Sabtu, 19 September 2009

PERSPEKTIF SOSIAL DAN BUDAYA PAPUA Oleh: Endang Komara

Abstrak
Perspektif sosial dan budaya merupakan proses perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan pola pikir, gagasan dan ide-ide manusia mengakibatkan terjadinya perbedaan dengan keadaan sebelumnya dengan keadaan yang sedang dihadapi seperti perubahan struktur, fungsi budaya baik dalam wujud penambahan unsur baru atau pengurangan dan penghilangan unsur lama bisa dalam manifestasi kemunduran (regress) dan bisa juga kemajuan (progress).
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani dan Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik diantaranya dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya maru, Mandacan, Biak, Ami, Sentani dan lain-lain. Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat penduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Kata Kunci: kemajuan pola pikir, ide-ide manusia, kemunduran, kemajuan, kelompok asli Papua dan patrilinea.

I. Pendahuluan
Berbicara mengenai sistem sosial, terkandung sistem nilai sosial budaya. Koentjaraningrat (1974:25)1 menganggap nilai sosial budaya sebagai faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau sekelompok orang di masyarakat. Sistem nilai budaya terdiri dari konsep-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya.
Semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan, akan berkisar dalam lingkup masalah kehidupan (hakekat hidup), kerja, waktu, alam atau lingkungan hidup dan hubungan dengan sesama manusia. Sedangkan mengikuti klasifikasi Alisyahbana (1981:22)2, berusaha memilah-milah berbagai macam nilai budaya menjadi enam kelompok: Nilai teori, nilai ekonomi, nilai solidaritas, nilai agama, nilai seni dan nilai kuasa. Pertama nilai teori mendasari perbuatan seseorang atau sekeklompok orang yang bekerja terutama atas pertimbangan-pertimbangan rasional. Nilai ini dilawankan dengan nilai agama, yaitu nilai budaya yang mendasari perbuatan-perbuatan atas pertimbangan kepercayaan bahwa ‘’sesuatu’’ itu benar. Kedua nilai ekonomi yaitu pertimbangan utama yang mendasari perbuatan dengan ada tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya, dilawankan dengan nilai seni, yakni nilai budaya yang mempengaruhi tindakan seseorang atau sekelompok orang terutama atas pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari pertimbangan material. Ketiga nilai solidaritas, apabila perbuatan seseorang didasarkan atas pertimbangan bahwa teman atau tetangganya juga berbuat demikian tanpa menghiraukan akibat perbuatan itu terhadap dirinya sendiri. Nilai ini dilawankan dengan nilai kuasa, yaitu budaya yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang terutama atas pertimbangan baik-buruk untuk kepentingan diri atau kelompoksendiri..
Keenam jenis nilai tersebut, timbul dari aktivitas budi manusia, yaitu: (1) nilai teori atau ilmu yang merupakan identitas tiap benda atau peristiwa, terutama berkait erat dengan aspek penalaran (reasoning) ilmu dan teknologi; (2) nilai ekonomi, yang mencari dan member makna bagaimana kegunaan segala sesuatu, berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara efektif dan efisien berdasarkan kalkulasi dan pertanggung jawaban; (3) nilai agama, yang melihat segala sesuatu sebagai penjelmaan kekudusan, dikonsentrasikan pada nilai-nilai dasar bagi kemajuan kehidupan di dunia dan akhirat; (4) nilai seni, yang menjelmakan keindahan atau keekspresifan; (5) nilai kekuasaan, yang merupakan proses vertikal dari organisasi sosial yang terutama terjelma dalam hubungan politik, ditandai oleh pengambilan keputusan; dan (6) nilai solidaritas sosial, yang merupakan poros horizontal dari organisasi, terjelma dalam cinta dan kasih sayang, namun lebih berorientasi kepada kepoercayaan diri sendiri.
Di dalam suatu masyarakat, seseorang mungkin mendasarkan perbuatannya terutama atas satu atau beberapa gabungan nilai budaya, sementara orang lain mendasarkan perbuatan atas nilai lainnya, sehingga sangat sulit ditarik suatu benang pemisah yang tegas nilai mana yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Meskipun demikian, kiranya dapat diterima bahwa nilai budaya yang dominan pada masyarakat tradisional adalah nilai solidaritas, nilai agama, dan nilai seni, sedangkan pada masyarakat maju (modern) nilai budaya yang dominan adalah nilai teori, nilai ekonomis dan nilai kuasa. Nilai-nilai tersebut tidaklah tetap begitu saja dari satu generasi ke generasi berikutnya, melainkan berubah sejalan dengan kemajuan itu sendiri. Satu atau dua nilai budaya yang lain mengalami pemudaran.
Mengacu pada perbedaan tofografi dan adat istiadat, penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, masing-masing: 1) penduduka daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum rumah di atas tiang (rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkat ikan; 2) Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa danau dan lebah serta kaki gunung. Umunya mereka bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan; 3) Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan beternak secara sederhana.
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani dan Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik diantaranya dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya maru, Mandacan, Biak, Ami, Sentani dan lain-lain. Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat penduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah masyarakat yang sangat unik, misalnya seperti yang ditujukan oleh budaya suku Komoro di Kabupaten Mimika, yang membuat gendering dengan menggunakan darah. Suku Dani di kabupaten Jayawijaya yang gemar melakukan perang-perangan, yang dalam bahasa Dani disebut Win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan dijadikan festival budaya Lembah Baliem. Ada juga rumah tradisional Honai, yang di dalamnya terdapat mummy yang diawetkan dengan ramuan tradisional. Terdapat tiga mummy di Wamena; Mummy Aikima berusia 350 tahun, Mummy Jiwika 300 tahun, dan Mummy Pumo berusia 250 tahun.
Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari setelah hari kematian seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari. Budaya Suku Asmat mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing; (1) melambangkan kehadiran roh nenek moyang; (2) untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia; (3) sebagai suatu lambing kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan benada-benda lain; (4) sebagai lambing keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang. Budaya Suku Imeko di Kabupaten Sorong Selatan menampilkan tarian adat Imeko dengan budaya suku Maybrat dengan tarian adat memperingati hari tertentu seperti panen tebu, memasuki rumah baru dan lainnya.
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama di sana dapat dijadikan contoh bagi daerah lain, mayoritas penduduknya beraga Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua, jumlah orang dengan agama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak misionaris yang melakukan misi keagamaan di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka memainkan peran penting dalam membantu masyarakat, baik melalui sekolah misionaris, balai pengobatan maupun pendidikan langsung dalam bidang pertanian, pengajaran bahasa Indonesia maupun pengetahuan praktis lainnya. Misionaris juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau oleh penerbangan reguler.

II. Pembahasan
1. Kajian Teoretis
Manusi pada hakikatnya mempunyai kecenderungan yang sangat kuat untuk hidup terartur guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Hal ini seperti diungkapkan oleh Soerjono Soekanto (1992:43-44) yang mencakup: (1) sandang, pangan dan papan; (2) keselamatan jiwa dan harta benda; (3) kehormatan atau harga diri; (4) kesempatan untuk mengembangkan kemampuan diri; dan (5) kasih sayang.
Adapun Maslow dalam bukunya ‘’Motivation and Personality’’ menjabarkan tingkat kebutuhan dasar manusia dalam delapan tahapan dari tingkat dasar sampai tingkat puncak kebutuhan yang dikenal dengan piramida kebutuhan manusia. Kedelapan tahap pencapaian kebutuhan manusia tersebut meliputi: (1) kebutuhan fisiologis (physiological needs), yaitu kebutuhan keamanan, ketentraman, dan jauh dari bahaya; (2) kebutuhan pemilikan dan cinta (belongingness and love needs), yaitu kebutuhan afiliasi dengan orang lain, diterima sebagai anggota, dan menjadi pemiliknya; (3) kebutuhan harga diri (esteem needs), yaitu kebutuhan kemajuan, kewenangan, mendapat pengesahan, dan pengakuan orang lain; (4) kebutuhan pengetahuan (cognitive needs), yaitu kebutuhan pengetahuan, pemahaman, rasa ingin tahu, dan eksplorasi; (5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs), yaitu kebutuhan untuk mendapatkan jati diri dan mewujudkan potensi diri; dan (6) kebutuhan transenden (needs for transcendence), yaitu kebutuhan untuk keberartian dalam eksistensi diri.
Sementara dalam aspek yang lebih luas, manusia hidup terbagi dalam tiga matra dunia, yaitu matra dunia kebendaan (materi), matra dunia sosial dan matra dunia spiritual. Berdasarkan itu pula, maka kebutuhan dasar manusia menjadi berbeda. Manusia dengan dunia keberaannya, ia berada di lingkungan fisik, atau sering disebut lingkungan saja. Sasarannya, ia memenuhi kebutuhan materi, seperti sandang, pangan, dan papan. Manusia dalam dunia sosial, ia berada di lingkungan sosial, dengan sesama manusia, dengan sosial-kulturan, untuk memenuhi kebutuhan sosialnya sebagai anggota masyarakat. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan manusia lainnya, seperti keinginan untuk menjadi satu dengan sesame alam sekitarnya. Manusia dengan dunia spiritualnya, ia berusaha memenuhi kebutuhan spiritualnya, sangat pribadi dan merupakan urusan diri sendiri.
Untuk suatu kehidupan yang serasi, maka manusia harus berada dalam keseimbangan dengan ketiga matra dunia tersebut. Apa yang terjadi saat ke tiga matra dunia tersebut tidak serasi? Sebut saja sebagai akibat dari perubahan sosial budaya dari buah perkembangan modernitas? Ketimpangan inilah yang melahirkan timbulnya kemiskinan dalam arti yang lebih luas. Perubahan yang cepat yang terjadi dalam lingkungan manusia sendiri tanpa diimbangio dengan keserasian rasa, rasio, dan religi akan membawa kehidupan manusia tergelincir dari angger-angger, pakem dan kodrati jati dirinya. Dalam kondisi demikian, maka tiada bedanya keberadaan manusia yang sejak mula sudah dikonstruksikan sebagai khalifah fil ardl (khalifah di dunia) dengan makhluk-makhluk Allah yang lain. Dengan lain kata, bahwa keberadaan manusia sudah bukan lagi manusia, karena tidak lagi mengenal batas-batas matra fitra dirinya.
Dalam konteks yang lebih mapan muncul kesadaran baru tentang masalah nilai dan penghayatan terhadap dimensi transsendental serta kesadaran tentang perlunya peninjauan (dekonstruksi) dan penataan kembali (rearrangement) tatanan nilai (value order) masyarakat berikut tata nilai sosial. Seperti diungkapkan oleh Syamsul Arifin (1998:8)3 bahwa pemisahan aspek transsendental dari aspek profanitas disebabkan karena adanya pencitraan yang stereotipikal dari sebagian ahli sehingga pendekatan normatif tidak menjadi rujukan dalam menata perubahan sosial budaya, hukum normative tidak lebih sebagai wujud dari kontak sosial.
Memang harus disadari dari sudut pandang sejarah Barat, agama dan sains dalam perjalannya selalu berseberangan. Cerita Galileo Galile (1564-1643), pencetus topografi bumi yang bulat – atas maklumat otoritas gereja, ia dihukum gantung karena telah berani mengutak-atik ranah sacral bagi otoritas gereja. Saat itu, lembaga agama dan monarkhi mendominasi lingkup sains. Peradaban manusia kala itu menempatkan agama vis a vis sains. Puncaknya adalah ketika agama ‘dianaktirikan’ dalam perkembangan sains. Masa itu dikenal dengan istilah enlighment (masa pencerahan). Pencerahan adalah pembebasan manusia dari belenggu mitos kebenaran, yang biasanya berasal dari agama. Masa pencerahan identik juga dengan lahirnya positivism, yaitu faham yang menentang hegemoni agama atas sains. Ia telah mengakhiri riwayat metafisika dan menggantikannya dengan rasionalitas sains dengan klaim bebas nilainya. Hal ini kemudian diikuti oleh keunggulan akal atas wahyu, rasio atas emosi, dan fakta atas mitos, Sains modern berangkat dari epistemologi sekuler yang cenderung mengabaikan wailayah sakral manusia. Namun dalam perkembangannya, pemanfaatan sains terbukti cenderung eksploitatif dan destruktif. Keadaan ini memancing kritikan dari tokoh-tokoh agama yang humanis. Sains dikembangkan kemudian adalah yang mengakui nilai-nilai universal kemanusiaan dan syarat dengan nilai etis.
Peran agama tersingkir dari kegiatan pengembangan sains, dilatarbelakangi oleh karena doktrin agama, khususnya yang berasal dari kaum fundamentalis Kristen (Gereja) yang dalam realitas sosialnya, mereduksi kebebasan intelektual manusia. Menurut Abuddin Nata (2000:34)4, ciri utama aliran fundamentalis Gereja adalah paham tentang supernaturalisme konservatif. Yaitu, Pertama, kebebasan mutlak dan tiadanya kesalahan pada Kitab Suci Injil (Holy Bible). Kedua, kelahiran Jesus dari Ibunda Maria yang suci. Ketiga, penebusan dosa umat manusia oleh Jesus. Keempat, kebangkitan Jesus secara jasmaniah yang turun ke bumi. Dan kelima, ketuhanan Jesus Kristus. Butir pertama dari doktrin yang merupakan rukun iman kaum fundamentalis itu timbul sebagai reaksi terhadap teori evolusi dalam kejadian manusia yang dikemukakan oleh ahli biologi Inggris, Charles Darwin. Jika pendapat ilmu penegatahuan itu diterima, maka empat pilar doktrin keimanan itu akan mengalami ancaman, karena bias ditarik kesimpulan bagi hal-hal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Kemungkinan (eksklusifisme) sains atas agama tersebut semakin menunjukkan gejala kenisbian tatkala para ilmuwan yang mendalami bidang keilmuan (khususnya sains), semakin ia menemukan nuansa spiritual di dalamnya. Dan karenanya, semakin tinggi keyakinan mereka terhadap keberadaan Allah. Albert Einstein, tetap mempertahankan agama kendati sibuk memecahkan persoalan ilmiah. Bahkan dari lubuk hati dalamnya, pastilah Tuhan tidak melempar dadu dalam menciptakan alam semesta. Maurice Bucaile dalam Tutik dan Trianto (2008:94)5, ilmuwan asal Perancis tertarik terhadap Islam karena mendalami kajian Biologi dan mendapatkan hubungan dengan beberapa doktrin agama. Dalam bukunya ‘’The Bible, The Qur’an and Science’’, ia mengatakan: Sementara terdapat kesalahan yang amat kentara dalam Bible, saya tidak mendapati satu kesalahan pun dalam Al-Qur’an. Bahkan ilmuwan atheispun tetap mengakui adanya Tuhan, walaupun dalam versi Tuhan mereka berbeda dengan yang diajarkan para teolog. Charles Townes, peraih Nobel pada 1964 berpendapat bahwa banyak orang merasakan bahwa pastilah ada sesuatu yang Maha Pintar di balik kehebatan hukum alam. Pendapat senada diungkapkan John Polkinghorne, ahli Fisika yang sekarang menjadi pendakwah Gereja Anglikan, ‘’Jika anda menyadari bahwa hukum alam telah melahirkan jagat raya yang begitu teratur, maka hal itu pastilah tidak terajadi semata-mata karena kebetulan. Pastilah ada tujuan di balik itu semua.’’
Berdasarkan konsepsi tersebut, semakin nyata bahwa antara Islam dan sains tidak ada dikotomi (pertentangan). Konflik yang tercatat dalam dokumen sejarah antara umat Kristiani dengan lembaga sains, seperti dipaparkan di atas tidak memiliki keterkaitan sama sekali dalam Islam. Iman dan rasionalitas berpadu dalam Islam. Sains, teknologi, ekonomi, politik, semua itu tercakup dalam ajaran Islam. Etika dan nilai-nilai Islam merupakan perpaduan yang meliputi seluruh aktivitas manusia. Ringkasnya, Islam merupakan sebuah sistem yang menyentuh seluruh aspek perilaku manusia.
Belakangan ini muncul gagasan untuk merumuskan pendekatan baru sebagai pendekatan alternatif terhadap ketimpangan yang terjadi. Pendekatan yang diajukan tampaknya masih harus diuji kembali relevansi dan elanvitalnya bagi konstruksi citra kemanusiaan. Pendekatan yang dikemukakan oleh, misalnya, Arnold Toynbee dan Spengler yang merekomendasikan, bahwa untuk mempersoalkan kemanusiaan yang semakin rumit dan meluas diperlukan pengembangan tata nilai baru, pandangan dan sikap baru, cara-cara serta pranata baru masih perlu dipertanyakan kembali.
Wacana yang dikemukakan oleh keduanya melalui analisis historis di atas nampaknya masih sangat universal. Jika yang dimaksudkan oleh keduanya dengan sesuatu yang bersifat ‘’neo’’, ‘baru’ tetap berkutat pada positivisme dan ideologi lain sebagai produk formulasi pemikiran manusia modern, tak diragukan lagi kemampuannya justru akan tetap membuat manusia berada dalam untaian pergolakan pemikirannya dan senantiasa berada dalam lingkaran nestapa pemikirannya atau the Plight of modern, meminjam istilah Hossen Nasr. Karena bagaimanapun hebatnya pendekatan yang dirumuskan tanpa menyentuh dimensi transsendental akan tetapi melahirkan pandangan artificial, uncomprehensive, dan unwholistic.
Kendatipun demikian, upaya merumuskan nilai baru, pandangan hidup baru dan norma baru patut diberi apresiasi karena upaya itu menunjukkan adanya kesadaran untuk keluar dari titik krisis dan kemiskinan wacana spiritual serta upaya untuk menjadikan sebagai starting point of reverence bagi manusia. Karena nilai dalam dirinya menyiratkan makna universal sebagai kerangka acuan bagi manusia. Menurut Rokeach (1982:102)6 menyatakan: ‘’A value is enduring belief that a specific mode of conduct or and state of existence is personality or socially preferable to on opposite or converse mode of conduct or end state existence.’’
Demikian juga norma acapkali menimbulkan pengaruh dalam proses dialektika kehidupan manusia. Meskipun pengaruhnya bersifat subyektif, baik dalam affiliasi kelompok maupun individu. Norma merupakan patokan untuk berperilaku secara pantas yang diturunkan dari nilai dalam suatu kelompok masyarakat.
Sifat nilai dan norma yang bersifat subyektif sudah barang tentu melahirkan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Dalam masyarakat Islam, patokan nilai dan norma bersifat transcendental. Berpijak pada basis ontologis normatif, wahyu tanpa memasang kreatifitas manusia, karena ia (manusia) merupakan makhluk teomorfis. Nilai moralitas transendetal menjadi acuan terbaik untuk merealisasi potensi dirinya yang terkandung di dalamnya gagasan spiritual dan keduniawian manusia sepenuhnya terintegrasi dan terpadu untuk direfleksikan satu dengan yang lainnya.
Kemenduaan (kemajuan sebagai implikasi perubahan sosial budaya dan nilai, moralitas agama) hendaknya menjadi dua komponen yang saling menyingkapi satu sama lain. Dengan kata lain, bahwa harus ada titik temu dan titik sambung dari harmonisasi antara kedua matra, sehingga tidak timbul kepincangan yang pada akhirnya akan meruntuhkan sendi-sendi kemaslahatan kemasyarakatan.
Dalam konteks demikian agama muncul dan mempunyai peran ganda, yaitu untuk individu dan untuk masyarakat. Terhadap seorang individu, agama adalah jalan penyucian diri, sarana penyucian jiwa yang akan memberi berbagai pegangan dan pedoman untuk mencapai kesempurnaan hidup. Terhadap masyarakat, agama menjadi suatu sarana penting dalam tertib sosial dan norma-normanya yang sering amat efektif untuk membentuk suatu sistem sosial.

2. Kajian Empiris
Sudah sejak lama ujung barat laut Irian dan seluruh pantai utara penduduknya dipengaruhi oleh penduduk dari Kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram dan Key), maka adalah tidak mengherankan apabila suku-suku bangsa sepanjang pesisir pantai (Fak-Fak, Sorong, Manokwari dan Teluk Cenderawasih) lebih pantas digolongkan sebagai Ras Malanesia daripada Ras Papua. Zending atau misi Kristen Protestan dari Jerman (Ottow & Geissler) tiba di pulau Mansinam Manokwari 5 Februari 1855 untuk selanjutnya menyebarkan ajaran agama sepanjang pesisir pantai utara Irian. Pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari 50.000 orang menganut agama Kristen Protestan. Kemudian pada tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda membuka Pos Pemerintah pertama di Fak-Fak dan Manokwari dan dilanjutkan dengan membuka Pos Pemerintah di Merauke pada tahun 1902. Dari Merauke aktivitas keagamaan misi katholik dimulai dan pada umumnya disepanjang pantai selatan Irian. Pada tahun 1933 tercatat sebanyak 7.100 orang pemeluk agama katholik. Pendidikan dasar sebagian besar diselenggarakan oleh kedua misi keagamaan tersebut, dimana guru sekolah dan guru agama umumnya berasal dari Indonesia Timur (Ambon, Ternate, Tidore, Seram, Key, Manado, Sanger-Talaud, dan Timor), dimana pelajaran diberikan dalam bahasa Melayu. Pembagian kedua kelompok agama tersebut kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan.
Pendidikan mendapat jatah yang cukup besar dalam anggaran pemerintah Belanda, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun 1961. Akan tetapi pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja disektor perekonomian modern, dan yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai Belanda dan agama Kristen. Pada akhir tahun 1961 rencana pendidikan diarahkan kepada usaha peningkatan keterampilan, tetapi lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa ‘’Melayu’’ dijadikan sebagai bahasa ‘’Franca’’ (Lingua Franca), bahasa Belanda tetap diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari sekolah dasar, bahasa Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan.
Pada tahun 1950-an pendidikan dasar terus dilakukan oleh kedua misi keagamaan tersebut. Tercatat bahwa pada tahun 1961 terdapat 496 sekolah misi tanpa subsidi dengan kurang lebih 20.000 murid. Sekolah Dasar yang bersubsidi sebanyak 776 dengan jumlah murid pada tahun 1961 sebanyak kurang lebih 45.000 murid, dan seluruhnya ditangani oleh misi, dan pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib dalam hal ini. Pada tahun 1961 tercatat 1.000 murid belajar di sekolah menengah pertama, 95 orang Irian Belajar di luar negeri yaitu Belanda, Post Moresby, dan Australia dimana ada yang masuk Perguruan Tinggi serta ada yang masuk sekolah pertanian maupun sekolah perawat kesehatan (misalnya pada Nederland Nasional Institut for Tropica Agriculture dan Papua Medical Collega di Port Moresby).
Walaupun Belanda harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk membangun Irian Barat, namun hubungan antara kota dan desa atau kampong tetap terbatas. Hubungan laut danm luar negeri dilakukan oleh perusahaan Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) yang menghubungkan kota-kota Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Fak-Fak dan Merauke, Singapura, Negeri Belanda. Selain itu ada kapl-kapal kecil milik pemerintah untuk keprluan tugas pemerintahan. Belanda juga membuka 17 kantor Pos dan telekomunikasi yang melayani antar kota. Terdapat sebuah telepon radio yang dpat menghubungi Hollandia-Amsterdam melalui Biak, juga di tiap kota terdapat telepon. Terdapat perusahaan penerbangan Nederland Nieuw Guinea Luchvaart Maatschappij (NNGLM) yang menyelenggarakan penerbangan secara teratur antara Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayawijaya dengan pesawat DC-3, kemudian disusul oleh perusahaan penerbangan Kroonduif dan Koniklijk Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri di Biak. Sudah sejak tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi lapangan Internasional. Selain penerbangan tersebut, masih terdapat juga penerbangan yang diselenggarakan oleh misi protestan yang bernama Mission Aviation Fellowship (MAF) dan penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Katholik yang bernama Associated Mission Aviation (AMA) yang melayani penerbangan ke pos-pos penginjilan di daerah pedalaman. Jalan-jalan terdapat dis ekitar kota besar yaitu Hollandia 140 Km, Biak 135 Km, Manokwari 105 Km, Sorong 120 Km, Fak-Fak 5 Km, dan Merauke 70 Km.
Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku ‘’ASMAT’’ kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa local khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa local di Irian Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan ke dalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu: Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waosiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipilu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki.
Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi ke dalam empat kelompok di mana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri.
1) Penduduk Pesisir Pantai; Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.
2) Penduduk Pedalaman yang Mendiami Dataran Rendah; Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menagkap ikan di sungai, berburu di hutan di sekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.
3) Penduduk Pegunungan Yang Mendiami Lembah; Mereka bercocok tanam, dan memelihara babgi sebagai ternak utama, kadangkala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua. Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan ‘’Pesta Babi’’ sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroism dalam mencari keseimbangan sosial melalui ‘’Perang Suku’’ yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga terhadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe kedua.
4) Penduduk Pegunungan yang Mendiami Lereng-Lereng Gunung; Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, member eksan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih ‘’KANIBAL’’ hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

III. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perspektif sosial budaya masyarakat Papua dapat dilihat melalui perspektif teori evolusi, fungsionalisme struktural, diferensiasi struktur dan teori konflik.
2. Perubahan sosial budaya telah mengubah cara pandangan hidup seseorang terhadap orientasi sosial budayanya, dan hal tersebut akan mempengaruhi juga tingkat aspirasinya.
3. Transformasi sosial masyarakat Papua pada lazimnya terjadi karena adanya perubahan kondisi sosial primer yang menjadi unsur yang mempertahankan kesimbangan masyarakat, seperti unsur geografis, biologis, ekonomi, teknologi, agama dan politik.

CURRICULUM VITAE
Nama lengkap : Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si.
Tempat tanggal lahir : Purwakarta, 19 Juli 1964
Alamat kantor : Jl. Permana No. 32B 6648311 Cimahi
Alamat rumah : Jl Jati Indah IV/6 RT. 10 RW. 11 Kel. Gumuruh Kecamatan Batununggal Kota Bandung 40275 http://www.endangkomarasblog.blogspot.com
Email: endang_komara@yahoo.co.id
Pekerjaan : Dosen PNS Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan Cimahi dan Pembantu Ketua Bidang Akademik
Pangkat/Golongan : Pembina Utama Muda, IV/c
Jabatan Fungsional Dosen : Guru Besar Sosiologi Pendidikan
Pendidikan terakhir : S3 Universitas Padjadjaran, lulus 2003
Publikasi Ilmiah : Historia UPI, JPIPS, Suara Daerah, Tri Dharma, Jurnal Nasional Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Jurnal Mahkamah Konstitusi.

Bandung, 13 September 2009
Penulis





Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si.
NIP. 132007609

DAFTAR PUSTAKA


Alisyahbana, ST. 1981. Pembangunan Kebudayaan Indonesian Di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Prisma No. II (P3ES)
Arifin, Syamsul. 1998. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sipress.
Koentjaraningrat (1974). Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia. Jakarta: Bharata.
Nata, Abuddin. 2000. Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Konstribusi dalam Mengatasi Krisis Masyarakat Modern. Dikdaktika: Vol. 1 No. 3.
Rokeach. 1982. Teory and Problem of Psychology. New Delhi: Mc Graw Hill.
Soekanto, Soerjono. 1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta:Rajawali Pers.
Tutik, Titik Triwulan dan Trianto. 2008. Dimensi Transendental dan Transformasi Sosial Budaya. Surabaya: Lintas Pustaka Publisher.
Wonda, Sendius. 2009. Jeritan Bangsa: Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan. Yogyakarta: Galang Press.

Kamis, 27 Agustus 2009

INOVASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DI INDONESIA

ABSTRAK

Inovasi dan reorientasi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sangat diperlukan agar pembelajaran yang dilakukan memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselerasi pembangunan demokrasi dan peningkatan kualitas pembelajaran Ilmu Sosial. Hal tersebut dilakukan melalui pengembangan konsep dasar model teoretik inovasi dan reorientasi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial; dan rumusan model dan teori baru dalam pembelajaran sebagai hasil uji efektivitas model teoretik inovasi dan reorientasi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini maka pemerintahan yang demokratis akan sulit ditegakkan.
Kata Kunci: Inovasi, reorientasi, pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, nilai-nilai demokrasi dan pemerintahan demokratis.





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di lingkungan pendidikan dalam kurikulum yang dipakai sekarang ini cenderung dilakukan secara terpisah dan masing-masing mata pelajaran monolitik terutama di Sekolah Dasar dan sudah menggunakan IPS terpadu di Sekolah Menengah Pertama. Masing-masing mata pelajaran memiliki tujuan yang tidak secara jelas memiliki keterkaitan satu sama lain. Bahkan menurut hasil penelitian Education Project, 1999 dalam Zamroni (2002) dikemukakan bahwa: ‘jumlah mata pelajaran dan beban masing-masing mata pelajaran dinilai terlalu banyak yang memberatkan baik bagi guru, lebih-lebih bagi siswa’. Hal ini mendorong guru melaksanakan proses belajar mengajar dalam menekankan pada siswa untuk menghafal pelajaran dengan mengorbankan pengembangan critical thinking. Siswa menjadi pendengar pasif, sementara guru menyampaikan pelajaran, mendikte ataupun menulis di papan tulis.
Tradisi yang dilakukan dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial cenderung menggunakan monolitik dan bersifat top down, semua materi pengajaran secara detail telah dipersiapkan oleh pusat (Pusat Kurikulum/Puskur atau Badan Standar Nasional Pendidikan/BSNP). Nuansa pendekatan teoretis sangat kental, ditunjukkan dengan penekanan pada pembahasan apa yang ada dalam buku teks, tanpa dikaitkan dengan apa yang ada dan relevan bagi bangsa Indonesia. Siswa cenderung bersifat ‘’textbookish’’ yang sama sekali tidak dikaitkan dengan pengalaman yang dimiliki oleh para siswa sendiri. Sebagai akibatnya pembelajaran ilmu pengetahuan sosial hanya memiliki kontribusi yang amat kecil dalam pengembangan individu dan masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang beraneka ragam dan pluralistik merupakan ancaman bagi disintegrasi bangsa. Oleh karena itu pembelajaran ilmu pengetahuan sosial seyogyanya merupakan satu instrumen utama untuk memperkuat dan memperekat integrasi bangsa, termasuk di dalamnya memperkuat dan mendorong proses transisi menuju masyarakat demokratis.
Inovasi dan reorientasi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial sangat diperlukan agar pembelajaran yang dilakukan memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselarasi pembangunan demokrasi. Tujuan, materi dan organisasi pelaksanaan (metode) pembelajaran ilmu pengetahuan sosial perlu diubah secara total dan berkesinambungan sesuai dengan konteks dan perubahan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga pengembangan ilmu-ilmu sosial benar-benar menggambarkan wajah Indonesia yang sebenarnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian IKIP Yogyakarta tahun 1998 menunjukkan fenomena lebih dari 50% siswa, menyatakan adanya ketidakpuasan dalam mempelajari ilmu-ilmu sosial. Hal ini terjadi karena mereka berpendapat guru kurang menguasai materi, dan metode pengajarnya. Mereka merasakan bahwa cara guru mengajar cenderung membosankan dan terlalu abstrak. Oleh karena itu mereka menginginkan dan menyarankan agar guru menggunakan variasi berbagai metode mengajar, sehingga tidak monoton dan juga sangat menginginkan agar para guru mengajak siswa untuk belajar di lapangan dan tidak hanya belajar dari buku (teksbooks) yang ada.
Inovasi dan reorientasi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial sangat diperlukan agar pembelajaran yang dilakukan memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselarasi pembangunan demokrasi. Tujuan, materi dan organisasi pelaksanaan (metode) pembelajaran ilmu pengetahuan sosial perlu diubah secara total dan berkesinambungan sesuai dnegan konteks dan perubahan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga pengembangan ilmu-ilmu sosial benar-benar berwajah Indonesia. Masing-masing mata pelajaran dalam kelompok ilmu pengetahuan sosial perlu merumuskan tujuan bersama yang harus dicapai.
Menurut Massialas, 1978 (dalam Zamroni, 2002:17) mengusulkan tujuan bersama tersebut mencakup lima aspek, yaitu
1. Memahami dan mampu menjelaskan konsep-konsep dan teori-teori antropologi, ekonomi, geografi, politik, psikologi, sejarah dan sosiologi;
2. Memiliki kemampuan menghubungkan issue-issue makro dengan issue mikro;
3. Memiliki kemampuan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang langsung mempengaruhi mereka;
4. Mengaplikasikan etika dan norma dalam pengambilan keputusan, baik dalam arti substansi maupun prosedural, dan
5. Mengembangkan afeksi dan kemampuan kontrol diri.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru dituntut mampu menjelaskan konsep-konsep ilmu pengetahuan sosial; menghubungkan issue yang luas dengan issue yang kontekstual; siswa harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan; menerapkan etika berdemokrasi secara tepat dan mengembangkan sifat afeksi agar siswa dapat mengontrol emosi dirinya secara benar.
Beberapa karakteristik warga negara yang demokratis merupakan sikap dan sifat yang seharusnya melekat pada seorang warga negara. Hal ini akan menampilkan sosok warga negara yang otonom, yakni mampu mempengaruhi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal secara mandiri. Sebagai warga Negara yang otonom, ia mempunyai karakteristik seperti dikemukakan oleh Dede Rosyada, et.al (2003:81) sebagai berikut:
1. Memiliki kemandiran. Mandiri berarti tidak mudah dipengaruhi atau dimobilisasi, teguh pendirian, dan bersikap kritis pada segenap keputusan publik;
2. Memiliki tanggung jawab pribadi, politik dan ekonomi sebagai warga Negara, khususnya di lingkungan masyarakatnya yang terkecil seperti RT, RW, Desa, dan seterusnya. Atau juga di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi;
3. Menghargai martabat manusia dan kehormatan pribadi. Menghargai berarti menghormati hak-hak asasi dan privasi pribadi orang per orang tanpa membedakan ras, warga kulit, golongan ataupun warga negara yang lain;
4. Berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan dengan pikiran dan sikap yang santun. Warga negara yang otonom secara efektif mampu mempengaruhi dan berpartisipasi dalam proses-proses pengembilan kebijakan pada level sosial yang paling kecil dan local, misalnya dalam rapat kepanitiaan, pertemuan rukun warga, dan termasuk juga mengawasi kinerja dan kebijakan parlemen dan pemerintah; dan
5. Mendorong berfungsinya demokrasi konstitusional yang sehat. Tidak ada demokrasi tanpa aturan hukum dan konstitusi. Tanpa konstitusi, demokrasi akan menjadi anarkhi.
Lebih lanjut Khoiron, et.al. (1999:89-97) mengemukakan bahwa: warga negara yang otonom harus melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional yaitu:
a. Menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of law)
b. Ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif (process of law making)
c. Mendukung pembuatan materi-materi hukum yang responsive (content of law)
d. Ikut menciptakan aparat penegak hukum yang jujur dan bertanggung jawab (structure of law)


B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang merupakan fokus permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Inovasi Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang harus dilakukan di Indonesia.
2. Nilai-Nilai Demokrasi yang bagaimana yang harus dikembangkan di Indonesia.
3. Bagaimana keterkaitan antara inovasi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial dengan pengembangan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.











BAB II
PEMBAHASAN

A. Inovasi Pembelajaran IPS di Indonesia
Inovasi dan reorientasi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial sangat diperlukan agar pembelajaran yang dilakukan memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselarasi pembangunan demokrasi. Tujuan, materi dan organisasi pelaksanaan (metode) pembelajaran ilmu pengetahuan sosial perlu diubah secara total dan berkesinambungan sesuai dnegan konteks dan perubahan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga pengembangan ilmu-ilmu sosial benar-benar berwajah Indonesia. Masing-masing mata pelajaran dalam kelompok ilmu pengetahuan sosial perlu merumuskan tujuan bersama yang harus dicapai.
Menurut Mohammad Numan Somantri (2001), pada dasarnya ada empat pendapat mengenai tujuan pengajaran IPS di sekolah, yaitu:
Pertama, ada yang berpendapat bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah untuk mendidik para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hukum, sosiologi dan pengetahuan sosial lainnya. Menurut paham ini, kurukulum pengajaran IPS harus diorganisasikan secara terpisah-pisah sesuai dengan body of knowledge masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut. Oraganisasi pelajaran harus disusun menurut struktur disiplin ilmunya, baik proses penyususnan syntactical structure¬-nya maupun conceptual structure¬-nya. Tidak ada masalah untuk menjadikan para siswa menjadi warga Negara yang baik. Walaupun demikian, aliran ini mengakui pentingnya menumbuhkan cirri warga Negara yang baik, karena hal itu akan datang dengan sendirinya setelah para siswa mempelajari masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut. Golongan yang menganut paham ini tidak setuju apabila nama pengajaran IPS di sekolah disebut ‘’social studies”, tetapi harus disebut ‘’social sciences’’. Golongan ini menekankan pada ‘’content continumm’’ dalam mencapai tujuan pembelajaran IPS.
Kedua, bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah menumbuhkan warga negara yang baik. Pengajaran di sekolah harus merupakan ‘’ a unified coordinated holistic study of men living in societies’’ (Hanna, 1962 dalam Dedi Supriyadi, 2001). Menurut paham ini, sifat warga negara yang baik akan lebih mudah ditumbuhkan pada siswa apabila guru mendidik mereka dengan jalan menempatkannya dalam konteks kebudayaannya daripada memusatkan perhatian pada disiplin ilmu-ilmu sosial yang terpisah-pisah seperti dilakukan di universitas. Karena itu, pengorganisasian bahannya harus secara ilmiah dan psikologis. Golongan ini menghendaki agar program pengajaran mengkorelasikan bahkan mungkin mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu sosial, dalam unit program studi. Golongan ini menekankan pada ‘’process continum’’ dalam mencapai tujuan pengajaran IPS.
Ketiga, merupakan kompromi dari pendapat pertama dan kedua, golongan ini mengakui kebenaran masing-masing pendapat pertama dan kedua di atas. Tujuan program pengajaran IPS menurut kelompok ini adalah simplikasi dan distilasi dari berbagai ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pendidikan (Wesley, 1964 dalam Dedi Supriyadi dan Rohmat Mulyana, 2001). Golongan ini berpendapat bahwa bahan pengajaran IPS merupakan sebagian dari hasil penelitian dalamilmu-ilmu sosial, untuk kemudian dipilih dan diramu agar cocok untuk program pengajaran di sekolah.
Keempat, berpendapat bahwa pengajaran IPS di sekolah di maksudkan untuk mempelajari bahan pelajaran yang sifatnya ‘’tertutup’’ (closed areas). Maksudnya ialah bahwa dengan mempelajari bahan pelajaran yang pantang (tabu) untuk dibicarakan, para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memecahkan konflik intrapersonal maupun antarpersonal. Bahan pelajaran IPS yang tabu tersebut dapat timbul dari bidang ekonomi, politik, sejarah, sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dengan mempelajari hal-hal yang tabu, para siswa akan memperoleh banyak keuntungan, yaitu:
(a) Dapat mempelajari masalah-masalah sosial yang perlu mendapatkan pemecahannya;
(b) Sifat pengajaran akan mencerminkan suasana yang mengarah pada prospek kehidupan yang demokratis;
(c) Dapat berlatih berbeda pendapat, suatu hal yang sangat penting dalama memperkuat asas demokrasi; dan
(d) Bahan yang tabu seringkali sangat dekat kegunaannya dengan kebutuhan pribadi maupun masyarakat.
Kelemahannya adalah kesulitan dalam melakukan pemilihan bahan yang tepat untuk suatu tingkat kelas. Kurang cermatnya mempersiapkan bahan yang tabu dapat menjadi masalah yang akan menyulitkan guru dan masyarakat itu sendiri, bahkan bukan tidak mungkin akan mengganggu ketertiban. Oleh karenanya, pilihan judulnya harus tepat dengan mengikutsertakan pendapat siswa dalam masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia sekarang, berkaitan dengan pembangunan demokrasi dan menjaga keutuhan integritas sebagai suatu bangsa yang multi-kultural, seyogyanya dapat menjadikan pengajaran ilmu-ilmu sosial bukan hanya sekedar transfer pengetahuan, melainkan harus dapat menjadikannya sebagai kekuatan pembebas pada setiap kehidupan individu warga Negara. Pengajaran ilmu-ilmu sosial sangat terkait dengan nilai-nilai demokrasi, dan partisipasi positif warga bangsa. Pengajaran ilmu-ilmu sosial dalam masa transisi perlu menekankan pada tujuan pengembangan kesadaran akan pentingnya demokrasi dan kemampuan untuk hidup dalam alam demokrasi.
Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan sosial bertujuan untuk mengembangkan pada diri siswa pengetahuan yang dapat diomanfaatkan bagi kepentingan diri dan masyarakatnya. Siswa yang mempelajari ilmu-ilmu sosial harus mampu mengaitkan permasalahan makro (umum) ke mikro (individu), dan mampu menunjukkan pemikiran dan perilaku yang respek terhadap hubungan antar pendidikan dan tanggungjawab pribadi untuk memajukan kepentingan umum.
Permasalahan dalam pengajaran ilmu-ilmu sosial berikutnya adalah berkaitan dengan materi yang dicakup dalam masing-masing bidang ilmu sosial tersebut. Setiap disiplin sosial menyajikan konsep dan teori. Teori merupakan abstraksi dari keadaan dan kondisi suatu masyarakat. Sebagian besar teori-teori yang dibahas dalam ilmu-ilmu sosial merupakan teori-teori Barat, yang berarti teori-teori tersebut menyajikan abstraksi kondisi dan keadaan masyarakat barat. Dengan kata lain, materi ilmu-ilmu sosial yang disampaikan kepada para siswa bersifat ‘’western perspective, etnocentric dan unilinier” (Tipps, 1973 dalam Zamroni, 2001).
Di samping itu permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya kondisi yang semakin tidak menguntungkan untuk pembangunan demokrasi, karena pengajaran ilmu-ilmu sosial hanya menggunakan metode ceramah, yang berarti hanya mencekoki para siswa dengan abstraksi masyarakat Barat, tanpa melakukan kritik dan validasi dengan masyarakat sendiri. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara apa yang dilihat dan dialami di masyarakatnya dengan apa yang dipelajari di sekolah.
Sekarang sudah tiba saatnya bagi dunia pendidikan di Indonesia untuk mulai mempersiapkan dan mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang berwajah Indonesia, yang tumbuh dan lahir dari masyarakatnya sendiri, sehingga betul-betul mencerminkan kondisi dan keadaan masayarakat yang ada. Para praktisi pendidikan, khususnya Ilmuwan sosial bisa belajar dari Amerika Serikat, sebagaimana Bloom (1987) lewat bukunya “ The Closing of The American Mind”, mengingatkan agar bangsa Amerika membersihkan diri dari pengaruh pemikiran Jerman. Demikian juga Indonesia dalam membangun demokrasi harus mulai membersihkan diri dari pemikiran Barat yang mendasarkan pada Judeo-Cristian Traditions, yang hanya didasarkan pengalaman yang terjadi di pangung sejarah Eropa Barat, khususnya Inggris, Jerman dan Perancis dan tidak pernah memperhatikan panggung sejarah belahan dunia lain.
Bahkan Fukuyama, 1995 (dalam Zamroni, 2002:19) sudah meramalkan kemunculan demokrasi dengan wajah bangsa-bangsa Asia ini yang berbeda dengan demokrasi Amerika Serikat. Karena pada hakikatnya sejarah panjang yang sudah mendarah daging suatu bangsa akan mewarnai wajah demokrasi bangsa yang bersangkutan, cepat atau lambat. Bahkan Singapura telah berhasi membangun “confucianism democracy”, yaitu demokrasi yang dijiwai oleh nilai-nilai confu-cianisme.
Demikian juga dengan Bangsa Indonesia yang memiliki akar sejarah budaya panjang, yang mungkin tidak sama dengan nilai-nilai demokrasi yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, dalam jangka panjang sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi yang terjadi, demokrasi yang berwajah Indonesia juga perlu dilahirkan di bumi ini, agar warga bangsa tidak asing dengan sistem kehidupan sosial politiknya sendiri. Untuk itu, betapapun kecilnya peran dan kontribusi yang akan diberikan, pengajaran ilmu-ilmu sosial perlu mulai menyajikan dan membahas materi-materi yang muncul dari persoalan bangsa sendiri.
Materi dan model pengajaran ilmu-ilmu sosial perlu diubah dengan mengedepankan prinsip adaptif dan participatory action learning, yang memungkinkan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkaji teori dan dikaitkan dengan apa yang ada di masyarakat, mengeksplor dan mendalami nilai-nilai individu dan masyarakat. Oleh karena itu, pengajaran ilmu-ilmu sosial perlu membiasakan para siswa untuk diajak mengem-bangkan prinsip antisipatory, partisipasi dan mapping. Antisipatori berarti siswa dibiasakan untuk dapat membaca tanda-tanda masa depan dari apa yang dipelajari saat ini. Partisipasi maksudnya siswa diajak untuk menguji dan menyaksikan apa yang ada dalam teori dengan kenyataan yang ada di masyarakatnya. Sedangkan mapping artinya adalah siswa diajak untuk melakukan observasi di tengah-tengah masyarakat sekitaarnya untuk menangkap gejala sebab akibat yang terjadi secara berulang-ulang secara konsisten.
Bahkan hasil penelitian Zuriah dan Sunaryo dkk, 2002- 2004 ( PHB XI.1 – X1.3) menunjukkan fenomena bahwa pembelajaran PPKn khususnya dan IPS pada umumnya cenderung bersifat bias gender dan menunjukkan perilaku yang undemokratik dalam pelaksanaan proses belajar mengajarnya.
Sedangkan karakteristik umum yang harus dimiliki model pembelajaran menurut Joyce dan Weill (1986) adalah memiliki 5 (lima ) unsur pokok, yaitu :

1. Sintakmatik; yaitu tahap-tahap dari kegiatan model pembelajaran tersebut.

2. Sistem Sosial; yaitu situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model tersebut.

3. Prinsip Reaksi/ Pengelolaan; yaitu pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan peserta didik, termasuk bagaimana seharusnya pengajar atau pendidik memberikan respon terhadap mereka.

4. Sistem Pendukung; yaitu segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model tersebut.

5. Dampak Instruksional dan Pengiring; Dampak instruksional, yaitu hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para pelajar pada tujuan yang diharapkan. Dampak Pengiring, ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh sebuah proses belajar mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para pelajar tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Hal itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Seiring dengan tuntutan arus reformasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, maka pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan formal sistem persekolahan tengah berada pada masa transisi menuju pendidikan yang demokratis. Transisi pendidikan tersebut terjadi sebagai akibat adanya transisi politik dari sistem otoriter ke sistem demokrasi. Pola dan sistem pendidikan yang semula dikelola serba sentralistis bergerak berubah ke sistem pengelolaan yang bersifat desentralisasi.
Menurut Plank & Boyd, 1994 (dalam Zamroni, 2002:13) dikatakan bahwa desen-tralisasi pendidikan ke propinsi, kabupaten, kota dan bahkan ke sekolah meru-pakan suatu kebijakan untuk menyerahkan wewenang pengambilan keputusan pendi-dikan di tempat-tempat yang lebih dekat dengan proses belajar mengajar. Dengan demikian diharapkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan sekolah dan dapat meningkatkan proses demokratisasi sekolah dengan mendorong partisipasi warga masyarakat, khususnya warga sekolah dalam pengelolaan sekolah. Lebih dari pada itu, karena keputusan diambil pada sekolah di mana merupakan suatu kelompok yang relatif kecil dan homogen maka, di satu sisi diharapkan perbedaan dan pertentangan dan tuntutan-tuntutan relatif kecil. Di sisi yang lain, keputusan yang diambil akan dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan dan aspirasi dari warga sekolah.
Perubahan dalam dunia pendidikan ini sangat mendasar yang memerlukan dan mengakibatkan perubahan dalam nilai-nilai, norma-norma, pola pikir dan perilaku dalam pengelolaan sekolah dan warga sekolah . Namun demikian, dalam tataran implementasi di lapangan muncul beberapa hambatan dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan tersebut, terutama dari kalangan birokrat yang belum memahami dengan benar hakekat desentralisasi pendidikan.
Menurut Zamroni (2002: 13), di kalangan kepala sekolah dan guru, kebijakan desentralisasi pendidikan juga belum disambut secara baik. Mereka masih “kaget” dan termangu menghadapi kebijakan, kondisi, aturan main dan peran baru mereka. Di antara mereka masih banyak menunggu instruksi dan pengarahan maupun pedoman. Mereka belum sadar bahwa kesempatan luas telah dibuka bagi mereka untuk mengembangkan ide-ide dan program-program guna mengopti-malkan perkembangan siswa, sesuai dengan fasilitas, kemampuan dan kondisi sekolah. Para birokrat pendidikan belum juga sadar bahwa model kebijakan “a size fits for all” telah berlalu. Setiap birokrat pendidikan, khususnya kepala sekolah dan guru diberikan kesempatan, bahkan di dorong untuk mengembangkan ide-ide dan langkah-langkah cerdas mereka sesuai dengan kondisi, tuntutan dan kebutuhan lokal.
Terlebih lagi, sekolah secara sengaja ataupun tidak sengaja, selama ini telah menanamkan sikap berlebihan pada diri siswa bahwa pentingnya belajar adalah untuk menghadapi ujian. Ujian merupakan target dan derajat tertinggi yang harus dikuasasi dan ditempuh dengan segala cara. Makna dan hakekat belajar sudah menjadi semakin sempit dan dangkal; hanya untuk menghadapi ujian. Sekolah telah melupakan betapa pentingnya memperhatikan dan memberikan penghargaan kepada para siswa dalam rangka mengem-bangkan potensi yang dimiliki masing-masing individu secara optimal.
Menurut Darling Hammond, 1996 (dalam Zamroni 2002: 14 ) pendidikan telah meninggalkan tugas hakikinya yakni mengembangkan “spirit “ dan sekaligus mengem-bangkan “otak”, sehingga setiap siswa dapat menemukan dan mengembangkan sesuatu yang bernilai yang akan menjadi fondasi kehidupannya, dan juga belajar menghargai apa yang dilakukan orang lain. Akibatnya menurut Malik Fadjar, 2002 pendidikan nasional menjadi “suwung”, hampa tidak menawarkan “roh” yang amat diperlukan bagi siswa guna menjalani kehidupan di masa mendatang.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka proses demokratisasi pendi-dikan perlu dipercepat, yakni dengan melakukan inovasi atau pembaharuan yang menyeluruh atas dunia pendidikan Indonesia, mencakup filosofi, organisasi, metodologi, administrasi dan mana-jemen, sesuai dengan jiwa dan semangat demokratisasi.
The International Commision of the Development of education, 1972 (dalam Zamroni, 2002:15) menyatakan bahwa demokratisasi pendidikan bukanlah ilusi, melainkan suatu keniscayaan. Demokratisasi pendidikan menurut Bereday yang dikutip Mohanty (2000), memerlukan empat persyaratan utama, yaitu:
1) Adanya komitment sebagian besar warga bangsa untuk melakukan pembangunan pendidikan;

2) Mobilisasi sumber daya manusia besar-besaran untuk mendukung dan berpartisipasi dalam pendidikan;

3) Komitmen dan penyediaan fasilitas pendidikan yang realistik dan memadai, dan
4) Adanya rekruitmen dan promosi tenaga pendidikan yang memiliki keseimbangan antara tuntutan sosial dan aspirasi individu.
Dalam pendidikan demokrasi mutlak diperlukan adanya pengembangan kemampuan berpikir kritis, analitis dan jernih disertai dengan pengendalian diri yang tinggi. Menurut Snauwaert (2001) yang dikutip Zamroni, 2002 menyatakan bahwa pendidikan demokrasi senantiasa harus mendasarkan diri pada prinsip-prinsip kemanusiaan, dan menitikberatkan pada tujuan untuk mengembangkan pada diri siswa empati, toleransi, respek pada yang lain, dan memiliki pandangan sebagai warga negara bangsa dan warga masyarakat global. Hal ini dapat dilakukan apabila sekolah dapat mentransfer pengajaran yang bersifat akademis sempit ke dalam realitas kehidupan yang amat luas di masyarakat.
Pendidikan demokrasi harus bisa mengembangkan toleransi dan social trust di kalangan siswa dengan memberikan kesempatan, bahkan mendorong setiap siswa untuk belajar hidup bersama dan saling menghargai melalui kebiasaan hidup berdampingan, dan berinteraksi dengan individu-individu dan kelompok-kelompok yang memiliki berbagai perbedaan dengan dirinya.
Menurut Zamroni (2002:11), secara singkat pendidikan demokrasi memiliki empat tujuan:

a) mengembangkan kepribadian siswa sehingga memiliki sifat empati, respek, toleransi dan kepercayaan pada orang lain,

b) mengembangkan kesadaran selaku warga suatu bangsa dan warga dunia,

c) meningkatkan kemampuan mengambil keputusan secara nasional dan,

d) meningkatkan kemampuan berkomunikasi diantara sesama warga.
Lebih lanjut menurut Henry P. Broughton yang dikutip dalam Zamroni, 2001, menyatakan bahwa tujuan pendidikan demokrasi adalah mendidik warga masyarakat yang gampang dipimpin tetapi sulit dipaksa, gampang diperintah tetapi sulit diperbudak.
Untuk melakukan pendidikan demokrasi diperlukan dua prasayarat, yaitu:

1) Kultur sekolah yang demokratis, yang mengilhami nilai-nilai cita-cita, prinsip-prinsip demokrasi. Sekolah merupakan laboratorium masyarakat demokratis atau sebuah mini society dan,

2) Kurikulum sekolah yang demokratis, terutama ilmu-ilmu sosial yang memadai untuk mengembangkan demokrasi. Mempertimbangkan demokrasi sebagai wacana dan praksis serta tuntutan reformasi yang tengah berlangsung, dan perlunya mewujudkan demo-kratisasi belajar di lingkungan persekolahan, terutama dengan pemberlakuan kurikulum baru KBK 2004 dan KTSP 2006 yang menggunakan paradigma konstruktivistk dan semangat demokratisasi pendidikan.


B. Nilai-Nilai Demokrasi di Indonesia
Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini, pemerintahan tersebut akan sulit ditegakkan. Nilai-nilai tersebut menurut Asykuri Ibn Chamim et.al (2003:81) adalah kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan kepercayaan. Di samping nilai-nilai tersebut di atas, diperlukan pula sejumlah kondisi agar nilai-nilai tersebut dapat ditegakkan sebagai pondasi demokrasi.
Pertama, kebebasan menyatakan pendapat adalah halk bagi warga Negara biasa yang wajib dijamin dengan undang-undang dalam sebuah system politik demokratis (Dahl, 1971). Kebebasan ini diperlukan karena kebutuhan untuk menyatakan pendapat senantiasa muncul dari setiap warga negara dalam era pemerintahan terbuka saat ini. Dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini, perubahan-perubahan politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, dan teknologi seringkali menimbulkan persoalan warga negara maupun masyarakat pada umumnya. Jika persoalan tersebut sangat merugikan hak-hak warga negara, atau warga negara berharap agar kepentingannya dipenuhi oleh negara, dengan sendirinya warga negara berhak untuk menyampaikan keluhan tersebut secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah. Warga negara dapat menyampaikannya kepada pejabat, seperti lurah, camat, bupati, anggota DPRD/DPR, atau bahkan presiden, baik melalui pembicaraan langsung, surat, media massa atau penulisan buku. Hak untuk menyampaikan pendapat ini wajib dijamin oleh pemerintah sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai bentuk kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah atau unsur swasta. Semakin cepat dan efektif cara pemerintah memberikan tanggapan, semakin tinggi pula kualitas demokrasi pemerintahan tersebut.
Kedua, kebebasan berkelompok. Kebutuhan berkelompok merupakan naluri dasar manusia yang tak mungkin diingkari. Masyarakat primitif berkelompok dalam mencari makan dan perlindungan dari kejaran hewan liar maupun kelompok lain yang jahat. Dalam era modern, kebutuhan berkelompok ini tumbuh semakin kuat. Persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang sedemikian kompleks seringkali memerlukan organisasi untuk menemukan jalan keluar.
Ketiga, kebebasan berpartisipasi ini sesungguhnya merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat dan berkelompok. Jenis partisipasi pertama adalah pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pemilihan anggota DPR maupun pemilihan presiden. Di negara-negara demokrasi yang sedang berkembang seperti Indonesia, pemberian suara sering dipersepsikan sebagai wujud kebebasan berpartisipasi politik yang paling utama. Pada umumnya, negara demokrasi yang baru berkembang senantiasa mengharapkan agar jumlah pemilih atau partisipan dalam pemberian suara dapat mencapai suara sebanyak-banyaknya. Harapanyang sangat tinggi terhadap jumlah pemilih yang mendekati maksimal ini merupakan warisan dari era otoriter. Pada masa otoriter, semakin banyak pemilih semakin besar kebanggaan rezim yang merasa mendapatkan dukungan luas dari pemilih. Oleh karena itu, intimidasi terhadap warga negara sering dijadikan sarana untuk mendongkrak dukungan masyarakat.
Keempat, kesetaraan antar warga. Kesetaraan atau egalitarianism merupakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Kesetaraan disini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara. Kesetaraan member tempat bagi setiap warga negara tanpa membedakan etnis, bahasa. Daerah maupun agama. Nilai ini diperlukan bagi masyarakat heterogen seperti Indonesia yang sangat multi-etnis, multi bahasa, multi daerah,dan multi agama. Heterogenitas masyarakat Indonesia seringkali mengundang masalah, khususnya bila terjadi miskomunikasi antar kelompok yang kemudian berkembang luas jadi konflik.
Nilai kesetaraan perlu dikembangkan dan dilembagakan dalam semua sector pemerintahan dan masyarakat. Diperlukan usaha keras agar agar tidak terjadi diskriminasi atas kelompok etnis, bahasa, daerah, atau agama tertentu, sehingga hubungan antar kelompok dapat berlangsung dalam suasana egaliter.
Kelima, kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, di mana kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama di depan hukum, karena laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk sosial. Laki-laki maupun perempuan memiliki akses yang sama dalam politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu demokrasi tanpa kesetaraan gender akan berdampak pada kehidupan sosial. Dalam demokrasi, kesetaraan gender harus diwujudkan. Proses ke arah itu memang memerlukan waktu panjang. Dalam proses politik di Indonesia, perkembangan ke arah kesetraan gender dalam politik di era pasca reformasi 1998 (awal perkembangan menuju demokrasi) sudah cukup progresif, terbukti dengan diakomodasikannya gagasan 30% kuota perempuan bagi calon anggota legislatif. Namun, hal itu hanyalah sebagian kecil solusi dalam peroalan kesetaraan gender. Masih ada banyak hal lagi yang perlu dilakukan dalam mewujudkan kesetaraan gender, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan lain-lain.
Keenam, kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki kedaulatan. Hal ini berarti bahwa rakyat berdaulat dalam menentukan pemerintahan. Warga negara sebagai bagian dari rakyat memiliki kedaulatan dalam pemilihan yang berujung pada pembentukan pemerintahan. Pemerintahan dengan sendirinya berasal dari rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Rasa ketergantungan pemerintah kepada rakyat inilah yang kemudian menghasilkan makna akuntabilitas. Politisi yang accountable adalah politisi yang menyadari bahwa dirinya berasal dari rakyat. Oleh karena itu, ia wajib mengembalikan apa yang diperoilehnya kepada rakyat. Politisi yang tidak accountable cenderung mengabaikan sama sekali warga negara yang telah memilihnya dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Kedaulatan rakyat hanya dapat ditegakkan bila para politisi menyadari asal-usul dirinya dan menunjukkan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat.

BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A. Inovasi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sangat diperlukan agar pembelajaran yang dilakukan memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselarasi pembangunan demokrasi. Tujuan, materi, dan oragnisasi pelaksanan pembelajaran perlu diubah secara total dan berkesinambungan sesuai dengan konteks dan perubahan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia.
B. Tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yaitu: (1) mendidik para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hukum, soiologi dan pengetahuan sosial lainnya; (2) menumbuhkan warga Negara yang baik; (3) simplifikasi dan distilasi dari berbagai ilmu sosial untuk kepentingan pendidkan dan; (4) mempelajari bahan pelajaran yang sifatnya tertutup (closed areas).
C. Nilai-nilai demokrasi yang harus dikembangkan dalam pendidikan di Indonesia yaitu rasa hormat dan tanggung jawab, bersikap kritis, membuka diskusi dan dialog, bersikap terbuka, rasional, adil dan jujur.
D. Inovasi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial bersignifikansi terhadap nilai nilai demokrasi seperti kemandirian dan keunggulan, bertanggung jawab di lingkungan sekolah dan masyarakat, menghargai martabat manusia dan kehormatan pribadi, berbartisipasi dalam urusan kemasyarakatan dengan pikiran dan sikap yang santun serta mendorong berfungsinya demokrasi konstitusional yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Chamim, Asykuri Ibn. et.al. 2003. Civic Education: Pendidkan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan Yang Demokratis dan berkeadaban. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Khoiron. et.al. 1987. Pendidikan Politik Bagi Warga Negara. Yogyakarta: LKIS.

Rosyada, Dede. et.al. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Civic Education Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.

Sumantri, Numan. 2001. Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Rosda Karya.

Zamroni. 2001. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Zamroni. 2002. Demokrasi dan Pendidikan dalam Transisi: Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu-Ilmu Sosial di Sekolah Menengah. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Universitas Negeri Yogyakarta.

Zuriah, Nurul. et.al. 2003. Model Pembelajaran Demokratis Pada Mata Pelajaran PPKn di Lingkungan Pendidkan Dasar. Dalam Penelitian Hibah Bersaing XI.1 Tahun 2003. Dilbinlitabnas Dikti dan Lemlit UMM.

Senin, 23 Maret 2009

DISIPLIN MENURUT ISLAM Oleh: H. Endang Komara

Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih.
Dalam ajaran Islam banyak ayat Al Qur’an dan Hadist yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59:




“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada rasul-Nya dan kepada Ulil Amri dari (kalangan) kamu …” (An Nisa: 59)

Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha maupun belajar, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan agama dan jauh dari sifat putus asa. Perlu kita sadari bahwa betapa pentingnya disiplin dan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa maupun kehidupan bernegara.

Disiplin dalam penggunaan waktu
Disiplin dalam penggunaan waktu perlu diperhatikan dengan seksama. Waktu yang sudah berlalu tak mungkin dapat kembali lagi. Demikian pentingnya waktu sehingga berbagai bangsa menyatakan penghargan terhadap waktu. Orang Inggris mengatakan Time is money (waktu adalah uang), peribahasa Arab mengatakan”


(waktu adalah pedang) atau waktu adalah peluang emas, dan kita orang Indonesia mengatakan: ‘’sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna’’.
Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang berhasil mencapai sukses dalam hidupnya adalah orang-orang yang hidup teratur dan berdisiplin dalam memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak akan datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui latihan yang ketat dalam kehidupan pribadinya.
Ada empat cara agar kita tidak menjadi orang-orang yang melalaikan waktu, antara lain: (1) beriman, (2) beramal saleh, (3) saling berwasiat dalam kebenaran, (4) saling berwasiat dalam kesabaran.
Inilah yang dijelaskan dalam ayat terakhir surat Al-Ashr. ‘’Illal ladziina amanu wa’amilushshaalihaati watawaahau bish shabr, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan menasihat-menasihati supaya menaati kebenaran serta menasihat-menasihati supaya tetap dalam kesabaran.’’


1. Beriman
Iman, secara bahasa bermakna “membenarkan”. Maksudnya membenarkan segala hal yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw., yang pokok-pokoknya tersistematisasikan dalam rukun iman. Iman sifatnya abstrak, dimensinya batiniah alias tidak terlihat. Karenanya, yang paling tahu apakah iman seseorang itu kuat atau lemah hanyalah Allah swt. Zat yang Maha Mengetahui masalah ghaib. Walaupun iman itu abstrak, namun Allah swt. Menyebutkan sejumlah ciri orang-orang yang imannya benar. Firman-Nya, ‘’Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan pada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya serta ampunan dan nikmat yang mulia.’’ (Q.S. Al Anfal 8:2-4). Iman itu bersifat fluktuatif, artinya kadang-kadang meningkat dan kadang-kadang menurun. Dalam suatu riwayat, disebutkan bahwa Al immanu yaziidu wa yanqushu (iman itu dapat bertambah dan bisa juga berkurang). Oleh sebab itu kita wajib merawat iman agar tetap prima supaya tidak terjerumus menjadi orang-orang yang merugi.



2. Beramal Saleh
Kedua yang bisa menyelamatkan manusia dari kerugian adalah beramal saleh. Kata amiluu berasal dari kata amalun artinya pekerjaan yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Kata shalihaat berasal dari kata shaluha artinya bermanfaat atau sesuai. Jadi, amal saleh adalah aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa pekerjaan itu memberi manfaat untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Selain itu, pekerjaan tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan amal saleh sebagai perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Jadi, karya atau kreativitas apapun yang kita lakukan dengan penuh kesadaran demi kemaslahatan diri sendiri, keluarga ataupun masyarakat, dapat disebut amal saleh. Harus diingat, amal saleh itu harus dibarengi dengan iman, karena amal saleh tanpa dilandasi iman kepada Allah swt. akan menjadi sia-sia, ‘’Dan Kami hadapi segala amal baik yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan”. (Q.S. Al Furqan 25:23)

3. Saling Berwasiat dalam Kebenaran
Watawaashau bil haq, Orang yang saling berwasiat dalam kebenaran. Berarti saling menasihati untuk berpegang teguh pada kebenaran. Kata Al haq di sini berarti kebenaran yang pasti, yaitu Ajaran Islam. Maka syarat agar manusia terhindar dari kerugian adalah mengetahui hakikat kebenaran Islam, mengamalkannya, dan menyampaikannya kepada orang lain. Siapa saja yang tidak mau mengajak manusia lain untuk berpegang pada kebenaran Islam setelah ia mengetahuinya, ia termasuk dalam golongan yang merugi.
Mengajak orang lain berada di jalan kebenaran bukan sekadar tugas para kiai, ulama, ustadz ataupun lembaga dakwah, namun merupakan kewajiban setiap individu. Rasulullah bersabda, ‘’Siapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan kekuasaan. Apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan, dan kalau tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hati, dan itulah iman yang paling lemah.’’
Kewajiban ini ditujukan kepada setiap individu muslim, kapan dan di mana pun melihat kemunkaran, kita wajib mengubahnya sesuai kadar kemampuan kita. Saling menasihati untuk berpegang teguh pada kebenaran harus dilakukan dengan ilmu, penuh kearifan, dan menggunakan kata-kata yang santun, sebagaimana Firman-Nya, “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S An-Nahl 16:125)

4. Saling Berwasiat dalam Kesabaran
Wa tawaashau bishshabr, saling menasihati supaya tetap dalam kesabaran. Kesabaran adalah suatu kekuatan jiwa yang membuat orang menjadi tabah menghadapi berbagai ujian. Sabar begitu penting untuk kita miliki. Allah swt. menyebut sabar sebanyak 103 kali dalam Al-Qur’an dengan berbagai konteks. Jiwa sabar harus kita miliki karena ujian akan selalu mewarnai kehidupan kita, ‘’Dan sungguh Kami akan berikan ujian padamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira orang-orang yang bersabar…” (Q.S. Al-Baqarah 2:155).



Disiplin dalan beribah.
Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk atau merendahkan diri. Pengertian yang lebih luas dalam ajaran Islam, ibadah berarti tunduk dan merendahkan diri hanya kepada Allah yang disertai dengan perasaan cinta kepada-Nya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa disiplin dalam dalam beribah itu mengandung dua hal: (1) berpegang teguh apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah atau larangan, maupun ajaran yang bersifat menghalalkan, menganjurkan, sunnah, makruh dan subhat; (2) sikap berpegang teguh yang berdasarkan cinta kepada Allah, bukan karena rasa takut atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah adalah senantiasa taat kepada-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 31:




‘’Katakanlah: ‘’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran 31).

Sebagaimana telah kita ketahui, ibadah itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (1) Ibadah Mahdah (murni) yaitu bentuk ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah; (2) Ibadah Ghaira Mahdah (selain mahdah), yang tidak langsung dipersembahkan kepada Allah melainkan melalui hubungan kemanusiaan.
Dalam ibadah mahdah (disebut juga ibadah khusus) aturan-aturannya tidak boleh semaunya akan tetapi harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang yang mengada-ada aturan baru misalnya, shalat subuh 3 raka’at atau puasa 40 hari terus-menerus tanpa berbuka, adalah orang yang tidak disiplin dalam ibadah, karena tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia termasuk orang yang berbuat bid’ah dan tergolong sebagai orang yang sesat.
Dalam ibadah Ghaira mahdah (disebut juga ibadah umum) orang dapat menentukan aturannya yang terbaik, kecuali yang jelas dilarang oleh Allah. Tentu saja suatu perbuatan dicatat sebagai ibadah kalau niatnya ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena riya ingin mendapatkan pujian orang lain.

Disiplin dalam bermasyarakat.
Hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia. Dilihat dari latar belakang budaya setiap manusia memiliki latar belakang yang berbeda. Karenanya setiap manusia memiliki watak dan tingkah laku yang berbeda. Namun demikian, dengan bermasyarakat (animal education/hayawunnatiq), mereka telah memiliki norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan serta peraturan yang disepakati bersama yang harus dihormati dan dihargai serta ditaati oleh setiap anggota masyarakat tersebut.
Agama Islam mengibaratkan anggota masyarakat itu bagaikan satu bangunan yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain mempunyai fungsi yang berbeda-beda, manakala salah satu komponen rusak atau binasa. Hadist Nabi SAW menegaskan:
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang sebagian dari mereka memperkuat bagian lainnya. Kemudian beliau menelusupkan jari-jari tangan sebelah lainnya’’. (H.R. Bukhori Muslkim dan Turmudzi)

Disiplin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara adalah alat untuk memperjuangkan keinginan bersama berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh para anggota atau warganegara tersebut. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi warganya, negara tidak akan terwujud. Oleh karena itu masyarakat merupakan prasyarat untuk berdirinya suatu Negara. Tujuan dibentuknya suatu negara adalah seluruh keinginan dan cita-cita yang diidamkan oleh warga masyarakat dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan. Rasulullah bersabda yang artinya: ‘’Seorang muslim wajib mendengar dan taat, baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah mengerjakan maksiat, maka tidak wajib untuk mendengar dan taat’’. (H.R. Bukhori Muslim)

Jumat, 13 Maret 2009

TRANSFORMASI OLAHRAGA TRADISIONAL DALAM MENGHADAPI POST MODERISM Oleh: Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si

Abstrak
Olahraga tradisional adalah jenis olahraga yang timbul berdasar permainan dari masing-masing suku dan etnis yang ada di Indonesia. Dan cabang itu tidak semuanya dilombakan baik secara nasional maupun internasional. Cabang-cabang olahraga tradisional meliputi sepak takraw, pencak silat, karapan sapi, egrang, dan lain-lain.
Karakteristik post modernism (posmo) dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Untuk memahami laju percepatan perubahan sosial yang luar biasa maka karakteristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimaksudkan agar substansi telaahannya dikenal baik dan selanjutnya diolah lebih baik.

I. Pendahuluan
Bila berbicara mengenai olahraga, maka kita menyadari bahwa ada bermacam-macam cabang olahraga yang bisa dipilih dan berkomitmen untuk menekuninya. Ada olahraga modern yang cara dan aturannya akan berbeda dengan olahraga tradisional yang masih minim baik dari tata cara bermain dan aturan-aturannya. Ada juga olahraga yang dirancang dan dilakukan untuk melatih kondisi fisik atau otot para pelakunya, ada pula yang dibuat untuk menstimulasi kesegaran rohani atau psikis dan merancang kerja otak. Maka perlu kita ketahui beberapa macam olahraga yang ada.
Berdasarkan masa terdiri dari pertama olahraga modern. Dalam lingkup ini, olahraga yang dimaksud modern adalah olahraga yang telah resmi, baik secara aturan permainan dan alat yang digunakan bermain di seluruh negara. Dan secara internasional, cabang-cabang olahraga modern ini tidak bisa diubah salah satu atributnya tanpa perubahan dari induk-induk organisasi olahraga dunia terkait. Beberapa cabang olahraga modern misalnya: anggar, angkat besi, bulutangkis, catur, golf, loncat indah, menembak, sepak bola, tenis, tinju dan lain-lain. Kedua, olahraga tradisional. Sejauh ini hanya di Indonesia yang mengenalkan jenis olahraga tradisional kepada publik dalam negeri. Yang dimaksud tradisional adalah jenis olahraga yang timbul berdasar permainan dari masing-masing suku dan etnis yang ada di Indonesia. Dan cabang ini tidak semuanya dilombakan baik secara nasional maupun internasional. Adapun cabang-cabang di dalamnya adalah: sepak takraw, pencak silat, karapan sapi, egrang, dan lain-lain.
Berdasarkan organ tubuh terdiri atas pertama Olahraga fisik atau otot. Sesuai dengan porsi latihan yang dilakukan, olahraga fisik atau otot ini lebih menitikberatkan pada ketahanan fisik dan kekuatan otot pelaku dimana sebelumnya mereka telah berlatih membentuk ketahanan dan kekuatan tubuh di masing-masing cabang olahraga ini. Banyak contoh dari olahraga ini yang banyak digemari, salah satunya binaraga. Dimana pelaku diharuskan berkelanjutan memperkuat otot dengan kombinasi olahraga angkat besi, lari, dan diimbangi dengan makanana bernutrisi. Namun secara umum, olahraga jenis ini tentu saja akan menguras banyak tenaga. Tapi tidak diperbolehkan penggunaan obat bantu untuk menambah ketahanan. Karena pengkonsumsian obat tersebut sama saja dengan pemforsiran fungsi kerja tubuh. Kedua, olahraga psikis. Sejak awal, cabang-cabang olahraga psikis atau olahraga otak ini mengindikasikan latihan untuk memperbagus fungsi kerja otak. Baik dari segi berpikir strategi maupun tingkat kesabaran pemain. Cukup sedikit cabang olahraga otak ini. Beberapa yang terkenal adalah catur yang banyak diminati karena pola permainannya yang mengandalkan pemilihan strategi menyerang dan bertahan juga melatih kesabaran pemain. Ada pula memancing yang menstimulasi tingkat kesabaran juga adrenalin para peminatnya.
Karakteristik posmo dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Untuk memahami laju percepatan perubahan sosial yang luar biasa membuat kita perlu mencari terus filsafat, teori, dan metodologi pengembangan ilmu yang tepat. Di samping itu mengenai karakteristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimasudkan agar substansi telaahannya dikenal baik, dan selanjutnya diolah dengan lebih baik.
Studi Geertz di Pare yang disamarkan dengan nama Mojokuto membagi masyarakat menjadi priyayi, abangan, dan santri mendapat kritik para fungsionalis (yang positif modern), sebagai sinkretis, dengan kesimpulan mengarah ke marginalisasi peran Islam, dan dimaknai bahwa Islam itu tidak berbahaya. Tetapi interpreti Geertz tentang priyayi, abangan, dan santri juga mendapat kritik dari ilmuwan Muslim sekarang, dengan mendekontruk paradigma yang dipakai Geertz, menampilkan peran aktif dan signifikan Islam.
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Sepeti dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif (2000:236) bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237) berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis; logikan yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996), logika discovery menurut Muhadjir (1982), atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernist yang ”mengejar” grandtheory dan jabarannya, ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah Postpositivistik Phenomenologik-Interpretif Logik dan Etik, misalnya berupa model Interpretif Geertz, Grounded Research, Ethnographik-Etnometodologik, Paradigma Naturalistik, Interaksionisme Simbolik dan Model Kontruktivist.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansu kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama, temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia, umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer, satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Apakah posmo hanya menyangkut rekayasa sosial? Tidak. Dengan mengkonstruksi paradigma genetik jantan-betina, menjadi paradigma lain, ditemukan DNA. Dengan mendekonstruk sistem desimal menjadi sistem digital berkembang software ilmu komputer. Dekonstruksi paradigma sosial, berkembang berbagai teori para futurolog. Dekonstruksi sosial paling banyak, tetapi nampaknya juga yang paling banyak membuat kesalahan prediksi. Makna poststruktural, postparadigmatik akan menjadi semakin menonjol dalam peran berfikir postmodern. Pada era modern, baik positivist maupun postpositivist, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif (divergen, lateral, holographik, dan lain-lain) pada postpositivistik. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era postposivist menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.




II. Pembahasan
2.1 Transformasi Olahraga Tradisional
Arus globalisasi dapat menyeret identitas budaya yang dimiliki oleh sebuah bangsa. Globalisasi dengan seluruh perangkat penyebarannya harus dihadang dengan kekokohan jati diri bangsa dengan nilai-nilai budaya. Peningkatan jati diri diawali dari unsur-unsur budaya yang bisa menjadi pemantik restorasi budaya. Kaitannya dengan kebudayaan adalah bahwa kebudayaan termasuk sebagai proses dialektik antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan disintegrasi antara tradisi dan reformasi. Itu berarti, dalam kebudayaan ada semacam daya dorong yang mengakibatkan terjadinya sesuatu hal, katakanlah yang mengakibatkan seseorang menjadi tenang dan gelisah, upaya menemukan dan upaya mencarikan yang dilakukan oleh manusia sebagai pelaku kebudayaan.
Menyikapi adanya proses pencarian identitas kebudayaan nasional sebagai benteng untuk menyaring atau menjaga kebudayaan nasional dari terpaan budaya asing adalah sebagai gejala kekhawatiran akan lenyapnya kebudayaan nasional yang bersumber dari pemerkayaan kebudayaan daerah. Akan tetapi upaya itu tidak berhasil karena sesungguhnya yang kita lakukan adalah menentang kebudayaan asing itu dengan membiarkan kebudayaan nasional (daerah) lepas dari pengkajian-pengkajian dalam menemukan identitasnya kembali. Upaya untuk mempertahankan kebudayaan nasional dapat diawali dari transformasi salah satu dari sekian banyak unsur yang membentuk kebudayaan itu tersebut. Unsur kebudayaan yang paling mungkin adalah melalui olahraga tradisional.
Olahraga tradisional menarik untuk dibahas karena berbagai daerah di Indonesia memiliki olahraga tradisional masing-masing yang khas, misalnya Keranjang kambie dari Sumatera Barat, Ujungan dari Banten, Keket dari Jawa Timur, Barapen dari Papua, Tanggobe dari Gorontalo dan banyak lagi yang lainnya. Selain itu, olahraga tradisional sebagaimana olahraga modern menjadi jalan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sehingga multiplier effect-nya semakin besar. Akan tetapi, karena berbagai hak terkait dengan kondisi saat ini, maka olahraga tradisional memerlukan transformasi tanpa meninggalkan esensi dasarnya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam transformasi olahraga tradisional seluruh Indonesia, inventarisasi olahraga tradisional seluruh Indonesia, standarisasi dan nasionalisasi olahraga tradisional hasil klasifikasi, memasukkan olahraga tradisional ke dalam kurikulum pendidikan dasar, menciptakan iklim kompetisi olahraga tradisional yang kondusif, transformasi olahraga tradisional ke tempat ke-4, dan tentunya olahraga tradisional go international.
Pertama, inventarisasi olahraga tradisional seluruh Indonesia. Hal pertama yang harus dilakukan dalam pengembangan olahraga tradisional adalah melakukan inventarisasi semua olahraga tradisional yang terdapat di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Secara teori, setiap suku bangsa seharusnya memiliki kebudayaannya sendiri yang khas, walaupun mungkin tidak harus memiliki olahraga tradisional khas suku tersebut. Sehingga jumlah olahraga tradisional mendekati jumlah suku bangsa yang ada di Indoneis. Belum lagi apabila ada beberapa suku atau daerah yang memiliki lebih dari satu jenis olahraga tradisional. Hasil inventarisasi tersebut dapat menggambarkan keunikan serta karakteristik lain dari olahraga tradisional tersebut dalam mempengaruhi kesehatan pelaku olahraga tradisional itu serta aspek entertaint dan daya tarik bagi masyarakat penonton.
Kedua, klasifikasi olahraga tradisional seluruh Indonesia. Dari hasil inventarisasi yang telah dilakukan, kemudian diklasifikasikan ke dalam criteria yang sama. Hal ini terjadi karena ‘’nama’’ dari suatu olahraga tradisional di setiap daerah mungkin berbeda-beda, akan tetapi terbuka kemungkinan terdapat kemiripan antara olahraga tradisional yang satu dengan yang lain. Misalnya peraturan permainannya sangat mirip, akan tetapi peralatannya sedikit berbeda atau jumlah pemainnya berbeda atau ukuran medan permainannya berbeda.
Kriteria yang digunakan sebagai acuan ditentukan berdasarkan tingkat kesamaan dari olahraga tradisional tersebut. Kriteria klasifikasi yang paling utama hendaknya didasarkan pada kemiripan aturan permainan. Adapun mengenai alat yang agak berbeda, jumlah pemain yang berbeda atau factor pembantu lainnya dapat dilakukan standarisasi ulang.
Ketiga, standarisasi dan nasionalisasi olahraga tradisional hasil klasifikasi. Setelah dilakukan klasifikasi berdasarkan kemiripan aturan permainan olahraga tradisional, selanjutnya dilakukan standarisasi. Standarisasi tersebut dapat meliputi standarisasi jumlah pemain, ukuran medan pertandingan, standarisasi aturan pertandingan, kostum pertandingan, system penjurian serta peralatan pertandingan. Khusus untuk peralatan pertandingan, tidak harus sepenuhnya tradisional sesuai bentuk awal saat olahraga tradisional itu diciptakan. Hal ini dikarenakan kondisi kekinian tidak lagi memungkinkan. Misalnya keranjang yang berbahan baku rotan tidak lagi harus rotan karena persediaan rotan di hutan kita menipis dan nilai ekonomisnya semakin tinggi. Selain itu pada proses standarisasi dapat juga disisipkan teknologi modern dalam olahraga tradisional tanpa mengurangi nilai inti, keunikan serta ruh dari olahraga tradisional tersebut.
Proses standarisasi sebetulnya dilakukan untuk memudahkan proses nasionalisasi olahraga tradisional. Nasionalisasi dilakukan agar olahraga tradisional dari daerah tertentu tidak lagi hanya berkembang di dikenal di daerah tersebut. Selain itu, standarisasi serta nasionalisasi juga akan sangat membantu dalam mensosialisasikan olahraga nasional ke masyarakat serta dalam publikasi ke dunia internasional. Sehingga mungkin saja suatu saat karena sudah jelas standard an statusnya, olahraga nasional Indonesia dimainkan di manca Negara.
Keempat, kampanye dan keteladanan olahraga tradisional. Proses ini merupakan hal yang penting agar olahraga tradisional dapat di terima oleh masyarakat luas bahkan tidak hanya diterima, tetapi terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Karena di era globalisasi, olahraga tradisional harus mampu bersaing dengan permainan ataupun olahraga modern yang sarat dengan teknologi canggih.
Selama ini proses sosialisasi yang kurang optimal menjadi penyebab utama kegagalan olahraga tradisional untuk tetap eksis di era globalisasi. Sosialisasi olahraga modern demikian gencarnya tanpa kita sadari, sehingga kita lupa dengan olahraga tradisional kita. Misalnya tayangan sepak bola dari berbagai Negara dan kejuaran seolah semakin menjadi di televise, sehingga hamper tiada hari tanpa tayangan sepak bola atau setidaknya berita sepak bola. Sebetulnya, meskipun olahraga tradisional masih kurang dari segi penggunanaan teknologi mutakhir, namun olahraga tradisional mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki oleh permainan ataupun olahraga impor modern, yaitu berakar dari budaya bangsa sehingga karena itu pula olahraga tradisional perlu transformasi dengan standarisasi dan sentuhan teknologi.
Tentu saja karena pengaruh media massa dalam era informasi ini demikian besar, maka tahapan sosialisasi dan kampanye olahraga tradisional ini harus melibatkan media massa baikcetak maupun elektronik. Selain itu, dalam tahapan sosialisasi ini diperlukan juga keteladan dari para pemimpin bangsa agar mau mencoba melakukan olahraga tradisional. Hal-hal inilah yang harus di-blow up untuk melakukan proses penyadaran kepada seluruh elemen bangsa tentang urgensi olahaga tradisional menuju jati diri bangsa yang selama ini abstrak.
Kelima, memasukan olahraga tradisional dalam kurikulum Pendidikan Dasar. Ketika olahraga tradisional berakar pada budaya bangsa, seharusnya itu menjadi kebanggaan sekaligus identitas bangsa yang orisinalitasnya terjaga. Oleh karena itu seharusnya pengembangan olahraga tradisional juga bersifat sistemik dan mengakar.
Proses pendidikan merupakan cara yang efektif untuk membentuk kepribadian atau karakteristik individu bahkan generasi. Kepribadian atau karakteristik yang terbentuk tersebut akan sangat tergantung dari kurikulum pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, memasukkan olahraga tradisional ke dalam kurikulum pendidikan dasar merupakan cara yang sistematis dalam transformasi olahraga tradisional jangka panjang. Manfaatnya mungkin tidak akan dirasakan pada waktu dekat, akan tetapi pda jangka waktu yang panjang akan terjadi efek domino yang luar biasa. Anak-anak yang sejak dini sudah mengenal olahraga tradisional, akan tumbuh menjadi sosok yang tidak asing dengan hal tersebut. Sehingga apabila suatu saat mereka menjadi orang tua, mereka akan mentransfer informasi tersebut ke anak-anaknya. Hal ini berarti sosialisasi olahraga tradisional jangka panjang akan lebih mudah lagi. Proses ini merupakan sesuatu yang sulit di saat system pendidikan di Indonesia masih belum stabil dan jauh dari ideal. Apalagi untuk mengurusi olahraga tradisonal yang tidak termasuk prioritas dalam agenda pendidikan negeri ini. Sebenarnya caranya sangat sederhana yakni persepsi mengenai olahraga tradisional dirubah menjadi penting walaupun bukan prioritas utama, kemudian memasukan olahraga tradisional tersebut sebagai mata ajaran tambahan.
Keenam, menciptakan iklim kompetisi olahraga tradisional yang kondusif. Sebagaimana olahraga modern atau olahraga tradisional Jepang seperti sumo yang eksis karena adanya kompetisi, maka agar olahraga tradisional tetap eksis, perlu diciptakan iklim kompetisi yang baik. Sehingga agar iklim tersebut terbentuk, perlu dilakukan kompetisi di berbagai tempat. Bisa saja dilakukan di tingkat daerah atau tingkat nasional. Kompetisi bisa dilakukan secara terpisah atau dimasukan sebagai salah satu cabang dalam kegiatan olahraga yang sudah ada misalkan Pekan Olahraga Daerah (PORDA). Selain itu kompetisi dapat juga dilakukan di sekolah-sekolah atau kampus-kampus, misalkan melalui event Olympiade Olahraga Tradisional Mahasiswa. Hanya olahraga yang telah dinasionalisasi saja yang diikutsertakan dalam kompetisi ini.
Penciptaan iklim kompetisi yang kondusif tidak bisa hanya melakukan kompetisi di satu wilayah saja sementara wilayah lain tidak, akan tetapi harus serentak di seluruh wilayah bangsa ini. Wilayah yang dimaksud tidak hanya diartikan sebagai daerah provinsi, kabupaten atau sebagainya. Tapi juga mencakup wilayah pendidikan, tempat kerja atau komunitas social yang lainnya.
Ketujuh, transformasi olahraga tradisional ke tempat ke-4. Tren yang akan berkembang di masa yang akan datang adalah semakin ramainya tempat keempat setelah keluarga, tempat kerja dan tempat nongkrong dalam kehidupan manusia modern. Tempat ke-4 yang dimaksud adalah dunia maya yang tidak hanya berarti internet, tetapi juga game-game maya seperti yang ditandai lahirnya generasi Play Station yang popular dan diikuti oleh yang lainnya.Manusia modern dapat bermain dengan pertandingan di dunia maya atau tempat ke-4 tersebut.
Melihat perkembangan teknologi yang semakin cepat, sepertinya kita tidak dapat menghindari kehadiran tempat ke-4 tersebut. Sehingga cara terbijak yang harus dilakukan adalah mentransformasikan olahraga tradisional ke dalam dunia maya, sehingga manusia modern tidak hanya di Indonesia dapat memainkan olahraga tradisional di tempat keempat.
Kedelapan, apabila olahraga tradisional Indonesia sudah betul-betul berinternalisasi pada diri bangsa Indonesia, maka tidak mustahil olahraga tradisional Indonesia dapat go international. Kita dapat melihat olahraga tradisional Jepang yaitu sumo yang dikenal di dunia internasional karena Jepangpun cukup mengakar kuat. Selain itu, memperkenalkan olahraga tradisional di tempat ke-4 juga akan membantu mensosialisasikan olahraga tradisional ke manca Negara. Tidak mustahil pula bila suatu saat, olahraga tradisional Indonesia dimainkan pula di negara lain. Sekali lagi syaratnya adalah apabila olahraga tradisional tersebut sudah terinternalisasi dalam diri bangsa Indonesia.
Kesembilan, beberapa olahraga tradisional pada saat ini tidak dimanfaatkan lagi sebagai suatu sarana untuk meningkatkan kesehatan jasmani, ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa olahraga tradisional tidak dimanfaatkan oleh masyarakat apalagi diajarkan di sekolah-sekolah. Hilangnya olahraga tradisional sangat berpengaruh terhadap masyarakat mengingat belum adanya pengganti olahraga tersebut. Sedangkan olahraga yang ada kebanyakan berasal dari luar, di mana nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat pada olahraga tersebut kurang dipahami oleh sebagian besar pemanfaatnya, sehingga dalam melakukan olahraga modern sering terjadi konflik, baik antara pemain maupun antar penonton atau pendukung.
Perbedaan tersebut bukan berarti sesuatu yang tidak dapat disatukan, tetapi justru harus dapat disatukan di mana prestasi meningkat sekaligus rasa persaudaraan meningkat pula. Yang perlu dibangun pada saat ini adalah bagaimana memanfaatkan olahraga tradisional dengan menggunakan teknik modern, dengan peralatan modern, tetapi tetap memiliki nilai-nilai budya yang tinggi. Pembinaan olahraga tradisional dapat dilakukan di kalangan sekolah serta di kalangan masyarakat awam pada umumnya disatukan. Olahraga tradisional perlu mendapat perhatian yang berimbang apabila diharapkan bahwa olahraga tradisional dapat tetap eksis di dalam masyarakat. Studi olah para pakar olahraga dan antropolog tentulah sangat baik dan perlu, demi pelestarian bentuk dan isi olahraga tradisional itu sendiri. Pihak yang paling berwenang melakukan langkah-langkah tersebut adalah pemerintah. Akan tetapi pemerintah tidak dapat bergerak sendirian. Tentu saja pada akhirnya semua pihak dituntut peran sertanya dalam menghidupkan kembali jati diri bangsa ini, walaupun tetap harus ada yang mengarahkannya.
2.2 Pendekatan Post-Modernism
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia arsitektur. Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat, setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai prodesun. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: … akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi. Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.

III. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagi berikut:
3.1 Transformasi Olahraga tradisional bertujuan untuk mengawali restorasi budaya Indonesia sehingga perlahan memperkokoh jati diri bangsa yang seakan pudar.
3.2 Manfaat transformasi olahraga tradisional antara lain: Mendukung program masyarakat sehat, mempererat ikatan sosial masyarakat, menjaga identitas budaya bangsa, kebanggaan kolektif bangsa, daya tarik pariwisata dan mendukung terciptanya masyarakat sejahtera.
3.3 Teori postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.
3.4 Postmodern menanyakan bagaimana setiap orang dapat percaya bahwa modernitas telah membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Juga cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas. Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi, teori, image dan realitas. Serta postmodern menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar.

DAFTAR PUSTAKA

Baudrillard, Jean. 1990. The Transparancy of Evil: Essays on Extreme Phenomena. London: Verso.
Bauman, A.T., 1992. The Role of Rhetorical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Best, Steven & Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern: Interogasi Kritis.Malang: Boyan Publishing.
Borgherts, Donald M. 1996. The Encyclopedia of Philosophy Supplement. New York: Simon & Schuster Macmillan.
Geertz, Clifford. 1960. Religion of Java. Glencoe: Free Press.
______________ 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Jameson, Fredric. 1989. Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.
Kleden, Ignas. 2000. Masyarakat dan Negara. Jakarta.
Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A. Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesofa Press.
Muhadjir, Noeng. 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
______________ 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustafa, Hasan. 2004. Perspektif dalam Psikologi Sosial {OnLine}. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/doc (13 Januari 2005)
Nuyen, A.T.,1992. The Role of Rhetorrical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Rosenan, Pauline Morie. 1992. Post Modernism and the Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.