Sabtu, 15 Januari 2011

PERANAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MENUMBUHKAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DI INDONESIA

I. Abstrak
Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Nilai-nilai demokrasi merupakan nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis, seperti kebebasan berpendapat, menghormati orang lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan. Kebebasan dalam demokrasi sesungguhnya bukan merupakan sebuah kebebasan yang mutlak, melainkan kebebasan yang memiliki koridor dan batasan, termasuk dibatasi oleh kebabasan yang dimiliki oleh orang lain.
II. Pendahuluan
Perlunya pendidikan karakter tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 33 dinyatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’’. Jika dicermati lima dari delapan potensi peserta didik yang perlu dikembangkan dalam Sistem Pendidikan Nasional tersebut sangat signifikan dengan revitalisasi pendidikan karakter di Indonesia.
Dalam instrumentasi dan praksis pendidikan nasional sudah dikembangkan program rintisan, walaupun belum secara sistemik menyeluruh, dengan fokus muatan yang cukup beragam, misalnya pertama pengembangan nilai esensial budi pekerti yang dirinci menjadi 85 butir (Dikdasmen: 1989 s/d 2007). Kedua, pengembangan nilai dan ethos demokratis dalam konteks pengembangan budaya sekolah yang demokratis dan bertanggung jawab (Dikdasmen: 1991 s/d 2007). Ketiga, pengembangan nilai dan karakter bangsa (Dikdasmen: 2001 s/d 20050. Keempat, pengembangan nilai-nilai anti korupsi yang mencakup jujur, adil, berani, tanggung jawab, mandiri, kerja keras, peduli, sederhana dan disiplin (Dikdasmen dan KPK: 2008 s/d 2009) serta pengembangan nilai dan perilaku keimanan dan ketaqwaan dalam konteks tauhidiyah dan religiositas sosial (Dikdasmen: 1998 s/d 2009). Di luar kegiatan tersebut sudah banyak juga sekolah-sekolah unggulan yang mengembangkan karakter secara terpadu dalam pelaksanaan pendidikannya. Banyak juga sekolah yang sederhana, pondok pesantren di daerah perdesaan yang mampu menumbuhkembangkan karakter peserta didik budaya sekolah atau pondok pesantren yang ternyata teladan guru atau ustadz sebagai kunci sukses sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Tantangan ke depan adalah bagaimana berbagi kesuksesan itu untuk membangun pendidikan karakter yang mampu menyentuh semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan di tanah air Indonesi ini.
Secara Akademis, pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan, baik-buruk, memelihara apa yang baik itu dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991), atau dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup moral judgement and moral behaviour baik yang bersifat prohibition oriented morality maupun pro-social morality (Piager, 1967; Kohlberg, 1975; Eisenberg-berg; 1981). Secara pedagogis, pendidikan karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic approach, dengan pengertian bahwa: ‘’Effective character education is not adding a program or set programs. Rather it is a transformation of the culture and life of the school’’ (Berkowitz dalam goodcharacter.com: 2010). Sementara itu Lickona (1992) menegaskan bahwa: ‘’In character education, it’s clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right even in the face or pressure form without and templatation from within. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, nampak jelas bahwa pendidikan nilai/moral memang sangat diperlukan atas dasar argumen: Pertama, adanya kebutuhan nyata dan mendesak; proses transmisi nilai sebagai proses peradaban. Kedua, peranan sekolah sebagai pendidik moral yang vital pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat. Ketiga, tetap adanya kode etik dalam masyarakat yang sarat konflik nilai. Keempat, kebutuhan demokrasi akan pendidikan moral. Kelima, kenyataan sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai. Keenam, persoalan moral sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan adanya landasan yang kuat dan dukungan luas terhadap pendidikan moral di sekolah.
Semua argumen tersebut tampaknya masih relevan untuk menjadi cermin kebutuhan akan pendidikan nilai/moral di Indonesia saat ini. Proses demokrasi yang semakin meluas dan tantangan globalisasi yang semakin kuat dan beragam di satu pihak dan dunia persekolahan dan pendidikan tinggi yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan dan mengabaikan pendidikan nilai/moral saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan melakukan gerakan nasional pendidikan karakter. Lebih jauh dari itu adalah Indonesia dengan masyarakatnya yang ber-Bhineka Tunggal Ika dan dengan falsafah negaranya Pancasila yang sarat dengan nilai dan moral, merupakan alasan filosofis-ideologis, dan sosial-kultural tentang pentingnya pendidikan karakter untuk dibangun dan dilaksanakan secara nasional dan berkelanjutan.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang. Karena itu pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa (nation character building) yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan pada tataran kognitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Indonesia dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian, harus diakui karena kondisi zaman yang berubah dengan cepat, maka upaya tersebut belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan tersebut. Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dirancang-ulang dan dikemas kembali dalam wadah yang lebih komprehensif dan lebih bermakna. Pendidikan karakter perlu direformulasikan dan dioperasionalisasikan melalui transformasi budaya dan kehidupan sekolah. Untuk itu, dirasakan perlunya membangun wacana dan sistem pendidikan karakter yang sesuai dengan konteks sosial kultural Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika dengan nilai-nilai Agama dan Pancasila sebagai sumber nilai dan rujukan utamanya.
Transisi demokrasi yang telah berlangsung beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dewasa ini semakin banyak partai politik yang bermunculan, baik sebelum pemilihan umum pada 1999 maupun sesudahnya. Badan legislatif, yang pada masa rezim Orde Baru relatif tunduk pada eksekutif, sekarang telah menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Setidaknya, keberanian berbeda pendapat dengan eksekutif semakin menonjol. Pada waktu yang sama, pihak eksekutif juga mulai menunjukkan penghargaan yang cukup sebagaimana diharapkan pihak legislatif. Kritik terhadap pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, juga semakin marak dan senantiasa memenuhi halaman surat kabar dan majalah. Bertambah pula Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baru yang memusatkan perhatian pada isu-isu tertentu yang terjadi sebagai akibat implementasi agenda pemerintahan.
Walaupun peningkatan kesadaran tentang nilai-nilai demokrasi terasa semakin marak di kalangan aktivis politik, LSM, intelektual, peneliti dan media massa, bukan berarti bahwa demokrasi telah benar-benar tegak di bumi Indonesia. Dewasa ini tindakan para politisi yang dapat dikategorikan sebagai penyimpangan masih saja terjadi. Setidaknya, masih sering dijumpai adanya upaya pemaksaan kehendak dengan kekerasan oleh orang-orang yang seakan berdiri di atas hukum; tindakan korupsi di kalangan pejabat justru semakin merajalela di tengah kritik masyarakat yang terus berdengung; dan ancaman terhadap hak asasi dan keamanan pun masih sering muncul, baik oleh aparat keamanan maupun oleh kalangan sipil terhadap sesama sipil. Walhasil, sekalipun bangsa ini telah bergerak meninggalkan era otoritarianisme, di beberapa kesempatan masih bermunculan tindakan yang anti demokrasi dalam berbagai bentuknya. Kondisi ini sudah tentu memerlukan penyegaran kembali berkenaan dengan apa yang disebut dengan nilai dan kondisi yang diperlukan untuk membangun tatanan demokrasi.
Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini, pemerintahan tersebut akan sulit ditegakkan. Nilai-nilai tersebut, antara lain, adalah kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang atau kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan. Di samping nilai-nilai tersebut di atas, diperlukan sejumlah kondisi agar nilai-nilai tersebut dapat ditegakkan sebagai pondasi demokrasi.
III. Pembahasan
1) Peran Pendidikan Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: ‘’di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia”.
Amanah UU Sisdiknas No. 20/2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan yang cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan oleh Dr. Martin Luther King, yakni intelligence plus character ... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter ... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Pendidikan karaakter adalah usaha untuk mencegah tumbuhnya sifat-sifat buruk yang dapat menutupi fitrah manusia, serta melatih anak untuk terus melakukan perbuatan baik sehingga mengakar kuat dalam dirinya sehingga akan tercermin dalam tindakannya yang senantiasa melakukan kebajikan.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Secara pedagogis pendidikan karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic approach dengan pengertian bahwa: ‘’Effective character education of the culture is not adding a program or set of programs. Rather it is a transformation of the culture and life of the school’’. (Berkowitz:2010) yakni efektifnya pendidikan karakter itu berasal dari budaya tidak berakhir pada sebuah program atau seperangkat program-program itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran pendidikan karakter sangat dibutuhkan dan sangat penting untuk disampaikan mulai pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Urgensi dari pelaksanaan komitmen nasional pendidikan karakter, telah dinyatakan pada Saresehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa pada Tanggal 14 Januari 2010 yakni, pertama pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. Kedua, pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh. Ketiga, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. Keempat, dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.
Kebutuhan tersebut bukan hanya dianggap penting tetapi sangat mendesak mengingat berkembangnya godaan-godaan (temptations) dewasa ini marak dengan tayangan dalam media cetak maupun non cetak (televisi dan jaringan maya lainnya) yang memuat fenomena dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan. Pendidikan karakter bangsa diharapkan mampu menjadi alternatif solusi berbagai persoalan tersebut. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan karakter yang perlu ditransformasikan sejak dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi secara holistik dan berkesinambungan.
Terdapat 9 (sembilan) pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggung jawab; (3) kejujuran/amanah dan diplomatis; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong-royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati dan; (9) karakter, toleran, kedamaian dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau disebut usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 (empat) tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 (delapan) tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter berkualitas juga perlu dibentuk dan dibina atau diberikan sejak anak usia dini, saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Pada usia inilah merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kela. Selain itu, menanamkan moral kepada generasi muda adalah usaha yang strategis. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Ada pepatah mengatakan bahwa mengajarkan anak-anak kecil ibaratnya menulis di atas batu, yang akan terus berbekas sampai tua. Sedangkan mengajarkan para orang dewasa diibaratkan seperti menulis di atas air yang akana cepat sirna dan tidak berbekas.

2) Nilai-Nilai Demokrasi di Indonesia
Sejarah republik ini agaknya mengikuti kemunculan ‘’gelombang baru’’ demokrasi di berbagai negara dunia selama dekade 1990-an. Kemunculan kembali negara-negara demokrasi baru di berbagai belahan dunia pada era pasca perang dingin (post cold war) menyulut perhatian publik dunia dan optimisme akademik akan masa depan demokrasi.
Kebebasan dalam demokrasi sesungguhnya bukan merupakan sebuah kebebasan yang mutlak, melainkan kebebasan yang memiliki koridor dan batasan, termasuk dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain. Kebebasan berpendapat sangat dihargai di alam demokrasi, karena kebebasan berpendapat ini merupakan hak setiap warga negara. Setiap warga negara dijamin hak-haknya untuk menyuarakan aspirasi dan gagasannya melalui berbagai macam saluran publik, seperti media massa, buku, karya seni, maupun melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen. Penindasan terhadap kebebasan berpendapat akan menyebabkan negara menjadi represif dan tidak dapat dikontrol, sehingga negara akan sangat mudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Akibatnya, demokrasi akan mati.
Menurut Asykuri ibn Chamim dkk (2003) nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang harus dikembangkan antara lain: kebebasan berpendapat-berkelompok-berpatisipasi; menghormati orang/kelompok lain; kesetaraan; kerjasama; persaingan; dan kepercayaan. Untuk lebih jelasnya penulis uraikan sebagai berikut:
Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak bagi warga negara biasa yang wajib dijamin oleh undang-undang dalam sebuah sistem politik yang demokratis (Dahl, 1971). Kebebasan ini diperlukan karena kebutuhan untuk menyatakan pendapat senantiasa muncul dari setiap warga negara dalam era pemerintahan terbuka saat ini. Dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini, perubahan politik, sosial, ekonomi, budaya, agama dan teknologi seringkali menimbulkan persoalan bagi warga negara maupun masyarakat pada umumnya. Jika persoalan tersebut sangat merugikan hak-hak warga negara, atau warga negara berharap agar kepentingannya dipenuhi oleh negara,. Dengan sendirinya warga negara berhak untuk menyampaikan keluhan tersebut secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah.
Berkelompok dalam suatu organisasi merupakan nilai dasar demokrasi yang diperlukan bagi setiap warga negara (Dahl, 1971). Kebebasan berkelompok ini diperlukan untuk membentuk organisasi mahasiswa, partai politik, organisasi massa, perusahaan, dan kelompok lain. Kebutuhan berkelompok merupakan naluri dasar manusia yang tak mungkin diingkari. Masyarakat primitif berkelompok dalam mencari makan dan perlindungan dari kejaran hewan liar maupun kelompok lain yang jahat.
Dalam era modern, kebutuhan berkelompok ini tumbuh semakin kuat. Persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang sedemikian kompleks seringkali memerlukan organisasi untuk menemukan jalan keluar. Ketika bajir melanda suatu daerah, upaya menyelamatkan dan pemberian bantuan akan lebih cepat bila dilakukan secara berkelompok. Pemilihan presiden memerlukan keterlibatan partai politik sebagai kelompok untuk mengumpulkan dukungan maupun dana untuk berkampanye. Seorang calon presiden sudah tentu tidak mungkin mencalonkan dirinya sendiri kecuali dicalonkan oleh partainya. Berkelompok merupakan cara kuno dan sekaligus modern untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat.
Kebebasan berpartisipasi ini sesungguhnya merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat dan berkelompok. Jenis partisipasi pertama adalah pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pemilihan anggota DPR maupun pemilihan presiden. Di negara-negara demokrasi yang sedang berkembang seperti Indonesia, pemberian suara sering dipersepsikan sebagai wujud kebasan berpartisipasi politik yang paling utama. Pada umumnya, negara demokrasi yang baru berkembang senantiasa mengharapkan agar jumlah pemilih atau partisipan dalam pemberian suara dapat mencapai suara sebanyak-banyaknya. Harapan yang sangat tinggi terhadap jumlah pemilih yang mendekati maksimal ini merupan warisan dari era otoriter. Pada masa otoriter, semakin banyak pemilih semakin besar kebanggaan rezim yang merasa mendapatkan dukungan luar dari pemilih. Oleh karena itu, intimidasi terhadap warga negara sering dijadikan sarana untuk mendongkrak dukungan masyarakat.
Bentuk partisipasi kedua yang belum berkembang luas di negara demokrasi baru adalah apa yang disebut sebagai kontak atau hubungan dengan pejabat pemerintah. Kontak langsung dengan pejabat pemerintah ini akan semakin dibutuhkan, karena kegiatan pemberian suara secara reguler (pemilihan anggota DPR/presiden) dalam perkembangannya tidak akan memberikan kepuasan bagi masyarakat. Sebagai misal, seorang anggota DPR yang terpilih belum tentu dapat memenuhi sebagian besar harapan dan tuntutan masyarakat. Bahkan, presiden yang dipilih secara langsung pun bukan jaminan bahwa pemerintah yang kemudian dibentuk oleh presiden, dalam hal ini birokrasi, akan meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Keadaan ini membuat upaya mengontak langsung para pejabat merupakan kebutuhan semakin mendesak.
Kesetaraan atau egalitarianisme merupakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Kesataraan di sini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara. Kesetaraan memberi tempat bagi setiap warga negara tanpa membedakan etnis, bahasa, daerah maupun agama. Nilai ini diperlukan bagi masyarakat heterogen seperti Indonesia yang multi etnis, multi bahasa, multi daerah, dan multi agama. Heterogenitas masyarakat Indonesia seringkali mengundang masalah, khususnya bila terjadi miskomunikasi antar kelompok yang kemudian berkembang luas jadi konflik. Nilai-nilai kesetaraan perlu dikembangkan dan dilembagakan dalam semua sektor pemerintahan dan masyarakat. Diperlukan usaha keras agar tidak terjadi diskriminasi atas kelompok etnis, bahasa, daerah, atau agama atertentu, sehingga hubungan antar kelompok dapat berlangsung dalam suasana egaliter.
Kesataraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, di mana kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama di depan hukum, karena laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk sosial. Laki-laki maupun perempuan memiliki akses yang sama dalam politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu demokrasi tanpa kesetaraan gender akan berdampak pada ketidakadilan. Dalam konteks masyarakat Indonesia, budaya patriarhat masih cukup kuat. Di kalangan masyarakat masih terjadi domestifikasi perempuan yang cukup kuat, di mana perempuan hanya memiliki peran kerumahtanggaan. Di bidang politik, konstruksi sosial masih menempatkan perempuan sebagai pihak nomor dua. Dalam proses pencalonan anggota legislatif, misalnya perempuan kurang banyak diperhitungkan dalam proses pencalonan itu. Di bidang ekonomi, perempuan juga memiliki akses yang relatif terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki. Banyak perusahaan lebih memilih untuk menerima karyawan laki-laki daripada perempuan. Bahkan, di beberapa perusahaan terjadi diskriminasi upa antara buruh laki-laki dan buruh perempuan atau sebaliknya.
Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki kedaulatan. Hal ini berarti bahwa rakyat berdaulat dalam menentukan pemerintahan. Warga negara sebagai bagian dari rakyat memiliki kedaulatan dalam pemilihan yang berujung pada pembentukan pemerintahan. Pemerintah dengan sendirinya berasal dari rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Rasa ketergantungan pemerintah kepada rakyat inilah yang kemudian menghasilkan nakna akuntabilitas. Politisi yang accountable adalah politisi yang menyadari bahwa dirinya berasal dari rakyat. Oleh karena itu, ia wajib mengembalikan apa yang diperolehnya kepada rakyat. Politisi yang demikian cenderung mengabaikan sama sekali warga negara yang telah memilihnya dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Kedulatan rakyat hanya dapat ditegakkan bila para politisi menyadari asal-usul dirinya dan menunjukkan tanggung jawabnya sebagai rakyat.
Rasa saling percaya (trust) antar kelompok masyarakat merupakan nilai dasar lain yang diperlukan agar demokrasi terbentuk. Sebuah pemerintahan demokrasi akan sulit berkembang bila rasa saling percaya satu sama lain tidak tumbuh. Bila yang ada adalah ketakutan, kecurigaan, kekhawatiran, dan permusuhan, hubungan, antar kelompok masyarakat akan terganggu secara permanen. Kondisi ini sangat merugikan keseluruhan sistem sosial dan politik. Dalam proses pemerintahan, misalnya bagaimana mungkin sebuah pemerintahan berjalan bila tiada ada rasa percaya satu sama lain di kalangan politisi? Rasa percaya ini akan semakin diperlukan sejalan dengan semakin kompleksnya persoalan bangsa yang memerlukan penyelesaian secara benar. Rasa percaya antar kelompok masyarakat merupakan minyak pelumas untuk melancarkan relasi sosial politik yang ada dalam masyarakat yang sering terhalang oleh rasa ketakutan, kecurigaan, dan permusuhan yang berpotensi memandekkan proses demokratisasi.
Kerjasama diperlukan untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi, kerjasama hanya mungkin terjadi jika setiap orang atau kelompok bersedia untuk mengorbankan sebagian dari apa yang diperoleh dari kerjasama tersebut. Kerjasama bukan berarti menutup munculnya perbedaan pendapat antar individu atau antar kelompok. Tanpa perbedaan pendapat, demokrasi tidak mungkin berkembang. Perbedaan pendapat ini dapat mendorong setiap kelompok untuk bersaing satu sama lain dalam mencapai tujuan yang lebih baik. Kerjasama saja tidak cukup untuk membangun masyarakat terbuka. Diperlukan kompetisi satu sama lain sebagai pendorong bagi kelompok untuk meningkatkan kualitas masing-masing. Kompetisi menuju sesuatu yang lebih berkualitas sangat diperlukan, sementara kerjasama diperlukan bagi kelompok untuk menopang upaya persaingan dengan kelompok lain.


IV. Penutup
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka penulis simpulkan ke dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada peserta didik adalah nilai-nilai universal yang mana seluruh agama, tradisi dan budaya pasti menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku dan agama.
2) Nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam pendidikan karakter adalah cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran/amanah dan bijaksana, hormat dan santun, dermawan suka menolong dan gotong royong, percaya diri/kreatif dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, toleransi dan kedamaian dan kesatuan.
3) Nilai-nilai demokrasi yang perlu dikembangkan adalah kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan, pertumbuhan ekonomi, pluralisme, hubungan negara dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Chamim, ibn Asykuri dkk. 2003. Civic Education: Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi , Penelitian dan pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dahl, Robert. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition. New Haven: Yale University Press.
Depdiknas. 2010. Grand Design Pendidikan Karakter. Jakarta.

2 komentar:

  1. Seperti dilemparkan ke masa lalu, ketika kita dididik oleh suatu budaya yang masih "jernih", dimana pendidikan akhlaq begitu dijunjung tinggi ...sehingga tak salah ketika Syauqe Bey, seorang penyair Mesir, berucap:.."Begitu banyak bangsa yang hancur binasa ketika tidak ada akhlaq yang baik padanya..."
    Terima kasih atas pencerahannya.

    BalasHapus
  2. Akhlak [akhlaq] adalah bentuk jamak dari kata khuluq yang kalau dihubungkan dengan manusia, kata khuluq adalah lawan kata khalq . Jasmani apabila tersusun dengan rapi dan baik maka disebut Husnul Khalq [baik ciptaannya, bentuknya] yaitu gambaran lahiriahnya baik. Begitu pula gambaran batin manusia, apabila tersusun dari sifat-sifat yang indah, pribadi yang baik dan perilaku yang mulia maka gambaran batinnya baik, dan itulah yang disebut Husnul Khuluq [akhlak yang baik]. Gambaran batin itulah yang dilihat oleh Allah SWT, dan dengan gambaran itu pula , manusia dibangkitkan kelak di hari Kiamat.

    BalasHapus