Senin, 21 November 2011

DAMPAK SERTIFIKASI GURU TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER

ABSTRAK
Sertifikat pendididik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sertikat pendidik bagi guru dalam jabatan dapat diperoleh melalui jalur portofolio, jalur Pendidikan & Latihan Profesi Guru (PLPG) dan jalur Pendidikan Profesi Guru.
Pembentukan karakter harus dilaksanakan secara fungsional, dalam arti melalui contoh, perbuatan, tindakan, dan pembiasaan. Dengan penyampaian pesan pendidikan secara fungsional maka pesan-pesan pendidikan karakter menjadi mudah untuk ditangkap, dicerna, dan dipahami oleh peserta didik, untuk selanjutnya dilaksanakan.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan sarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sementara itu sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Tujuan sertifikasi dijelaskan oleh Samani (2006:10) adalah untuk menentukan tingkat kelayakan seseorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Dengan kata lain tujuan sertifikasi untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Menurut Fajar (2006: 3-4) manfaat uji sertifikasi guru dalam kerangka makro upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan sebagai berikut: (1) melindungi profesi guru dari praktik-praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri; (2) melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan dapat menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini; (3) menjadi wahana penjaminan mutu bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan; (4) menjaga lembaga penyelenggaran pendidikan dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku; (5) memperoleh tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi.
Pendidikan karakter dilaksanakan oleh tiga pihak secara sinergis, yaitu orang tua di rumah, oleh satuan/lembaga pendidikan, oleh masyarakat. Pendidikan karakter utamanya diberikan oleh orang tua di rumah. Pendidikan oleh satuan atau lembaga pendidikan bersifat melengkapi dan memberikan dukungan terbatas bagi penumbuhkembangan karakter. Pendidikan oleh masyarakat menyediakan lingkungan luas bagi tumbuh kembang karakter dan menunjang pelaksanaan pendidikan oleh orang tua dan oleh lembaga atau satuan pendidikan. Pendidikan oleh ketiga komponen tadi harus sinergis, saling melengkapi, dan saling mendukung.
Dari sudut pandang lingkup tugas Ditjen Pendidikan Nonformal, Formal dan Informal, pendidikan karakter oleh orang tua dikoordinasikan melalui fungsi pendidikan informal. Melalui pendidikan informal para orang tua dengan kadar kapasitas pendidikan karakter yang sangat beragam sebagai pendidik di rumah ditingkatkan kapasitasnya agar mampu melaksanakan pendidikan karakter dengan tepat. Pendidikan karakter oleh satuan atau lembaga pendidikan dikoordinasikan melalui fungsi pendidikan non formal yaitu (Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan kesetaraan, dan kursus. Sedangkan pendidikan oleh masyarakat dikoordinasikan melalui fungsi pendidikan masyarakat. Namun demikian, sampai dengan saat ini fungsi pendidikan masyarakat yang sudah dilaksanakan sebatas melayani peningkatan kemampuan keaksaraan warga masyarakat yang buta aksara. Dengan demikian ada fungsi pendidikan masyarakat yang perlu dihidupkan, yaitu peningkatan kompetensi masyarakat umum dalam melaksanakan dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya karakter peserta didik.
Fungsi pengkoordinasian pelaksanaan pendidikan karakter oleh masyarakat dapat dilaksanakan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat melalui dua alternatif. Pertama, penyelenggaraan modal layanan pendidikan baru yang menyasar warga masyarakat yang melek aksara. Kedua, mengadakan kerjasama dengan berbagai organisasi kemasyarakat dan lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi pendidikan kepada masyarakat, seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), berbagai organaisasi wanita, berbagai organisasi kemasyarakatan di bawah lembaga keagamaan.
1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya dalah: ‘’Bagaimana dampak sertifikasi guru terhadap pembentukan karakter siswa ” .
Sedangkan tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mendapatkan penjelasan dan penganalisaan mengenai dampak sertifikasi guru terhadap pembentukan karakter siswa.
II. PEMBAHASAN
2.1 Dampak Serifikasi Guru
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang merumuskan bahwa pendidik (guru dan dosen) harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar (pasal 42 ayat (1) UU Sisdiknas). Serifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi (pasal 43 ayat (2) UU Sisdiknas). Dengan dua rumusan itu, jelas mengharuskan UU Guru dan Dosen memiliki rumusan yang sinkron dengan Undang-Undang Sisdiknas agar kedua undang-undang itu tetap sejalan dan tidak terdapat pertentangan. Dengan perlunya sinkronisasi itu maka baik guru maupun dosen sebagai pendidik profesional, masing-masing perlu adanya sertifikat pendidik dan perlu sertifikasi. Namun proses untuk memperoleh sertifikat itulah yang kemudian yang diatur secara berbeda, sesuai dengan adanya perbedaan fungsi antara guru dan dosen.
Perlu ada sertifikat pendidik bagi guru dan dosen, bukan saja untuk memenuhi persyaratan sebuah profesi yang menuntut adanya kualifikasi minimum dan sertifikasi (terkualifikasi dan tersertifikasi), juga dimaksudkan agar guru dan dosen dapat diberi tunjangan profesi dari negara. Tunjangan profesi itu juga diperlukan sebagai syarat mutlak sebuah profesi agar penyandang profesi itu dapat hidup layak dan memadai. Apalagi hingga saat ini guru dan dosen masih tergolong kelompok yang berpenghasilan rendah, yang harus dibantu meningkatkan kesejahteraan melalui UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Berdasarkan kepentingan tersebut, maka dalam UU Guru dan Dosen dengan tegas dirumuskan dalam pasal 53, bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada dosen yang diangkat oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memiliki sertifikat pendidik yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok yang diangkat oleh pemerintah pada tingkatan, masa kerja dan kualifikasi yang sama. Tunjangan profesi itu dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), substansi yang sama bagi guru diatur dalam pasal 16 UU Guru dan Dosen, yang dialokasikan bukan saja dalam APBN, tetapi juga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian diskriminasi antara guru dan dosen yang berstatus PNS dan Non PNS (swasta) yang selama ini ditakutkan, sudah tidak ada lagi.
Sertifikat pendidik bagi dosen dirumuskan pada pasal 47 ayat (1) UU Guru dan Dosen bahwa sertifikat pendidik untuk dosen diberikan setelah memenuhi syarat, yaitu harus memiliki pengalaman bekerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi selama dua tahun dan memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli, serta lulus sertifikasi. Sedangkan sertifikasi pendidik bagi guru diatur dalam pasal 11 ayat (2) dan (3) UU Guru dan Dosen, yang menyebut bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan pendidikan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah dan dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel. Setiap orang yang memiliki sertifikat pendidik itu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu (Pasal 12).
Agar sertifikat pendidik itu dapat diperoleh oleh guru yang berstatus PNS dan Non PNS tanpa banyak hambatan, maka Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran, termasuk untuk peningkatan kualifikasi akademik (Pasal 13 ayat (1) UU Guru dan Dosen. Dengan demikian dalam waktu paling lama 10 tahun Indonesia akan memperoleh guru yang profesional untuk mengabdi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi warga negara dari pendidikan yang lebih bermutu.
Selain tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik, juga guru yang belum tersertifikasi akan disediakan oleh negara tunjangan fungsional kepada guru dan dosen, baik yang berstatus PNS maupun Non PNS. Hal ini dijelaskan dalam BAB VII (Ketentuan Peralihan), pasal 80 ayat (1): Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini: a. Guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) paling lama sepuluh tahun, atau guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
Hal yang sama berlaku juga bagi dosen, yang belum memiliki sertifikat pendidik akan diberikan tunjangan fungsional dan maslahat tambahan sebagaimana tertulis dalam pasal 80 ayat (1) huruf b: dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (2) paling lama 10 tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
Tunjangan yang dimaksud itu dialkokasikan dalam APBN atau APBD, sehingga tidak ada keraguan bahwa tunjangan itu tidak akan dilaksanakan oleh pemerintah (pasal 17, 19 dan pasal 54, 57 serta pasal 80 ayat (2) UU Guru dan Dosen. Semuanya itu dimaksudkan untuk memenuhi hak guru dan dosen untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial (pasal 14 ayat (1) butir a dan pasal 51 ayat (1) huruf a. Dengan demikian sebelum guru dan dosen memperoleh sertifikat pendidik, maka guru dan dosen wajib memperoleh tunjangan fungsional dan maslahat tambahan.
Substansi tentang maslahat tambahan digagas untuk masuk dalam UUGD berdasarkan pandangan bahwa jika guru dan dosen itu sukar dengan cepat dinaikkan penghasilannya dalam bentuk tunai maka guru dan dosen itu harus dapat dengan cepat diringankan bebannya dalam bentuk tunjangan yang tidak tunai (pasal 15 dan 19 serta pasal 52 dan pasal 57).
Istilah maslahat tambahan seperti dijelaskan oleh Prof. Dr. Anwar Arifin (2007) adalah semacam kompromi dengan memasukkan kembali ke batang tubuh UU Guru dan Dosen. Rumusan yang tercantum pada pasal 19 dan 57 itu menyebut bahwa maslahat tambahan itu terdiri antara lain memberi jaminan kesejahteraan kepada guru dan dosen dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan puterinya, pelayanan kesehatan, ataau bentuk kesejahteraan lainnya. Sedangkan rumusan dalam pasal 80 ayat (2) mengatur agar maslahat tambahan bagi guru dan dosen itu dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN dan APBD).
Berdasarkan pasal 80 ayat (2) tersebut maslahat tambahan disamping tunjangan fungsional sudah dapat dilaksanakan setelah dialokasikan anggarannya dalam APBN dan APBD, meskipun belum terbentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang maslahat tambahan itu. Sebab upaya memperoleh pendidikan untuk pengembangan diri bagi dirinya dan untuk pendidikan anak-anaknya dengan subsidi negara, dapat merupakan salaha satu bentuk perwujudan dari adanya jamainan hari tua bagi guru dan dosen.
Bagi dosen yanag mencapai pangkat guru besar yang disebut juga profesor, diatur secara khusus dalam Undang-Undang Guru dan Dosen. Dalam pasal 1 tentang Ketentuan Umum butir 3 dirumuskan: Guru Besar atau profesor yang selanjutnya disebut professor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Rumusan ini ditransfer dan disempurnakan dari penjelasan Pasal 23 ayat (1) undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam Undang-Undang Sisdiknas itu juga dirumuskan bahwa sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di Perguruan Tinggi (pasal 23 ayat 2 UU Sisdiknas).
Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pengaturan tentang profesor dicantumkan lagi dalam pasal 49 dan pasal 56. Dalam pasal 49 disebutkan bahwa profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi dan memiliki kewenangan mebimbing calon doktor dan memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarkan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat (pasal 49 ayat 1dan ayat 2).
Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumentaln lainnya (misalnya seni rupa, karya sastra dan teknologi) yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna (pasal 49 ayat 3). Hal ini akan diatur lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sebagai jabatan mulia dan terhormat di lingkungan perguruan tinggi pasa khususnya dan dalam masyarakat pada umumnya, maka wajaar jika pemerintah diberi kewajiban untuk memberikan tunjangan kehormatan kepada profesor yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan tinggi setara dengan 2 (dua) kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama (pasal 49 ayat 1). Hal ini akan diatut lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
2.2 Pembentukan Karakter
Faktor lingkungan dalam konteks pendidikan karakter memiliki peran yang sangat penting karena perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter sangat ditentukan oleh faktor lingkungan ini. Dengan kata lain pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup di antaranya lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kutikulum, pendidik, dan metode mengajar. Pembentukana karakter menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010) melalui rekayasa faktor lingkungan dapat dilakukan melalui strategi: (1) keteladanan, (2) intervensi, (3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan (4) penguatan. Dengan kata lain perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembisaan terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta haraus dibarengi dengan nilai-nilai luhur.
Karakter seseorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku karakter secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quentient (EQ), Spiritual Quotient (SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan seseorang yang berkarakter menurut pandangan agama pada dirinya terkandung potensi-potensi, yaitu: sidiq, amanah, fathonah, dan tablig. Berkarakter menurut teori pendidikan apabila seseorang memiliki potensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang teraktualisasi dalam kehidupannya. Adapun menurut teori sosial, seseorang yang berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam menjalin hubungan intra personal, dan hubungan interpersonal dalam kehidupan bermasyarakat.
Perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and Emotional development), seperti jujur dan bertanggung jawab; Olah Pikir (Intellectual development), seperti cerdas dan kreatif; Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Konestetic development), seperti sehat dan bersih; dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development), seperti peduli dan gotong royong.
Masing-masing proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan olahrasa dan karsa) secara konseptual dapat diperlakukana sebagai suatu klaster atau gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai. Keempat proses psikologis tersebut, satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling memperkuat. Karena itu setiap karakter, seperti juga sikap, selalu bersifat multipleks atau berdimensi jamak. Pengelompokkan nilai tersebut sangat berguna untuk kepentingan perencanaan. Dalam proses intervensi (pembelajaran, pemodelan, dan penguatan), dan proses habituasi (pensuasanaan, pembiasaan, dan penguatan) dan pada akhirnya menjadi karakter, keempat kluster nilai luhur tersebut akan terintegrasi melalui proses internalisasi dan personalisasi pada diri masing-masing individu.
Pendidikan karakter mepercayai adanya keberadaan moral absolute yakni bahwa moral absolute diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Pendidikan karakter kurang sepahaman dengan cara pandang moral reasoning dan value clarification yang digunakan sebagai strategi dasar pendidikan karakter di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolute (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai ‘’the golden rule”. Contohnya adalah berbuat hormat, jujur, bersahaja, menolong orang lain, adil dan bertanggung jawab.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (domain perilaku). Jadi pendidikan karakter terkait erat kaitannya dengan ‘’habit’’ atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan atau dilakukan.
Karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, dapatkah dikatakan orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, bertanggung jawab, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Istilah karakter juga erat kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Dengan demikian, pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (morak knowing) , tetapi juga merasakan dengan baik atau loving the good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action). Penekanan aspek-aspek tersebut di atas, diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan, tanpa harus didoktrin apalagi diperintah secara paksa.
III. PENUTUP
3.1 Salah satu dampak sertifikasi Guru dan dosen adalah menciptakan tenaga pendidik yang profesional. Guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai tujuan yang sama yaitu melaksanakan pendidikan nasional dan mewujudkan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
3.2 Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter antara lain: (1) Berkelanjutan; (2) melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya satuan pendidikan; (3) nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan melalui proses belajar dan; (4) proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.
3.3 Pembentukan karakter dilakukan melalui keteladanan, intervensi, pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 2007. Profil Baru Guru & Dosen Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia.
Fajar, Arnie. 2006. Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. Dalam Makalah Seminar Nasional Sosialisasi Sertifikasi Guru dalam memaknai UU No. 14 Tahun 2005. Bandung: Kantor Disdik Jawa Barat.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Dirjen Pendidikan Non-Formal dan Informal.
Mu’in, Fatchrul. 2011. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Samani, Muclas dkk. 2006. Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC.
Surayin. 2004. Tanya Jawab Undang-Undang Republik Inodneia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Bandung: Yrama Widya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.