Sabtu, 02 Februari 2019

PERAN PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DALAM MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA

Abstract
Anti-corruption education aims to establish awareness of the dangers of corruption, then rose to oppose him, promoting the values of honesty and not easily give it up for the good.Anti-corruption education, should be managed as a container dialog to grow the collective consciousness of every citizen of the importance of the eradication and prevention of corruption.Civil society as a process of creation of the civilization that refers to a shared policy values such as democracy, upholding the ethics and morals, transparent, tolerant, potentially, asp [ioratif, motivated people, participate, consistent, able to coordinate, simple, synchronous, integral and uphold human rights 
Keywords: Roles, Education, Anti-corruption, Community, Madani.

Abstrak
Pendidikan antikorupsi bertujuan membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya, mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan. Seharusnya, pendidikan antikorupsi dikelola sebagai wadah dialog hingga tumbuh kesadaran kolektif setiap warga terhadap pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama seperti demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, asp[ioratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten,mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral dan menegakan hak asasi
Kata kunci: Peran, Pendidikan, Antikorupsi, Masyarakat, Madani.

Pendahuluan
Dalam perkembangan tindak pidana korupsi, baik dilihat  dari kuantitas maupun kualitasnya dapat dikatakan bahwa, korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), tetapi sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Secara internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang sangat kompleks, bersifat sistemis, dan meluas. Centre for Crime Prevention (CICP) sebagai salah satu organ PBB secara luas mendefinisikan korupsi sebagai missus of (public) power for private gain. Artinya korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas, meliputi tindak pidana suap (bribery), penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (extortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perseorangan yang bersifat ilegal (exploiting aconflict interest, insider trading), nepotisme, komisi ilegal yang diterima oleh pejabat publik (illegal commission), dan kontribusi uang secara ilegal untuk partai politik. Sebagai masalah dunia, korupsi sudah bersifat kejahatan lintas negara (trans national border crime). Oleh karena itu, mengingat kompleksitas serta efek negatifnya, korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan yang luas biasa (extra ordinary crime) memerlukan upaya pemberantasan dengan cara-cara yang luas biasa (extra ordinary measure).
Bagi bangsa Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup di segala segi kehidupan dan tampak sebagai pencitraan budaya buruk bangsa Indonesia. Secara sinis, orang bisa menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku korupsi, baik dilakukan oleh eksekutif, legislatif maupun pihak swasta. Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya benar dalam realitasnya, kompleksitas korupsi dirasakan bukan masalah hukum semata, tetapi merupakan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar.masyarakat tidak dapat menikmati pemerataan hasil pembangunan dan tidak menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Secara keseluruhan korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Pemberantasan korupsi bukan sekadar aspirasi masyarakat luas, melainkan merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs) bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan dari bumi pertiwi. Dengan demikian, penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan. Tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang sudah sangat menderita karena korupsi yang semakin merajalela.
Dalam perspektif pendidikan, setiap manusia memiliki potensi untuk berkembang dan dikembangkan mengenai potensi yang ada dalam dirinya. Upaya yang dinilai efektif untuk mengembangkan potensi tersebut, yaitu aktivitas pendidikan. Menurut Hasan Langgulung (1987), pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang individu dan sosial. Berdasarkan sudut pandang individu, pendidikan merupakan upaya mengembangkan potensi individu. Adapun sudut pandang sosial pendidikan yaitu sebagai pewarisan nilai budaya oleh generasi tua ke generasi muda, agar nilai-nilai tersebut dapat dilestarikan. Pendidikan membimbing manusia menjadi manusia yang lebih dewasa secara intelektual, moral, dan sosial, dalam hal ini pendidikan merupakan pemelihara budaya. Dengan demikian, pendidikan dapat dipandang sebagai upaya preventif bagi perkembangan sikap dan perilaku korupsi.
Dilihat dari substantif, pendidikan seperti yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dapat dipandang tepat untuk meningkatkan ketahanan etika bangsa melalui reformasi sosial yang menjadi pemicu terjadinya reformasi kelembagaan. Reformasi kelembagaan ini dapat melindungi secara eksternal kemungkinan terjadinya praktik korupsi, berkembangnya perilaku korupsi, dan pada akhirnya dapat memperbaiki hukum dan penegakkannya serta peningkatan mutu sumber daya manusia. Dalam konteks inilah, pemberantasan korupsi melalui pendidikan perspektif, pendidikan menjadi sangat penting.
Pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembangunan bangsa, baik sebagai pengembang dan peningkat produktivitas nasional maupun sebagai pembentuk karakter bangsa (nilai religius, nasionalisme, gotong royong, integritas dan kemandirian). Terlepas dari masalah korupsi sebagai budaya atau bukan, peran pendidikan dapat membantu meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan memberantas korupsi di Indonesia.
Di samping itu, pendidikan merupakan sarana atau respons yang tepat untuk meningkatkan ketahanan etika bangsa melalui reformasi sosial yang dapat menjadi pemicu bagi terjadinya reformasi kelembagaan. Reformasi kelembagaan secara eksternal dapat memagari kemungkinan perilaku korupsi, dan reformasi masyarakat secara internal dapat memagari kemungkinan tumbuh dan berkembangnya perilaku korupsi. Semua ini dapat memperbaiki hukum (aspek kelembagaan) dan memperbaiki serta meningkatkan mutu manusia. Dalam konteks inilah, pendidikan menjadi sangat penting. Sudah selayaknya Pemerintah menjadikan pendidikan anti korupsi sebagai pendidikan wajib yang diajarkan di seluruh sekolah dan pendidikan tinggi di Indonesia. Menteri Pendidikan,  dan Kebudayaan, Menteri Agama serta Menristek DIKTI dapat menyusun kurikulum yang mengakomodasinya, baik strategi persuasif, detektif maupun represif. Hal ini sangat mendesak karena sudah banyak kasus korupsi yang terungkap setiap harinya di Indonesia.
Perbaikan sistem birokrasi pemerintahan dan pendidikan anti korupsi merupakan dua hal yang sangat ampuh dalam pemberantasan korupsi. Dengan adanya dua hal tersebut yang dilakukan berkesinambungan, masa depan Indonesia akan bebas dari korupsi. Korupsi adalah parasit bagi bangsa Indonesia, dan bangsa Indonesia akan lebih maju tanpa korupsi. 
Konsep civil society diartikan sama dengan konsep masyarakat madani, dimana sistem sosial yang ada dalam masyarakat madani diambilkan dari sejarah Nabi Muhammad sebagai pemimpin ketika itu yang membangun peradaban tinggi dengan mendirikan Negara Kota Madinah dan meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan menggariskan ketentuan untuk hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Idealisme tatanan masyarakat Madinah ini didasarkan pada keberhasilan Nabi dalam mempraktekkan dan mewujudkan nilai-nilai keadilan, ekualitas, kebebasan, penegakan hukum dan jaminan terhadap kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kaum yang  lemah dan kelompok minoritas, walaupun eksistensi masyarakat madani hanya sebentar tetapi secara historis memberikan makna yang penting sebagai teladan bagi perwujudan masyarakat yang ideal di kemudian hari untuk membangun tatanan kehidupan yang sama, maka dari itu tatanan masyarakat Madinah yang telah dibangun oleh Nabi secara kualitatif dipandang oleh sebagian intelektual muslim sejajar dengan konsep civil society.
Pada dasarnya masyarakat madani yang dicontohkan oleh Nabi adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang raja sebagaimana selama ini menjadi pengertian umum tentang negara.
Menurut Nurcholis Madjid (1996), kata ‘’Madinah’’ berasal dari  bahasa Arab ‘’Madaniyah’’ yang berarti peradaban. Karena itu masyarakat madani berasosiasi pada masyarakat yang beradab. Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa istilah masyarakat madani merujuk kepada masyarakat Islam yang pernah dibangun oleh Nabi di Madinah yaitu daerah yang bernama Yastrib yang kemudian diubah menjadi madinah yang pada hakekatnya pernyataan niat untuk mendirikan dan membangun masyarakat yang berperadaban berlandaskan ajaran Islam dan masyarakat yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa di kota itu. Ciri-ciri yang mendasar masyarakat yang dibangun oleh Nabi adalah egaliterisme, penghargaan terhadap orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan dan ras), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme dan musyawarah.
Pembahasan
Peran Pendidikan Antikorupsi
Pendidikan merupakan pilar pembangunan karakter, dalam rangka menyiapkan generasi baru yang antikorupsi. Adapun membangun budaya anti korupsi adalah melalui implementasi pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan daerah berdasarkan aturan pemerintah, antara lain:
a.   TAP MPR RI Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;
b.   Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;
c.    Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
d.   Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
e.   Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Koruspi;
f.     Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 13 tentang KPK memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.
Pemberantasan korupsi harus sistematis dan masif. Pendidikan antikorupsi menjadi sarana sadar untuk itu. Pendidikan antikorupsi sebaiknya menyentuh aspek kognitif, afekktif, dan konasi. Tujuan utama pendidikan antikorupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif. Pendidikan antikorupsi juga bertujuan membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya, mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan. Seharusnya, pendidikan antikorupsi dikelola sebagai wadah dialog hingga tumbuh kesadaran kolektif setiap warga terhadap pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Menurut Salahudin (2018:242-243), ada dua tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan antikorupsi, yaitu:
a.   Menanamkan semangat antikorupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan ini, semangat antikorupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Dengan demikian, pekerjaan membangun bangsa yang tertunda karena adanya korupsi tidak terjadi lagi pada masa depan;
b.   Membangun nilai-nilai dan mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk membentuk posisi sipil murid dalam melawan korupsi.
Dengan demikian, bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian dan Kejaksaan Agung, melainkan tanggung jawab setiap warga masyarakat Indonesia.
Penerapam nilai-nilai antikorupsi di sekolah antara lain: Pertama, kejujuran. Kata jujur dapat didefinisikan sebagai lurus hati, tidak berbohong, dan tidak curang. Tanpa sifat jujur, seorang individu tidak akan dipercaya dalam kehidupan sosialnya. Nilai kejujuran dalam pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk tidak melakukan kecurangan akademis. Misalnya, tidak menyontek dan tidak memalsukan nilai. Nilai kejujuran juga dapat diwujudkan dalam kegiatan OSIS. Misalnya membuat laporan keuangan kegiatan kepanitiaan dengan jujur. Salah satu cara untuk melatih kejujuran di sekolah, yaitu kantin kejujuran (KK), yaitu kantin yang di dalamnya tidak ada penjaga kantin atau kasir sehingga pembeli harus mengambil sendiri makanan dan minuman yang telah diberi label harga, lalu menyelesaikan sendiri pembayarannya. Pembeli meletakkan uang sesuai harga yang harus dibayarkan di kotak uang yang disediakan. Jika ada kembaliannya, ia mengambil sendiri dari kotak uang itu. Jika uang kembalian tidak cukup, ia bisa membuat catatan kecil yang diberikan kepada pengelola kantin untuk meminta uang kembaliannya.
Kantin tersebut dapat menjadi ajang pembelajaran bagi generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, yang akhirnya akan bermuara pada lahirnya generasi yang menghormati kejujuran sekaligus memunculkan generasi berbudaya antikorupsi.
Kedua, bertanggung jawab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bertanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Bertanggung jawab juga berarti berani mengakui kesalahan dan siap atas segala akibat yang ditimbulkan. Melatih tanggung jawab dapat dilakukan dengan cara: 1) mematuhi segala aturan yang diterapkan sekolah, baik tertulis maupun tidak tertulis; 2) mengerjakan setiap tugas yang diberikan guru ataupun tugas dari teman sekolah, tidak menunda pekerjaan dan tidak mencari kambing hitam jika melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas. Inti tanggung jawab adalah bersifat amanah; 3) amanah terhadap jabatan yang diberikan sekolah, misalnya sebagai ketua OSIS dan ketua kelas.
Ketiga, kedisiplinan. Definisi kata disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan. Dalam mengatur kehidupan, baik akademis maupun sosial, siswa perlu hidup disiplin. Hidup disiplin bagi siswa adalah dapat mengatur dan mengelola waktu yang ada untuk menyelesaikan tugas, baik dalam lingkup akademis maupun sosial. Manfaat hidup berdisiplin adalah siswa mencapai tujuan hidupnya dengan waktu yang lebih efisien.
Keempat, sederhana. Gaya hidup sederhana dikembangkan sejak siswa mengenyam masa pendidikannya. Dengan gaya hidup sederhana, setiap siswa dibiasakan untuk tidak hidup boros. Pola hidup sederhana bukan berarti identik dengan kemiskinan. Sederhana artinya tidak berlebihan dalam menjalani hidup.
Kelima, kerja keras. Bekerja keras didasari dengan adanya kemauan. Dalam kata ‘’kemauan’’ terkandung ketekadan, ketekunan, daya tahan, daya kerja, pendirian, keberanian, ketabahan, keteguhan, dan pantang mundur. Bekerja keras merupakan hal penting untuk tercapainya hasil sesuai dengan target. 
Keenam, mandiri. Mandiri bagi siswa dapat diartikan sebagai proses mendewasakan diri, yaitu dengan tidak bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan bertanggung jawab. Sifat mandiri dimulai dengan mengerjakan tugas sendiri, menyelesaikan masalah tanpa melibatkan orang tua. Ketujuh, adil. Berdasarkan arti katanya, adil adalah sama berat, tidak berat sebelah dan tidak memihak. Bagi siswa, karakter perlu dibina agar ia dapat belajar mempertimbangkan dan mengambil keputusan secara adil dan benar. Adil tidak harus menyamaratakan segala hal, tetapi meletakkan dan menyikapi segala sesuatu pada tempat yang semestinya. Kedelapan, berani. Siswa memerlukan keberanian untuk mencapai kesuksesan. Keberanian siswa akan semakin matang jika diiringi dengan keyakinannya. Keyakinan akan kuat jika pengetahuannya juga kuat. Berani mengambil risiko untuk mengerjakan sesuatu, tentu harus dibarengi dengan tanggung jawab. Kesembilan, sebagai calon pemimpin masa depan, seorang siswa perlu memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungannya. Siswa dituntut untuk peduli terhadap proses belajar mengajar di sekolah, pengelolaan sumber daya di sekolah, serta berbagai hal yang berkembang di sekolah.
Masyarakat Madani
Masyarakat madani atau civil society merupakansalah satu bentuk konsep ideal menuju demokrasi, apabila sudah terwujud, masyarakat madani mempunyai indikasi yang sesuai dengan perspektif masyarakat madani dewasa ini.
Secara umum masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi yang mempunyai ciri-cir antara lain: kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain dan menjunjung tinggi norma dan etika yang telah disepakati bersama-sama (Syamsuddin, 2017). Secara historis upaya untuk merintis institusi tersebut adalah muncul sejak masyarakat Indonesia mulai mengenal pendidikan modern dan sistem kapitalisme global serta modernisasi yang memunculkan kesadaran untuk mendirikan organisasi modern seperti Budi Utomo (1908), Syarikat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912) dan lain-lain. 
Menurut perspektif A.S. Hikam (1996) , civil society merupakan  wacana yang berasal dari Barat dan lebih mendekati substansinya apabila tetap disebutkan dengan istilah aslinya tanpa menterjemahkan dengan istilah lain atau tetap berpedoman dengan konsep de’ Tocquiville merupakan wilayah sosial terorganisir yang mempunyai ciri-ciri antara lain: kesukarelaan (Voluntary), keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting), serta kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Civil Society adalah suatu wilayah yang menjamin keberlangsungannya perilaku tindakan dan refleksi mandiri kemudian tidak terkungkung oleh kondisi material serta tidak terserap dalam kelembagaan politik yang resmi.
Banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai kekuatan yang memposisikan diri dalam hubungaannya dengan kebijakan pemerintah merupakan wujud adanya masyarakat madani. Negara tidak terlalu kuat mengekang gerakan peberdayaan politik, ekonomi, maupun  budaya atau sebaliknya mendukung selama hal itu masih dalam koridor hukum yang dilakukan oleh LSM, hal itu merupakan indikasi terbentuknya masyarakat madani.
Sebagaimana pemaparan di atas, bahwa substansi civil society dan masyarakat madani mempunyai persamaan meskipun tidak semuanya atau ciri dari keduanya tidak terlalu berbeda secara signifikan. Kelompok yang cenderung memakai istilah masyarakat madani menekankan bahwa salah satu cirinya adalah adanya masyarakat yang patuh hukum, berkeadilan, dan adanya hubungan check and balance antara negara dengan masyarakat (Azra, 2004).  
Gambaran bentuk masyarakat masa depan yang diinginkan umat manusia yang mengakui harkat dan martabat manusia adalah hak-hak dan kewajibannya dalam masyarakat yaitu masyarakat madani, dapat juga dijelaskan dengan karakteristik sebagai berikut:
Pertama, masyarakat yang mengakuoi hakikat kemanusiaan yang bukan sekedar mengisi kebutuhannya untuk hidup (proses humanisasi) tetapi untuk eksis sebagai manusia. Kedua, pengakuan hidup bersama manusia sebagai makhluk sosial melalui sarana negara. Negara menjamin dan membuka peluang kondusif agar para anggotanya dapat berkembang untuk merealisasikan dirnya dalam tatanan vertikal (antara manusia dengan Tuhan) atau tatanan horizontal (manusia dengan manusia). Interaksi kedua tatanan tersebut penting karena tanpa orientasi kepada Tuhan maka tatanan kehidupan bersama tidak bermakna. Tuhan adalah sumber nilai yang mengatur keseluruhan kehidupan manusia. Ketiga, manusia yang mengakui karakteristiktersebut dan mengakui hal asasi manusia dalam kehidupan yang demokratis adalah yang disebut masyarakat madani (civil society).
Nilai universal dan partilkular yang dimiliki masyarakat madani yang dijelaskan pada masing-masing kebudayaan masyarakat harus dapat terwujud pada setiap individu dalam masyarakat. Prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan civil society tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu kesatuan yang integral dan menjadi dasar dan nilai eksistensinya adalah free public sphere, demokratis, pluralisme, keadilan sosial dan keadaban.
Penutup
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A.  Beberapa prinsip budaya antikorupsi yang harus diterapkan di sekolah yaitu: Pertama, akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja. Perlu dimilikinya standar kerja yang jelas dalam bentuk tupoksi (tugas pokok dan fungsi), evaluasi kinerja melalui pemeriksaan dokumen rencana pembelajaran, kunjungan kelas oleh kepala sekolah, dan konsultasi individu dengan guru dan kepala sekolah. Dalam pelaksanaannya, akuntabilitas harus dapat diukur dan dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas semua kegiatan yang dilakukan. Kedua, transparansi. Pemberantasan korupsi dimulai dari transparansi dan mengharuskan semua proses kebijakan dilakukan secara terbuka sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Prinsip transparansi dapat diterapkan oleh siswa dalam kehidupan di sekolah. Misalnya, program kegiatan OSIS yang laporan kegiatannya harus dapat diakses oleh seluruh siswa, bahkan orang tua siswa. Dengan adanya wbsite sekolah, semua orang dapat mengakses dana dan kebijakan yang diambil sekolah secara cepat dan lengkap.
B.  Pilar penegak masyarakat madani adalah institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi untuk mengkritisi kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas dan pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani, pilar tersebut adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, supremasi hukum, perguruan tinggi dan partai politik.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azzumardi. 2004. Menuju Masyarakat Madani: Gagasan Fakta dan Tantangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hikan, Muhammad A.S. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
Madjid, Nurcholis. 1996. Menuju Masyarakat Madani. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 2/VII/1996. Hal. 51-55.
Salahudin, Anas. 2018. Pendidikan Antikorupsi: Pengantar. Bandung: Pustaka Setia. 
Syamsuddin, M. Din. 2017. Etika dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Mizan.