Senin, 19 November 2018

PENDIDIKAN KARAKTER DAN PEMBELAJARAN ABAD 21

ABSTRAK
Pendidikan karakter kini dipandang sebagai solusi cerdas dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa. model pembelajaran dan pengajaran pendidikan budaya serta pendidikan karakter atau membangun karakter (character building) ini menjadi program penting yang telah terintegrasi dalam kebijakan penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.
Dalam menghadapi tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru profesional sudah selayaknya harus dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut. Sebagian besar literatur memapatkan dan memprediksi kompetensi yang diperlukan pada abad 21 adalah kompetensi dasar yang mudah beradaptasi, kompetensi profesional sesuai dengan bidang ilmu dan literasi teknologi informasi dan komunikasi.
Katakunci: Pendidikan, Karakter, Pembelajaran, Abad 21.

ABSTRACT
Character education is now seen as a smart solution in overcoming various problems facing the nation. the model of learning and cultural teaching as well as character education or character building is an important program that has been integrated in the policy of implementing basic, secondary and tertiary education.
In facing the challenges of advancing science and technology professional teachers should be able to adjust to these challenges. Most of the literature presents and predicts the competencies needed in the 21st century is basic competencies that are easy to adapt, professional competencies in accordance with the fields of science and literacy of information and communication technology.
Keywords: Education, Character, Learning, 21stCentury.

I.              PENDAHULUAN
Pendidikan karakter adakah suatu istilah yang luas yang digunakan untuk menggambarkan kurikulum dan ciri-ciri organisasi sekolah yang mendorong pengembangan nilai-nilai fundamental anak-anak di sekolah. Dikatakan istilah yang luas karena mencakup berbagai subkomponen yang menjadi bagian dari program pendidikan karakter seperti pembelajaran dan kurikulum tentang keterampilan sosial, pengembangan moral, pendidikan nilai, pembinaan kepedulian, dan berbagai program pengembangan sekolah yang mencerminkan beraktivitas yang mengarah pada pendidikan karakter.  
Seperti halnya Parpez yang telah menjabarakan beberapa dimensi karakter, Berkowitz and Bier (2005:2-3) antara lain: Pertama, pendidikan karakter merupakan gerakan nasional dalam menciptakan sekolah untuk mengembangkan peserta didik dalam memiliki etika, tanggung jawab, dan kepedulian dengan menerapkan dan mengajarkan karakter yang baik melalui penekanan pada nilai-nilai universal. Pendidikan karakter adalah usaha yang disengaja, proaktif yang dilakukan oleh sekolah dan pemerintah (daerah dan pusat) untuk menanamkan nilai-nilai inti, etis seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap diri dan orang lain (Character Education Partnership). Kedua, pendidikan karakter adalah mengajar peserta didik tentang nilai-nilai dasar kemanusiaan termasuk kejujuran, kebaikan, kemurahan hati, keberanian, kebebasan, kesetaraan, dan penghargaan kepada orang lain. Tujuannya adalah untuk mendidik anak-anak menjadi bertanggung jawab secara moral dan warga negara yang disiplin (Association for Supervision and Curriculum Development). Ketiga pendidikan karakter dalam usaha yang disengaja untuk mengembangkan karakter yang baik berdasarkan nilai-nilai inti yang baik untuk individu dan baik untuk masyarakat (Thomas Lickona). Keempat, pendidikan karakter adalah pendekatan apa saja yang disengaja oleh personal sekolah, yang sering berhubungan dengan orang tua dan anggota masyarakat, membantu peserta didik dan remaja menjadi peduli, penuh prinsip, dan bertanggung jawab (National Commision on Character Education).
            Berdasarkan definisi di atas, terdapat beberapa nilai universal yang menjadi tujuan untuk dikembangkan pada diri peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Nilai-nilai inti universal yang dimaksud adalah beretika, bertanggung jawab, peduli, jujur, adil, apresiatif, baik, murah hati, berani, bebas, setara, dan penuh prinsip. Karakter seperti ini seharusnya menjadi bagian yang terintegrasi dalam perwujudan diri peserta didik  dalam berpikir, berkehendak, dan bertindak. Walaupun pengertian tersebut telah menekankan pada nilai universal atau nilai inti dari pendidikan karakter, namun mereka masih menyiratkan adanya perbedaan focus kajian, apakah kajian pendidikan karakter itu ditekankan pada spek kebajikan (virtue), perilaku (behavior), atau dari aspek kapasitas penalaran (reasoning capacity).
Pembelajaran Abad 21 disebut juga Learning and Innovation Skills (4Cs), yakniCritical thinking, Communication, Collaboration, Creativity. Framework tersebut secara umum menunjukkan bahwa pendidikan abad 21 akan didominasi oleh pendidikan yang berbasis ICT. Kompetensi inti, seperti membaca, menulis dan berhitung yang diperoleh selama mengikuti pendidikan akan menjadi dasar kompetensi lainnya, keterampilan yang dibutuhkan pada abad 21 meliputi: Pertama, learning and innovation skills; kedua, information, media and technology skillsdan ketiga, life and carrer skills. Tiga keterampilan tersebut dapat berkembang jika sekolah memiliki lingkungan kerja yang memadai untuk belajar dan berinovasi, menyediakan program (kurikulum) peningkatan guru serta memberi penilaian yang memacu guru untuk berprestasi.
Selain kompetensi dasar yang dirumuskan oleh APEC, Bernie dan Charles (2011, dalam Djoko Sutrisno, 2012) mengidentifkasi beberapa keterampilan yang hamper sama untuk tetap survive di abad 21. Guru diharapkan memiliki keterampilan tersebut supaya dapat bekerja lebih kompeten dan kompetitif. Keterampilan penting yang diprioritaskan untuk dikuasi oleh guru pada masa depan adalah digital age literacy, inventive thinking, effective communication, dan high productivity (Surya, 2013).  

II.             PEMBAHASAN
A.   Pendidikan Karakter
Pembangunan karakter bangsa dipandang sebagai upaya kolektif sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Kementerian Koordinator Kesjahteraan Rakyat, 2010:7-8).
Pembangunan dan pendidikan moral/karakter dengan berbagai nama dan metode sudah dilakukan semenjak awal kemerdekaan. Masa Orde Lama, dan Orde Baru, namun belum memberikan hasil yang seperti diharapkan. Misalnya Orde Baru melalui penataran P-4 ( Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dating dengan semangat menjadikan rakyat Indonesia sebagai menusia Pancasila. Semangatnya secara filosofi sudah betul seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, tapi metodenya bermasalah karena dilakukan dengan cara-cara indoktrinasi. Sementara itu dipersekolahan diajarkan Pendidikan Moral Pancasila, tetapi dengan penekanan padamoral knowing (kognitifdan mengabaikan moral feeling dan moral action (afektif dan psikomotor), sehingga hasilnya tidak efektif dalam pembentukan karakter.
Model pendidikan karakter seperti apa yang ditawarkan sekarang sehingga membedakan dari praktik moral education yang telah dilakukan selama ini dan sekaligus juga menjadi pembeda dari pendidikan karakter di berbagai negara lain. Bagaimana prinsip pengembangan, pendekatan apa yang dilakukan, nilai substansi apa saja yang ingin dihabituasi, bagaimana strategi dan pentahapannya, serta bagaimana langkah konkretnya dalam perencanaan aksi. Secara teoretik tentu jawabannya adalah metode sebagai pembeda, di mana pendidikan karakter melibatkan bukan saja aspek ‘’knowing the good’’ (moral knowing), tetapi juga ‘’desiring the good’’ atau ‘’loving the good’’ (moral feeling) dan ‘’acting the good’’ (moral action). Beberapa mengatakan ini adalah pendidikan moral plus. Karena pendidikan karakter yang hanya membelajarkan siswa moral knowing, tidak menjamin seseorang dapat berkarakter, yaitu orang yang sesuai antara pikiran, kata dan tindakan. Wynne (1991) mengatakan bahwa 95% kemungkinan kita semua tahu mana perbuatan baik dan buruk. Masalahnya adalah kita tidak mempunyai keinginan kuat, atau komitmen untuk melakukannya dalam tindakan nyata.
Menurut Dewantara (1962) metode pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa Timur. Bangsa yang hidup dalam khasanah nilai-nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih saying, cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan tindakan. Nilai-nilai itu disemai dan melalui pendidikan sejak usia dini anak. Dalam praksis penyemaian nilai-nilai itu, pendidik menempatkan siswa sebagai subyek, bukan obyek pendidikan. Artinya, siswa diberi ruang yang seluasnya untuk melakukan eksplorasi potensi dirinya dan kemudian berekspresi secara kreatif, mandiri dan bertanggung jawab. Pendidikan dilaksanakan melalui tiga semboyan, yaitu: 1) Îng Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan. Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya; 2) Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dna terus-menerus membangun semangat dan ide-ide mereka untuk berkarya; 3) Tut Wuri Handayani, artinya seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang dan menunjuk arah yang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya. Metode pendidikan yang dikembangkan, yang sepadan dengan makna ‘’pedagogik’’,yakni Momong, Among dan Ngemong yang berarti bahw apendidikan itu bersifat mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia nilai-nilai. Praksis pendidikan dalam perspektif ini memang mementingkan ketertiban, tapi pelaksanaannya bertolak dari upaya membangun kesadaran, bukan berdasarkan paksaaan yang bersifat ‘’hukuman’’. 
Tidak ada petunjuk teknis yang paling efektif untuk dilakukan dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter. Tidak terdapat juga strategi pelaksanaan yang bisa berlaku umum yang sesuai dengan seluruh kondisi lingkunga sekolah. Analisis kebutuhan merupakan cara yang baik untuk dilakukan sebelum lebih jauh mengimplementasikan pendidikan karakter. Namun secara teoretis terdapat beberapa prinsip yang dapat digeneralisasi untuk mengukur  tingkat keberhasilan suatu pelaksanaan pendidikan karakter. Lickona, Schaps. Dan Lewis (2010) dalam CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education menguraikan sebelas prinsip dasar dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter. Kesebelas prinsip yang dimaksud adalah:
1.    Komunitas sekolah mengembangkan nilai-nilai etika dan kemampuan inti sebagai landasan karakter yang baik.
2.    Sekolah mendefinisikan karakter secara komprehensif untuk memasukkan pemikiran, perasaan, dan perbuatan.
3.    Sekolah menggunakan pendekatan komprehensif, sengaja, dan proaktif untuk pengembangan karakter.
4.    Sekolah menciptakan masyarakat peduli karakter.
5.    Sekolah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan tindakan moral.
6.    Sekolah menawarkan kurikulum akademik yang berarti dan menantang yang menghargai semua peserta didik mengembangkan karakter, dan membantu mereka untuk mencapai keberhasilan.
7.    Sekolah mengembangkan motivasi diri peserta didik.
8.    Staf sekolah adalah masyarakat belajar etika yang membagi tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan karakter dan memasukkan nilai-nilai inti yang mengarahkan peserta didik.
9.    Sekolah mengembangkan kepemimpinan bersama dan dukungan yang besar terhadap permulaan atau perbaikan pendidikan karakter.
10. Sekolah melibatkan anggota keluarga dan masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11. Sekolah secara teratur menilai dan mengukur budaya dan iklim, fungsi-fungsi staf sebagai pendidik karakter serta sejauh mana peserta didik mampu memanifestasikan karakter yang baik dalam pergaulan sehari-hari.     
 Pertama, komunitas sekolah yang dimaksud dalam prinsip pertama di atas terdiri atas kepala sekolah, staf administrasi, staf pengajar, dan berbagai komponen lain yang memiliki hubungan langsung dengan sekolah. Komunitas tersebut secara bersama-sama mengembangkan nilai-nilai inti etika seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, pertanggungjawaban, dan penghargaan pada diri sendiri dan orang lain. Di samping itu, mereka juga mengembangkan nilai-nilai kinerja (kemampuan) yang mencakup ketekunan, upaya baik, kegigihan, pikiran kritis, dan sikap-sikap positif.
Kedua,mendefinisikan karakter secara mendalam merupakan tugas yang perlu dilakukan sekolah dalam membangun karakter peserta didik. Karakter yang baik mencakup pemahaman, kepedulian, dan tindakan atas dasar nilai-nilai inti etika dan nilai-nilai kinerja. Pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai inti etika dan nilai-nilai kinerja merupakan titik awal terbangunnya kapasitas individu dalam memandang nilai-nilai hakiki yang harus menjadi pijakan dalam setiap mengkaji dan memilih sesuatu. Kepedulian juga  merupakan sikap terbaik yang harus direfleksikan dalam setiap aktivitas, berkeinginan kuat untuk mendemontrasikan, menghargai setiap ada tindakan yang baik yang mencerminkan nilai-nilai hakiki karakter, dan tetap memiliki komitmen yang kuat untuk selalu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai karakter yang baik. Begitu pula dengan tindakan nyata untuk selalu melaksanakan dan mempraktikkan nilai-nilai hakiki karakter sehingga terjadi penguatan secara terus-menerus yang pada akhirnya menjadi kebiasaan dan pola-pola perilaku yang baik.
Ketiga, membangun karakter yang baik perlu menggunakan pendekatan proaktif dan terencana dalam mengakomodasi semua tingkatan kelas dalam satuan pendidikan. Dikatakan pendekatan proaktif karena dilakukan secara intensif tanpa harus menunggu ada masalah yang timbul, tetapi langsung bertindak baik dilakukan untuk memberi penguatan terhadap terbentuknya nilai-nilai hakiki karakter maupun untuk mencegah timbulnya penyimpangan dari karakter yang baik sebagai akibat dari berbagai pengaruh lingkungan. Dikatakan terencana karena pembangunan karakter harus didesain dalam upaya menciptakan kondisi yang baik dalam lingkungan sekolah bahkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Keempat,menciptakan kondisi sekolah yang peduli terhadap terbentuknya pribadi peserta didik yang bertanggung jawab, tekun, jujur, adil sesuai dengan nilai-nilai hakiki karakter seperti telah dijelaskan sebelumnya merupakan kepedulian guru, kepala sekolah, dan seluruh staf yang ada. Sekolah ibaratnya sebagai suatu mikro kosmos terhadap bangunan kepedulian, di mana prioritas utamanya adalah hadirnya kepedulian pendidik terhadap peserta didik, kepala sekolah kepada stafnya, peserta didik yang satu dengan yang lainnya, termasuk dalam membangun langkah-langkah pencegahan terhadap timbulnya tindakan kasar dan anarkis yang membawa dampak negative bagi berkembangnya budaya yang mencerminkan nilai-nilai hakiki pendidikan karakter.
Kelima,memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bertindak secara etis. Dalam domain intelektual, pserta didik merupakan pemelajar konstruntivis, di mana peserta didik belajar melalui tindakan nyata. Tentu saja sekolah harus menyediakan sarana dan prasarana untuk menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya sehingga aspek-aspek kemampuan kognitif, emosional, dan behaviora terejawantahkan dalam aktivitas peserta didik sehari-hari.
Keenam,mengingat keberadaan peserta didik dalam sekolah berasal dari latar belakang, kemampuan dan keterampilan, bakat dan minat, gaya dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda, program akademik seperti halnya kurikulum dan kegiatan pembelajaran harus di desain untuk memenuhi kebutuhan individu peserta didik. Oleh karena itu, sekolah seharusnya berperan dalam mengembangkan program akademik sekolah yang memberikan tantangan yang berarti dan sesuai kepada peserta didik. Selain itu, sekolah juga mengidentifikasi, memahami, dan mengakomodasi berbagai perbedaan bakat dan minat, budaya dan kebutuhan belajar peserta didik. Sekolah juga harus berperan aktif dalam mengembangkan kinerja peserta didik dan mendukung pertumbuhan kapasitas intelektual, kemampuan akademik, dan kapasitas untuk mengatur diri pribadi peserta didik dan budaya kerja sama.
Ketujuh,motivasi diri peserta didik harus menjadi prioritas dalam mengembangkan pendidikan karakter, karena filosofi karakter itu sendiri adalah melakukan sesuatu yang baik dan pekerja yang baik sekalipun tidak seorang pun yang melihatnya. Untuk membangkitkan motivasi peserta didik, sekolah seharusnya merayakan keberhasilan peserta didik di dalam melakukan sesuatu yang mencerminkan nilai hakiki dari karakter dan memberikan penghargaan yang bernilai daripada harus memberikan hadiah dalam bentuk materi. Hal ini dilakukan karena mengapresiasi terhadap prestasi, hak-hak, dan kebutuhan orang lain dengan memberikan penghargaan yang bernilai tinggi dapat membangkitkan semangat dan motivasi yang luar biasa bagi peserta didik ketimbang menanamkan ketakutan terhadap hukuman atau pengharapan terhadap pemberi hadiah.
Kedelapan,sekolah sebagai komunitas belajar etika harus memprakarsai terbangunnya kerjasama yang paling utamanya bagi seluruh staf seperti guru, staf administrasi, kepala sekolah, pengawas, komite sekolah, para profesional, psikolog atau bimbingan konseling sekolah, penggiat social yang membantu pengembangan sekolah, juru rawat, sekretaris, pekerja kafetaria, tenaga bantu, satpam, sopir bus sekolah, dan tenaga kebersihan terlibat secara langsung dalam mempelajari sesuatu, mendiskusikan, dan mengambil yang terkait dengan nilai-nilai hakiki karakter dan membangun rasa memiliki terhadap upaya pendidikan karakter yang terdapat di sekolah.
Kesembilan,sekolah yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan karakter secara efektif memiliki pemimpin atau kepala sekolah yang memiliki visi yang jelas dan membagi kepemimpinannya dengan semua stakeholder. Artinya, kepala sekolah membangun visi bersama dan berpikir sistem, serta membagi  tanggung jawab dan kewenangan dengan semua komponen yang terlibat dalam pendidikan karakter. Banyak kepala sekolah khususnya di Indonesia yang cenderung merancang visi pribadi yang hanya diketahui oleh wakil kepala sekolah dan tidak disosialisasikan kepada staf, guru, peserta diri, apalagi para orang tua dan berbagai komponen lain. Sekolah yang menerapkan pendidikan karakter seharusnya meninggalkan sistem kepemimpinan autokratik dan menganut sistem kepemimpinan demokratis.
Kesepuluh,sekolah yang melibatkan keluarga dan memasukkan mereka dalam upaya pembangunan karakter lebih  dapat meningkatkan kesempatan untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter daripada sekolah lain yang tidak membagi program akademik sekolah dengan keluarga atau para orangtua murid. Bagi sekolah yang telah merancang suatu kegiatan bersama dengan keluarga dapat membangun komunikasi melalui surat berita (newsletter) yang diterbitkan secara rutin, e-mail, web site, pentas seni (yang semua pelakunya adalah keluarga), dan konferensi bersama orang tua siswa. Yang terakhir ini mungkin tidak begitu umum di Indonesia karena tradisi konferensi belum terbangun dengan baik. Konferensi yang dimaksud di sini adalah kegiatan berkala yang dilakukan oleh guru untuk mengundang para orang tua untuk berhadapan langsung dengan guru di ruang kelas guna membicarakan karakter, kebiasaan belajar, termasuk prestasi peserta didik. Biasanya guru menjadwalkan waktu pertemuan untuk setiap keluarga yang berlangsung di dalam ruang kelas.
Kesebelas,efektivitas suatu program pendidikan karakter tergantung pada system evaluasi yang secara terus menerus dilakukan. Evaluasi dapat menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan berbagai bentuk, seperti skor tes akademik, focus pada kelompok, atau dengan survei tergantung dari variable atau komponen yang diukur. Krikpatrick (2006) menganjurkan penggunaan empat level evaluasi, seperti reaksi, belajar (pemahaman dan penguasaan), perilaku, dan hasil belajar.

B.  Pembelajaran Abad 21
Dalam menghadapi tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru professional sudah selayaknya harus dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut, terlebih kompetensi  yang diperlukan pada abad 21 adalah kompetensi dasar yang mudah beradaptasi, kompetensi professional sesuai dengan bidang ilmu dan literasi teknologi informasi dan komunikasi. Menurut APEC kompetensi yang dibutuhkan abad 21 Learning and Innovation Skills - 4 Cs, yakni Crticial Thinking, Communication, Collaboration, Creativity.
Seseorang yang ingin sukses di masa depan disarankan menguasai teknologi digital (digital literacy). Guru yang cerdas akan mampu berpikir kritis dalam memecahkan masalah serta kreatif dan inovatif dalam bekerja. Jika kompetensi tersebut disertai dengan kemampuan berkomunikasi efektif (mampu menyampaikan atau menerima gagasan secara lisan dan tertulis) serta mampu bekerja sama dengan orang lain, maka tantangan seberat apa pun niscaya akan dapat dilalui oleh guru. Menurut Suyanto (2007), guru yang profesional adalah guru yang selalu berubah dari praktik lama, bahkan mau dan mampu meninggalkan metode dan resep-resep sukses di masa lampau untuk menghadapi berbagai tantangan masa kini dan masa yang akan dating. Karakteristik keterampilan yang diperlukan guru abad 21 dapat diuraikan sebagai berikut:
1.    Learning and innovation adalah mau belajar dan berinovasi secara terus menerus. Ciri-ciri orang mau belajar dan berinovasi adalah dapat berpikir kritis dalam memecahkan masalah, kreatif dan inovatif dalam bekerja, dapat berkomunikasi secara efektif dan mampu bekerja sama atau berkolaborasi dengan teman sejawat, kolega maupun atasan.
2.    Digital literacyadalah orang yang mampu menguasai teknologi digital, seperti mengetahui banyak informasi, menguasai berbagai macam media digital dan menguasai ICT.
3.    Carrer and life adalah orang yang berorientasi pada karier dan kehidupan bermasyarakat. Orang yang berorientasi kehidupan akan memiliki ciri-ciri fleksibel/luwes dalam bergaul dan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan, memiliki inisiatif dan dapat mengarahkan pada diri sendiri (self direction), dapat berinteraksi lintas social dan budaya. Orang yang berorientasi pada karir akan memiliki produktivitas dan akuntabilitas kerja yang tinggi serta memiliki jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab yang tinggi pula.
Menurut Hosnan ( 2016:175-176), dalam menghadapi tantangan abad 21 dari ketiga hal di atas masih terdapat 10 kompetensi yang diharapkan untuk masa depan depan antara lain:
a.    Kemampuan berkomunikasi.
b.    Kemampuan berpikir jernih dan kritis.
c.     Kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan.
d.    Kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
e.    Kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda.
f.     Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal.
g.    Memiliki minat luas dalam kehidupan.
h.    Memiliki kesiapan untuk bekerja.
i.     Memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya.
j.     Memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan. 
Berdasarkan kajian arah perkembangan teknologi dan rencana strategis pemerintah yang berdampak pada sekolah, pembelajaran yang perlu disiapkan oleh guru dalam memasuki abad 21 antara lain:
(1) Inventive Thinking, kesuksesan berkarier dapat dicapai dengan cara bekerja keras.pada umumnya orabg yang sukses adalah orang yang bekerja melebihi apa yang ditugaskan kepada dirinya. Selain kerja keras, sukses juga dicapai dari kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam pekerjaan yang ditekuninya. Beberapa kompetensi kerja yang perlu ditingkatkan oleh guru untuk mencapai kesuksesan di abad 21 adalah, pertama, Adaptabilitykemampuan beradaptasi dengan perubahan teknologi, lingkungan sosial budaya dan kebijakan pemerintah. Jika terdapat perubahan kebijakan, maka teknologi dan peraturan guru segera dapat menyesuaikan diri. Kedua Curiosity memiliki rasa ingin tahu dan ingin belajar terhadap hal-hal baru. Guru dituntut segera mempelajari teknologi baru dan meninggalkan teknologi lama yang sudah tidak relevan dengan kebutuhan sekarang. Ketiga, Creativity kemampuan untuk menggunakan imajinasi, daya piker untuk menciptakan karya baru khususnya karya teknologi yang berguna untuk pembelajaran maupun masyarakat luas. Keempat, Risk-taking keberanian mengambil keputusan yang mengandung risiko. Orang-orang yang berani mengambil risiko adalah orang yang dapat menyelesaikan masalah secara kreatif (creative problem-solving) dan berpikir logis sehingga menghasilkan keputusan yang kuat. Berani mengambil risiko harus disertai kemampuan mengatasi atau menyelesaikan masalah yang penuh risiko sehingga tidak mengorbankan pihak manapun.
(2) Digital Age Literacy. Teknologi informasi dan komunikasi membawa dampak besar dalam kehidupan manusia, khususnya dunia pendidikan. Di masa depan, guru yang tidak menguasai TIK akan semakin jauh tertinggal. Guru yang dapat berkembang di masa depan adalah guru yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi karena banyak ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diakses dari media ini. Pada abad 21, melek ICT (Information and Communication Technology Literacy) lebih baik daripada hanya memiliki keterampilan teknologi saja. Penyebaran informasi yang berisi ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan lebih banyak disalurkan melalui teknologi digital. Saat ini telah banyak keterampilan teknis yang sebelumnya dikerjakan dengan keterampilan tangan telah berubah dengan keterampilan mengoperasikan komputer. Program komputer yang telah banyak digunakan untuk membantu pekerjaan teknis di sekolah. Guru diharapkan mengikuti perkembangan teknologi digital supaya dapat mengajarkan keterampilan yang sama dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Beberapa kemampuan yang perlu dipelajari sehubungan dengan hal tersebut, misalnya: (1) literasi ilmiah digital. Memahami teori dan penggunaan ilmu pengetahuan, diantaranya penggunaan sains dan matematika menggunakan teknologi digital; (2) kesadaran global. Pemahaman terhadap mekanisme globalisasi informasi, ekonomi dan tenaga kerja. Dengan kesadaran ini guru diharapkan memahami bahwa dirinya dan peserta didiknya kompetitif; (3) literasi informasi. Kemampuan untuk menemukan dan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber dan referensi digital; (4) literasi fungsional digital. Kemampuan memahami dan menyampaikan pikiran melalui berbagai media, termasuk penggunaan gambar, video, grafik, bagan atau literasi visual; (5) literasi teknologi. Komponen dalam penggunaan teknologi, terutama teknologi yang membantu pekerjaan sebagai guru yang produktif; (6) literasi budaya. Kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dalam beragam budaya melalui akses teknologi digital. Dengan penggunaan teknologi, guru akan memperoleh wawasan yang luas tanpa perlu biaya yang mahal. Karya guru juga dapat disebarluaskan ke seluruh jagad raya tanpa biaya yang mahal. Teknologi digital dapat menyebabkan terjadinya interaksi antarguru, peserta didik dan komunitas pendidik lainnya tanpa mengenal batas waktu dan tempat.
(3)  Effective Communication.Di masa depan, dunia kerja menuntut semua kegiatan berjalan efektif, termasuk efektif dalam berkomunikasi. Orang yang dapat berkomunikasi dengan efektif adalah orang yang mampu menyampaikan ide atau gagasan secara tertulis dan lisan dari orang lain. Untuk mencapai komunikasi efektif, guru diharapkan belajar bekerja sama. (1) Teaming.  Bekerja sama dalam tim atau kelompok. Dalam komunikasi efektif, orang dapat menerima gagasan orang lain dan tidak memaksakan gagasannya untuk diterima orang lain. Dengan demikian, akan terjadi saling hormat menghormati antarsesama anggota tim. Jika dalam satu tim tidak terjadi konflik pendapat, maka tim dapat bekerja dengan solid; (2) Collaboration and interpersonal skills. Guru diharapkan mampu berkolaborasi  atau bekerja sama dengan pihak lain, meskipun manfaat atau hasil yang diperoleh  dari kerja sama tersebut berbeda. Untuk dapat berkolaborasi, guru harus memiliki daya Tarik kepribadian atau interpersonal.  Mereka dapat memahami karakteristik situasi yang tepat untuk berkomunikasi dan memiliki rasa empati terhadap orang lain; (3) Personal and social responsibility. Komunikasi yang efektif dapat dibangun dari orang-orang yang tidak hanya mementingkan diri sendiri atau dengan kata lain, memiliki kepedulian terhadap kehidupan sosial. Karaktersitik yang tampak dari orang peduli sosial adalah mereka akan bertanggung jawab terhadap tindakan yang telah dilakukan pada dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan kepribadian seperti ini, orang yang tidak mudah melempar kesalahan yang dilakukan kepada orang lain; (4) Interactive communication. Dalam kehidupan social, guru yang dapat berkembang adalah guru yang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Untuk mendukung keterampilan tersebut, guru perlu mempelajari cara mencari, mengolah, dan meneruskan informasi kepada orang lain. Guru berkomunikasi timbal balik sehingga penerima maupun penyalur informasi.
(4)  High Productivity. Guru yang berprestasi akan dinilai dari produktivitas karyanya. Oleh sebab itu, supaya guru dapat sukses dalam berkarir, guru dituntut mampu menggunakan apa yang dipelajari untuk menghasilkan karya yang relevan dan bermutu dalam konteks kehidupan yang nyata. Selain tanggun gjawab utama mengajar, guru juga diharapkan mampu mengelola programd an proyek untuk mencpai tujuan yang diinginkan. 

III.           PENUTUP        
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A.    Pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Dalam konteks pendidikan karakter, maka pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses pembelajaran siswa yang direncanakan atau dideain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran, khususnya pengembangan karakter dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
B.    Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter meliputi lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas utama, yaitu nilai karakter reiligius, nasionalis, mandiri, gotong royong dam nilai karakter integritas.
C.   Kompetensi yang diharapkan untuk masa depan dalam menghadapi tantangan abad 21 antara lain: kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, menjadi warga negara yang bertanggung jawab, mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, minat luas dalam kehidupan, kesiapan untuk bekerja, kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya dan memiliki rasa tanggun jawab terhadap lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA


Hosnan, M. 2016. Pendekatan Saintifik Dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21: Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia.

Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Jakarta: Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

Lickona, Thomas. 2012. Character Matters. Versi Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.

PARPEZ. “’ Character  Define: Muslim Character Trait’’. Online: http://www.parvez-video.com/character_trait.asp.Diakses12 Maret 2017.

Wynne, E.A. 1991. Character And Academics in The Elementary School. In J.S. Bennings (Ed), Moral, Character, and Civic Education in the Elementary School. New York: Teachers College Press.







2 komentar:

  1. bagus sekali artikel nya, memang sangat penting penanaman karakter pada siswa terutama agar siswa lebih disiplin lagi, kebetulan kami juga bergerak di bidang IT untuk menyedia absensi berbasis SMS, agar siswa lebih terpantau oleh guru maupun orang tua silahkan kunjungi ABSENSI SISWA

    BalasHapus