Selasa, 22 September 2015

PENCAK SILAT & KEARIFAN LOKAL

Pencak silat adalah produk budaya lokal dalam kerangka budaya masyarakat rumpun melayu. Produk tersebut ada yang dinamakan Pencak dan Silat. Tetapi kedua nama itu mempunyai pengertian yang relatif sama. Pencaksilat merupakan kata majemuk yang satu sama lain saling memperkuat. Kata pencaksilat baru digunakan secara umum di Indonesia pada tanggal 19 Mei 1948, yakni saat didirikannya organisasi Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) di Surakarta yang mempersatukan perguruaan Pencak dan perguruan Silat di seluruh Indonesia. Dalam tataran internasional kata Pencaksilat baru digunakan pada saat didirikan organisasi Persekutuan Pencaksilat Antarbangsa (PERSILAT) di Jakarta tanggal 10 Mei 1980. Dalam konteks sistem beladiri yang sedang berkembang dewasa ini, pencaksilat adalah sistem beladiri produk yang khas masyarakat Rumpun Melayu. Jati diri pencaksilat meliputi 3 (tiga) hal pokok sebagai satu kesatuan yang holistik, yakni: Pertama, budaya masyarakat Rumpun Melayu sebagai sumber asal dan sumber coraknya. Kedua, falsafah budi pekerti luhur sebagai jiwa dan sumber motivasi penggunanya. Ketiga, mental-spiritual, beladiri, seni dan olah raga sebagai aspek-aspek substansinya yang merupakan satu kesatuan. Budaya masyarakat rumpun melayu yang merupakan sumber asal dan sumber corak pencaksilat adalah budaya ‘’paguyuban’’ atau ‘’paguron’’, yakni budaya kebersamaan, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan kekeluargaan. Amalan budaya ‘’paguron’’, antara lain adalah sikap dan perilaku seperti: menghormati sesama manusia, tenggang rasa, cinta damai, gotong royong, meletakkan kepentingan bersama di atas kepentingan diri sendiri, musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, adil, suka menolong manusia lain serta menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Landasan kejiwaan amalan-amalan budaya paguron adalah bukti pekerti luhur. Pencaksilat merupakan transformasi dari keterampilan laga (fighting skills) yang telah ada sebelumnya, yakni teknik dan metoda menaklukkan manusia lain atau menanggulangi ancaman fisikal manusia lain yang dapat digunakan semaunya sesuai dengan kemauan pemilik kiat tersebut. Berdasarkan nilai-nilai budaya paguron, pencaksilat hanya boleh digunakan untuk pembelaan diri. Selain itu, selaras dengan cita-cita sosial paguron, yakni perwujudan masyarakat ‘’tata tentrem karta raharja’’ (masyarakat tertib, tentram, adil dan makmur). Pencaksilat telah dikembangkan dari yang semula hanya bersifat teknis saja menjadi bersifat etis, teknis, estetis, dan atletis (keolahragaan). Sifat etis dan teknis mengacu pada keamanan batin dan lahir, sedangkan sifat estetis dan keolahragaan mengacu pada kesejahteraan batin dan lahir. Sifat etis, teknis, estetis dan keolahragaan sebagai satu kesatuan merupakan corak khas pencaksilat yang bersumber dari budaya masyarakat Rumpun Melayu. Menurut Asep Sukarna, dkk. (2015), bahwa pencaksilat sebagai sistem beladiri yang mempunyai corak atau sifat etis, teknis, estetis dan atletis (keolahragaan) sebagai satu kesatuan serta mempunyai 4 (empat) aspek integral (catur-gatra) yaitu: Pertama, aspek mental-spiritual menggambarkan tujuan pembekalan (pengkondisian) sikap mental pesilat (manusia pencaksilat) untuk menjadi pesilat sejati. Kedua, aspek beladiri menggambarkan tujuan pembelaan diri dengan menggunakan teknik dan atau jurus beladiri khas pencaksilat. Ketiga, aspek seni menggambarkan tujuan menampilkan keindahan teknis dan atau jurus pencaksilat. Keempat, aspek olahraga menggambarkan tujuan keolahragaan pencaksilat, yakni kebugaran, ketangkasan dan prestasi olahraga. Pendidikan menurut Sagala (2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kearifan lokal/local wisdom/local knowledge/local genious yang artinya kebijakan setempat atau pengetahuan setempat atau kecerdasan setempat. Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa, komunikasi serta kesenian. Kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia yang berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat. Menurut Wiotoler (2006), bahwa kearifan lokal yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat sekitar. Pemerintah lebih memperhatikan ‘’prestasi’’ dan ‘’devisi’’. Yaitu merancang segala hal yang bersifat fisik-materil ketimbang nilai-nilai filosofisnya. Pemerintah baru sadar akan pentingnya menyelamatkan kekayaan budaya dan nilai-nilai apabila ada desakan dari komunitas atau kelompok masyarakat atau jika diklaim oleh negara lain. Kita punya banyak kekayaan budaya, tetapi kita sering lupa menarasikannya, mendokumenkan berupa CD, slide dan membuatkan film-nya. Justru orang luarlah yang memiliki narasinya dan berbagai dokumen yang lengkap sehingga tak terlalu sulit memperoleh hak ciptanya (HAKI) dan sekaligus mendapatkan pengakuan dari UNESCO. Baru setelah itulah kita bereaksi keras karena karya cipta yang diakuinya itu sesungguhnya milik kita. Semoga kita dapat melerstarikan dan mengembangkan budaya lokal sekaligus berprestasi di kancah global. *** Semoga ***.

Sabtu, 19 September 2015

MEMAKNAI IDUL ADHA & AKHLAQUL KARIMAH

Sejarah Idul Adha dijelaskan dalam Qur’an surat As Shoffat ayat 102 yakni saat Ismail berusia remaja, ayahnya Ibrahim memanggil Ismail (anaknya Ibrahim) untuk mendiskusikan sesuatu. Ibrahim menceritakan kepada Ismail bahwa Ibrahim telah mendapatkan perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih Ismail. Dari sini, Ibrahim menanyakan kepada Ismail: ‘’Bagaimana menurutmu, wahai Ismail?’’. Lantas Ismail menjawab: ‘’Wahai ayah laksanakan perintah Allah yang dimandatkan untukmu. Saya akan sabar dan ikhlas atas segala yang diperintahkan Allah,’’Ujar ismail kepada ayahnya, Ibrahim. Dalam hal ini, Ibrahim mengkonfirmasikan mimpinya jangan-jangan mimpinya datang dari Setan. Ternyata tidak, Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah sebanyak 3 (tiga) kali melalui mimpi. Setelah mendapatkan petunjuk dan yakin bahwa itu adalah perintah Allah, maka Ibrahim dengan ikhlas akan menyembelih puteranya sendiri, yaitu Ismail. Setelah Ibrahim dan Ismail kedua-duanya ikhlas untuk menjalankan perintah Allah, ternyata Allah mengganti Ismail menjadi domba. Dari peristiwa ini, sudah mulai bisa diketahui arti, makna dan hakikat Idul Adha. Arti kata Idul Adha ada 2 (dua) makna. Pertama, arti qurban adalah dekat yang diambil dari bahasa Arab Qarib. Pandangan umum mengatakan bahwa qurban adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, arti qurban adalah udhhiyah atau bisa dikatakan dhahiyyah yang artinya adalah hewan sembelihan. Dari arti makna qurban ini, maka menjadi tradisi sebagaimana lazim dilakukan umat muslim di dunia untuk menyembelih hewan dengan cara kurban atau mengorbankan hewan yang menjadi sebagian hartanya untuk kegiatan sosial. Menurut Lismanto (2014), bahwa tradisi kurban dalam hari raya Idul Adha memiliki 2 (dua) dimensi. Pertama, makna qurban memiliki dimensi ibadah spiritual. Kedua, makna qurban punya dimensi sosial. Dimensi ibadah spiritual merupakan bentuk ketaatan hamba kepada Tuhannya. Ketaatan itu harus dilandasi dengan rasa ikhlas sepenuhnya. Sehingga kita menjadi dekat dengan Allah. Hal inilah yang dimaksud dengan qurban dalam pengertian ibadah, yakni qarib. Sedangkan dimensi sosial dalam tradisi qurban bahwa ibadah qurban memberikan kesejahteraan kepada lingkungan sosial berupa daging qurban yang notabene hanya bisa dijangkau kalangan elite. Ini berlaku di desa, bukan kota-kota yang sudah terbiasa makan daging. Dengan qurban dari perspektif sosial, ini menjadi bagian dari ketakwaan kita kepada Allah secara horizontal. Hakikat qurban adalah bahwa kita harus kembali kepada tujuan hidup, yaitu beribadah kepada Allah. Karena manusia dan jin tidaklah diciptakan, kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana ujian Allah kepada nabi Ibrahim, hikmah dari segala peristiwa qurban adalah untuk memperoleh ridha Allah melalui ibadah dengan menjalankan apa yang menjadi perintah Allah. Namun, tidak sekadar ibadah, kita harus ikhlas dalam menjalankan setiap perintah Allah. Inilah hakikat dari peristiwa qurban dalam Idul Adha. Sebagaimana arti kata qurban yang bermakna qarib atau dekat kepada Allah, maka hakikat qurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-nya. Karena itu, makna qurban dalam pengertian Islam adalah bentuk pendekatan diri kita kepada Allah melalui lantaran hewan ternak yang dikurbankan atau disembelih. Dengan begitu, kita merelakan sebagian harta kita yang sebetulnya milik Allah untuk orang lain. Ini menjadi bagian dari ketaatan kita kepada Allah. Syaratnya, dalam qurban kita harus benar-benar untuk mencari ridha Allah, bukan untuk yang lain. Inilah hakikat qurban dalam Islam yang sebenarnya. Akhlaqul Karimah berarti tingkah laku yang terpuji yang merupakan kesempurnaan iman seseorang kepada Allah Swt. Pandangan Al-Ghazali tentang akhlak yang baik hampir senada dengan pendapat Plato. Plato mengatakan bahwa orang utama itu adalah orang yang dapat melihat kepada Tuhannya secara terus-menerus seperti ahli seni yang selalu melihat contoh-contoh bangunan. Al-Ghazali memandang bahwa orang yang dekat kepada Alah adalah orang yang mendekati ajaran-ajaran Rasulullah yang memiliki akhlak sempurna. Di sini terlihat adanya titik persamaan pandangan Al-Ghazali dengan Plato tentang taqarrub atau mendekat kepada Tuhan, yang salah satunya adalah melalui ibadah qurban. Al-Ghazali ( M. Yatim Abdullah, 2007) menerangkan 4 (empat) pokok keutamaan akhlak yang baik yaitu: Pertama, mencari himah. Himah adalah keutamaan yang lebih baik. Ia memandang bentuk hikmah yang harus dimiliki seseorang, yaitu jika berusaha untuk mencapai kebenaran dan ingin terlepas dari semua kesalahan. Kedua, bersikap berani. Berani berarti sikap yang dapat mengendalikan kekuatan amarahnya dengan akal untuk maju. Orang yang memiliki akhlak baik biasanya pemberani, dapat menimbulkan sifat yang mulia, suka menolong, cerdas, dapat mengendalikan jiwanya, suka menerima saran dan kritik orang lain, penyantun, memiliki perasaan kasih dan cinta kepada sesama. Ketiga, bersuci diri. Suci berarti mencapai fitrah, yaitu sifat yang dapat mengendalikan syahwatnya dengan akal dan agama. Orang yang memiliki sifat fitrah dapt menimbulkan sifat pemurah, pemalu, sabar, toleran, sederhana, suka menolong, cerdik dan tidak rakus. Fitrah merupakan suatu potensi yang diberikan Allah, dibawa oleh manusia sejak lahir yang menurut tabiatnya cenderung kepada kebaikan dan mendorong manusia untuk berbuat baik. Keempat, berlaku adil. Adil yaitu seseorang yang dapat membagi dan memberi haknya sesuai dengan fitrah-nya atau seseorang mampu menahan kemarahannya dan nafsu syahwatnya untuk mendapatkan hikmah di balik peristiwa yang terjadi. Adil juga berarti tindakan keputusan yang dilakukan dengan cara tidak berat sebelah atau merugikan satu pihak tetapi saling menguntungkan. Orang yang mempunyai akhlak yang baik dapat bergaul dengan masyarakat secara luwes, karena dapat melahirkan sifat saling cinta-mencintai dan saling tolong-menolong. Sebaliknya orang yang tidak memiliki akhlak yang baik, tidak dapat bergaul dengan masyarakat secara harmonis, karena sifatnya dibenci oleh masyarakat umumnya. Akhlak yang baik bukanlah semata-mata teori yang muluk-muluk, melainkan akhlak sebagai tindak tanduk menusia yang keluar dari hati. Akhlak yang baik merupakan sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya. Suatu perbuatan yang dilihat merupakan gambaran dan sifat-sifatnya tertanam dalam jiwa yang baik atau sebaliknya. Ibadah qurban adalah binatang yang disembelih pada musim haji, adalah sebagai wujud pendekatan kepada Sang Pencipta Allah Swt, sebagai tebusan dan jiwa yang berhak untuk binasa, sebagai fidyah dan pengganti serta pendekatan kepada-Nya. Juga untuk meneladani imam orang-orang yang bersikap lurus (Nabi Ibrahim AS) dan menghidupkan sunnahnya karena ia telah mempersembahkan anaknya kepada Allah dengan penuh kerelaan dan pengorbanan. Kemudian Allah pun menetapkan itu untuk terus berlaku selamanya bagi anak cucunya. *** Semoga ***.

KEMERDEKAAN & MASYARAKAT MADANI

Hakikat proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia berarti bahwa bangsa Indonesia telah menyatakan secara formal, baik kepada dunia luar maupun kepada bangsa Indonesia sendiri bahwa mulai saat itu bangsa Indonesia telah merdeka. Merdeka berarti mulai saat itu, yakni 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan nasib bangsa dan nasib tanah airnya dalam segala bidang. Dalam hal kehidupan kenegaraan, berarti bangsa Indonesia akan menyusun negara sendiri. Dalam hal hukum berarti bangsa Indonesia akan menentukan hukum sendiri yaitu hukum bangsa Indonesia sendiri. Demikian pula dari segi tata negara, bahwa pada saat itu berdiri pula tata negara dan tata hukumnya. Apa yang menjadi dasar hukum dari tata hukum baru itu. Dasar hukum bagi lahirnya tata hukum baru itu adalah Proklamasi Kemerdekaan itu sendiri. Proklamasi kemerdekaan merupakan ‘’norma pertama’’ dari tata hukum Indonesia. Sebagai norma pertama, proklamasi kemerdekaan juga dapat dikatakan sebagai norma dasar. Proklamasi kemerdekaan memiliki makna bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia antara lain: Pertama, berani mengambil nasib bangsa dan negara ke dalam tangan kita sendiri. Bangsa Indonesia telah merdeka secara politik, tetapi belum merdeka sepenuhnya di bidang lain, seperti bidang ekonomi dan teknologi. Di bidang ekonomi potensi sumberdaya alam Indonesia begitu besar, namun sumber daya manusia bangsa kita masih rendah (lama sekolah rata-rata 8,3 tahun). Akibatnya, bangsa kita masih banyak tergantung pada teknologi dan modal asing untuk membangun. Indonesia masih merupakan bangsa penghutang terbesar di dunia.jadi secara ekonomis kita belum mampu memegang sepenuhnya nasib kita di tangan kita sendiri. Begitu pula dengan bidang sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Kedua, penuh percaya kepada kekuatan sendiri. Setiap bangsa memiliki kekuatan komparatif dan kompetitif. Kekuatan komparatif adalah kekuatan yang sudah dimiliki sebagai anugerah Tuhan yang Mahakuasa. Kemampuan komparatif setiap bangsa berbeda sesuai dengan kondisi alamiah bangsa itu. Indonesia memiliki kekuatan komparatif yang begitu besdar, baik yang ada di darat, laut maupun udara. Kekuatan kompetitif adalah kemampuan daya saing yang dimiliki suatu bangsa. Daya saing itu sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusianya. Daya saing bangsa Indonesia terletak pada kemampuan kita menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sebab berbekal iptek akan mampu mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang begitu besar. Tanpa kemampuan penguasaan iptek yang baik bangsa Indonesia tidak akan mampu menciptakan nilai tambah (value eded) untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Nilai tambah itu secara sederhana dapat dinyatakan sebagai produksi nasional yang dapat dihasilkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Misalnya, bila kita memiliki teknologi pertanian yang baik maka kita akan mampu memproduksi hasil-hasil pertanian untuk mencukupi kebutuhan sandang dan pangan di dalam negeri. Ketiga, rela berjuang dengan penuh idealisme. Semangat proklamasi adalah semangat rela berjuang, berjuang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri juga dilandasi keikhlasan sehingga akan tercipta sebuah negara yang di idam-idamkan yakni negara: ‘’baldatun toyyibatun warabbun ghafur’’. Serta perjuangan panjang untuk menuju cita-cita nasional kita, yakni tercipta suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha dan inisiatif indiividu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan (predictability) serta ketulusan (transparency) sistem. Menurut Dede Rosyada, dkk (2003), bahwa karakteristik masyarakat madani antara lain adalah adanya Free Public Sphere, demokratis, toleransi, pluralisme, keadilan sosial (social justice), dan berkeadaban. Pertama, Free Public Sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya setara mampu melakukan transaksi wacana dan praktisi politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik. Kedua, demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Juga penekanan demokratis mencakup berbagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Ketiga, toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Keempat, pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan. Dalam masyarakat madani terdapat nilai-nilai universal tentang pluralisme yang kemudian menghilangkan segala bentuk kecenderungan partikularisme dan sektarianisme. Hal ini dalam proses demokrasi menjadi elemen yang sangat signifikan, dimana masing-masing individu, etnis dan golongan mampu menghargai kebhinekaan dan menghormati setiap keputusan yang diambil oleh salah satu golongan atau individu. Kelima, keadilan sosial. Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Proklamasi kemerdekaan adalah sumber dari segala sumber hukum yang menjadi dasar ketertiban baru di Indonesia. Proklamasi merupakan tingkatan penutup perjuangan kemerdekaan yang hampir 400 tahun bergolak di Indonesia. Proklamasi adalah permulaan zaman pembelaan negara merdeka Republik Indonesia. Dirgahayu Republik Idonesia Ke-70. Mudah-mudahan semakin jaya, bermartabat dan sejahtera. *** Semoga ***.