Minggu, 30 September 2018

KETELADANAN GURU ZAMAN NOW

Keteladanan adalah making something as an example, providing a model, yang artinya menjadikan sesuatu sebagai teladan, menyediakan suatu model (Kamus Landak, 2010). Istilah keteladanan banyak diadopsi dari bahasa Arab uswah yang terbentuk dari huruf hamzah, as-sin, dan al-waw. Secara etimologi, setiap kata bahasa Arab yang terbentuk dari ketiga huruf tersebut memiliki persamaan arti, yaitu pengobatan dan perbaikan. Ibn Zakaria (Arief, 2002) menjelaskan bahwa uswah dapat diartikan  dengan qudwah yang merujuk pada makna mengikuti atau yang diikuti.
Dengan demikian keteladanan adalah segala sesuatu yang terkait dengan perkataan, perbuatan, sikap, dan perilaku seseorang yang dapat ditiru dan diteladani oleh pihak lain. Adapaun guru atau pendidik adalah pemimpin sejati, pembimbing dan pengarah yang bijaksana, pencetak para tokoh dan pemimpin umat (Isa, 1994). Jadi, keteladanan guru zaman nowadalah contoh yang baik dari guru, baik yang berhubungan dengan sikap, perilaku, tutur kata, mental maupun yang terkait dengan akhlak dan moral yang patut dijadikan contoh bagi peserta didik.
Hal ini penting dimiliki oleh tenaga pendidik untuk dijadikan dasar dalam membangun kembali etika, moral, dan akhlak yang sudah sampai pada tataran yang menyedihkan. Azrah (2008) menyebutkan, bahwa sejak tahun 1990-an nilai-nilai moralitas sudah terasa merosot tajam. Penyebabnya adalah arus globalisasi yang begitu deras sehingga memunculkan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang lebih permissiveness (bebas). Nilai-nilai global dengan mudah meresap dalam kehidupan masyarakat tanpa adanya sensor yang lebih ketat. Dengan kata lain, sejak itu pula telah terjadi proses pelonggaran terhadap nilai-nilai etika dan moral. Di tengah-tengah proses degradasi tersebut, justru negara ini mengalami kesulitan untuk membendung karena kesulitan untuk menemukan keteladanan yang bisa dijadikan panutan bersama. Pada sisi yang lain, rasanya sulit untuk membendung arus globalisasi yang demikian pesat. Oleh karena itu, perlu hadirnya tenaga pendidik yang mumpuni yang dapat menjalankan fungsinya untuk mengeliminasi arus globalisasi.
Dalam teori difusi inovasi, peranan opinion leader (pemimpin opini) memegang posisi sentral dalam mempengaruhi keberterimaan suatu hasil inovasi dalam suatu kelompok masyarakat tertentu (Roger, 2004). Hal ini terjadi karena pemimpin opini memiiliki keteladanan yang dapat ditiru dan diikuti oleh kebanyakan pihak lain. Tenaga pendidik sebagai opinion leader dalam lingkungan institusi pendidikan juga memiliki posisi sentral dalam membentuk karakter atau kepribadian peserta didik. Keteladanan dalam diri seorang pendidik berpengaruh pada lingkungan sekitarnya dan dapat memberi warna yang cukup besar pada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan, keteladanan itu akan mampu mengubah perilaku masyarakat di lingkungannya. Sosok tenaga pendidik seperti guru atau dosen dengan profesinya melekat di mana saja mereka berada, sehingga kata ‘’guru’’ selalu digunakan sebagai identitas, baik ketika melakukan aktivitas yang berkaitan dengan dunia pendidikan maupun kegiatan di luar ranah pendidikan. Sekalipun demikian, karakteristik dan indikator guru teladan itu masih menjadi sangat dilematis mengingat belum adanya standar baku yang dapat dijadikan landasan dasar untuk membangun keteladan itu sendiri.
Salah satu karakteristik yang perlu dimiliki oleh guru agar dapat diteladani oleh muridnya adalah kerendahan hati (Santoso, 2008). Guru akan memiliki kepribadian yang diidolakan apabila berani mengakui kesalahan sebagai perwujudan kerendahan hati. Sering terjadi seorang guru dengan dalil menjaga kewibawaan berperilaku tidak rendah hati di hadapan siswa, padahal guru tidak menyadari bahwa setiap langkah, tutur kata, cara pandang, dan berbagai respons yang ditampilkan menjadi bahan penilaian dan pembicaraan bagi para siswa.  Tentu saja keteladan buruk mengacaukan pemahaman mereka, yang berujung pada pencitraan konsep diri menjadi kurang baik. Pada prinsipnya, terdapat korelasi posistif antara keteladan guru dan kepribadian siswa yang oleh Johnson digambarkan sebagai‘’no matter how brilliant your plan, it won’t work if you don’t set an example’’ (bagaimana pun briliannya perencanaan Anda, itu tidak akan berjalan jika tidak dibarengi dengan keteladanan). Dengan demikian guru dipandang sebagai sumber keteladanan, karena sikap dan perilaku guru mempunyai implikasi yang luar biasa terhadap siswa (Nuh, 2009).
Lebih jauh, Abdullah Nashih Ulwan (Dwiastuti, 2006) memberikan resep untuk membentuk keteladanan guru dan orang tua dalam membentuk kepribadian anak. Keteladanan orang tua meliputi kejujuran, amanah, iffah (menjaga diri dari perbuatan  yang tidak diridhai), pemberian kasih sayang, perhatian, menyediakan sekolah yang cocok, dan memilihkan teman bagi anaknya. Sebagai pendidik, orangtua harus menampilkan sifat-sifat tersebut anak dapat memiliki pondasi nilai-nilai yang kukuh sebagai bekal untuk menapaki kehidupan selanjutnya. Adapaun keteladanan yang perlu dicontohkan guru kepada siswanya mencakup ketakwaan, keikhlasan, keluasan ilmu, sopan santun,  dan tanggung jawab.
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, keteladanan tenaga pendidik yang harus ditanamkan kepada peserta didik mencakup integritas, profesionalitas, dan keikhlasan. Juga mudah-mudahan guru dan dosen di Indonesia  mencontoh keteladanan Nabi Muhammad Saw yakni: sidiq, tablig, amanahdan pathonah. *** Semoga ***.  











PERAN ADMINSITRASI PENDIDIKAN DALAM ILMU-ILMU SOSIAL Oleh Endang Komara, Prof., Drs., Dr., M.Si Email: endang_komara@yahoo.co.id

I.             PENDAHULUAN
Adminsitrasi pendidikan adalah sebuah kerjasama untuk mencapai tujuan pendidikan dengan melihat hubungan antar komponen pendidikan sehingga dapat memperbaiki system pendidikan dengan menggunakan perangkat yang mendukung kegiatan pembelajaran.
Menurut M. Ngalim Purwanto (1985) administrasi pendidikan ialah segenap proses pengarahan dan pengintegrasian segala sesuatu baik personal, spiritual dan material yang bersangkut paut dengan tercapainya tujuan pendidikan.
Dengan demikian, bahwa seluruh administrasi pendidikan itu merupakan proses keseluruhan dan kegiatan-kegiatan bersama yang harus dilakukan oleh semua pihak yang ada sangkut pautnya dengan tugas-tugas pendidikan.
Bahwa administrasi pendidikan itu mencakup kegiatan-kegiatan yang luas, meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan, khususnya dalam bidang pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. Dengan demikian, administrasi pendidikan itu bukan hanya sekedar kegiatan tata usaha seperti dilakukan di kantor-kantor, inspeksi pendidikan lainnya.
Dasar adminsitrasi meliputi, pertama, efisiensi, seorang administrasi akan berhasil dalam tugasnya bilamana dia efisien dalam menggunakan sumber tenaga dan dana dan fasilitas yang ada. Kedua, prinsip pengelolaan, administrator akan memperoleh yang paling efektif dan efisien melalui orang lain dengan jalan melakukan pekerjaan manajemen yakni merencanakan, megorganisasikan, mengarahkan dan mengontrol. Ketiga, prinsip mengutamakan tugas pengelolaan, maksudnya adalah sebagai pretugas seorang administrator harus mengutamakan tugas pokoknya ketimbang tugas lain yang sifatnya penunjang. Keempat, prinsip pememimpinan yang efektif yakni memperhatikan dimensi-dimensi hubungan antar manusia (human relationship), dimensi pelaksanaan tugas dan dimensi situasi (sikon) yang ada. Kelima,prinsip kerjasama, seorang administrator akan berhasil baik dalam tugasnya bila ia mampu mengemban kerjasama di antara orang-orang yang terlibat, baik secara horizontal maupun secara vertikal.
Tujuan administrasi pendidikan adalah agar semua kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Kemudian  menurut Sergeovani dan Carver (1987) adalah efektivitas produksi, efisiensi, kemampuan menyesuaikan diri, dan kepuasan kerja.
Ilmu-ilmu social merupakan ilmu yang mempelajari tindakan-tindakan yang berlangsung dalam proses kehidupan dalam upaya menjelaskan mengapa manusia berperilaku seperti apa yang mereka lakukan. Setiap ilmu social merupakan suatu disiplin ilmu yang merupakan suatu batang tubuh atau struktur ilmu pengetahuan (body of knowledgeatau structure of knowledge) tentang suatu bidang ilmu.
Ilmu-ilmu social terdiri dari cabang-cabang ilmu yang lain seperti ilmu antropologi, ilmu sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu geografi, ilmu psikologi social dan ilmu politik.

II.           PEMBAHASAN
A.   Administrasi Pendidikan
Adminsitrasi pendidikan menurut  Syarif (1978:7), segala usaha untuk mendayagunakan sumber-sumber (personil maupun materil secara efektif dan efisien untuk menunjang tercapainya pendidikan. Jika dihubungkan dengan administrasi pendidikan maka bisa diartikan bahwa hal ini merupakan upaya peningkatan efektifitas unsur-unsur pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.
Fungsi administrasi pendidikan itu meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan penilaian. Fungsi perencanaan pendidikan merupakan fungsi yang sangat penting dari administrasi karena fungsi ini memang berperan banyak dalam hal memberi  petunjuk pada pelaksanaan pendidikan, acuan untuk memonitor kemajuan dan pelaksanaan program pendidikan kriteria dalam pendidikan dan dapat menjadi inovasi.
Dalam perencanaan itu sendiri akan menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukan bagaimana melakukannya, dimana dan siapa. Dalam fungsi terkandung kegiatan menetapkan tujuan, emngambil keputusan, mengadakan peramalan atau perkiraan, dan memprakarsai strategi pelaksanaan, lalu dapat dinyatakan perencanaan adalah menetapkan terlebih dahulu tujuan yang akan dicapai dan alat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Fungsi administrasi yang kedua adalah pengorganisasian, yang berarti upaya membina dan memmapankan hubungan antar kegiatan dan factor fisik yang harus dilakukan dan diperlukan, mengkoordinasikan sumber yang ada, pimpinan mendesain struktur formal berbagi tugas dan hubungan kewenangan yang akan menjamin efektifitas  dalam pencapaian tujuan.
Pengorganisasian berurusan  dengan pembagian jabatan yang harus dikerjakan, penetapan kelompok, pekerjaan, dan pemerataan tanggung jawab dalam pekerjaan. Prinsip yang dianut dalam pengoragnisasian adalah pembagian kerja, rintangan, departemensasi dan otoritas atau wewenang.
Untuk perencanaan gambaran yang jelas tentang fungsi administrasi pendidikan adalah:
1.    Perencanaan
Setiap program maupun konsepsi memerlukan perencanaan terlebih dahulu sebelum melaksanakan. Perencanaan adalah  cara menghampiri masalah. Dalam penghampiran masalah itu si perencana berbuat merumuskan apa saja yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.
Perencanaan merupakan sarat mutlak bagi kegiatan administrasi, tanpa perencanaan  atau kegiatan akan mengalami kesulitan dan bahkan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Di dalam kegiatan perencanaan  ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu  factor tujuan dan faktor sarana, baik saran personal maupun sarana material.
Langkah-langkah dalam perencanaan meliputi: Pertama, perumusan tujuan yang hendak dicapai. Kedua, penetuan bidang/fungsi unit sebagai bagian-bagian yang akan melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Ketiga, menetapkan jangka waktu yang diperlukan. Keempat, menetapkan metode atau cara mencapai tujuan. Kelima,menatapkan alat yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan efisiensi pencapaian tujuan. Keenam, merumuskan rencana evaluasi atau penilaian untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan. Ketujuh, menetapkan jumlah dan sumber dana yang diperlukan.
Dengan demikian rancangan kegiatan administrasi pendidikan yang harus dirumuskan mencakup 7 (tujuh) faktor yakni; tujuan, bidang/bentu kegiatan, waktu, metode, alat, penilaian dan factor dana.
2.     Pengorganisasian
Pengorganisasian adalah aktivitas penyusunan, pembentukan hubungan kerja antara orang-orang, organ-organ sehingga terwujud suatu kesatuan usaha dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan atau penyusunan bagian-bagian yang terpisah sehingga terjadi suatu kesatuan dan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam hal pengorganisasian ini, ada dua hal pokok yang menjadi perhatian yaitu: a) penciptaan mekanisme atau tata kerja, seirama dengan pola struktur organisasi yahg dibuat ditetapkan; b) penentuan dan pendistribusian kerja, yaitu penyebaran dan pembagian tugas/pekerjaan sekaligus pelaksanaan beserta kewenangan dan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh masing-masing anggota/staf pengurus oragnisasi.
Fungsi pengerakan atau aktualisasi, artinya menggerakkan orang-orang dalam organisasi agar mau bekerja dengan penuh kesadaran secara bersama-sama mencapai tujuan yang diharapkan.
Pengawasan merupakan kegiatan-kegiatan dan tindakan-tindakan untuk mengamankan rencana dan keputusan yang telah dibuat atau yabg sedang dilaksanakan.
Menurut Ahmad Sabri (2005) dijelaskan dalam bagian supervisi, bahwa setiap pelaksanaan daripada program pendidikan memerlukan adanya pengawasan atau supervisi.  Selanjutnya ditambahkan fungsi administrasi pendidikan adalah pengarahan, koordinasi, dan evaluasi. Pengarahan maksudnya memberi bimbingan dan petunjuk yang diberikan sebelum kegiatan pelaksanaan dilakukan, untuk memelihara, menjaga dan mengajukan organisasi melalui orang-orang yang terlibat,  baik secara structural maupun fungsional agar setiap kegiatanyang dilakukan nati tidak terlepas dari usaha pencapaian tujuan pendidikan. 
Koordinasi  adalah mengsingkronkan dan meluruskan semua kegiatan unit departemen/satuan organisasi menuju tercapainya tujuan/hasil akhir yang sama, koordinasi menyangkut semua orang, kelompok unit orgnisasi dan semua kegiatan dalam setiap organisasi dimana orang bekerjasama. Tanpa koordinasi terjadi pemborosan uang, tenaga dan waktu yang sangat banyak.
Evaluasi adalah untuk mengetaaui berhasil atau tidaknya suatu program. Jadi, evaluasi sebagai fungsi administrasi pendidikan. Pendidikan adalah aktivitas-aktivitas untuk menentukan sampai dimana hasil dan tujuan pendidikan itu telah tercapai.  
3.    Perkembangan Teori Administrasi 
a.    Teori Tradisional
1)   Teori Administrasi Ilmiah
Teori ini dikembangkan oleh Frederick  Taylor (1856-1915 M) dikenaln sebagai bapak manajemen ilmiah, yang  mendasarkan teorinya pada hasil eksperimen yang ia lakukan yang dituangkan dalam karya tulisnya yang berjudul the principles of scientific management sekitar tahun 1911, yang dipopulerkan oleh Louis Brandeis yang meliputi beberapa prinsip: studi waktu, hasil upah, pemisah antara perencanaan dan pelaksanaan, metode kerja ilmiah, kontrol manajeral dan prinsip manajemen fungsional.
Berdasarkan prinsip di atas,  administrasi pendidikan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: menggunakan disiplin yang keras, pemusatan pada tugas yang harus dikerjakan oleh bawahan, kurangnya hubungan interpersonal antara pekerja, aplikasi yang kaku dari sistem yang intensif dalam pemahaman administrasi. 
2)   Teori Birokrasi
Ada lima ciri dari teori birokrasi yaitu: Pertama,adanya pembagian tugas dan spesialisasi dari setiap individu dalam organisasi mempunyai wewenang dan jurudiksi yang diatur oleh berbagai peraturan. Kedua, bersifat impresional. Ketiga, dalam organisasi ada hirarki kewenangan. Keempat, didasarkan atas dokumentertulis. Kelima, pembinaan pegawai berorientasi pada pengembangan karir.
Birokrasi jadi tidak berfungsi apabila orang dalam organisasi terkurung dalam bidang spesialisasi tertentu. Setiap orang hanya berorientasi untuk memegang jabatan yang lebih tinggi sehingga anggota kehilangan kebebasan pribadinya. Orientasi pertumbuhan karir menyebabkan orang mengejarnya dan melupakan unsur pelayanan organisasi.
3)   Teori Klasik
Teori ilmiah dari teori birokrasi biasanya digolongkan kepada teori klasik. Filley (1963) mengemukakan beberapa kelemahan dari teori klasik yaitu teori yang terkait waktu, bersifat deterministik dan tidak memperhitungkan berbagai dimensi dan  dalam administrasi lebih banyak menggunakan asumsi yang lemah.
b.     Periode Transisional
1)   teori hubungan antar manusia (human relation theory), teori ini ditandai dengan timbulnya hubungan antara manusia. Factor manusia merupakan factor yang sangat penting dalam menentukan tingkat produktifitas kerja, hingga konsep moral dinamika kelompok dan hubungan interpersonal menjadi popular di kalangan administrator serta dalam teori administrasi.
2)   Teori Tingkah Laku
Teori tingkah laku dipelopori oleh Chester I Banard, konsep Banard tentang administrasi menggunakan pendekatan interdisipliner dengan memakai berbagai pendekatan tingkah laku seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi dan psikologi social. Di samping itu Herbert Simon (1947) mengemukakan teori administrasi behavior, yakni dari sudut proses pengambilan keputusan yang terus menerus dalam suatu organisasi. Teorinya meliputi proses administrasi.
3)   Periode Teori Pendekatan Sistem
Teori ini dikemukakan oleh Ludwig Von Bertalenfy (1968) mengemukakan sistem adalah susunan elemen yang berinteraksi satu dengan yang lain. Suatu system menghasilkan output yang mempunyai aktifitas, menjaga integrasi serta kesatuan dari elemen-elemennya.
Dalam teori sistem dikenal istilah homestatis dan umpan balik. Homestatis merupakan aplikasi dari prinsip umpan balik atau sebab akibat yang menyediakan mekanisme untuk tingkah laku mencari tujuan dan kontrol terhadap diri sendiri.   

B. Ilmu-ilmu Sosial
Ilmu sosial lahir tidak jelas kapan waktunya, seiring dengan adanya manusia bermasyarakat tentu analisis dan penelaahan tentang terus berlangsung. Artinya ilmu sosial adalah ilmu yang cukup tua usianya. Sejak manusiua membentuk kelompok yang dinamakan masyarakat maka di saat itu ilmu sosial tumbuh. Dalam perkembangan, sistematika ilmu serta metodologinya mengalami penambahan dan penyempurnaan sehingga ilmu sosial mantap berdiri di samping ilmu pengetahuan lain. Perkembangan zaman yang terus bergulis diyakini membawa manusia sampai pada perdaban berpikir kritis dan menggunakan kemampuan panca ideranya. Revolusi industri membawa akibat berubahnya tatanan sosial masyarakat dunia (Eropa) saat itu. Ilmu social kemudian lebih berfokus pada perubahan-perubahan interaksi, struktur social, dan system masyarakat yang terjadi akibat revolusi industri. Hal ini menandai lahirnya sosiologi.
Di sisi lain, dari pusat peradaban besar dunia (Eropa dan Timur Tengah) muncul semangat ekpansi ke luar daerah tersebut. Penemuan-penemuan daerah baru yang memiliki cara hidup yang berbeda dengan standar Eropa dan Timur Tengah menjadi bahan kajian yang menarik. Catatan para pengelana seperti Ibnu Batuta, Marcopolo, dan Colombus tentang cara hidup masyarakat ‘’dunia baru’’ mendorong lahirnya ilmu antropologi.
Tekanan demografi akibat bertambahnya penduduk dunia berhadapan dengan keterbatasan lahan pangan membuat masyarakat perlu melakukan strategi menanggulangi kekurangan pangan. Kekurangan pangan akan berdampak pada rentannya daya hidup suatu masyarakat. Alokasi  dan distribusi pangan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmu ekonomi.
Revolusi industry membuat struktur masyarakat berubah secara drastic. Asset-aset seperti lahan atau perusahaan yang pada masa sebelumnya menjadi milik raja dan bangsawan, dikuasi oleh pengusaha/swasta. Untuk menggerakkan asset tersebut para pengusaha atau pemilik modal memerlukan tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan manusia yang bergerak menjalankan system yang ditentukan oleh pengusaha. Agar sistem dapat berjalan dengan baik maka pengusaha harus mampu mengatur tenaga kerjanya untuk dapat menjalankan usaha sesuai dengan keinginan pengusaha. Pengaturan tenaga kerja tersebut melahirkan ilmu manajemen. Kekuasaan negara (raja dan kaum bangsawan) sebagai regulator kehidupan sosial meluntur akibat revolusi industri. Golongan ini perlu melakukan tata aturan bagi masyarakat untuk melindungsi kepentingan golongan dan kepentingan masyarakat sehingga kehidupan negara antara pemimpin dengan yang dipimpin dapat sinergis. Hubungan dengan negara-negara lain juga perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan negara yang bersangkutan. Hubungan tersebut dapat berupa kerjasama atau konflik. Proses tersebut mendorong terbentuknya ilmu politik modern yang berkaitan dengan ilmu hukum tata negara dan hubungan internasional.
Sejarah ilmu-ilmu sosial memiliki berbagai macam kronologi cerita. Berikut ini kronologi  sejarah ilmu-ilmu sosial dimulai pada akar filsafat kuno. Dalam sejarah kuno, tidak ada perbedaan antara matermatika dan studi sejarah, puisi atau politik. Ilmu sosial datang dari filosofi moral waktu dan dipengaruhi oleh Zaman Revolutions, seperti revolusi industri dan revolusi Perancis ilmu-ilmu sosial dikembangkan dari ilmu-ilmu (eksperimental dan diterapkan), atau pengetahuan sistemstis. Awal dari ilmu-ilmu sosial di abad ke-18 yang tercantum dalam berbagai ensiklopedia Didero besar, dengan artikel Rousseau dan pelopor lainnya. Pertumbuhan ilmu-ilmu social juga tercermin dalam ensiklopedia khusus lainnya. Periode modern melihat ‘’ilmu sosial’’ pertama kali digunakan bidang konseptual yang berbeda. Ilmu sosial dipengaruhi oleh positivism, berfokus pada pengetahuan berdasarkan pengalaman arti sebenarnya positif dan menghindari yang negatif.
Auguste Comte menggunakan istilah ‘’ilmu sosial’’ untuk menggambarkan lapangan, diambil dari ide-ide Charles Fourier. Comte juga disebut lapangan sebagai fisika sosial. Setelah periode ini, ada lima jalan pembangunan yang muncul  tercantum dalam ilmu sosial, dipengaruhi oleh Comte atau bidang lain. Salah satu rute yang diambil adalah munculnya penelitian social. Survei statistik besar yang dilakukan adalah Emile Durkheim diprakarsai oleh, mempelajari ‘’fakta sosial’’, dan Vilfredo Pareto membuka ide-ide dan teori metatheoretical individu. Yang ketiga berarti berkembang yang timbul dari dikotomi ini metodologis, di mana fenomena social diidentifikasi dan dipahami, ini diperjuangkan oleh tokoh-tokoh seperti Max Weber. Rute keempat diambil, yang berbasisi ekonomi, dikembangkan dan dilanjutkan pengetahuan ekonomi sebagai ilmu keras, jalan terakhir adalah korelasi nilai-nilai n pengetahuan dan social yang antiposiivisme dan verstehen sosiologi. Max Weber tegas menuntut perbedaan ini. Dalam rute ini, teori (deskripsi) dan resep tidak tumpeng tindih diskusi formal subjek.
Sekitar pergantian abad ke-20, filsafat pencerahan ditantang di berbagai tempat. Setelah penggunaan teori kalsik sejak akhir dari revolusi ilmiah, berbagai bidang studi matematika diganti untuk studi eksperimental dan persamaan memerikasa untuk membangun struktur teoretis. Perkembangan subbidang ilmu social menjadi sangat kuantitatif dalam metodologi. Sebaliknya, sifat interdisipliner dan lintas disiplin penyelidikan ilmiah ke perilaku manusia dan faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhi itu membuat banyak dari ilmu alam tertarik pada beberapa metodologi ilmu social, contoh mengaburkan batas antara disiplin yang muncul seperti penelitian social. Kedokteran, sosiobiologi, neuropsikologi, bioeconomics dan sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan. Semakin kuantitatif dan kualitatif metode penelitian yang terintegrasi dalam studi tindakan manusia dan implikasi dan konsekuensi. Pada paruh pertama abd ke-20, statistik menjadi sebuah disiplin yang berdiri bebas matematika diterapkan. Metode statistik yang digunakan percaya diri. Pada periode kontemporer, Karl Popper dan Talcott Parsons dipenagruhi kelanjutan ilmu-llmu sosial. Para peneliti terus mencari konsesnsus terpadu pada apa metodologi yang mungkin memiliki kekuatan dan perbaikan untuk menghubungkan ‘’teori besar’’ yang diusulkan dengan berbagai midrange teori-teori yang dengan cukup sukses, terus memberikan kerangka dapat digunakan untuk besar, terutama ilmu-ilmu sosial mendatang yang dipengaruhi oleh pemikir seperti Comte, Durkheim, Marx, dan Weber.
Menurut Muhammad Numan Somantri (2001), bahwa pendirian ilmuwan sosial dan ahli pendidikan tentang Pendidikan IPS pada tingkat sekolah sebagai berikut: Pertama, para ilmuwan social seperti ekonomi, antropologi, ilmu politik dan geografi harus diajarkan menurut struktur dan metode berpikir ilmuwan social. Golongan ini tidak setuju apabila nilai-nilai untuk menumbuhkan sikap dan moral warga negara yang baik (good citizens) dimasukkan ke dalam pendidikan ilmu sosial. Menurut mereka, nilai-nilai warga negara yang baik itu merupakan ‘’hasil sampingan’’ (nurturant effectI) saja dan akan datang dengan sendirinya dari pengalaman mempelajari ilmu-ilmu sosial. Karena itu, organisasi penyelenggaranya harus terpisah-pisah di bawah nama “Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial’’. Penggabungan beberapa disiplin ilmu sosial dengan nilai-nilai warga negara yang baik itu hanya akan membingungkan saja (Keler, 1961).
Kedua, sebaliknya ada golongan pakar pendidikan yang ekstrim beranggapan bahwa pelajaran IPS pada tingkat sekolah tidak harus mirip organisasi disiplin ilmu di universitas. Hal yang penting di tingkat sekolah itu bukannya memahami konsep dan metode berpikir ilmuwan social, melainkan yang penting adalah menumbuhkan warga negara yang baik, sebab sebagian besar siswa sekolah tidak melanjutkan ke universitas. Karena itu, hendaknya bahan pelajaran ilmu-ilmu social diintegrasikan dan membentuk disiplin baru yang di dalamnya berisikan seleksi bahan pelajaran dari berbagai cabang ilmu pengethuan dan bahan dari masyarakat yang siap untuk disajikan dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pendapat inilah yang kemudian menganggap Pendidikan IPS sebagaiCivic Education  dan Citizendhip Education. Pendapat ini didukung oleh organisasi-organisasi patriotik (Smith, 1970).
Ketiga, untuk menjembatani dua pendirian yang ektrem di atas, maka pada tahun 1958. Edgar Wesley merumuskan pelajaran-pelajaran ilmu-ilmu social untuk tingkat sekolah ini sebagai ‘’penyederhanaan dari disiplin ilmu-ilmu social untuk tujuan pendidikan’’. Rumusan yang sederhana ini sampai sekarang masih dianggap yang paling bisa diterima oleh semua pihak, karena memungkinkan para pengemban kurikulum untuk menyusun berbagai alternative program pendidikan untuk sekolah dasar, sekolah menengah maupun untuk program pendidikan tingkat perguruan tinggi keguruan (teacher college).

III.        PENUTUP
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A.  Administrasi adalah semua kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian dalam administrasi terkandung beberapa hal pokok seperti merupakan suatu proses, adanya dua orang manusia atau lebih yang terlibat, adanya pelaksanaan kegiatan-kegiatan tertentu, adanya pembagian tugas, serta adanya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya untuk dicapai.
B.    Administrasi pendidikan merupakan tindakan mengkoordinasikan perilaku manusia dalam pendidikan, agar sumber daya yang ada dapat ditata sebaik mungkin, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara produktif atau dengan kata lain dapat disimpulkna bahwa administrasi pendidikan secara bersama-sama untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. 
C.   Tujuan administrasi pendidikan adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan kegiatan operasional pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Adapaun yang menjadi tujuan utama pendidikan adalah untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik agar menjadi warga negara yang memiliki kualitas, sesuai dengan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.
D.  Ilmu sosial adalah ilmu yang cukup tua usianya sejak manusia membentuk kelompok yang dinamakan masyarakat, maka saat itu ilmu sosial tumbuh. Ilmu sosial tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman sesuai dengan kebutuhan manusia.
E.   Ilmu-ilmu sosial memiliki cabang ilmu dan masing-masing cabang ilmu memiliki hakikat. Dengan adanya hakikat masing-masing ilmu sosial tersebut, pengunaan ilmu sosial sesuai dengan apa yang sudah menjadi hakikatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bertalanffy, Ludwig Von. 1968. General System Theory. New York:  Books Google Com.

Filley. 1963. Principles of Management. Amazon: Alexander Hamilton Institute.

Keller, C.R. 1961. ‘’Needed: Revolution in the Social Studies’’. Saturday Review, 3, 44 : 60-61.

Purwanto, M. Ngalim. 1985. Ilmu Pendidikan, Teoretis dan Praktis. Bandung: Remadja Karya.

Sabri, Ahmad. 2005. Strategi Belajar Mengajar: Micro Teaching. Jakarta: Quantum Teaching.

Sergiovanni, Thomas J. 1987. The Principalship a reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Simon, Herbert. 1947. Administrative Behavior: A  Study of Decision Making Processes in Administrative Organization. United States of America: Macmillan Publishers.

Smith, F. 1970. New Social Studies. New York: Macmillan.

Somantri, Muhammad Numan. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.



-->

PANCASILA & PUSARAN GLOBALISASI

ABSTRAK
Sebagai Ideologi yang hidup, Pancasila memiliki tiga indikator yaitu: adaptif-aktif bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Responsive bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mampu menerima atau mengakomodasi perubahan dengan menerima elemen-elemen sosial-budaya asing dengan maksud untuk memperkaya elemen-elemen sosial budaya sendiri, dan aplikatif bermakna bahwa nilai-nilai Pancasila dalam Sila-Sila Pancasila itu mampu diterapkan baik dalam bentuk perilaku, norma, maupun azas-azas hukum
Globalisasi sebagai sebuah konsep ekonomi global, melahirkan universitas bagi kehidupan masyarakat mulai dari lingkup paling kecil. Mitos globalisasi yang menyatakan bahwa dunia pada akhirnya terbuka lebar tentunya akan ada perubahan terhadap kebudayaan lokal dan hilangnya identitas jati diri bangsa. globalisasi dalam konteks kekinian dipandang berbeda oleh banyak kalangan. Pemahaman globalisasi sangat dekat dengan modernisasi. Pada masyarakat modern, arus globalisasi tidak terbendung dan tidak mampu ditolak. Pengasingan atau alienasi budaya tampak dalam peradaban yang semakin mengikuti perkembangan dunia yang global. Simbol-simbol yang tampak dalam cara berpakaian, cara komunikasi, Bahasa dan cara berpikir instan adalah pergeseran nilai budaya yang mau tidak mau terjadi seiring majunya pemikiran masyarakat modern.
Kata Kunci: Pancasila, ideologi. pusaran, globalisasi, pergeseran nilai.
I.              PENDAHULUAN
Nilai dasar yang fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap dan tidak berubah, dalam artian bahwa dengan jalan hukum apa pun tidak mungkin lagi untuk diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat nilai-nilai dasar yang fundamental, maka Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara hukum.  Apabila terjadi perubahan, berarti pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam pengertian seperti itulah maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan fundamental bagi negara Indonesia, terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sudah menjadi harga mati dan tidak dapat ditawar lagi bahwa Pancasila merupakan asas tunggal yang berlaku di negara Indonesia ini. Jangan sampai terdapat ideologi ‘tandingan’ Pancasila. Ideologi ‘tandingan’ memang secara terbuka akan sangat tidak mungkin ada, namun sedikit lambat laun dengan adanya masa keterbukaan sekarang ini, patut diwaspadai, karena perilaku sangat mungkin dapat terpengaruh ideologi-ideologi baru, dan nantinya akan mudah tertanam di masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu Pancasila harus menjadi landasan etika dan moral, salah satunya dengan menggalakan ‘Vaksinasi Pancasila’ dengan harapan masyarakat Indonesia menjadi orang-orang berkarakter, kuat, baik secara individual maupun secara social. Vaksinasi Pancasila bertujuan untuk membentuk pribadi mereka yang berakhlak, moral dan budi pekerti yang baik.
Untuk bisa menanamkan ideologi Pancasila maka setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan, seperti yang dijelaskan oleh Anam (2018), pertama, menginjeksi aparatur negara dan elit politik dengan budaya serta nilai-nilai Pancasila. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir perilaku ‘klaim’ atas dirinya ‘parpol’ lebih baik daripada ‘parpol’ yang lain. Pada kenyataannya, banyak elit parpol yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dan berujung pada pemidanaan pelakunya. Begitu pula di lembaga yudisial, seperti hakim dan jaksanya yang juga ditangkap tangan oleh KPK karena diditeksi melakukan hubungan tidak wajar dengan pihak-pihak yang sedang ditangani kasusnya. Tidak kalah hebatnya lagi adalah area lembaga eksekutif seakan-akan lupa akan nasib pemilih atau konstituennya. Sehingga pengamalan Pancasila harus segera dimulai dari lembaga-lembaga pemerintahan maupun elit parpol sebagai wujud komitmen perwujudan nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan di setiap lini kehidupan mereka masing-masing.
Kedua, menanamkan nilai-nilai Pancasila di kalangan remaja penerus bangsa melalui doktrinasi Pancasila. Hal ini bisa dilakukan dengan doktrinasi bahwa ‘Negara Indonesia’. Negara yang memang sejak awal didirikan untuk masyarakat Indonesia yahg harus dipertahankan serta dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi, mengembangkan seluruh sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara yang menginginkan agar masing-masing warga negaranya dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin.Kemudian, negara yang berkomitmen memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial). Upaya ini diharapkan mampu menumbuhkembangkan sikap Pancasilais. Doktrinasi tersebut sangatlah penting, Karena apabila ditinjau dari sisi psikologisnya, remaja yang dimaksud pasti sedang memulai mencari jati diri. Terutama ketika mereka dapat membedakan hal-hal yang baik-benar dan buruk, menganalisis norma-norma yang membimbing tingkah lakunya, dan mensintesiskan nilai-nilai yang mereka peroleh saat memilih nilai-nilai tersebut dan nilai-nilai tersebut nantinya akan melekat kuat di dalam sanubarinya.
Ketiga, revitalisasi Pancasila lewat kontrol media baik cetak maupun elektronik.  Asumsi yang perlu ditegaskan dari pemakaian media ini adalah sebagai alat revitalisasi. Ini disebabkan karena media massa di era global bukan hanya alat atau media penyebar informasi, pembentuk opini public, penghibur masyarakat, namun dapat dijadikan media pengawasan terhadap kekuasaan yang berjalan di wilayah pemerintahan. 
Sebegitu pentingnya media massa dikarenakan media massa masih terdapat beberapa tugas yang mestinya harus dilakukan setiap waktu. Terlebih ketika pusaran Pancasila di era demokrasi ini membutuhkan komitmennya. Komitmen itu antara lain yaitu, media massa harus menginformasikan dalam pengertian ‘’surveilance’’ atau ‘’monitoring’’ mengenai apa yang terjadi di sekitar masyarakatnya. Media massa harus mendidik mengenai makna dan manfaat dari fakta dengan tetap mempertahankan obyektivitasnya dalam menganalisis fakta itu. Media massa juga harus menyediakan platformuntuk publik mengenai wacana politik, memfasilitasi pembentukan opini public, dan menyiapkan opini balikan dari mana saja datangnya, media massa juga memberikan publisitas kepada pemerintah dan institusi lainnya.
Di sini media massa berperan sebagai ‘’warchdog’’,  terakhir media massa dalam masyarakat demokratis melayani sebagai suatu saluran untuk kepentingan pemberdayaan (advocacy) mengenai berbagai titik pandang politik. Bahkan media massa itu sendiri telah dilindungi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 2009 tentang Pers dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang harus menjaga moralitas, nilai agama, jati diri bangsa di lingkungan masyarakat majemuk yang memiliki sejunlah perbedaan. Ini berkaitan dengan komonikasi antar budaya, dan menghindarkan selisih paham antar perbedaan-perbedaan guna menyesuaikan diri untuk menghadirkan media massa yang bermakna bagi nuda dan bangsa.
Bangsa Indonesia memiliki nilai budaya luhur, yang dapat dijadikan pilar dan filter terhadap berbagai pengaruh yang negative, serta sebagai pendukung bagi nilai dan pengaruh, yang membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh adalah ‘’Pela Gandong’ di Ambon untuk landasan kerukunan, pepatah ‘’guru kencing berdiri, murid kencing berlari’’ untuk simbul keteladanan, ‘’rawe-rawe rantas malang-malang putung’’ sebagai simbul kebersamaan, dan silih-asah, silih-asih dan silih-asuh untuk acuan pendidikan masyarakat. Bukankah nilai budaya ini juga akan menjadi faktor pendukung sekaligus pilar terhadap pusaran globalisasi.
Menurut Salim (1990) terdapat 4 (empat) bidang kekuatan gelombang pusaran globalisasi yang paling menonjol antara lain:
1.    Kekuatan pertama yang membuat dunia menjadi transparan dan sempit adalah gelombang perkembangan IPTEK yang amat tinggi.  Kekuatan ini Nampak antara lain penggunaan computer dan satelit. Dengan teknologi ini sekarang orang dapat dengan cepat dan menghimpun informasi denia dengan rinci tentang segala hal, misalnya kekayaan laut, hutan dan lain-lain. Dengan kemajuan IPTEK yang begitu kuat pengaruhnya sehingga dapat mengubah perspektif atau sikap, pandangan dan perilaku orang. Dengan kemajuan teknologi ini pula sekarang orang dapat berkomunikasi dengan cepat di mana pun mereka berada melalui handphone, internet dan lain-lain.
2.    Kekuatan kedua adalah kekuatan ekonomi.  Ekonomi global yang terjadi saat ini demikian kuat, sehingga peristiwa ekonomi yang terjadi di suatu negara akan dapat dengan mudah diikuti dan mempenagruhi negara lain. Globalisasi dalam ekponomi Nampak sebagai suatu keterkaitan mata rantai yang sulit untuk dilepaskan. Krisis moneter yang melanda beberapa negara tidak terlepas dari kegiatan ekonomi dunia.
3.    Hal ketiga yang banyak disoroti saat ini adalah masalah lingkungan hidup. Kita masih ingat tentang peristiwa kebakaran hutan di Indonesia yang berdampak dunia. Pengaruh asap kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra dapat dirasakan di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan bahkan Filipina. Dampaknya sangat terasa dis eluruh dunia, di mana semua penerbangan ke Indonesia tertunda karena adanya gangguan asap.
4.    Politik merupakan kekuatan keempat yang dirasakan sebagai kekuatan global. Misalnya konflik di Palestina, Syiria dan Irak sangat dirasakan secara global di negara-negara lain, baik dalam segi politik maupun ekonomi. Adanya kekisruhan politik dalam negeri juga berdampak besar terhadaop perkembangan pariwisata, perdagangan dan sebagainya.

II.             PEMBAHASAN 
A.  Pancasila
Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki fungsi yang sangat fundamental. Seperti dijelaskan oleh Purwito Adi (2016), Pancasila selain bersifat yuridis formal juga bersifat filosofis. Sifat yuriidis formal yang mengharuskan setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan pada Pancasila sebagai sumber hukum materiil. Sedangkan sifat filofis, menjadikan Pancasila sebagai falsafah negara juga sebagai pedoman perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti dijelaskan oleh Driyarkarsa (2006), bahwa Pancasila sebagai weltanschauung, yaitu sebuah falsafah atau pandangan hidup yang mampu merealitaskan nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat, dapat menjadi ideologi terbuka yang bersifat aktual, dinamis, antisipatif, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Cita-cita dan nilai-nilai mendasar dalam Pancasila bersifat tetap dan tidak berubah.
Pada sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai basis nilai filosofis hubungan negara dan agama di Indonesia sebagai sebuah ‘local genius’ bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Makna tersebut tidak dapat dipisahkan dengan makna agama di Indonesia, karena nilai-nilai agama di Indonesia sudah ada sejak dahulu. Sila ini pun tidak dimaksudkan bahwa negara Indonesia didasarkan pada suatu paham tertentu, atau bahkan negara tidak berhak mencampuri ruang aqidah warga negaranya. Hal ini juga berarti negara harus menjamin hak yang paling asasi pada setiap warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Menurut Soekarno, bagsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang mempunyai kepercayaan akan suatu ‘zat’ yang baik yaitu Tuhan. Sehingga sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk mempunyai suatu kepercayaan yang dirmuskan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan alasan bahwa nilai atau prinsip ke-Tuhan-an dapat menjadi pengikat kesleuruhan manusia dan masyarakat Indonesia. Sila ini menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan dalam setiap agama yang diakui di Indonesia. Oleh karena itu, sekalipun Globalisasi membawa sebuah liberalisasi di Indonesia, bangsa Indonesia menolak yang disebut atheism dan juga propaganda anti agama.
Manusia dalam pusaran Globalisasi cenderung menggunakan sesuatu dengan berlebihan tanpa arah. Hal ini mengakibatkan perilaku konsumtif dan pada akhirnya melahirkan hedonism yang diartikan mendasarkan baik atau buruknya tindakan atas dasar tujuan yang akan diusahakan yaitu kenikmatan. Prinsip hedonisme menurut Paulus Wahana (2016), bahwa kesenangan merupakan sesuatu yang baik dan hal tersebut menjadi tujuan hidupnya. Sedangkan hal yang membuat kesusahan, penderitaan, atau tidak menyenangkan adalah hal yang tidak baik dan harus dihindari. Sikap yang hanya menekankan tujuan kenikmatan akan meng-alienasi manusia terhadap linkungan sosialnya.
Sila kedua Pancasila pada prinsipnya adalah bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan sebuah sikap dan perilaku manusia yang sesuai dnegan kodrat hakikat manusia yang berbudi, sadar nilai dan budayanya. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan juga makhluk social. Soekarno melalui bukunya yang berjudul ‘’Tjamkan Pantjasila’’ (1964) membahas tentang kemanusiaan dalam konteks yang konkret yaitu mengenai identitas diri. Rasa peri-kemanusiaan merupakan sebuah resultan dari pertumbuhan rohani, kebudayaan. Pertumbuhan tersebut bermula dari tingkat yang paling rendah hingga yang lebih tinggi tingkatannya, sehingga dapat dikatakan bahwa peri-kemanusiaan merupakan evolusi dalam perasaan batin manusia.
Nilai persatuan memiliki makna untuk menumbuhkan rasa nasionalisme cinta tanah air. Bangsa Indonesia terdiri darai bermacam suku bangsa dan budaya. Kemerdekaan Indonesia didapatkan dan diperjuangkan oleh seluruh warga negara Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa dan budaya dalam sebuah semboyan bhineka tunggal ika. Perenungan terhadap sila keiga adalah hakikat bahwa persatuan merupakan tema penting untuk mencapai kemerdekaan, kesadaran akan persatuan, memperkuat rasa nasionalisme demikian juga sebaliknya. Nilai kerakyatan erat dengan konsep civil society atau masyarakat siplil yang diturunkan dari gagasan Aristoteles,Koinonia Politike yang berarti sebuah komunitas warga negara yang dipersatukan dalam sebuah pemerintahan atau negara yang sah. Masyarakat sipil harus dibentuk terlebih dahulu sebagai syarat untuk membentuk suatu tatanan negara Indonesia yang demokratis. Beberapa konsep yang diberikan oleh para pendiri bangsa yaitu masyarakat yang kooperatif oleh Hatta; sistem kekeluargaan dalam membentuk masyarakat sipil sebagaimana yang digagas oleh Soekarno; dan sistem masyarakat integratif yang digagas oleh Soepomo. Sehingga dalam pusaran Globalisasi ini, pembentukan masyarakat sipil yang bergotong royong akan mengarahkan dan mewujudkan nilai kerakyatan sebagaimana dalam sila keempat Pancasila. Seklaipun globalisasi dapat membentuk masyarakat yang individualistik, tetapi jika ketiga prinsip ini menjadi satu kesatuan utuh yang menjadi jiwa dan spirit masyarakat Indonesia, maka tidak akan sulit untuk mewujudkan nilai kerakyatan.
Pada sila terakhir yaitu sila kelima. Keadilan sosial atas bangsa Indonesia, semestinya lahir dan meratanya kepentingan rakyat. Bagaimana globalisasi telah memisahkan secara tegas dan menciptakan kelas dalam masyarakat, maka nilai keadilan sosial menjadi hal yang tidak akan pernah bisa dicapai dalam tataran kehidupan global. Kehidupan yang tidak menginginkan adanya kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, namun hanya kepentingan pasar yang aakan memperkaya segelintir kelompok dan semakin memiskinkan sebagian besar rakyat Indonesia.
B.  Pusaran Globalisasi
Dalam berbagai literature dan kenyataan praktek hubungan antar subyek hokum internasional baik pada level negara-bangsa, organisasi (IGO; International Government Organization dan INGO: International Non Government Organization) maupun pada level individual, proses globalisasi banyak ditandai oleh hubungan dalam persoalan bisnis dan perdagangan. Kaum politisi dan birokrat yang lebih banyak memfokuskan pada tataran ‘’policy’’ dan ‘’decision making’’memang menunjukkan aktivitas ‘’lower profile’’ bila dibandingkan dengan pelaku bisnis. Dengan aspek bisnis, kaum politisi dan birokrat adalah kelompok pemegangotoritas dan pembuat serta pemutus kebijakan sedangkan yang bertindak sebagai pelaku langsung adalah kelompok pelaku bisnis itu sendiri. Selain itu, dalam kenyataannya otoritas politisasi dan birokrat dapat terbawa oleh arus kekuatan politik globalisasi yang mengakibatkan para politisi dan birokrat tidak berdaya. Dalam situasi demikian, pelaku bisnislah yang tampil, bahkan dengan mesin globalisasi: technology, the capital markets and management (Micklethwait & Wooldridge, 2000:29), globalisasi telah menjadi kekuatan komersil (commercial forces) yang disebut kapitalisme modern seperti munculnya: the internet, the foreign-exchange market, mergers, and foreign direct investment seolah sebagai topan yang menggganyang semua aspek kehidupan global.
Masing-masing dari kekuatan komersial ini memiliki kekuatan, tetapi hal yang menjadikan keunggulan pada tiap mesin globalisasi ini adalah gerakan kebersamaan yang begitu rapi. Teknologi informasi sebagai alat pendukung dalam manajemen informasi dan system informasi merupakan sarana yang sangat bermanfaat dalam proses globalisasi. Namun perlu ditekankan bahwa teknologi bukanlah alat yang sangat penting atau menentukan teknolgi tergantung pada manusia dan kreativitasnya. Teknologi hanyalah sebagai daya pikir dari orang dibelakangnya.
Walaupun sekelompok orang berpendapat bahwa teknologi seringkali mengotori bumi sehingga ada kontradiksi antara teknologi dan globalisasi, tetapi kelompok lainnya menyamakan teknologi sebagai ‘’Big Brother’’dengan batas kebebasan manusia; bagi mereka mesin adalah cara untuk menjaring data, untuk melakukan mata-mata terhadap musuh negara dari luar angkasa. Teknologi telah melakukan subversif ke seluruh dunia, melatih sikap hidup wiraswasta dan bahkan menentang perusahaan-perusahaan raksasa, memberikan kekuatan kepada manusia untuk berhubungan dan melepaskan diri dari tirani kekuasaan di suatu tempat.
Teknologi sebagai mesin globalisasi dimotori oleh perangkat computer, telepon dan televisi. Tanpa ketiga perangkat teknologi ini seolah tidak ada globalisasi. (Micklethwait & Wooldridge, 2000:35). Bahkan Stever & Muroyama (1988:1) menyatakan bahwa dampak perubahan teknologi pada struktur ekonomi global sedang membuat transformasi besar bagaimana perusahaan dan bangsa-bangsa mengelola produksi, menjual barang, menginvestasikan modal, dan mengembangkan produk baru dan proses perusahaan. Bahkan Stever & Muroyama (1988) lebih lanjut menyatakan bahwa percepatan inovasi teknologi selain membentuk ekonomi global juga menimbulkan konflik kepentingan nasional guna memlihara keuntungan komparatif dan komoetitif. Di samping itu, John Chamber, bos Cisco Systems menyatakan bahwa internet akan mengubah orang bagaimana hidup, kerja, bermain dan belajar. Revolusi industry telah membawa orang kenal dengan mesin-mesin pabrik maka revolusi internet akan memperkenalkan orang kepada pengetahuan (knowledge) dan informasi.
Dua kata kunci di atas, pengetahuan dan informasi, sangat penting dalam proses globalisasi. Wilson (Sapriya dkk, 2008) mendefinisikan informasi sebagai data yang diperoleh menjadi bentuk tertentu yang dapat digunakan untuk mendukung keputusan atau tindakan lainnya. Prosesnya dapat berupa berbagai bentuk: pengumpulan, pemetaan, analisis, susunan dan sebagainya. Informasi dapat akurat bila berdasarkan jumlah; namun dapat subyektif bila berupa pendapat. Kata kunci kedua adalah pengetahuan. Hal ini akan mencakup segala aktivitas hingga suka duka salesman di lapangan. Anggaplah semua pengetahuan tentang bisnis, sejarahnya, arah masa depannya, teknologinya dan semua aspek yang ada dalam kepala setiap orang yang terkait dengan organisasi.
Definisi di atas mengindikasikan bahwa data adalah bahan mentah untuk informasi sedangkan informasi adalah bahan mentah untuk pengetahuan. Proses perubahan ini terjadi dalam suatu sistem yang disebut  sistem informasi. Dengan kata lain, sistem informasi adalah cara mengubah data menjadi informasi dan selanjutnya menjadi pengetahuan (knowledge). Semua sistem memiliki masukan (input), proses (processing), dan keluaran (output). Faktor pendukung agar sistem informasi berjalan dengan baik, maka teknologi informasi menjadi faktor penting namun tidaklah menentukan. Teknologi memberi banyak peluang untuk mendayagunakan walaupun hanyalah alat. Teknologi bukanlah alat yang paling penting atau menentukan, teknologi tergantung pada manusia dan krativitasnya. Teknologi tidaklah sebaik daya piker dari orang dibelakangnya.
‘’Capital Markets’’sebagai mesin globalisasi merupakan dampak atau hasil revolusi dalam teknologi. Saat ini, ‘’global capital markets’’ telah menjadi motor dalam ekonomi makro. Perputaran modal saat ini lebih besar dari masa sebelumnya. Pergerakannya lebih cepat dan rasio modal untuk barang yang diperdagangkan lebih besar namun dampak negative dari kesalahan akan lebih menghancurkan. Sebagai contoh, terjadi di Indonesia. Pasar bukan hanya mengikat ekonomi dan mengubah struktur perusahaan melainkan juga mengubah sistem politik secara keseluruhan. Kecuali, apa yang dialami oleh Korea Selatan. Banyak orang yang mengkhawatirkan apa yang terjadi pada sistem perbankan di Korea Selatan. Korea Selatan adalah salah satu negara yang menggunakan modal asing  tahun 1990-an walaupun membatasi peran bank asing dalam pasar dalam negeri. Hal ini diikuti oleh Thailand dan Indonesia. 
Mesin ketiga dari globalisasi adalah ‘’management’’. Gagasan manajemen adalah bentuk lain dari pengelolaan teknologi dan tekanan ‘capital market’ yang kuat terhadap perusahaan. Micklethwait & Wooldridge (2000:67) mengidentifikasi empat disseminator virus manajemen yang dikenal oleh Graef Crystal, ialah: perusahaan multinasional, konsultan manajeme, sekolah-sekolah bisnis, dan para pemikir manajemen. Contoh bentuk perusahaan multinasional adalah Toyota dan general Motor (GM). Salah satu cara penting untuk menularkan gagasan manajemen ke seluruh dunia adalah dengan pelatihan. Perusahaan di Eropa, Nestle telah mengekspor system magang ke Amerika Latin. Universitas Motorola memiliki sejumlah kampus, antara lain di Beijing. Pusat Pelatihan Nestle, Rive-Reine, di La Tour de Peilz, melatih sejumlah orang yang berasal dari 60 negara.

III.           PENUTUP
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A.   Sekalipun Bangsa Indonesia telah memiliki Ideologi Pancasila sebagai ruh yang hidup di jiwa masyarakatnya, namun setidaknya di era globalisasi yang terbuka ini, memberi kesempatan terhadap ideologi-ideologi baru ingin masuk dan mempengaruhi sikap dan pandangan terhadap bangsa Indonesia sendiri. Radikalisme yang dapat dilihat dengan mata telanjang merupakan virus yang mau tidak mau harus dihempaskan di muka bumi ini terutama atas nama bangsa Indonesia yang majemuk berbhineka tunggal ika. Penanaman ideology moderat merupakan hal penting karena pengaruh-pengaruh paham radikal sudah bertebaran bebas dalam pengaruhnya. Bahkan dunia pendidikan harus ikut berpartisipasi dalam mencegah paham radikal. Pemahaman yang kuat terhadap radikalisme setidak-tidaknya harus segera di injeksikan terhadap tiga unsur vital yang nantinya dapat berpengaruh terhadap perjuangan ideologi Pancasil. Ketiga unsur tersebut adalah, pertama, para pejabat pemerintah dan elit parpol, keduapara generasi muda penerus bangsa, ketigaadalah media massa guna alat revitalisasi informasi. Injeksi ideologi dan upaya pencegahan tersebut akan menjadi sebuah teori belaka ketika rakyat Indonesia tidak berkolaborasi secara baik. Kolaborasi setidaknya mengabaikan urusan kepentingan kaum mayoritas maupun kaum minoritas mereka masing-masing untuk sesaat.
B.   Kolaborasi itu telah ditunggu sebagai Ideologi terbuka namun juga tidak berarti keterbukaan tersebut bisa diterjemahkan terbuka terhadap ideology radikal. Injeksi mememrlukan kesolidan antara umat Muslim sebagai mayoritas dengan umat lain (agama/kepercayaan) sebagai minoritas. Kesolidan itu berupa saling berintegrasi mencegah radikalisme serta berkomitmen bahu membahu meluluhlantahkan radikalisme. Indonesia negara yang sejuk, damai, dan ber-Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun satu jua. Sedangkan ‘’doktrinasi’’ dalam arti positif bukanlah hal yang mustahil dapat diterapkan, karena ketiga unsur yang harus didoktrin tersebut setidaknya memiliki kandungan ‘pelaku-pelaku’ yang masih baik dan berkomitmen. Komitmen tersebut perlu setiap saat datagih oleh diri kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Ideologi Pancasila.
C.   Penyebab munculnya proses globalisasi antara lain: nilai-nilai inti universal (perdamaian, HAM, demokrasi, pembangunan berkelanjutan); tata ekonomi baru; budaya sebagai tirai; pilat-pilar pendidikan untuk International Understanding (learning to know, learning to do, learning to live together, learning to be) dan;  Kerjasama Antarbangsa.
D.  Pusaran globalisasi telah menjadi kekuatan komersil yang disebut kapitalisme modern seperti munculnya: the internet, the foreign-exchange market, mergers, and foreign direct investment seolah sebagai topan yang mengganyang semua aspek kehidupan global.














DAFTAR PUSTAKA

Adi, Purwito. 2016. Buku Ajar ‘’Pancasi’’. Malang: Universitas Kanjuruhan Malang 
Choirul, Anam. ‘’Pancasila Sebagai Sistem Terbuka’’, online: http://choirul_umam,staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/46988/bab3-pancasila_sebagai_sistem_etika.pdf.
Driyarkara. 2006. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Micklethwait, John dan  Wooldridge, Adrian. 2000. Future Perfect: The Challenge and Promise of Globalization. New York: Crown Publishers.
Salim, Emil. 1990.  Kebudayaan Nasional dalam Jurnal Pendidikan. Nomor 2. Malang: Universitas Negeri Malang. 
Sapriya, Rahmat dan Dadang Sundawa. 2008. Konsep Dasar PKn. Bandung: Laboratorium PKn UPI.
Stever, H. Guyford & Muroyama, Janet H. (Eds.). 1988. Globalization of Technology: International Perspectives, Washington: National Academy Press.