkan tujuan pembelaan diri dengan menggunakan teknik dan atau jurus beladiri khas pencaksilat. Ketiga, aspek seni menggambarkan tujuan menampilkan keindahan teknis dan atau jurus pencaksilat. Keempat, aspek olahraga menggambarkan tujuan keolahragaan pencaksilat, yakni kebugaran, ketangkasan dan prestasi olahraga. Pendidikan menurut Sagala (2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kearifan lokal/local wisdom/local knowledge/local genious yang artinya kebijakan setempat atau pengetahuan setempat atau kecerdasan setempat. Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa, komunikasi serta kesenian. Kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia yang berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat. Menurut Wiotoler (2006), bahwa kearifan lokal yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat sekitar. Pemerintah lebih memperhatikan ‘’prestasi’’ dan ‘’devisi’’. Yaitu merancang segala hal yang bersifat fisik-materil ketimbang nilai-nilai filosofisnya. Pemerintah baru sadar akan pentingnya menyelamatkan kekayaan budaya dan nilai-nilai apabila ada desakan dari komunitas atau kelompok masyarakat atau jika diklaim oleh negara lain. Kita punya banyak kekayaan budaya, tetapi kita sering lupa menarasikannya, mendokumenkan berupa CD, slide dan membuatkan film-nya. Justru orang luarlah yang memiliki narasinya dan berbagai dokumen yang lengkap sehingga tak terlalu sulit memperoleh hak ciptanya (HAKI) dan sekaligus mendapatkan pengakuan dari UNESCO. Baru setelah itulah kita bereaksi keras karena karya cipta yang diakuinya itu sesungguhnya milik kita. Semoga kita dapat melerstarikan dan mengembangkan budaya lokal sekaligus berprestasi di kancah global. *** Semoga ***.

Sabtu, 19 September 2015

MEMAKNAI IDUL ADHA & AKHLAQUL KARIMAH

Sejarah Idul Adha dijelaskan dalam Qur’an surat As Shoffat ayat 102 yakni saat Ismail berusia remaja, ayahnya Ibrahim memanggil Ismail (anaknya Ibrahim) untuk mendiskusikan sesuatu. Ibrahim menceritakan kepada Ismail bahwa Ibrahim telah mendapatkan perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih Ismail. Dari sini, Ibrahim menanyakan kepada Ismail: ‘’Bagaimana menurutmu, wahai Ismail?’’. Lantas Ismail menjawab: ‘’Wahai ayah laksanakan perintah Allah yang dimandatkan untukmu. Saya akan sabar dan ikhlas atas segala yang diperintahkan Allah,’’Ujar ismail kepada ayahnya, Ibrahim. Dalam hal ini, Ibrahim mengkonfirmasikan mimpinya jangan-jangan mimpinya datang dari Setan. Ternyata tidak, Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah sebanyak 3 (tiga) kali melalui mimpi. Setelah mendapatkan petunjuk dan yakin bahwa itu adalah perintah Allah, maka Ibrahim dengan ikhlas akan menyembelih puteranya sendiri, yaitu Ismail. Setelah Ibrahim dan Ismail kedua-duanya ikhlas untuk menjalankan perintah Allah, ternyata Allah mengganti Ismail menjadi domba. Dari peristiwa ini, sudah mulai bisa diketahui arti, makna dan hakikat Idul Adha. Arti kata Idul Adha ada 2 (dua) makna. Pertama, arti qurban adalah dekat yang diambil dari bahasa Arab Qarib. Pandangan umum mengatakan bahwa qurban adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, arti qurban adalah udhhiyah atau bisa dikatakan dhahiyyah yang artinya adalah hewan sembelihan. Dari arti makna qurban ini, maka menjadi tradisi sebagaimana lazim dilakukan umat muslim di dunia untuk menyembelih hewan dengan cara kurban atau mengorbankan hewan yang menjadi sebagian hartanya untuk kegiatan sosial. Menurut Lismanto (2014), bahwa tradisi kurban dalam hari raya Idul Adha memiliki 2 (dua) dimensi. Pertama, makna qurban memiliki dimensi ibadah spiritual. Kedua, makna qurban punya dimensi sosial. Dimensi ibadah spiritual merupakan bentuk ketaatan hamba kepada Tuhannya. Ketaatan itu harus dilandasi dengan rasa ikhlas sepenuhnya. Sehingga kita menjadi dekat dengan Allah. Hal inilah yang dimaksud dengan qurban dalam pengertian ibadah, yakni qarib. Sedangkan dimensi sosial dalam tradisi qurban bahwa ibadah qurban memberikan kesejahteraan kepada lingkungan sosial berupa daging qurban yang notabene hanya bisa dijangkau kalangan elite. Ini berlaku di desa, bukan kota-kota yang sudah terbiasa makan daging. Dengan qurban dari perspektif sosial, ini menjadi bagian dari ketakwaan kita kepada Allah secara horizontal. Hakikat qurban adalah bahwa kita harus kembali kepada tujuan hidup, yaitu beribadah kepada Allah. Karena manusia dan jin tidaklah diciptakan, kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana ujian Allah kepada nabi Ibrahim, hikmah dari segala peristiwa qurban adalah untuk memperoleh ridha Allah melalui ibadah dengan menjalankan apa yang menjadi perintah Allah. Namun, tidak sekadar ibadah, kita harus ikhlas dalam menjalankan setiap perintah Allah. Inilah hakikat dari peristiwa qurban dalam Idul Adha. Sebagaimana arti kata qurban yang bermakna qarib atau dekat kepada Allah, maka hakikat qurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-nya. Karena itu, makna qurban dalam pengertian Islam adalah bentuk pendekatan diri kita kepada Allah melalui lantaran hewan ternak yang dikurbankan atau disembelih. Dengan begitu, kita merelakan sebagian harta kita yang sebetulnya milik Allah untuk orang lain. Ini menjadi bagian dari ketaatan kita kepada Allah. Syaratnya, dalam qurban kita harus benar-benar untuk mencari ridha Allah, bukan untuk yang lain. Inilah hakikat qurban dalam Islam yang sebenarnya. Akhlaqul Karimah berarti tingkah laku yang terpuji yang merupakan kesempurnaan iman seseorang kepada Allah Swt. Pandangan Al-Ghazali tentang akhlak yang baik hampir senada dengan pendapat Plato. Plato mengatakan bahwa orang utama itu adalah orang yang dapat melihat kepada Tuhannya secara terus-menerus seperti ahli seni yang selalu melihat contoh-contoh bangunan. Al-Ghazali memandang bahwa orang yang dekat kepada Alah adalah orang yang mendekati ajaran-ajaran Rasulullah yang memiliki akhlak sempurna. Di sini terlihat adanya titik persamaan pandangan Al-Ghazali dengan Plato tentang taqarrub atau mendekat kepada Tuhan, yang salah satunya adalah melalui ibadah qurban. Al-Ghazali ( M. Yatim Abdullah, 2007) menerangkan 4 (empat) pokok keutamaan akhlak yang baik yaitu: Pertama, mencari himah. Himah adalah keutamaan yang lebih baik. Ia memandang bentuk hikmah yang harus dimiliki seseorang, yaitu jika berusaha untuk mencapai kebenaran dan ingin terlepas dari semua kesalahan. Kedua, bersikap berani. Berani berarti sikap yang dapat mengendalikan kekuatan amarahnya dengan akal untuk maju. Orang yang memiliki akhlak baik biasanya pemberani, dapat menimbulkan sifat yang mulia, suka menolong, cerdas, dapat mengendalikan jiwanya, suka menerima saran dan kritik orang lain, penyantun, memiliki perasaan kasih dan cinta kepada sesama. Ketiga, bersuci diri. Suci berarti mencapai fitrah, yaitu sifat yang dapat mengendalikan syahwatnya dengan akal dan agama. Orang yang memiliki sifat fitrah dapt menimbulkan sifat pemurah, pemalu, sabar, toleran, sederhana, suka menolong, cerdik dan tidak rakus. Fitrah merupakan suatu potensi yang diberikan Allah, dibawa oleh manusia sejak lahir yang menurut tabiatnya cenderung kepada kebaikan dan mendorong manusia untuk berbuat baik. Keempat, berlaku adil. Adil yaitu seseorang yang dapat membagi dan memberi haknya sesuai dengan fitrah-nya atau seseorang mampu menahan kemarahannya dan nafsu syahwatnya untuk mendapatkan hikmah di balik peristiwa yang terjadi. Adil juga berarti tindakan keputusan yang dilakukan dengan cara tidak berat sebelah atau merugikan satu pihak tetapi saling menguntungkan. Orang yang mempunyai akhlak yang baik dapat bergaul dengan masyarakat secara luwes, karena dapat melahirkan sifat saling cinta-mencintai dan saling tolong-menolong. Sebaliknya orang yang tidak memiliki akhlak yang baik, tidak dapat bergaul dengan masyarakat secara harmonis, karena sifatnya dibenci oleh masyarakat umumnya. Akhlak yang baik bukanlah semata-mata teori yang muluk-muluk, melainkan akhlak sebagai tindak tanduk menusia yang keluar dari hati. Akhlak yang baik merupakan sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya. Suatu perbuatan yang dilihat merupakan gambaran dan sifat-sifatnya tertanam dalam jiwa yang baik atau sebaliknya. Ibadah qurban adalah binatang yang disembelih pada musim haji, adalah sebagai wujud pendekatan kepada Sang Pencipta Allah Swt, sebagai tebusan dan jiwa yang berhak untuk binasa, sebagai fidyah dan pengganti serta pendekatan kepada-Nya. Juga untuk meneladani imam orang-orang yang bersikap lurus (Nabi Ibrahim AS) dan menghidupkan sunnahnya karena ia telah mempersembahkan anaknya kepada Allah dengan penuh kerelaan dan pengorbanan. Kemudian Allah pun menetapkan itu untuk terus berlaku selamanya bagi anak cucunya. *** Semoga ***.

KEMERDEKAAN & MASYARAKAT MADANI

Hakikat proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia berarti bahwa bangsa Indonesia telah menyatakan secara formal, baik kepada dunia luar maupun kepada bangsa Indonesia sendiri bahwa mulai saat itu bangsa Indonesia telah merdeka. Merdeka berarti mulai saat itu, yakni 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan nasib bangsa dan nasib tanah airnya dalam segala bidang. Dalam hal kehidupan kenegaraan, berarti bangsa Indonesia akan menyusun negara sendiri. Dalam hal hukum berarti bangsa Indonesia akan menentukan hukum sendiri yaitu hukum bangsa Indonesia sendiri. Demikian pula dari segi tata negara, bahwa pada saat itu berdiri pula tata negara dan tata hukumnya. Apa yang menjadi dasar hukum dari tata hukum baru itu. Dasar hukum bagi lahirnya tata hukum baru itu adalah Proklamasi Kemerdekaan itu sendiri. Proklamasi kemerdekaan merupakan ‘’norma pertama’’ dari tata hukum Indonesia. Sebagai norma pertama, proklamasi kemerdekaan juga dapat dikatakan sebagai norma dasar. Proklamasi kemerdekaan memiliki makna bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia antara lain: Pertama, berani mengambil nasib bangsa dan negara ke dalam tangan kita sendiri. Bangsa Indonesia telah merdeka secara politik, tetapi belum merdeka sepenuhnya di bidang lain, seperti bidang ekonomi dan teknologi. Di bidang ekonomi potensi sumberdaya alam Indonesia begitu besar, namun sumber daya manusia bangsa kita masih rendah (lama sekolah rata-rata 8,3 tahun). Akibatnya, bangsa kita masih banyak tergantung pada teknologi dan modal asing untuk membangun. Indonesia masih merupakan bangsa penghutang terbesar di dunia.jadi secara ekonomis kita belum mampu memegang sepenuhnya nasib kita di tangan kita sendiri. Begitu pula dengan bidang sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Kedua, penuh percaya kepada kekuatan sendiri. Setiap bangsa memiliki kekuatan komparatif dan kompetitif. Kekuatan komparatif adalah kekuatan yang sudah dimiliki sebagai anugerah Tuhan yang Mahakuasa. Kemampuan komparatif setiap bangsa berbeda sesuai dengan kondisi alamiah bangsa itu. Indonesia memiliki kekuatan komparatif yang begitu besdar, baik yang ada di darat, laut maupun udara. Kekuatan kompetitif adalah kemampuan daya saing yang dimiliki suatu bangsa. Daya saing itu sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusianya. Daya saing bangsa Indonesia terletak pada kemampuan kita menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sebab berbekal iptek akan mampu mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang begitu besar. Tanpa kemampuan penguasaan iptek yang baik bangsa Indonesia tidak akan mampu menciptakan nilai tambah (value eded) untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Nilai tambah itu secara sederhana dapat dinyatakan sebagai produksi nasional yang dapat dihasilkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Misalnya, bila kita memiliki teknologi pertanian yang baik maka kita akan mampu memproduksi hasil-hasil pertanian untuk mencukupi kebutuhan sandang dan pangan di dalam negeri. Ketiga, rela berjuang dengan penuh idealisme. Semangat proklamasi adalah semangat rela berjuang, berjuang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri juga dilandasi keikhlasan sehingga akan tercipta sebuah negara yang di idam-idamkan yakni negara: ‘’baldatun toyyibatun warabbun ghafur’’. Serta perjuangan panjang untuk menuju cita-cita nasional kita, yakni tercipta suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha dan inisiatif indiividu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan (predictability) serta ketulusan (transparency) sistem. Menurut Dede Rosyada, dkk (2003), bahwa karakteristik masyarakat madani antara lain adalah adanya Free Public Sphere, demokratis, toleransi, pluralisme, keadilan sosial (social justice), dan berkeadaban. Pertama, Free Public Sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya setara mampu melakukan transaksi wacana dan praktisi politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik. Kedua, demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Juga penekanan demokratis mencakup berbagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Ketiga, toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Keempat, pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan. Dalam masyarakat madani terdapat nilai-nilai universal tentang pluralisme yang kemudian menghilangkan segala bentuk kecenderungan partikularisme dan sektarianisme. Hal ini dalam proses demokrasi menjadi elemen yang sangat signifikan, dimana masing-masing individu, etnis dan golongan mampu menghargai kebhinekaan dan menghormati setiap keputusan yang diambil oleh salah satu golongan atau individu. Kelima, keadilan sosial. Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Proklamasi kemerdekaan adalah sumber dari segala sumber hukum yang menjadi dasar ketertiban baru di Indonesia. Proklamasi merupakan tingkatan penutup perjuangan kemerdekaan yang hampir 400 tahun bergolak di Indonesia. Proklamasi adalah permulaan zaman pembelaan negara merdeka Republik Indonesia. Dirgahayu Republik Idonesia Ke-70. Mudah-mudahan semakin jaya, bermartabat dan sejahtera. *** Semoga ***.

Minggu, 09 Agustus 2015

SISTEM POLITIK INDONESIA PASCA REFORMASI Oleh: Prof. Dr. Endang Komara, M.Si (Guru Besar Sosiologi Pendidikan Kopertis Wilayah IV Dpk pada Magister Pendidikan IPS STKIP Pasundan)

Abstrak Sistem politik dianggap sebagai alokasi nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan setiap warga masyarakat menghargainya sebagai ways of life. Penghargaan terhadap nilai di tengah-tengah masyarakat adalah sebuah prestasi yang diperjuangkan untuk dapat diperoleh. Upaya yang ditempuh dengan melakukan mobilitas intergenerasi internal dari komunitas politik untuk mencapai tingkat stabilitas politik. Sistem politik pasca reformasi perubahan sudah berjalan lebih baik, dan reposisi dari sistem politik sudah berjalan pada peranan rakyat yang lebih utama. Dimulai dari pemilihan umum anggota Dewan perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sampai pada tingkat yang paling rendah, yakni pemilihan anggota Dewan Perwakilan daerah Kabupaten/Kota, sampai dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Distribusi kekuasaan sudah pada tingkat yang berarti, hanya saja rakyat di daerah belum memiliki kemampuan untuk memahami distribusi kekuasaan sebagai nikmat untuk membangun daerahnya. Distribusi kekuasaan yang ada di daerah ternyata melahirkan jiwa dan semangat korup yang sudah mengakar di kalangan masysrakat. Abstract The political system is regarded as the allocation value is developed in the middle of the community and every citizen appreciate as ways of life. Appreciation of the value in the middle of the community is an achievement that fought to be obtained. The efforts taken by the internal intergenerational mobility of the political community to achieve a level of political stability. Post-reform political system has been running better change, and repositioning of the political system is already running on the role of the people is more important. Starting from the general election members of the Board of Representatives and Regional Representative Council up to the lowest level, namely the election of members of the House of Representatives District / City, until the implementation of direct local elections. The distribution of power is already at a level that means, just that people in the region do not yet have the ability to understand the distribution of power as a favor for local development. The existing distribution of power in the region apparently gave birth to the soul and spirit of the corrupt entrenched among society. I. Pendahuluan Banyak negara bangsa di dunia ini sudah mengalami perubahan dengan menempuh perjalanan panjang, tetapi ada pula yang menempuhnya dengan waktu yang relatif pendek. Hal ini disebabkan karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya, sesuai dengan tuntutan kepentingan berbagai pihak. Perubahan itu sendiri bukanlah suatu ancaman yang berbahaya, bilamana dalam pertimbangannya disikapi dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan dari sistem politik yang sudah berjalan sebelumnya. Dalam konteks ini perubahan adalah menciptakan kondisi yang lebih baik. Bisa saja perubahan dapat terjadi lebih buruk dari yang diinginkan, sebagai contoh yang terjadi di Yogoslavia dan negara-negara Balkan. Runtuhnya Uni Sovyet membawa bencana politik bagi negara-negara Balkan dengan berbagai krisis politik yang melandanya. Ini disebabkan oleh tingkat kemampuan sistem politik dalam menyikapi berbagai tekanan yang begitu kuat, sehingga ketahanan dari sistem politik tidak mampu membendung arus tekanan terhadap sistem politik yang ada. Kemampuan sistem politik yang masuk ke dalam proses perubahan sistem adalah merupakan suatu fakta, bahwa kemampuan untuk terus bertahan dengan sistem politik yang ada. Tekanan terhadap sistem politik dapat saja disebabkan oleh perubahan yang datang dari negeri maupun yang datang dari luar negeri. Sebagai bagian sistem yang luas, sistem politik Indonesia akan mendapat pengaruh dari sistem politik luar negeri, karena itu hal ini tidak hanya disebabkan oleh suatu tuntutan terhadap perubahan, tetapi yang paling penting adalah kemampuan dari sistem politik itu sendiri menjawab dan mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik. Persoalan biasanya terletak pada kekuatan dari suatu sistem politik untuk mengatasi berbagai desakan dan tuntutan terhadaap perubahan yang tidak baik. Suatu sistem politik yang kuat dapat menghadapi berbagai tekanan politik yang muncul dari sistem politik itu sendiri maupun tekanan datang dari luar sistem politik. Tekanan terhadap sistem politik akan berjalan terus darin suatu periode kepada periode berikutnya dari waktu ke waktu. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem politik terbuka akan banyak mendapat pengaruh dan harus mampu mengikuti irama perubahan. Sistem politik di China yang sebelumnya sangat tertutup seiring dengan perubahan tatanan dunia pada saat sekarang berusaha membuka dan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit. Kemampuan China dalam menata sistem politiknya dapat dijadikan sebagai model yang baik, sehingga lebih memperhatikan sistem politik yang ada di dalam negeri, walhasil China dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sistem politik yang terjadi di luar negeri. Dibandingkan dengan sistem politik yang ada di Amerika Serikat berusaha untuk memberikan warna ideologi terhadap negara bangsa yang lainnya. Setiap negara bangsa di dunia ini berbeda keinginan dengan Amerika Serikat, maka dianggap tidak demokratis menurut pandangan Amerika Serikat. Sebagai sebuah contoh pemilu yang dialksanakan di Iran dengan memilih presiden secara langsung dan demikian juga yang terjadi di Palestina dianggap tidak demokratis karena kemenangan Hammas dalam pemilu Palestina dan negara Adidaya tersebut menggunakan cara pandang kepentingan Amerika Serikat. Akibatnya proses demokratis yang terjadi di dua negara tersebut, dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan dunia, apalagi kemenangan Hammas dalam pemilu Palestina dan kemenangan Ahmad Dinejad dalam Pemilu Presiden Iran yang tidak dikehendaki oleh Amerika Serikat. Kekuatan sistem politik yang ada di suatu negara bangsa dapat diangkat melalui kekuatan sendiri dengan cara menggali potensi yang ada dalam negara bangsa tersebut. Kemampuan internal sistem politik berguna untuk membentengi diri dalam maupun dari luar, tekanan datang dari dalam maupun dari luar mempunyai kekuatan yang sama, karena itu diperlukan kemampuan suatu sistem politik untuk mempertahankan dirinya. Seperti dikemukakan oleh Juliansyah (2013:39) bahwa: ‘’Tekanan yang datang dari dalam negeri baisanya lebih pada perubahan yang diinginkan oleh warga masyarakat untuk memenuhi keinginan dan tuntutan yang lebih baik, akan tetapi membawa dampak negatif bilamana perubahan tersebut tidak memiliki arah yang jelas terhadaap perubahan yang dinginkan’’. Berdasarkan pendapat di atas nampak jelas, bahwa tekanan dari dalam negeri disebabkan oleh keinginan untuk mencapai perubahan yang diinginkan tetapi tekanan luar lebih mengarah pada kepentingan negara yang membawa perubahan, agar sesuai dengan kepentingan negara bangsa yang membawa perubahan. II. Pembahasan 2.1 Sistem Politik David Easton adalah salah satu ilmuwan yang telah berupaya membangun ilmu politik yang sistematis melalui dua tahap, pertama, melalui tulisan ilmiahnya “The Political System” pada Tahun 1953, yang menyatakan bahwa perlunya suatu teori umum dalam ilmu politik. Kedua, dealam tulisan ilmiah lainnya ‘’A Framework for Political Analysis’’ dan ‘’A System Analysis of Political Life’’ pada Tahun 1965, ia mulai memperkenalkan konsep serta mencari konsep yang mendukung tulisan sebelumnya, dan mencoba mengaplikasikan ke dalam kegiatan politik konkret atau praktis. Dalam hal ini Easton telah menggariskan kerangka berpikir dasar untuk mengkaji sistem politik. Kerangka pikir Easton bersifat adaptif dan fleksibel, karena itu dapat digunakan oleh aneka struktur masyarakat maupun politik, dan juga teori Easton ini dimungkinkan dapat diaplikasikan secara improvisasi oleh para penggunanya dalam melakukan penjelasan atas fenomena sistem politik. Easton menafsirkan istilah politik sebagai ‘’proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif’’. Pengeratian politik sebagai alokasi nilai yang bersifat otoritatif ini menandai dua tahap pembentukan teori sistem politiknya. Perhatian pada nilai sebagai komoditas yang dinegoisasikan di dalam masyarakat merupakan titik awal berlangsungnya suatu proses politik. Namun, proses alokasi nilai ini tidaklah dilakukan secara sembarang atau oleh siapa saja melainkan oleh lembaga masyarakat yang memiliki kewenangan untuk itu. Sementara itu, Easton (1967:5) menyatakan ada 4 (empat) asumsi yang mendasari bangunan pemikirannya yang bersifat umum dalam mengkaji suatu sistem politik, yaitu: Pertama, ilmu pengetahuan memerlukan suatu kontruksi atau bangunan yang sistematis untuk mensistematisasikan (menyusun) fakta, atau data yang ditemukan. Kedua, para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai keseluruhan (sistem), bukan parsial, atau bagian-bagian yang terpisah satu sama lain. Ketiga, riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri atas karaktersitik personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik (topografi, geografi), lingkungan organis nonmanusia (flora, fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksinya). Keempat, sistem politik harus dianggap berada dalam suatu disequilibrium (ketidakseimbangan). Dari penjelasan di atas, maka asumsi yang dikemukakan Easton dapat disimpulkan bahwa, pertama, easton paling tidaka ingin membangun suatu kerangka sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Kedua, konsep apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik. Ketiga, lembaga-lemabag apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk mengalokasikan nilai di tengah masyarakat. Keempat, sistem politik itu merupakan gambaran keseluruhan (komprehensif), sehingga tidak dapat dikaji secara parsial. Artinya, kita tidak hanya mengkaji lembaga legislatif saja tanpa mengaitkannya dengan peran lembaga eksekutif dalam melakukan implementasi perundang-undangan. Kelima, Easton juga menegaskan bahwa kajian atas sistem politik harus mempetimbangkan aneka pengaruh dari lingkungan. Pengaruh kondisi psikologis masyarakat, pola geografis wilayah negara, ataupun situasi yang berkembang pada level internasional harus diperhatikan pengaruhnya terhadap suatu sistem politik. Dengan kata lain, kajian atas sistem politik tidak boleh bersifat historis. Keenam, para peneliti sistem politik harus selalu menganggap sebuah sistem politik berlangsung di dalam suatu ketidakseimbangan (disequilbrium). Justru di dalam ketidakseimbangan tersebut, alur kerja sistem politik mempunyai daya dorong. Jika tidak ada persoalan ataupun kebutuhan, maka untuk apa sistem politik itu ada dan bekerja. Selanjutnya, David Easton dalam Sukarna (1977:15-16) mengajukan suatu definisi sistem politik yang terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu: Pertama, The political system values (by means of politics). Artinya, sistem politik menetapkan nilai (dengan cara kebijakan). Kedua, Its allocation are authoritive, and. Artinya, penetapannya bersifat paksaan atau dengan kewenangan, dan ketiga, its authoritive allocations are binding on the society as a whole. Artinya, penetapan yang bersifat paksaan itu tadi mengikat masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka sistem politik menunjukkan adanya unsur: Pertama, pola yang tetap dari hubungan antar manusia, yang di lembagakan dalam bermacam-macam badan politik (baik berupa supra struktur politik: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) maupun infra struktur politik: Partai Politik Golongan Kepentingan, Golongan Penekan, Alat Komunikasi Politik, dan Tokoh Politik. Kedua, kebijakan yang mencakup pembagian atau pendistribusian barang-barang materiil dan immateriil untuk menjamin kesejahteraan. Atau membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai negara secara mengikat. Ketiga, penggunaan kekuasaan atau kewenangan untuk menjalankan paksaan fisik secara legal. Keempat, fungsi integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat baik ke dalam maupun ke luar. Menurut Maksudi (2013:25), menjelaskan hasil penganalisaan pemikiran Easton, bahwa sistem politik terdiri dari sejumlah lembaga-lembaga dan aktivitas politik dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-dukungan (supports) dan sumber-sumber (resources) menjadi keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang bersifat otoritatif (dan dan mengikat) bagi seluruh anggota masyarakat. Dengan formulasi lain sistem politik terdiri atas: Pertama, subsistem masukan (inputs), terdiri dari tuntutan-tuntutan, dukungan-dukungan, dan sumber-sumber. Kedua, susbsistem proses (withinput), proses mengubah masukan menjadi keluaran, atau juga proses konversi atau kotak hitam. Ketiga, subsistem keluaran (output), hasil atau produk dari proses konversi yang berupa keputusan atau kebijakan. Keempat, subsistem lingkungan (environment), yaitu faktor-faktor dari luar yang mempenagaruhi sistem politik seperti sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, keamanan, geografis, dan seterusnya. Kelima, subsistem umpan balik (feedback), yaitu dampak dari pelaksanaan keputusan atau kebijakan, baik yang positif ataupun negatif, dimanfaatkan oleh sistem politik. Dukungan (support) dan sumber-sumber (resources) dapat diberikan oleh pelbagai pihak, baik secara perseorangan atau kelompok guna menunjang tuntutan-tuntutan yang telah dibuat tadi agar dapat diproses lebih lanjut. Tuntutan tanpa ditunjang oleh kuatnya dukungan dan sumber-sumber bisa mati sebelum diproses. Usaha mendorong masukan agar dapat masuk ke dalam sistem politik yang kemudian diproses menjadi keluaran sangat dipengaruhi juga oleh tekanan-tekanan yang berasal dari lingkungan (environment). Proses konversi (convertion process) dalam sistem politik yang terdiri dari supra struktur politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan infra struktur politik (partai-partai politik, kelompok kepentingan, media massa, tokoh masyarakat, anggota masyarakat, struktur birokrasi, prosedur, mekanisme politik, sikap dan perilaku pembuat keputusan, dan sebagainya) semuanya berinteraksi dalam suatu kegiatan atau proses untuk mengubah masukan menjadi keluaran. Proses yang terjadi dalam sistem politik itulah yanag disebut dengan nama: proses konversi (convertion process), kotak hitam (the black box), withinputs. Keluaran (output) atau hasil dari proses konversi itu berupa kebijakan publik (public policy outputs). Ini adalah merupakan bentuk dari apa yang pemerintah ingin lakukan. Karenanya kebijakan itu secara otoritatif akan dialokasikan kepada seluruh anggota masyarakat. Kata lain, bahwa kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah itu secara sah dapat dipaksakan pelaksanaannya bagi seluruh anggota masyarakat. Konsekuensi-konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan yang merupakan hasil dari proses sistem politik itu adalah bisa berupa dampak positif sesuai dengan harapan oleh pembuat keputusan. Artinya, kebijakan itu setelah ditetapkan ternyata dirasakan banyak gunanya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dan juga umumnya masyarakat dapat menerima atau mendukung terhadap kebijakan itu. Meskipun demikian kebijakan itu ada kemungkinan pula membawa dampak negatif yang tidak diharapkan akan timbul. Umapan balik (feedback). Kebijakan baik yang berdampak positif maupun negatif, akan menjadi umpan balik yang akan dimanfaatkan oleh perumus kebijakan politik sebagai masukan-masukan (inputs) baru yang nantinya diproses ke dalam sistem politik. Begitu seterusnya merupakan siklus, dari masukan, diproses, menjadi keluaran, ada dampak kebijakan menjadi umpan balik yang akan diserap oleh masukan untuk proses berikutnya. Lingkungan (environment) sistem politik berupa keadaan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, keamanan, geografi, dan sebagainya berpengaruh terhadap seluruh sub-sub sistem politik. Misalnya, sistem politik dipengaruhi sistem sosial, yaitu dalam masyarakat yang berkembang tata hidup paternalisme (kebapaan), feodalisme atau aristokrasi, dan otokrasitisme gerakan politik menuju sistem demokrasi akan mengalami hambatan-hambatan. Lain halnya dalam masyarakat yang berkembang tata hidup demokratisme, maka akan menjadi tempat yang subur untuk tumbuhnya sistem politik yang demokratis. Contoh lainnya, sistem politik dipengaruhi oleh sistem kepercayaan atau agama dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang agamanya mayoritas Hindu, yang membagi anggota masyarakat berkasta-kasta, maka sistem politik yang demokratis, akan sulit ataub terhambat perkembangannya. Tetapi agama-agama lainnya, yaitu Islam, Buddha, Kristen Katolik/Protestan, akan menunjang sistem politik demokratis karena dalam agama-agama itu tadi tidak membagi masyarakat atas kelas-kelas takdir yang berbeda, walaupun ada perbedaan derajat biasanya disebabkan oleh usahanya masing-masing. Demikian halnya, penetapan pajak mempengaruhi sistem ekonomi. Sistem ekonomi mempengaruhi masyarakat umum, dan pada akhirnya mempengaruhi pula sistem politik itu sendiri, sehingga merupakan umpan balik. Pengaruh lingkungan terhadap masukan-masukan (inputs) adalah mendorong tuntutan-tuntutan dan sebagainya supaya dapat langsung ditarnsformasikan ke dalam sistem politik, atau juga karena pengaruh lingkungan tuntutan-tuntutan tadi bisa mati (tidak berfungsi) sehingga tidak dapat diteruskan ke dalam sistem politik. Pengaruh lingkungan pada proses konversi (withinputsi) yaitu dapat ikut mewarnai kuantitas dan kualitas keluaran atau kebijakan yang akan dihasilkan dan bisa memperlancar atau menghambat proses konversi yang pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap keluaran (outputs) sistem politik tersebut. Implementasi kebijakan-kebijakan publik yang telah dihasilkan oleh sistem politik juga banyak dipengaruhi oleh lingkungan, dimana hal ini bisa membentuk kualitas dampak kebijakan akan tampak nanti. Dampak kebijakan baik positif atau negatif untuk bisa menjadi umpan balik yang bisa dimanfaatkan dari masukan-masukan baru yang dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi lingkungan mempunyai pengaruh yang luas sekali terhadap sistem politik. Tetapi juga sebaliknya dalam kehidupan politik yang nyata lingkungan dapat pula dipengaruhi oleh sistem politik. Jadi ada pengaruh timbal balik antara lingkungan dan sistem politik. 2.2 Sistem Politik Pasca Reformasi Pengalaman masa Orde Lama dan Orde Baru cukup memberikan kesan yang mendalam dalam sistem politik Indonesia. Peran elit yang terlalu dominan membuat masyarakat tidak berdaya untuk membangun dirinya terlibat dalam menciptakan sistem politik yang stabil, malah sebaliknya timbul beberapa persoalan yang tidak terselesaikan. Masyarakat atau rakyat merupakan penentu berjalannya suatu sistem politik, karena masyarakat dianggap sebagai subjek dan objek dari sistem politik yang ada. Menurut Nico Schulte Nordholt (Juliansyah, 2013:47) bahwa, kekuatan sistem politik memerlukan tingkat dukungan yang tinggi dari berbagai peran yang ada di dalam sistem politik itu sendiri. Kalau kita secara sepintas meninjau kelima persyaratan yang disebut oleh Linz dan Stepan, maka dengan sendirinya kita dapat menarik kesimpulan bahwa kondisi bangsa negara Indonesia masih jauh dari keadaan yang memadai. Lima syarat itu demi transisi menuju ke dmokrasi, adalah: Pertama, Civil Society yang bebas dan aktif. Kedua, masyarakat politik (termasuk elit parpol-parpol yang relatif otonom. Ketiga, penegakan hukum. Keempat, birokrasi yang profesional. Kelima, masyarakat ekonomi yang relatif otonom dari negara dan pasar murni. Masyarakat sipil (civil society) diberikan ruang yang bebas dan aktif memberikan peran politiknya untuk menentukan arah bangsa dan negara. Peran masyarakat sipil atau civil society mempunyai peran maksimal menentukan arah tindakan terciptanya masyarakat yang berdaya menentukan nasibnya sendiri. Peran warga masyarakat tidak hanya tercermin melalui berbagai tindakan-tindakan politik, seperti memberikan suara dalam Pemilu secara bebas dan bertanggung jawab, tetapi termasuk menentukan nasib sendiri. Peranan pemerintah menjadi kataalisator tumbuhnya masyarakat sipil yang berdaya melalui berbagai program kebijakan pemerintah di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Masyarakat tidak hanya pasif dan bersifat menunggu apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, malah sebaliknya masyarakat merupakan mitra pemerintah untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat: ‘’... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajaukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...”. Kedudukan partai politik menjadi sangat strategis pada saat Indonesia memasuki babak baru dalam sistem politik yang lebih terbuka. Partai politik dan elit politik tidak hanya tergantung pada kekuatan yang berada di luar kerangka sistem politik. Persoalannya sekarang adalah partai politik dan elit politik belum memiliki kemampuan untuk mempercayai dirinya sendiri dalam menentukan sikap, termasuk sangat tergantung pada ‘’backing’’ seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Budaya ‘’backing’’ ini menjadi penyebab lemahnya partai politik dan elit untuk bersikap otonom dalam menentukan proses kompetisi politik dan menentukan sikap politik. Kemandirian partai politik dan elit sangat dibutuhkan agar tidak memiliki rasa ketergantungan kepada pemerintah, termasuk dalam menentukan sikap politik untuk melakukan oposisi atau koalisi. Keberanian partai politik untuk menentukan sikap adalah untuk menjaga kontaminasi kepentingan rezim yang berkuasa dengan kepentingan rakyat. Pengawasan dan pengendalian kekuasaan oleh oposisi menunjukkan berjalannya check and balances system dalam sistem politik, bila ini tidak terjadi dikhawatirkan maraknya extra parlementer untuk melakukan tekanan terhadap pemerintah. Demokrasi sedang berjalan dengan baik harus didukung oleh kekuatan untuk menjalankan hasil keputusan politik yang dibuat dalam sistem politik. Keputusan yang dibuat untuk kepentingan, ketertiban dan keberlangsungan hidup bangsa dan negara, karena itu peran penegak hukum untuk menjalankan keputusan politik yang sudah dibuat sebagai sebuah kesepakatan bersama. Kesadaran yang terjadi adalah penegakan hukum sesuai dengan norma hukum yang berlaku, jangan sampai hukum dijadikan sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Perangkat hukum yang dibuat dipastikan dapat dijalankan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan kepentingan bersama, walhasil penegakan hukum tidak berlaku diskriminatif, tetapi berdasarkan pada bukti dan fakta hukum. Penegakan hukum diberlakukan sesuai dengan rasa keadilan, kejujuran, dan kebenaran menjadi prinsip utama dalam menjalankan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Hukum dibuat untuk menjaga ketertiban dan keberlangsungan hidup masyarakat politik, karena itu politik memerlukan hukum untuk menciptakan rasa kepastian hukum, keteraturan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam negara demokrasi, hukum dibuat dan dilaksanakan untuk menciptakan kepastian dan menumbuhkan kepercayaan dalam amsyarakat, sehingga ada masayarakat terlindungi hak-haknya dan penindakan terhadap pelaku tindak pidana untuk menciptakan keteraturan sosial. Roda pemerintahan akan dapat berjalan bila kepentingan politik dipisahkan dengan kepentingan birokrasi. Birokrasi dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas politik atau kebijakan politik yang sudah dibuat, peranan birokrasi dapat memberikan dukungan yang kuat berjalannya pemerintahan. Birokrasi dapata terlihat dengan jelas tugas dan fungsi yang dijalankan apabila demokrasi terbuka lebar, artinya birokrasi tidak masuk dalam proses politik lebih banyak pada pelaksana kebijakan politik. Persoalan pokok yang muncul adalah bagaimana meletakkan dasar-dasar bagi terbentuknya suatu sistem politik yang demokratis. Menurut Alfred Stepan, keputusan rezim memulai reformasi menuju demokrasi biasanya terjadi karena didasari pertimbangan kelompok elit bahwa kepentingan mereka jangka panjang akan lebih bisa terjamin bila diperjuangakan dalam lingkungan yang demokratis. Tetapi jalur reformasi dari atas umumnya menghasilkan beberapa kecenderungan. Pertama, proses demokratisasi bila saja dihentikan oleh pemegang kekuasaan karena situasi yang muncul pada masa liberalisasi itu dianggap terlalu mahal biayanya ketimbang biaya represi. Kedua, karena demokratisasi dari atas itu dikaitkan dengan pemeliharaan kepentingan elit, maka kecenderungan yang terjadi adalah munculnya demokrasi terbatas. Ketiga, kekuatan militer akan terus melakukan usaha-usaha untuk mempertahankan hak-haknya tetap ada dan hal ini sangat mengganggu proses demokratisasi. Reformasi yang diharapkan oleh golongan mahasiswa dan masyarakat akan mengalami perubahan yang tidak sesuai dengan harapan, para pemegang kekuasaan berupaya mengontrol proses demokrasi yang sedang berjalan. Pertimbangan tersebut dengan berbagai alasan untuk membenarkan segala tindakan pemerintah (penguasa), baik berupa alasan ekonomi biaya tinggi dalam kegiatan demokrasi, stabilitas politik dengan melakukan penyederhanaan partai politik, maupun melakukan eliminasi peran Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuan akhirnya adalah untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara-cara yang kurang simpatik. Istilah yang sering digunakan adalah dengan menggunakan terminologi demokrasi karakter Indonesia ataupun dengan nama Demokrasi Pancasila. Di era demokrasi ada peran-peran lembaga lain yang merasa dirugikan akibat dibatasinya kewenangan untuk melakukan berbagai kegiatan politik, terutama aktivitas militer yang dirugikan melalui pembatasan ruang geraknya untuk memberikan pengaruh berbagai keputusan politik. Kesiapan pemegang kekuasaan untuk merelakan sebagian kekuasaannya diawasi oleh pihak lain, dianggap terlalu mahal bagi pemegang kekuasaan yang pada akhirnya elit merasa lebih penting melakukan tindakan represi. Sebenarnya pemegang kekuasaan lebih mengetahui resiko yang diterimanya, saat tindakan represi terhadap pihak yang dianggap menentang kebijkannya. Demi untuk mempertahankan kelangsungan kekuasaannya elit biasanya melakukan demokrasi untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan, akibatnya membuat demokrasi semu. Demokrasi seperti itu dilakukan untuk memberikan batas-batas ketertiban kelompok atau masyarakat yang seolah-olah terlibat dalam proses demokrasi. Untuk mewujudkan demokrasi semu diperlukan kekuatan militer agar dapat memberikan porsi-porsi tertentu kepada militer untuk menduduki tempat-tempat yang dianggap sangat strategis dari sisi politik dan ekonomi. III. Kesimpulan 3.1 Sistem politik dipengaruhi oleh lingkungan yang berada di sekitarnya baik yang langsung berhubungan dengan sistem politik maupun yang tidak langsung berhubungan dengan sistem politik. Tekanan terhadap sistem politik paling besar ditentukan oleh interaksi sistem politik dengan lingkungan yang berada di sekitarnya. Sistem politik bukan bejana vakum dalam ruang lingkup yang hampa, tetapi wadah yang dapat diisi dan bagaikan dinding berwarna putih. Sistem politik dengan mudah mendapat pengaruh dari lingkungan yang berada di sekitarnya mempengaruhi sistem politik sangat terkait oleh nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat. Nilai inilah yang dapat memberikan warna, pola dan karakter sistem politik itu sendiri, baik yang dipengaruhi oleh nilai filosofis, nilai sosiologis, dan nilai budaya yang dianut oleh suatu komunitas politik. 3.2 Proses politik internasional menjadi masukan bagi terciptanya perubahan sistem politik secara tidak sengaja menyeret Indonesia untuk berpartisipasi dalam sistem politik global dengan terlibat di negara-negara Non-Blok. Keterbukaan dunia menyebabkan arus informasi semakin lancar masuk dalam suatu sistem politik yang ada. Banyak cara yang ditempuh masuknya informasi di era sekarang ini, yang paling efektif adalah melalui internet dan media televisi internasional. Persitiwa yang sama pada saat ini dapat diketahui di seluruh dunia, membuat dunia semakin mengecil dan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Kondisi seperti inilah membawa Indonesia terbawa pada fungsi input dari sistem politik dunia internasional yang juga mempengaruhi kebijakan yang harus dibuat oleh Pemerintah Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Easton, David. 1957. Empirical Conceptualizations: An Approach to the Analysis of Political System. Boston: Holbrook Press. Easton, David. 1967. The Political System. New York: Alfred A. Knopf, Inc. Easton, David. 1982. Analisa Sistem Politik. Dalam Mochtar Mas’oed dan Colin Mac Andrew (Ed). Perbandingan Sistem Politik. Gajah Mada University Press. Juliansyah, Elvi. 2013. Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi. Bandung: Mandar Maju. Sukarna. 1977. Sistem Politik. Bandung: Alumni. Maksudi, Beddy Iriawan. 2013. Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoretik dan Empirik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Winarno, 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan: Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.

Senin, 15 Juni 2015

RAMADHAN BULAN EDUKASI

Setiap sebulan sekali dalam satu tahun, umat Islam di seluruh dunia diwajibkan berpuasa sebulan penuh, selama Ramadhan. Sebagian dari mereka ada yang hanya menahan lapar dan haus, hanya bersantai dan tertidur saja hingga tiba waktu berbuka. Namun ada juga sebagian yang lain tetap semangat menggiatkan diri beribadah, menambah rakaat shalat sunat (Rawatib dan Tarawih), bertadarus Al-Qur’an, giat belajar dan bekerja, serta berbagi rezeki terhadap saudaranya yang membutuhkan. Malah mungkin, kegiatan yang dijalankan di bulan suci Ramadhan 1436 H ini lebih giat dibandingkan dengan bulan-bulan lain dan Ramdhan pada tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya esensi bulan Suci Ramadhan telah termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an (Al-Baqarah, ayat 183-184), bahwa Allah Swt, memerintahkan hambanya untuk berpuasa guna menjadi manusia yang bertaqwa, dengan ikhlas mentaati perintah-Nya dan bersungguh-sungguh menjauhi larangan-Nya. Kemudian di bulan ini, pahala pun dilipat gandakan, dan segala hidayah bagai taburan bintang di malam hari. Bagi siapa yang teguh dan khusyu melewati bulan ini dengan aktivitas yang bermanfaat, maka kelak ia akan menerima kemuliaan pada bulan-bulan berikutnya. Rasulullah Muhammad Saw selalu meningkatkan ibadahnya dan semakin teguh dalam mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru negeri. Puasa merupakan suatu bentuk ibadah yang menjadi kewajiban di bulan Ramadhan. Semua umat Islam menahan lapar dan haus di siang hari, tidak berhubungan suami-istri, dan menahan amarah hingga waktu berbuka. Semua itu dilakukan agar puasa yang dijalankan dapat bernilai kebajikan sehingga tidak menodai kemurnian dan nilai-nilai luhur puasa. Dari puasa ini, sesungguhnya Allah Swt mendidik hamba-hambanya disebut sebagai bulan edukasi, diantaranya untuk dapat menahan hawa nafsu, syahwat, dan pikiran keruh sehingga tercipta manusia yang berakhlak mulia (akhlaqul qarimah). Ramadhan merupakan bulan edukasi, di bulan ini mendidik hati untuk selalu dekat kepada Allah Swt, selalu berdzikir mengingatnya, mentaati perintah-Nya, dan mengunci nafsu dari perbuatan yang lalai terhadap-Nya. Selama sebulan, umat Islam dibina untuk mengendalikan dirinya, mengendalikan hati, akal, dan nafsu-Nya. Layaknya sebuah sekolah, bulan Ramadhan merupakan bulan pendidikan. Kita dididik untuk mengendalikan diri, berkorban, beribadah semata-mata hanya untuk Allah Ta’ala. Lebih dari itu, dalam hadist Qudshi, Allah merahasiakan pahala dari Ramadhan ini, mulai 10-1.000, bahkan 1.000.000 kebaikan jika memang hamba-Nya bersungguh-sungguh menjalankan ibadah puasa. Apabila memaksimalkan diri untuk semakin giat beribadah, memperdalam ilmu agama, dan terus mengurung nafsu dalam kotak ketaqwaan selama bulan pendidikan ini, maka pasti akan meraih kemenangan yang hakiki. Kita akan naik kelas, semakin mulia di mata Allah dan semakin luhur di hadapaan manusia. Semoga kita tidak menyia-nyiakan kemuliaan Ramadhan sebulan ini, kita belajar mendidik diri kita, meningkatkan keataqwaan dan kesungguhan beriabadah selama Ramadhan agar menjadi insan bertaqwa (mutaqin), manusia yang terdidik, dan manusia yang mulia di sisi Allah Swt. Menghadapi bulan Ramadhan harus bergembira, hal ini disebabkan karena, pertama, Ramadhan merupakan bulan penggugur dosa, Rasulullah Saw bersabda dengan lisannya yang mulia: ‘’Shalat lima waktu, shalat Juma’at sampai ke shalat Juma’at berikutnya, puasa Ramadhan ke puasa Ramdhan berikutnya adalah sebagai penghapus dosa apabila perbuatan dosa besar ditinggalkan’’. (H.R. Muslim). Hadirnya Ramadhan sungguh menjadikan momentum bagi kita untuk membersihkan diri dari segala noda, dosa dan kemaksiatan yang tidak kita sadari. Ibarat pakaian yang sehari-hari kita pakai, meskipun tidak terkena lumpur atau kotoran yang jelas, tetap saja kita harus mencucinya karen ada debu yang melekat erat padanya. Begitupun diri kita, sekalipun kita kita menjalani dosa besar, namun tentu saja kita sadari terkadang ada hal yang kita lakukan menyebabkan noda kecil dalam hati kita, bisa jadi melalui lisan, pandangan, atau bahkan anggota badan kita. Inilah yang menjadi kegembiraan tibanya bulan Ramadhan, karena mendapat kesempatan untuk menyucikan diri dari kita. Maka marilah kita menjalankan ibadah syaum dengan penuh iman dan pengharapan, serta memperbanyak istighfar, agar Ramadhan ini menjadi bulan pengampunan. Kedua, Ramadhan merupakan bulan musim kebaikan, dimana kita menjalankan ibadah syaum dengan penuh semangat, berbondong-bondong dan sungguih-sungguh terasa lebih ringan. Inilah yang dijelaskan dalam hadist Rasulullah Saw, tentang Ramadhan sebagai musim kebaikan yang menakjubkan: ‘’Bulan dimana dibuka pintu-pintu syurga, ditutup pintu-pintu neraka, syetan-syetan dibelenggu. Dan berserulah malaikat: wahai pencari kebaikan, sambutlah. Wahai pencari kejahatan, berhentilah, demikian sampai berakhirnya Ramadhan’’. (H.R. Ahmad). Inilah yang menjadikan kegembiraan tibanya bulan suci Ramadhan, karena kebaikan begitu mudah dilakukan. Bersama-sama kita lihat di masjid, mushola, bahkan di rumah-rumah kita, bagaimana Ramadhan menyinari kita dengan banyak amal dan kegiatan, mulai pagi hari hingga malam, melaksanakan amal kebaikan yang begitu beragam. Ketiga, Ramdhan ukhuwah meningkat. Hari-hari dipenuhi dengan banyak pertemuan antar jamah masjid, dari mulai sholat tarawih berjamaah, tadarusan selepas tarawih, hingga shalat shubuh berjamaah. Kaum muslimin berkumpul setiap harinya dan merasakan keindahan ukhuwah yang luar biasa dan menemukan keharmonisan di dalam keluarga maupun masyarakat. Bulan Ramadhan disebut bulan edukasi seperti dijelaskan oleh Dr Raghib As-Sirjani (2014), yakni: Mendidik kaum muslimin untuk memenuhi perintah-Nya secara totalitas; mendidik kaum muslimin agar menundukkan syahwatnya; mendidik untuk mengendalikan hawa nafsu dan menahan amarahnya; mendidik senang berinfak; mendidik memiliki rasa persatuan, persaudaraan dan kasih sayang; mendidik merasakan penderitaan dan kesulitan orang lain; mendidik ketakwaan dalam hati kaum muslimin. Tujuan yang ingin dicapai dari ibadah puasa adalah membentuk pribadi yang mampu menghadirkan Allah Swt dalam setiap aktivitas dan perilakunya, maka orang tersebut akan senantiasa terbimbing dari perbuatan yang dilarangnya. Setelah sebulan penuh dididik Ramadhan, ilmupun didapat, maka langkah selanjutnya adalah mengamalkan ilmunya demi kebaikan diri, keluarga dan orang lain. *** Semoga ***.

KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN CIVIC EDUCATION

Abstak Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untu mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pembelajaran Civic Education, guru dituntut mengembangkan proses pembelajaran yang menarik, menyenangkan, menantang, dan membentuk peserta didik untuk mampu berpikir kritis dan konstruktif. Guru PKn harus mampu menyajikan materi pembelajaran secara kontekstual, mengaitkan materi pelajaran dengan kondisi nyata di lapangan, mengatikan teori dengan praktek, antara harapan dan kenyataan, mengidentifikasi masalah yang terjadi, dan mendorong peserta didik untuk memunculkan alternatif pemecahan masalah. Kata kunci: Kurikulum, pembelajaran dan Civic Education. I. Pendahuluan Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 ayat (19) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Selanjutnya tujuan pendidikan nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan berperadaban dunia. Kurikulum adalah instrumen pendidikan untuk dapat membawa insan Indonesia yang memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif dan afektif. Salah satu langkah dalam penyusunan Kurikulum 2013 adalah penataan ulang PKn menjadi PPKn yang meliputi: Pertama, mengubah nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Kedua, menempatkan mata pelajaran PPKn sebagai sebagai bagian utuh dari kelompok mata pelajaran yang memiliki misi pengokohan kebangsaan. Ketiga, mengorganisasikan SK-KD dan indikator PPKn secara nasional dengan memperkuat nilai dan moral Pancasila; nilai dan norma UUD NRI Tahun 1945; nilai dan semangat Bhineka Tunggal Ika, serta wawasan dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat, memantapkan pengembangan peserta didik dalam dimensi: pengetahuan kewarganegaraan, sikap kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, keteguhan kewarganegaraan, komitmen kewarganegaraan, dan kompetensi kewarganegaraan. Kelima, mengembangkan dan menerapkan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik PPKn yang berorientasi pada pengembangan karakter peserta didik sebagai warganegara yang cerdas dan baim secara utuh. Keenam, mengembangkan dan menerapkan berbagai model penilaian proses pembelajaran dan hasil belajar PPKn. II. Pembahasan A. Struktur Kurikulum Civic Education Dalam pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara imperatif digariskan bahwa: ‘’Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab’’. Karena itu idealisme pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis merupakan misi suci (mission sacre) dari pendidikan kewarganegaraan. Secara khusus, seperti dapat dicermati pada Penjelasan Pasa 37 ayat (1) ‘’Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air’’. Dalam konteks itu pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya merupakan pendidikan kebangsaan atau pendidikan karakter bangsa. Semua imperatif atau keharusan itu menuntut perlunya penghayatan baru kita terhadap pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan paksis pendidikan yang utuh pada gilirannya dapat menumbuhkan ‘’civic intelligence’’ dan ‘’civic participation’’ serta ‘’civic responsibility’’ sebagai anak bangsa dan warga negara Indonesia. (Idris Affandi dalam http://www.lpmpjabar.go.id). Secara historis epistemologis dan pedagogis, pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler dimulai dengan diintroduksikannya mata pelajaran Civics dalam Kurikulum SMA tahun 1962 yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata pelajaran Civics atau Kewarganegaraan, pada dasarnya berisikan pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri, 1967:7). Istilah Civics tersebut secara formal tidak dijumpai dalam Kurikulum 1957 maupun dalam Kurikulum 1946. Namun secara materil dalam Kurikulum SMP dan SMA 1957 terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum, dan dalam Kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan pengetahuan mengenai pemerintahan. Kemudian dalam Kurikulum 1968 dan 1969 istilah Civics dan pendidikan kewargaan negara digunakan secara bertukar pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai mana mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan civics (diterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara). Dalam Kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam Kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1969). Selain itu, dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), digunakan beberapa istilah, yakni Pendidikan Kewargaan Negara, Studi Sosial, Civics dan Hukum. Untuk SD 8 tahun pada PPSP digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang merupakan mata pelajaran IPS terpadu dan mirip dengan integrated social studies di Amerika. Di situ istilah pendidikan kewargaan negara kelihatannya diartikan sama dengan pendidikan IPS. Di sekolah menengah 4 tahun digunakan istilah studi sosial sebagai pengajaran IPS yang terpadu untuk semua kelas dan pengajaran IPS yang terpisah-pisah dalam bentuk pengajaran geografi, sejarah dan ekonomi sebagai program major pada jurusan IPS. Selain itu juga terdapat mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti yang harus ditempuh oleh semua siswa. Sedangkan mata pelajaran Civics dan Hukum diberikan sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS (PPSP IKIP Bandung; 1973a). Selanjutnya dalam Kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan misi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini harus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1976). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development (Taba, 1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas. Sesuai dengan ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN Pendidikan Pancasila mencakup pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Dari situ dapat dilihat bahwa Pendidikan Pancasila memiliki dimensi pendidikan ideologi, pendidikan nilai dan moral, dan pendidikan kejuangan. Bila dianalisis denga cermat, ternyata baik istilah yang dipakai maupun rumusan misi dan organisasi isi mata pelajaran Civics atau Pengetahuan Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, di dalam dunia persekolahan yang berkembang selama hampir empat dasawarsa (1960-an s.d. awal 2000-an) menunjukkan telah terjadinya inkonsistensi pemikiran yang secara mendasar yang mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, dan ternyata hal itu berdampak pada terjadinya krisis konseptual dan operasional pedagogis. Menurut Winataputra dan Budimansyah (2007:158), hal tersebut tidak usah merasa aneh, karena keadaan seperti ini mirip juga dengan situasi yang pernah dialami di Amerika Serikat, dimana ‘’Civics, Civic/Citizenship Education, Social Studies/Social Science Education’’ sejak kelahirannya tahun 1880-an sampai dengan terbitnya dokumen akademis NCSS (1994) ‘’Curriculum Standards for Social Studies: Expectation of Excellence’’. Namun demikian mereka kini telah berhasil mengatasi krisis konseptual dan kurikuler. Setidaknya mereka kini telah mencapai suatu konsensus akademis dan programatik yang pada gilirannya akan memandu terjadinya proses kurikulum yang lebih koheren. Bagi Indonesia konsensus serupa sangatlah penting dan didambakan untuk mendapatkan paradigma yang cocok mengenai pendidikan bidang sosial di sekolah. Namun sampai dengan saat ini rasanya belum juga tercapai. Sampai dengan diberlakukannya kurikulum persekolahan tahun 1994, terdapat tiga jenis pendidikan bidang sosial yakni Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diwajibkan untuk semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan; Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai bendera dari kelompok mata pelajaran ilmu bumi, sejarah nasional, dan sejarah umum pada jenjang pendidikan dasar; dan mata pelajaran sosial yang berdiri sendiri secara terpisah seperti geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan tata negara di sekolah menengah. Hakikat dari PPKn adalah kesadaran sebagai warganegara (civic literacy), komunikasi sosial kultural kewarganegaraan (civic engagement), kemampuan berpartisipasi sebagai warga negara (civic skill and participation), penalaran kewarganegaraan (civic knowledge), dan partisipasi kewarganegaraan secara bertanggung jawab (civic participation and civic responsibility). Nama PPKn sebenarnya bukan hal yang baru pada kurikulum pendidikan nasional. Pada Kurikulum 1994 nama PPKn juga muncul, kemudian pada Kurikulum 2006 ‘’hilang’’, dan pada Kurikulum 2013 Pancasila dimunculkan kembali. Pada Kurikulum 2006 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan pada Kurikulum 2013 Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk mengembangkan peserta didik menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Ruang lingkup kurikulum atau substansi utama perubahan PKn menjadi PPKn. Kurikulum PKn 2006 meliputi: persatuan dan kesatuan bangsa; norma, hukum dan peraturan; hak asasi manusia; kebutuhan warga negara; konstitusi negara; kekuasaan dan politik; Pancasila; dan globalisasi. Sedangkan Kurikulum PPKn 2013 meliputi: Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa; UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam keberagaman yang kohesif dan utuh; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara Indonesia. B. Pembelajaran Civic Education Menurut Branson (1999:7) tujuan Civic Education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn menurut Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut: a. Berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk membentuk diri bedasarkan karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain. d. Berinteraksi dengan bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Tujuan PKn yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995:10) adalah, pertama, secara umum tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian pendidikan nasional yaitu: ‘’Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasysrakatan dan kebangsaan.’’ Kedua, secara khusus tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan menurut Sapriya (2001) tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warganegara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warganegara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partispasi yang efektif dan bertanggung jawab itupun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung keberfungsiannya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat. Tujuan umum pembelajaran PKn ialah mendidik warganegara agar menjadi warganegara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan warganegara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis …, Pancasilais sejati (Somantri, 2001:279). Fungsi mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warganegara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD NRI 1945. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan negara mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan agar setiap warganegara menjadi warganegara yang baik (to be good citizens), yakni warganegara yang memiliki kecerdasan (civic intelliegence) baik intelektual, emosional, sosial maupun spiritual, memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility), dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. III. Kesimpulan a. Perkembangan Civics dan Civic Education di Indonesia terjadi pada tahun: pertama, Kewarganegaraan (1957) membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara. Kedua, Civics (1962) tampil dalam bentuk indoktrinasi politik. Ketiga, Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Keempat, Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS. Kelima, Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikkan dengan pengajaran IPS. Keenam, Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4. Ketujuh, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. Kedelepan, PKn (2006) yang meliputi persatuan dan kesatuan bangsa; norma, hukum dan peraturan; hak asasi manusia; kebutuhan warga negara; konstitusi negara; kekuasaan dan politik; Pancasila; dan globalisasi. Kesembilan, PPKn (2013) yang meliputi Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa; UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud keberagaman kehiduoan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam keberagaman yang kohesif dan utuh; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara Indonesia. b. Ruang lingkup Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah; Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis; dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat obyektif hidup bernegara. c. Melalui Pembelajaran PKn siswa diharapkan, pertama, memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup Negara Republik Indonesia. Kedua, melek konstitusi (UUD NRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam Negara Republik Indonesia. Ketiga, menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas. Keempat, mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar. DAFTAR PUSTAKA Affandi, Idris. 2013. Kurikulum PPKn 2013. Dalam http://www.lpmpjabar.go.id. Branson. 1999. Belajar Civic Education. Jakarta: Rineka Cipta. Departemen P&K. 1962. Kurikulum Sekolah Dasar. Jakarta. Departemen P&K. 1969. Pedoman Kerja Sekolah Pendidikan Guru. Jakarta. Departemen P&K. 1976. Kurikulum Sekolah Menengah Atas 1975: Buku I Ketentuan Pokok. Jakarta: Balai Pustaka. Djahiri. A. Kosasih. 1994/1995. Dasar Umum Metodologi Pengajaran Pendidikan Nilai, Moral. Bandung: LAB PPKn IKIP. PPSP IKIP Bandung. 1973a. Program Kurikulum Studi Sosial Sekolah Dasar Pembangunan. Bandung. Sapriya. 2001. Ontologi Pendidikan Keawarganegaraan dan Perannya dalam Pembangunan Karakter Pribadi dan Kebangsaan Indonesia. Dalam Budimansyah, D & Komalasari, K. (Eds). 2011. Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa Penghargaan dan Kehormatan 70 tahun Prof. Dr. H. Endang Somantri, M.Ed. (hlm. 136-150). Bandung: Widya Aksara Press. Somantri, N. 1967. Pelajaran Kewargaan Negara di Sekolah. Bandung: IKIP Bandung. Somantri, N. 2001. Community Civic Education: Basic Concept and Esensial Elements. Bandung: Center for Indonesian Civic Education (CICED). Taba, Hilda. 1967. The Process of Education. Dalam www.got.blogger.com. Winataputra, Udin dan Dasim Budimansyah. 2007. Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bumi Siliwangi: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.