Rabu, 17 Mei 2017

MANAJEMEN MUTU PERGURUAN TINGGI ENDANG KOMARA Guru Besar Sosiologi Pendidikan Kopertis Wilayah IV Dpk pada STKIP Pasundan, Ketua STKIP Pasundan



Pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu melakukan proses pematangan kualitas peserta didik yang dikembangkan dengan cara membebaskannya dari ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran dan dari buruknya akhlak, moral dan keimanan.
Begitu pula an pendidikan pada institusi perguruan tinggi, setidaknya memiliki pengertian dan ruang lingkup yang sama yakni pendidikan tinggi yang bermutu harus mampu mengantarkan out put lulusan memiliki seperangkat pengetahuan, skill, berkarakter atau memiliki kematangan secara intelektual, emosional dan spiritual serta mampu menguasaI dan diterima dalam persaingan dunia kerja yang semakin kompetitif, atau bahkan mampu menciptakan lapangan kerja secara kreatif dan produktif.
Perguruan tinggi dikatakan berkualitas apabila dapat mengantarkan peserta didiknya untuk mampu mengembangkan potensi dirinya sehingga dapat menjadi manusia unggul yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, terampil dalam menguasai teknologi, etos kerja yang tinggi, mempunyai kesadaran hidup sosial, berakhlak karimah serta sehat jasmani dan rohani. Adapun salah satu indikator  keberhasilan pendidikan adalah menghasilkan output  lulusan yang meningkat kesejahteraan ekonominya, mampu bersaing dengan masyarakat lokal dan global, serta berdedikasi terhadap moral yang tinggi.
Di sisi lain, mutu pendidikan yang lebih ditekankan pada aspek kelembagaan dikemukakan oleh Mulyasa (2012) bahwa pendidikan bermutu tidak hanya dapat dilihat dari kualitas lulusannya, tetapi juga bagaimana lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan pelanggan sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi Indonesia menegaskan bahwa perguruan tinggi dikatakan bermutu apabila mampu menetapkan dan mewujudkan visi melalui misinya (aspek deduktif) dan perguruan tinggi tersebut mampu memenuhi kebutuhan stakeholders (aspek induktif), yang berupa kebutuhan kemasyarakatan (societas needs), dunia kerja (industrial needs), dan profesional (professional needs).
Dengan demikian mutu pendidikan di sebuah perguruan tinggi pada hakikatnya berhubungan erat dengan aspek lulusan, program yang jelas dan SDM perguruan tinggi yang bersangkutan. Lulusan pendidikan tinggi yang bermutu tampak pada kualitas lulusan yang memiliki wawasan yang luas, kompetensi secara unggulan, berkarakter, serta dapat menembus persaingan kerja  secara global. Sedangkan program perguruan tinggi seharusnya direncanakan secara matang, dijalankan melalui proses yang dinamis dan terkontrol dengan tujuan untuk memuaskan setiap pengguna jasa pendidikan. Adapun SDM perguruan tinggi yang bermutu dimiliki oleh setiap tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dengan memiliki seperangkat hard skill dan soft skill yang mendukung mutu perguruan tinggi.
Untuk menciptakan pendidikan tinggi yang bermutu tentunya tidak bisa lepas dari aspek manajemen perguruan tinggi yang baik dan berkualitas yang mencakup aspek perencanaan, proses, output (hasil dari kegiatan pendidikan) serta evaluasi. Sebab untuk mencapai hasil pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh seperangkat komponen, baik standar nasional pendidikan, standar nasional penelitian maupun standar nasional pengabdian kepada masyarakat. Juga perlunya peran lembaga penjaminan mutu (LPM) pada setiap perguruan tinggi. Karena LPM merupakan penanggungjawab inti atas terselenggaranya kualitas dan jaminan pendidikan mutu pendidikan pada sebuah perguruan tinggi.
Dalam konteks tersebut, perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta realita pendidikan yang semakin meningkat menjadikan setiap perguruan tinggi harus siap mengikuti persaingan secara ketat. Sebab dalam era persaingan itulah, setiap masyarakat memiliki kehendak secara otonom untuk memilih perguruan tinggi yang mampu memberikan kualitas dan jaminan mutu. Melalui tuntutan itulah, perguruan tinggi harus mampu menarik dan meyakinkan secara kualitas agar lembaganya senantiasa diminati oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu, mutu perguruan tinggi menjadi satu-satunya kekuatan dalam menjawab tuntutan tersebut.
Secara teoretik dan praktik, mutu sebuah perguruan tinggi ditentukan oleh manajemen mutu yang di dalamnya memuat perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan mutu sebagai upaya melakukan perbaikan berkelanjutan guna meningkatkan kemampuan organisasi perguruan tinggi yang memenuhi standar mutu serta kepuasan stakeholder dan pemangku kepentingan pendidikan tinggi, sehingga kapabilitas suatu perguruan tinggi semakin meningkat serta semakin kuat untuk bertahan dan berkembang dalam situasi lingkungan yang kompetitif.
Manajemen mutu secara praktis menjadi bagian pokok dalam Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPMI) yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Mutu (LPM). SPMI merupakan kegiatan sistemik penjaminan mutu pendidikan tinggi yang dilakukan oleh setiap perguruan tinggi secara berkelanjutan (continuous improvement). Adapun sistem penjaminan mutu perguruan tinggi secara prinsipil memiliki peran tugas menjalankan, mengembangkan dan menjaga proses penjaminan mutu secara otonomi melalui suatu sistem yang dirancang, dijalankan dan dikendalikan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Sehingga melalui sistem penjaminan mutu internal perguruan tinggi dapat menetapkan dan mewujudkan visi yang telah dirumuskan, mampu menjawab visinya ke dalam sejumlah standar dan standar turunan, serta mampu menerapkan, mengendalikan dan mengembangkan sejumlah standar dan standar turunan guna memenuhi kebutuhan stakeholder. Pencapaian tujuan penjaminan mutu dilakukan oleh SPMI untuk kemudian memperoleh akreditasi melalui sistem penjaminan mutu eksternal (SPME) oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) untuk akreditasi institusi dan Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi (LAM-PT) untuk akreditasi program studi.
Menurut Sumardjoko (2010) bahwa prinsip kendali mutu berbasis PDCA (Plan, Do, Check, and Action) mencakup beberapa unsur diantaranya: pertama quality first yakni semua pikiran dan pola tindakan pengelola pendidikan tinggi harus memprioritaskan mutu. Kedua, stakeholder-in yakni semua pikiran dan tindakan pengelola pendidikan harus ditujukan pada kepuasan stakeholders. Ketiga, the next process our is stakeholders yaitu setiap orang yang melaksanakan tugas dalam proses pendidikan tinggi harus menganggap orang lain yang menggunakan hasil pelaksanaan tugasnya sebagai stakeholder-nya yang harus dipuaskan. Keempat, speak with data yaitu setiap pelaksana pendidikan tinggi harus melakukan tindakan dan mengambil keputusan berdasarkan analisis data yang telah diperolehnya bukan berdasarkan rekayasa, dan kelima, upstream management, yaitu semua pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif bukan otoritatif.
Dengan demikian diharapkan perguruan tinggi dapat menghasilkan jasa akademik (kurikulum, silabus, bimbingan & praktikum), jasa administrasi (akademis dan keuangan), jasa ekstrakurikuler (olahraga, kesenian dan pengembangan karir), serta jasa penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang berupa konsep, ide, teori dan pengetahuan baru yang dapat berguna bagi lingkungan perguruan tinggi maupun masyarakat global. *** Semoga ***.    


ETIKA PROFESI PENDIDIK ENDANG KOMARA, Prof, Drs, Dr, M.Si Guru Besar Sosiologi Pendidikan Kopertis Wilayah IV Dpk pada STKIP Pasundan, Ketua STKIP Pasundan, Sekretaris Paguyuban Profesor Kopertis IV, Ketua Korpri Kopertis Wilayah IV



Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, megarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Tugas dan tanggung jawab guru sangat besar, namun tanggung jawab tersebut sesungguhnya bukan merupakan beban, tetapi kehormatan bagi guru untuk menumbuhkan generasi baru yang tercerdaskan. Pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada guru untuk terus meningkatkan kemampuan profesionalnya melalui kegiatan pengembangan keprofesian secara berkelanjutan. Peningkatan profesi guru dilakukan terus-menerus, secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing guru agar kemampuan profesi guru dapat terpelihara sesuai standar atau bahkan melebihi standar yang ditetapkan.
Jabatan guru merupakan sebuah profesi. Namun demikian, profesi ini tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya, bahkan boleh dikatakan bahwa profesi guru khusus dan luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menunjang tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bukan semata-mata segi materinya belaka.
Profesi guru harus dihargai dan dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini dimaksudkan karena guru merupakan tenaga profesional yang mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat penting dalam mencapai visi pendidikan 2025, yaitu menciptakan insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Hal tersebut sesuai dengan moto peringatakan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2017 yakni mempercepat pemerataan pendidikan secara berkualitas.
Konsep dasar etika profesi ini merupakan landasan penting bagi pendidik dan/atau tenaga kependidikan dalam memahami peranan guru dalam pembelajaran serta memahami etika profesi. Seperti dijelaskan oleh M. Hosnan (2016:7), bahwa etika profesi meliputi; pertama, memiliki kepribadian yang tangguh yang bercirikan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri. Kedua, memiliki wawasan kependidikan, psikologi, budaya, dan lingkungan. Ketiga, mampu melaksanakan praktik bimbingan dan konseling secara profesional. Keempat, mampu memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut bimbingan konseling. Kelima, mampu mengembangkan dan mempraktikkan kerjasama bidangnya dengan pihak yang terkait. Keenam, memiliki wawasan psiko-sosial kependidikan dan kemampuan memberdayakan warga belajar dalam konteks lingkungannya. Ketujuh, memiliki pengetahuan tentang hakikat, tujuan, prinsip evaluasi pendidikan.      
Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. Bahkan B. Kieser (1981) menuliskan: ‘’Seluruh ilmu dan usahanya hanya demi kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang yang menurut aturan-aturan kelompok (profesi luhur), para profesional wajib mempraktikan keahlian mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang profesional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan klien’’. Kedua, para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya, hal ini kita kenal sebagai kode etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam keadaan apa pun tetap menjunjung tinggi tuntutan profesinya.
Seorang guru yang mengajar karena panggilan jiwanya, ada misi untuk mengantarkan mereka (anak didiknya) kepada kehidupan yang lebih baik secara intelektual dan sosial, bukan sekedar karena profesi gurulah pekerjaan yag paling mudah didapatkan, maka ia akan dapat mengalirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, dan kemuliaan yang besar dalam dada setiap muridnya, bahkan sesudah ia meninggal. Guru yang mengajar dengan mental seorang pendakwah sekaligus pengasuh, bukan dengan mental tukang teriak untuk mendapat upah bulanan bernama gaji, akan mampu menyediakan cadangan energi agar tetap lembut menghadapi murid yang membuat keningnya berkeringat.
Guru selalu mendarmabaktikan tenaga dan pikirannya demi kemajuan pendidikan, dan mereka juga ikhlas dalam melakukannya. Guru juga tidak menuntut balas jasa, karena pekerjaan itu bukan bisnis yang harus ada kalkulasi untung dan rugi. Tapi yang dituntut ole guru cuma satu, yakni keadilan akan haknya sebagai warga negara, sebagai pegawai, dan sebagai pemangku profesi yang sangat mulia dan berat sekali tanggung jawabnya. Oleh karena itu, dalam sejarah pendidikan, tentu seorang gurulah yang paling awal muncul, baru kemudian murid dan infrastruktur lain yang terkait dengan paradigma pengelolaannya. Setelah terciptanya pendidikan, baru kemudian berkembang kurikulum yang berkaitan dengan manajemen lembaga pendidikan, seperti bangunan sekolah, kepala sekolah, karyawan, dan sebagainya.
Profesi merupakan panggilan hidup dan di dalamnya terdapat keahlian. Apapun kriteria yang  lainnya diperlukan untuk memperkuat kriteria itu. Kriteria ‘’panggilan hidup’’ sebenarnya mengacu pada pengabdian; atau yang sekarang dikenal dengan ‘dedikasi’. Sementara kriteria ‘keahlian’ mengacu pada mutu layanan, yakni mutu dedikasi tersebut. Kriteria ‘memiliki teori’, ‘kecakapan diagnostik dan aplikatif’, ‘otonomi’, ‘kode etik’ dan ‘pengenalan keahlian’, semuanya dapat dikatakan kriteria untuk memperkuat keahlian; sedangkan kriteria ‘untuk masyarakat dan klien’ merupakan kriteria untuk memperkuat dan memperjelas dedikasi.
Profesi harus mengakui kewajibannya dalam masyarakat dengan meminta anggotanya memiliki kode etik yang diterima dan dibangunnya. Prinsip profesional menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan pada pasal 5 ayat 1, yaitu: ‘’Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut: Pertama, memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme. Kedua, memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya. Ketiga, memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Keempat, memiliki kode etik profesi. Kelima, memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas. Keenam, memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya. Ketujuh, memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan. Kedelapan, memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kesembilan, memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum.       
Akhirnya mudah-mudahan dengan memahami profesi pendidik maka prinsip-prinsip etika profesi lebih mengedepankan tanggung jawab, keadilan serta otonomi yang akhirnya akan meningkatkan profesionalitas, kreativitas, produktivitas serta kinerja para pendidik dan tenaga kependidikan. *** Semoga ***.