Senin, 21 November 2011

DAMPAK SERTIFIKASI GURU TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER

ABSTRAK
Sertifikat pendididik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sertikat pendidik bagi guru dalam jabatan dapat diperoleh melalui jalur portofolio, jalur Pendidikan & Latihan Profesi Guru (PLPG) dan jalur Pendidikan Profesi Guru.
Pembentukan karakter harus dilaksanakan secara fungsional, dalam arti melalui contoh, perbuatan, tindakan, dan pembiasaan. Dengan penyampaian pesan pendidikan secara fungsional maka pesan-pesan pendidikan karakter menjadi mudah untuk ditangkap, dicerna, dan dipahami oleh peserta didik, untuk selanjutnya dilaksanakan.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan sarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sementara itu sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Tujuan sertifikasi dijelaskan oleh Samani (2006:10) adalah untuk menentukan tingkat kelayakan seseorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Dengan kata lain tujuan sertifikasi untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Menurut Fajar (2006: 3-4) manfaat uji sertifikasi guru dalam kerangka makro upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan sebagai berikut: (1) melindungi profesi guru dari praktik-praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri; (2) melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan dapat menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini; (3) menjadi wahana penjaminan mutu bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan; (4) menjaga lembaga penyelenggaran pendidikan dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku; (5) memperoleh tunjangan profesi bagi guru yang lulus ujian sertifikasi.
Pendidikan karakter dilaksanakan oleh tiga pihak secara sinergis, yaitu orang tua di rumah, oleh satuan/lembaga pendidikan, oleh masyarakat. Pendidikan karakter utamanya diberikan oleh orang tua di rumah. Pendidikan oleh satuan atau lembaga pendidikan bersifat melengkapi dan memberikan dukungan terbatas bagi penumbuhkembangan karakter. Pendidikan oleh masyarakat menyediakan lingkungan luas bagi tumbuh kembang karakter dan menunjang pelaksanaan pendidikan oleh orang tua dan oleh lembaga atau satuan pendidikan. Pendidikan oleh ketiga komponen tadi harus sinergis, saling melengkapi, dan saling mendukung.
Dari sudut pandang lingkup tugas Ditjen Pendidikan Nonformal, Formal dan Informal, pendidikan karakter oleh orang tua dikoordinasikan melalui fungsi pendidikan informal. Melalui pendidikan informal para orang tua dengan kadar kapasitas pendidikan karakter yang sangat beragam sebagai pendidik di rumah ditingkatkan kapasitasnya agar mampu melaksanakan pendidikan karakter dengan tepat. Pendidikan karakter oleh satuan atau lembaga pendidikan dikoordinasikan melalui fungsi pendidikan non formal yaitu (Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan kesetaraan, dan kursus. Sedangkan pendidikan oleh masyarakat dikoordinasikan melalui fungsi pendidikan masyarakat. Namun demikian, sampai dengan saat ini fungsi pendidikan masyarakat yang sudah dilaksanakan sebatas melayani peningkatan kemampuan keaksaraan warga masyarakat yang buta aksara. Dengan demikian ada fungsi pendidikan masyarakat yang perlu dihidupkan, yaitu peningkatan kompetensi masyarakat umum dalam melaksanakan dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya karakter peserta didik.
Fungsi pengkoordinasian pelaksanaan pendidikan karakter oleh masyarakat dapat dilaksanakan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat melalui dua alternatif. Pertama, penyelenggaraan modal layanan pendidikan baru yang menyasar warga masyarakat yang melek aksara. Kedua, mengadakan kerjasama dengan berbagai organisasi kemasyarakat dan lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi pendidikan kepada masyarakat, seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), berbagai organaisasi wanita, berbagai organisasi kemasyarakatan di bawah lembaga keagamaan.
1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya dalah: ‘’Bagaimana dampak sertifikasi guru terhadap pembentukan karakter siswa ” .
Sedangkan tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mendapatkan penjelasan dan penganalisaan mengenai dampak sertifikasi guru terhadap pembentukan karakter siswa.
II. PEMBAHASAN
2.1 Dampak Serifikasi Guru
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang merumuskan bahwa pendidik (guru dan dosen) harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar (pasal 42 ayat (1) UU Sisdiknas). Serifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi (pasal 43 ayat (2) UU Sisdiknas). Dengan dua rumusan itu, jelas mengharuskan UU Guru dan Dosen memiliki rumusan yang sinkron dengan Undang-Undang Sisdiknas agar kedua undang-undang itu tetap sejalan dan tidak terdapat pertentangan. Dengan perlunya sinkronisasi itu maka baik guru maupun dosen sebagai pendidik profesional, masing-masing perlu adanya sertifikat pendidik dan perlu sertifikasi. Namun proses untuk memperoleh sertifikat itulah yang kemudian yang diatur secara berbeda, sesuai dengan adanya perbedaan fungsi antara guru dan dosen.
Perlu ada sertifikat pendidik bagi guru dan dosen, bukan saja untuk memenuhi persyaratan sebuah profesi yang menuntut adanya kualifikasi minimum dan sertifikasi (terkualifikasi dan tersertifikasi), juga dimaksudkan agar guru dan dosen dapat diberi tunjangan profesi dari negara. Tunjangan profesi itu juga diperlukan sebagai syarat mutlak sebuah profesi agar penyandang profesi itu dapat hidup layak dan memadai. Apalagi hingga saat ini guru dan dosen masih tergolong kelompok yang berpenghasilan rendah, yang harus dibantu meningkatkan kesejahteraan melalui UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Berdasarkan kepentingan tersebut, maka dalam UU Guru dan Dosen dengan tegas dirumuskan dalam pasal 53, bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada dosen yang diangkat oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memiliki sertifikat pendidik yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok yang diangkat oleh pemerintah pada tingkatan, masa kerja dan kualifikasi yang sama. Tunjangan profesi itu dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), substansi yang sama bagi guru diatur dalam pasal 16 UU Guru dan Dosen, yang dialokasikan bukan saja dalam APBN, tetapi juga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian diskriminasi antara guru dan dosen yang berstatus PNS dan Non PNS (swasta) yang selama ini ditakutkan, sudah tidak ada lagi.
Sertifikat pendidik bagi dosen dirumuskan pada pasal 47 ayat (1) UU Guru dan Dosen bahwa sertifikat pendidik untuk dosen diberikan setelah memenuhi syarat, yaitu harus memiliki pengalaman bekerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi selama dua tahun dan memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli, serta lulus sertifikasi. Sedangkan sertifikasi pendidik bagi guru diatur dalam pasal 11 ayat (2) dan (3) UU Guru dan Dosen, yang menyebut bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan pendidikan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah dan dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel. Setiap orang yang memiliki sertifikat pendidik itu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu (Pasal 12).
Agar sertifikat pendidik itu dapat diperoleh oleh guru yang berstatus PNS dan Non PNS tanpa banyak hambatan, maka Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran, termasuk untuk peningkatan kualifikasi akademik (Pasal 13 ayat (1) UU Guru dan Dosen. Dengan demikian dalam waktu paling lama 10 tahun Indonesia akan memperoleh guru yang profesional untuk mengabdi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi warga negara dari pendidikan yang lebih bermutu.
Selain tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik, juga guru yang belum tersertifikasi akan disediakan oleh negara tunjangan fungsional kepada guru dan dosen, baik yang berstatus PNS maupun Non PNS. Hal ini dijelaskan dalam BAB VII (Ketentuan Peralihan), pasal 80 ayat (1): Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini: a. Guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) paling lama sepuluh tahun, atau guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
Hal yang sama berlaku juga bagi dosen, yang belum memiliki sertifikat pendidik akan diberikan tunjangan fungsional dan maslahat tambahan sebagaimana tertulis dalam pasal 80 ayat (1) huruf b: dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (2) paling lama 10 tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
Tunjangan yang dimaksud itu dialkokasikan dalam APBN atau APBD, sehingga tidak ada keraguan bahwa tunjangan itu tidak akan dilaksanakan oleh pemerintah (pasal 17, 19 dan pasal 54, 57 serta pasal 80 ayat (2) UU Guru dan Dosen. Semuanya itu dimaksudkan untuk memenuhi hak guru dan dosen untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial (pasal 14 ayat (1) butir a dan pasal 51 ayat (1) huruf a. Dengan demikian sebelum guru dan dosen memperoleh sertifikat pendidik, maka guru dan dosen wajib memperoleh tunjangan fungsional dan maslahat tambahan.
Substansi tentang maslahat tambahan digagas untuk masuk dalam UUGD berdasarkan pandangan bahwa jika guru dan dosen itu sukar dengan cepat dinaikkan penghasilannya dalam bentuk tunai maka guru dan dosen itu harus dapat dengan cepat diringankan bebannya dalam bentuk tunjangan yang tidak tunai (pasal 15 dan 19 serta pasal 52 dan pasal 57).
Istilah maslahat tambahan seperti dijelaskan oleh Prof. Dr. Anwar Arifin (2007) adalah semacam kompromi dengan memasukkan kembali ke batang tubuh UU Guru dan Dosen. Rumusan yang tercantum pada pasal 19 dan 57 itu menyebut bahwa maslahat tambahan itu terdiri antara lain memberi jaminan kesejahteraan kepada guru dan dosen dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan puterinya, pelayanan kesehatan, ataau bentuk kesejahteraan lainnya. Sedangkan rumusan dalam pasal 80 ayat (2) mengatur agar maslahat tambahan bagi guru dan dosen itu dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN dan APBD).
Berdasarkan pasal 80 ayat (2) tersebut maslahat tambahan disamping tunjangan fungsional sudah dapat dilaksanakan setelah dialokasikan anggarannya dalam APBN dan APBD, meskipun belum terbentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang maslahat tambahan itu. Sebab upaya memperoleh pendidikan untuk pengembangan diri bagi dirinya dan untuk pendidikan anak-anaknya dengan subsidi negara, dapat merupakan salaha satu bentuk perwujudan dari adanya jamainan hari tua bagi guru dan dosen.
Bagi dosen yanag mencapai pangkat guru besar yang disebut juga profesor, diatur secara khusus dalam Undang-Undang Guru dan Dosen. Dalam pasal 1 tentang Ketentuan Umum butir 3 dirumuskan: Guru Besar atau profesor yang selanjutnya disebut professor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Rumusan ini ditransfer dan disempurnakan dari penjelasan Pasal 23 ayat (1) undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam Undang-Undang Sisdiknas itu juga dirumuskan bahwa sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di Perguruan Tinggi (pasal 23 ayat 2 UU Sisdiknas).
Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pengaturan tentang profesor dicantumkan lagi dalam pasal 49 dan pasal 56. Dalam pasal 49 disebutkan bahwa profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi dan memiliki kewenangan mebimbing calon doktor dan memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarkan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat (pasal 49 ayat 1dan ayat 2).
Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumentaln lainnya (misalnya seni rupa, karya sastra dan teknologi) yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna (pasal 49 ayat 3). Hal ini akan diatur lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sebagai jabatan mulia dan terhormat di lingkungan perguruan tinggi pasa khususnya dan dalam masyarakat pada umumnya, maka wajaar jika pemerintah diberi kewajiban untuk memberikan tunjangan kehormatan kepada profesor yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan tinggi setara dengan 2 (dua) kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama (pasal 49 ayat 1). Hal ini akan diatut lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
2.2 Pembentukan Karakter
Faktor lingkungan dalam konteks pendidikan karakter memiliki peran yang sangat penting karena perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter sangat ditentukan oleh faktor lingkungan ini. Dengan kata lain pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup di antaranya lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kutikulum, pendidik, dan metode mengajar. Pembentukana karakter menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010) melalui rekayasa faktor lingkungan dapat dilakukan melalui strategi: (1) keteladanan, (2) intervensi, (3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan (4) penguatan. Dengan kata lain perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembisaan terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta haraus dibarengi dengan nilai-nilai luhur.
Karakter seseorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku karakter secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quentient (EQ), Spiritual Quotient (SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan seseorang yang berkarakter menurut pandangan agama pada dirinya terkandung potensi-potensi, yaitu: sidiq, amanah, fathonah, dan tablig. Berkarakter menurut teori pendidikan apabila seseorang memiliki potensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang teraktualisasi dalam kehidupannya. Adapun menurut teori sosial, seseorang yang berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam menjalin hubungan intra personal, dan hubungan interpersonal dalam kehidupan bermasyarakat.
Perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and Emotional development), seperti jujur dan bertanggung jawab; Olah Pikir (Intellectual development), seperti cerdas dan kreatif; Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Konestetic development), seperti sehat dan bersih; dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development), seperti peduli dan gotong royong.
Masing-masing proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan olahrasa dan karsa) secara konseptual dapat diperlakukana sebagai suatu klaster atau gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai. Keempat proses psikologis tersebut, satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling memperkuat. Karena itu setiap karakter, seperti juga sikap, selalu bersifat multipleks atau berdimensi jamak. Pengelompokkan nilai tersebut sangat berguna untuk kepentingan perencanaan. Dalam proses intervensi (pembelajaran, pemodelan, dan penguatan), dan proses habituasi (pensuasanaan, pembiasaan, dan penguatan) dan pada akhirnya menjadi karakter, keempat kluster nilai luhur tersebut akan terintegrasi melalui proses internalisasi dan personalisasi pada diri masing-masing individu.
Pendidikan karakter mepercayai adanya keberadaan moral absolute yakni bahwa moral absolute diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Pendidikan karakter kurang sepahaman dengan cara pandang moral reasoning dan value clarification yang digunakan sebagai strategi dasar pendidikan karakter di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolute (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai ‘’the golden rule”. Contohnya adalah berbuat hormat, jujur, bersahaja, menolong orang lain, adil dan bertanggung jawab.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (domain perilaku). Jadi pendidikan karakter terkait erat kaitannya dengan ‘’habit’’ atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan atau dilakukan.
Karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, dapatkah dikatakan orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, bertanggung jawab, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Istilah karakter juga erat kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Dengan demikian, pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (morak knowing) , tetapi juga merasakan dengan baik atau loving the good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action). Penekanan aspek-aspek tersebut di atas, diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan, tanpa harus didoktrin apalagi diperintah secara paksa.
III. PENUTUP
3.1 Salah satu dampak sertifikasi Guru dan dosen adalah menciptakan tenaga pendidik yang profesional. Guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai tujuan yang sama yaitu melaksanakan pendidikan nasional dan mewujudkan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
3.2 Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter antara lain: (1) Berkelanjutan; (2) melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya satuan pendidikan; (3) nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan melalui proses belajar dan; (4) proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.
3.3 Pembentukan karakter dilakukan melalui keteladanan, intervensi, pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 2007. Profil Baru Guru & Dosen Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia.
Fajar, Arnie. 2006. Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. Dalam Makalah Seminar Nasional Sosialisasi Sertifikasi Guru dalam memaknai UU No. 14 Tahun 2005. Bandung: Kantor Disdik Jawa Barat.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Dirjen Pendidikan Non-Formal dan Informal.
Mu’in, Fatchrul. 2011. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Samani, Muclas dkk. 2006. Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC.
Surayin. 2004. Tanya Jawab Undang-Undang Republik Inodneia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Bandung: Yrama Widya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.

Sabtu, 15 Januari 2011

PERANAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MENUMBUHKAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DI INDONESIA

I. Abstrak
Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Nilai-nilai demokrasi merupakan nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis, seperti kebebasan berpendapat, menghormati orang lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan. Kebebasan dalam demokrasi sesungguhnya bukan merupakan sebuah kebebasan yang mutlak, melainkan kebebasan yang memiliki koridor dan batasan, termasuk dibatasi oleh kebabasan yang dimiliki oleh orang lain.
II. Pendahuluan
Perlunya pendidikan karakter tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 33 dinyatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’’. Jika dicermati lima dari delapan potensi peserta didik yang perlu dikembangkan dalam Sistem Pendidikan Nasional tersebut sangat signifikan dengan revitalisasi pendidikan karakter di Indonesia.
Dalam instrumentasi dan praksis pendidikan nasional sudah dikembangkan program rintisan, walaupun belum secara sistemik menyeluruh, dengan fokus muatan yang cukup beragam, misalnya pertama pengembangan nilai esensial budi pekerti yang dirinci menjadi 85 butir (Dikdasmen: 1989 s/d 2007). Kedua, pengembangan nilai dan ethos demokratis dalam konteks pengembangan budaya sekolah yang demokratis dan bertanggung jawab (Dikdasmen: 1991 s/d 2007). Ketiga, pengembangan nilai dan karakter bangsa (Dikdasmen: 2001 s/d 20050. Keempat, pengembangan nilai-nilai anti korupsi yang mencakup jujur, adil, berani, tanggung jawab, mandiri, kerja keras, peduli, sederhana dan disiplin (Dikdasmen dan KPK: 2008 s/d 2009) serta pengembangan nilai dan perilaku keimanan dan ketaqwaan dalam konteks tauhidiyah dan religiositas sosial (Dikdasmen: 1998 s/d 2009). Di luar kegiatan tersebut sudah banyak juga sekolah-sekolah unggulan yang mengembangkan karakter secara terpadu dalam pelaksanaan pendidikannya. Banyak juga sekolah yang sederhana, pondok pesantren di daerah perdesaan yang mampu menumbuhkembangkan karakter peserta didik budaya sekolah atau pondok pesantren yang ternyata teladan guru atau ustadz sebagai kunci sukses sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Tantangan ke depan adalah bagaimana berbagi kesuksesan itu untuk membangun pendidikan karakter yang mampu menyentuh semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan di tanah air Indonesi ini.
Secara Akademis, pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan, baik-buruk, memelihara apa yang baik itu dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991), atau dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup moral judgement and moral behaviour baik yang bersifat prohibition oriented morality maupun pro-social morality (Piager, 1967; Kohlberg, 1975; Eisenberg-berg; 1981). Secara pedagogis, pendidikan karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic approach, dengan pengertian bahwa: ‘’Effective character education is not adding a program or set programs. Rather it is a transformation of the culture and life of the school’’ (Berkowitz dalam goodcharacter.com: 2010). Sementara itu Lickona (1992) menegaskan bahwa: ‘’In character education, it’s clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right even in the face or pressure form without and templatation from within. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, nampak jelas bahwa pendidikan nilai/moral memang sangat diperlukan atas dasar argumen: Pertama, adanya kebutuhan nyata dan mendesak; proses transmisi nilai sebagai proses peradaban. Kedua, peranan sekolah sebagai pendidik moral yang vital pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat. Ketiga, tetap adanya kode etik dalam masyarakat yang sarat konflik nilai. Keempat, kebutuhan demokrasi akan pendidikan moral. Kelima, kenyataan sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai. Keenam, persoalan moral sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan adanya landasan yang kuat dan dukungan luas terhadap pendidikan moral di sekolah.
Semua argumen tersebut tampaknya masih relevan untuk menjadi cermin kebutuhan akan pendidikan nilai/moral di Indonesia saat ini. Proses demokrasi yang semakin meluas dan tantangan globalisasi yang semakin kuat dan beragam di satu pihak dan dunia persekolahan dan pendidikan tinggi yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan dan mengabaikan pendidikan nilai/moral saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan melakukan gerakan nasional pendidikan karakter. Lebih jauh dari itu adalah Indonesia dengan masyarakatnya yang ber-Bhineka Tunggal Ika dan dengan falsafah negaranya Pancasila yang sarat dengan nilai dan moral, merupakan alasan filosofis-ideologis, dan sosial-kultural tentang pentingnya pendidikan karakter untuk dibangun dan dilaksanakan secara nasional dan berkelanjutan.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang. Karena itu pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa (nation character building) yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan pada tataran kognitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Indonesia dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian, harus diakui karena kondisi zaman yang berubah dengan cepat, maka upaya tersebut belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan tersebut. Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dirancang-ulang dan dikemas kembali dalam wadah yang lebih komprehensif dan lebih bermakna. Pendidikan karakter perlu direformulasikan dan dioperasionalisasikan melalui transformasi budaya dan kehidupan sekolah. Untuk itu, dirasakan perlunya membangun wacana dan sistem pendidikan karakter yang sesuai dengan konteks sosial kultural Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika dengan nilai-nilai Agama dan Pancasila sebagai sumber nilai dan rujukan utamanya.
Transisi demokrasi yang telah berlangsung beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dewasa ini semakin banyak partai politik yang bermunculan, baik sebelum pemilihan umum pada 1999 maupun sesudahnya. Badan legislatif, yang pada masa rezim Orde Baru relatif tunduk pada eksekutif, sekarang telah menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Setidaknya, keberanian berbeda pendapat dengan eksekutif semakin menonjol. Pada waktu yang sama, pihak eksekutif juga mulai menunjukkan penghargaan yang cukup sebagaimana diharapkan pihak legislatif. Kritik terhadap pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, juga semakin marak dan senantiasa memenuhi halaman surat kabar dan majalah. Bertambah pula Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baru yang memusatkan perhatian pada isu-isu tertentu yang terjadi sebagai akibat implementasi agenda pemerintahan.
Walaupun peningkatan kesadaran tentang nilai-nilai demokrasi terasa semakin marak di kalangan aktivis politik, LSM, intelektual, peneliti dan media massa, bukan berarti bahwa demokrasi telah benar-benar tegak di bumi Indonesia. Dewasa ini tindakan para politisi yang dapat dikategorikan sebagai penyimpangan masih saja terjadi. Setidaknya, masih sering dijumpai adanya upaya pemaksaan kehendak dengan kekerasan oleh orang-orang yang seakan berdiri di atas hukum; tindakan korupsi di kalangan pejabat justru semakin merajalela di tengah kritik masyarakat yang terus berdengung; dan ancaman terhadap hak asasi dan keamanan pun masih sering muncul, baik oleh aparat keamanan maupun oleh kalangan sipil terhadap sesama sipil. Walhasil, sekalipun bangsa ini telah bergerak meninggalkan era otoritarianisme, di beberapa kesempatan masih bermunculan tindakan yang anti demokrasi dalam berbagai bentuknya. Kondisi ini sudah tentu memerlukan penyegaran kembali berkenaan dengan apa yang disebut dengan nilai dan kondisi yang diperlukan untuk membangun tatanan demokrasi.
Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini, pemerintahan tersebut akan sulit ditegakkan. Nilai-nilai tersebut, antara lain, adalah kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang atau kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan. Di samping nilai-nilai tersebut di atas, diperlukan sejumlah kondisi agar nilai-nilai tersebut dapat ditegakkan sebagai pondasi demokrasi.
III. Pembahasan
1) Peran Pendidikan Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: ‘’di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia”.
Amanah UU Sisdiknas No. 20/2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan yang cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan oleh Dr. Martin Luther King, yakni intelligence plus character ... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter ... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Pendidikan karaakter adalah usaha untuk mencegah tumbuhnya sifat-sifat buruk yang dapat menutupi fitrah manusia, serta melatih anak untuk terus melakukan perbuatan baik sehingga mengakar kuat dalam dirinya sehingga akan tercermin dalam tindakannya yang senantiasa melakukan kebajikan.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Secara pedagogis pendidikan karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic approach dengan pengertian bahwa: ‘’Effective character education of the culture is not adding a program or set of programs. Rather it is a transformation of the culture and life of the school’’. (Berkowitz:2010) yakni efektifnya pendidikan karakter itu berasal dari budaya tidak berakhir pada sebuah program atau seperangkat program-program itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran pendidikan karakter sangat dibutuhkan dan sangat penting untuk disampaikan mulai pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Urgensi dari pelaksanaan komitmen nasional pendidikan karakter, telah dinyatakan pada Saresehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa pada Tanggal 14 Januari 2010 yakni, pertama pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. Kedua, pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh. Ketiga, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. Keempat, dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.
Kebutuhan tersebut bukan hanya dianggap penting tetapi sangat mendesak mengingat berkembangnya godaan-godaan (temptations) dewasa ini marak dengan tayangan dalam media cetak maupun non cetak (televisi dan jaringan maya lainnya) yang memuat fenomena dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan. Pendidikan karakter bangsa diharapkan mampu menjadi alternatif solusi berbagai persoalan tersebut. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan karakter yang perlu ditransformasikan sejak dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi secara holistik dan berkesinambungan.
Terdapat 9 (sembilan) pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggung jawab; (3) kejujuran/amanah dan diplomatis; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong-royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati dan; (9) karakter, toleran, kedamaian dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau disebut usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 (empat) tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 (delapan) tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter berkualitas juga perlu dibentuk dan dibina atau diberikan sejak anak usia dini, saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Pada usia inilah merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kela. Selain itu, menanamkan moral kepada generasi muda adalah usaha yang strategis. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Ada pepatah mengatakan bahwa mengajarkan anak-anak kecil ibaratnya menulis di atas batu, yang akan terus berbekas sampai tua. Sedangkan mengajarkan para orang dewasa diibaratkan seperti menulis di atas air yang akana cepat sirna dan tidak berbekas.

2) Nilai-Nilai Demokrasi di Indonesia
Sejarah republik ini agaknya mengikuti kemunculan ‘’gelombang baru’’ demokrasi di berbagai negara dunia selama dekade 1990-an. Kemunculan kembali negara-negara demokrasi baru di berbagai belahan dunia pada era pasca perang dingin (post cold war) menyulut perhatian publik dunia dan optimisme akademik akan masa depan demokrasi.
Kebebasan dalam demokrasi sesungguhnya bukan merupakan sebuah kebebasan yang mutlak, melainkan kebebasan yang memiliki koridor dan batasan, termasuk dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain. Kebebasan berpendapat sangat dihargai di alam demokrasi, karena kebebasan berpendapat ini merupakan hak setiap warga negara. Setiap warga negara dijamin hak-haknya untuk menyuarakan aspirasi dan gagasannya melalui berbagai macam saluran publik, seperti media massa, buku, karya seni, maupun melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen. Penindasan terhadap kebebasan berpendapat akan menyebabkan negara menjadi represif dan tidak dapat dikontrol, sehingga negara akan sangat mudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Akibatnya, demokrasi akan mati.
Menurut Asykuri ibn Chamim dkk (2003) nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang harus dikembangkan antara lain: kebebasan berpendapat-berkelompok-berpatisipasi; menghormati orang/kelompok lain; kesetaraan; kerjasama; persaingan; dan kepercayaan. Untuk lebih jelasnya penulis uraikan sebagai berikut:
Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak bagi warga negara biasa yang wajib dijamin oleh undang-undang dalam sebuah sistem politik yang demokratis (Dahl, 1971). Kebebasan ini diperlukan karena kebutuhan untuk menyatakan pendapat senantiasa muncul dari setiap warga negara dalam era pemerintahan terbuka saat ini. Dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini, perubahan politik, sosial, ekonomi, budaya, agama dan teknologi seringkali menimbulkan persoalan bagi warga negara maupun masyarakat pada umumnya. Jika persoalan tersebut sangat merugikan hak-hak warga negara, atau warga negara berharap agar kepentingannya dipenuhi oleh negara,. Dengan sendirinya warga negara berhak untuk menyampaikan keluhan tersebut secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah.
Berkelompok dalam suatu organisasi merupakan nilai dasar demokrasi yang diperlukan bagi setiap warga negara (Dahl, 1971). Kebebasan berkelompok ini diperlukan untuk membentuk organisasi mahasiswa, partai politik, organisasi massa, perusahaan, dan kelompok lain. Kebutuhan berkelompok merupakan naluri dasar manusia yang tak mungkin diingkari. Masyarakat primitif berkelompok dalam mencari makan dan perlindungan dari kejaran hewan liar maupun kelompok lain yang jahat.
Dalam era modern, kebutuhan berkelompok ini tumbuh semakin kuat. Persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang sedemikian kompleks seringkali memerlukan organisasi untuk menemukan jalan keluar. Ketika bajir melanda suatu daerah, upaya menyelamatkan dan pemberian bantuan akan lebih cepat bila dilakukan secara berkelompok. Pemilihan presiden memerlukan keterlibatan partai politik sebagai kelompok untuk mengumpulkan dukungan maupun dana untuk berkampanye. Seorang calon presiden sudah tentu tidak mungkin mencalonkan dirinya sendiri kecuali dicalonkan oleh partainya. Berkelompok merupakan cara kuno dan sekaligus modern untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat.
Kebebasan berpartisipasi ini sesungguhnya merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat dan berkelompok. Jenis partisipasi pertama adalah pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pemilihan anggota DPR maupun pemilihan presiden. Di negara-negara demokrasi yang sedang berkembang seperti Indonesia, pemberian suara sering dipersepsikan sebagai wujud kebasan berpartisipasi politik yang paling utama. Pada umumnya, negara demokrasi yang baru berkembang senantiasa mengharapkan agar jumlah pemilih atau partisipan dalam pemberian suara dapat mencapai suara sebanyak-banyaknya. Harapan yang sangat tinggi terhadap jumlah pemilih yang mendekati maksimal ini merupan warisan dari era otoriter. Pada masa otoriter, semakin banyak pemilih semakin besar kebanggaan rezim yang merasa mendapatkan dukungan luar dari pemilih. Oleh karena itu, intimidasi terhadap warga negara sering dijadikan sarana untuk mendongkrak dukungan masyarakat.
Bentuk partisipasi kedua yang belum berkembang luas di negara demokrasi baru adalah apa yang disebut sebagai kontak atau hubungan dengan pejabat pemerintah. Kontak langsung dengan pejabat pemerintah ini akan semakin dibutuhkan, karena kegiatan pemberian suara secara reguler (pemilihan anggota DPR/presiden) dalam perkembangannya tidak akan memberikan kepuasan bagi masyarakat. Sebagai misal, seorang anggota DPR yang terpilih belum tentu dapat memenuhi sebagian besar harapan dan tuntutan masyarakat. Bahkan, presiden yang dipilih secara langsung pun bukan jaminan bahwa pemerintah yang kemudian dibentuk oleh presiden, dalam hal ini birokrasi, akan meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Keadaan ini membuat upaya mengontak langsung para pejabat merupakan kebutuhan semakin mendesak.
Kesetaraan atau egalitarianisme merupakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Kesataraan di sini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara. Kesetaraan memberi tempat bagi setiap warga negara tanpa membedakan etnis, bahasa, daerah maupun agama. Nilai ini diperlukan bagi masyarakat heterogen seperti Indonesia yang multi etnis, multi bahasa, multi daerah, dan multi agama. Heterogenitas masyarakat Indonesia seringkali mengundang masalah, khususnya bila terjadi miskomunikasi antar kelompok yang kemudian berkembang luas jadi konflik. Nilai-nilai kesetaraan perlu dikembangkan dan dilembagakan dalam semua sektor pemerintahan dan masyarakat. Diperlukan usaha keras agar tidak terjadi diskriminasi atas kelompok etnis, bahasa, daerah, atau agama atertentu, sehingga hubungan antar kelompok dapat berlangsung dalam suasana egaliter.
Kesataraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, di mana kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama di depan hukum, karena laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk sosial. Laki-laki maupun perempuan memiliki akses yang sama dalam politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu demokrasi tanpa kesetaraan gender akan berdampak pada ketidakadilan. Dalam konteks masyarakat Indonesia, budaya patriarhat masih cukup kuat. Di kalangan masyarakat masih terjadi domestifikasi perempuan yang cukup kuat, di mana perempuan hanya memiliki peran kerumahtanggaan. Di bidang politik, konstruksi sosial masih menempatkan perempuan sebagai pihak nomor dua. Dalam proses pencalonan anggota legislatif, misalnya perempuan kurang banyak diperhitungkan dalam proses pencalonan itu. Di bidang ekonomi, perempuan juga memiliki akses yang relatif terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki. Banyak perusahaan lebih memilih untuk menerima karyawan laki-laki daripada perempuan. Bahkan, di beberapa perusahaan terjadi diskriminasi upa antara buruh laki-laki dan buruh perempuan atau sebaliknya.
Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki kedaulatan. Hal ini berarti bahwa rakyat berdaulat dalam menentukan pemerintahan. Warga negara sebagai bagian dari rakyat memiliki kedaulatan dalam pemilihan yang berujung pada pembentukan pemerintahan. Pemerintah dengan sendirinya berasal dari rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Rasa ketergantungan pemerintah kepada rakyat inilah yang kemudian menghasilkan nakna akuntabilitas. Politisi yang accountable adalah politisi yang menyadari bahwa dirinya berasal dari rakyat. Oleh karena itu, ia wajib mengembalikan apa yang diperolehnya kepada rakyat. Politisi yang demikian cenderung mengabaikan sama sekali warga negara yang telah memilihnya dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Kedulatan rakyat hanya dapat ditegakkan bila para politisi menyadari asal-usul dirinya dan menunjukkan tanggung jawabnya sebagai rakyat.
Rasa saling percaya (trust) antar kelompok masyarakat merupakan nilai dasar lain yang diperlukan agar demokrasi terbentuk. Sebuah pemerintahan demokrasi akan sulit berkembang bila rasa saling percaya satu sama lain tidak tumbuh. Bila yang ada adalah ketakutan, kecurigaan, kekhawatiran, dan permusuhan, hubungan, antar kelompok masyarakat akan terganggu secara permanen. Kondisi ini sangat merugikan keseluruhan sistem sosial dan politik. Dalam proses pemerintahan, misalnya bagaimana mungkin sebuah pemerintahan berjalan bila tiada ada rasa percaya satu sama lain di kalangan politisi? Rasa percaya ini akan semakin diperlukan sejalan dengan semakin kompleksnya persoalan bangsa yang memerlukan penyelesaian secara benar. Rasa percaya antar kelompok masyarakat merupakan minyak pelumas untuk melancarkan relasi sosial politik yang ada dalam masyarakat yang sering terhalang oleh rasa ketakutan, kecurigaan, dan permusuhan yang berpotensi memandekkan proses demokratisasi.
Kerjasama diperlukan untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi, kerjasama hanya mungkin terjadi jika setiap orang atau kelompok bersedia untuk mengorbankan sebagian dari apa yang diperoleh dari kerjasama tersebut. Kerjasama bukan berarti menutup munculnya perbedaan pendapat antar individu atau antar kelompok. Tanpa perbedaan pendapat, demokrasi tidak mungkin berkembang. Perbedaan pendapat ini dapat mendorong setiap kelompok untuk bersaing satu sama lain dalam mencapai tujuan yang lebih baik. Kerjasama saja tidak cukup untuk membangun masyarakat terbuka. Diperlukan kompetisi satu sama lain sebagai pendorong bagi kelompok untuk meningkatkan kualitas masing-masing. Kompetisi menuju sesuatu yang lebih berkualitas sangat diperlukan, sementara kerjasama diperlukan bagi kelompok untuk menopang upaya persaingan dengan kelompok lain.


IV. Penutup
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka penulis simpulkan ke dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada peserta didik adalah nilai-nilai universal yang mana seluruh agama, tradisi dan budaya pasti menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku dan agama.
2) Nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam pendidikan karakter adalah cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran/amanah dan bijaksana, hormat dan santun, dermawan suka menolong dan gotong royong, percaya diri/kreatif dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, toleransi dan kedamaian dan kesatuan.
3) Nilai-nilai demokrasi yang perlu dikembangkan adalah kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan, pertumbuhan ekonomi, pluralisme, hubungan negara dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Chamim, ibn Asykuri dkk. 2003. Civic Education: Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi , Penelitian dan pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dahl, Robert. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition. New Haven: Yale University Press.
Depdiknas. 2010. Grand Design Pendidikan Karakter. Jakarta.

Rabu, 05 Januari 2011

REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER

Perlunya pendidikan karakter tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 33 dinyatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’’. Jika dicermati lima dari delapan potensi peserta didik yang perlu dikembangkan dalam Sistem Pendidikan Nasional tersebut sangat signifikan dengan revitalisasi pendidikan karakter di Indonesia.
Dalam instrumentasi dan praksis pendidikan nasional sudah dikembangkan program rintisan, walaupun belum secara sistemik menyeluruh, dengan fokus muatan yang cukup beragam, misalnya pertama pengembangan nilai esensial budi pekerti yang dirinci menjadi 85 butir (Dikdasmen: 1989 s/d 2007). Kedua, pengembangan nilai dan ethos demokratis dalam konteks pengembangan budaya sekolah yang demokratis dan bertanggung jawab (Dikdasmen: 1991 s/d 2007). Ketiga, pengembangan nilai dan karakter bangsa (Dikdasmen: 2001 s/d 20050. Keempat, pengembangan nilai-nilai anti korupsi yang mencakup jujur, adil, berani, tanggung jawab, mandiri, kerja keras, peduli, sederhana dan disiplin (Dikdasmen dan KPK: 2008 s/d 2009) serta pengembangan nilai dan perilaku keimanan dan ketaqwaan dalam konteks tauhidiyah dan religiositas sosial (Dikdasmen: 1998 s/d 2009). Di luar kegiatan tersebut sudah banyak juga sekolah-sekolah unggulan yang mengembangkan karakter secara terpadu dalam pelaksanaan pendidikannya. Banyak juga sekolah yang sederhana, pondok pesantren di daerah perdesaan yang mampu menumbuhkembangkan karakter peserta didik budaya sekolah atau pondok pesantren yang ternyata teladan guru atau ustadz sebagai kunci sukses sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Tantangan ke depan adalah bagaimana berbagi kesuksesan itu untuk membangun pendidikan karakter yang mampu menyentuh semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan di tanah air Indonesi ini.
Secara Akademis, pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan, baik-buruk, memelihara apa yang baik itu dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991), atau dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup moral judgement and moral behaviour baik yang bersifat prohibition oriented morality maupun pro-social morality (Piager, 1967; Kohlberg, 1975; Eisenberg-berg; 1981). Secara pedagogis, pendidikan karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic approach, dengan pengertian bahwa: ‘’Effective character education is not adding a program or set programs. Rather it is a transformation of the culture and life of the school’’ (Berkowitz dalam goodcharacter.com: 2010). Sementara itu Lickona (1992) menegaskan bahwa: ‘’In character education, it’s clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right even in the face or pressure form without and templatation from within. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, nampak jelas bahwa pendidikan nilai/moral memang sangat diperlukan atas dasar argumen: Pertama, adanya kebutuhan nyata dan mendesak; proses transmisi nilai sebagai proses peradaban. Kedua, peranan sekolah sebagai pendidik moral yang vital pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat. Ketiga, tetap adanya kode etik dalam masyarakat yang sarat konflik nilai. Keempat, kebutuhan demokrasi akan pendidikan moral. Kelima, kenyataan sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai. Keenam, persoalan moral sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan adanya landasan yang kuat dan dukungan luas terhadap pendidikan moral di sekolah.
Semua argumen tersebut tampaknya masih relevan untuk menjadi cermin kebutuhan akan pendidikan nilai/moral di Indonesia saat ini. Proses demokrasi yang semakin meluas dan tantangan globalisasi yang semakin kuat dan beragam di satu pihak dan dunia persekolahan dan pendidikan tinggi yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan dan mengabaikan pendidikan nilai/moral saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan melakukan gerakan nasional pendidikan karakter. Lebih jauh dari itu adalah Indonesia dengan masyarakatnya yang ber-Bhineka Tunggal Ika dan dengan falsafah negaranya Pancasila yang sarat dengan nilai dan moral, merupakan alasan filosofis-ideologis, dan sosial-kultural tentang pentingnya pendidikan karakter untuk dibangun dan dilaksanakan secara nasional dan berkelanjutan.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang. Karena itu pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa (nation character building) yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan pada tataran kognitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Indonesia dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian, harus diakui karena kondisi zaman yang berubah dengan cepat, maka upaya tersebut belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan tersebut. Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dirancang-ulang dan dikemas kembali dalam wadah yang lebih komprehensif dan lebih bermakna. Pendidikan karakter perlu direformulasikan dan dioperasionalisasikan melalui transformasi budaya dan kehidupan sekolah. Untuk itu, dirasakan perlunya membangun wacana dan sistem pendidikan karakter yang sesuai dengan konteks sosial kultural Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika dengan nilai-nilai Agama dan Pancasila sebagai sumber nilai dan rujukan utamanya.
Urgensi dari pelaksanaan komitmen nasional pendidikan karakter, telah dinyatakan pada Saresehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa pada Tanggal 14 Januari 2010 yakni, pertama pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. Kedua, pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh. Ketiga, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. Keempat, dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.
Kebutuhan tersebut bukan hanya dianggap penting tetapi sangat mendesak mengingat berkembangnya godaan-godaan (temptations) dewasa ini marak dengan tayangan dalam media cetak maupun non cetak (televisi dan jaringan maya lainnya) yang memuat fenomena dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan. Pendidikan karakter bangsa diharapkan mampu menjadi alternatif solusi berbagai persoalan tersebut. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan karakter yang perlu ditransformasikan sejak dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi secara holistik dan berkesinambungan. Semoga!
Penulis: Guru Besar Sosiologi Pendidikan Kopertis Wilayah IV dan Pembantu Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan Cimahi.