Selasa, 20 November 2018

PILAR-PILAR PENDIDIKAN KARAKTER DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA NEGARA

ABSTRAK
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. Nilai budaya dan karakter bersumber  dari falsafah, pola hidup, agama dan dasar negara yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam sistem politik, yang mana disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing warga negara. Partisipasi politik warga negara meliputi: voting, aktif, dan diskusi politik, terlibat dalam rapat umum, demonstrasi, menjadi anggota pasif suatu organisasi semua politik, keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik, keanggotaan pasif suatu organisasi politik, keanggotaan aktif organisasi politik, mencari jabatan politik dan menduduki jabatan politik dan administratif.
Kata kunci: Pilar, Pendidikan Karakter, Partisipasi Politik, Warga Negara.

ABSTRACT
Cultural education and national character are interpreted as education that develops the cultural values ​​and national character of the students so that they have values ​​and character as their character, apply those values ​​in their lives, as members of society, and religious citizens, nationalist, productive and creative. Cultural values ​​and characters come from the country's philosophy, lifestyle, religion and foundation, namely Pancasila and the 1945 Constitution.
Political participation is the involvement of citizens in the political system, which is adjusted to the capabilities of each citizen. Citizens' political participation includes: voting, active and political discussion, engaging in rallies, demonstrations, being a passive member of an all political organization, active membership of a pseudo political organization, passive membership of a political organization, active membership of political organizations, seeking political office and occupy political and administrative positions.
Keywords: Pillars, Character Education, Political Participation, Citizens.




PENDAHULUAN
Indonesia sebagai satu-satunya negara yang memiliki kekayaan budaya yang jauh lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, kadang-kadang mengalami pasanag surut dalam membangun harmoni. Keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan masyarakat telah membawa dampak positif sekaligus negative dalam menciptakan keutuhan bangsa. secara positif, pluralitas suku, Bahasa, dan agama memberi kebanggaan tersendiri bagi terciptanya keberagaman budaya khas bangsa Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tetap terpelihara dengan baik. Namun keterpeliharaan nilai-nilai budaya dan karakter belum berhasil membangun kesadaran kolektif bangsa ini untuk mengakui bahwa keanekaragaman ini merupakan kekayaan dan milik bersama yang harus digali. Dikembangkan, dan dipelihara secara bersama. Akibatnya, prinsip ke-bhinekaaan tunggal ika-an masih berada dalam domain yang parsial, yang sekat-sekatnya sangat terasa dalam kehidupan kepartaian, keorganisasian, dan bentuk-bentuk kehidupan primordial lainnya.
Tindakan premanisme menjadi fenomena yang sering menghiasi layar kaca, ketidak harmonisan hubungan antara umat beragama mewarnai halaman-halaman surat kabar, dan demonstrasi anarkis telah memasuki wilayah yang sangat mengkhawatirkan. Seolah-olah keterpurukan bangsa ini dari berbagai sisi memberi isyarat kuat untuk mengatakan bahwa energy bangsa masih terkuras untuk mengurusi persoalan internal yang secara primordial belum terselesaikan. Visi bangsa jauh ke depan masih terbelenggu oleh derasnya arus perbedaan yang selalu mengemuka. Itulah sebabnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berpandangan bahwa salah satu solusi terbaik untuk membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan yaitu dengan melakukan reorientasi terhadap nilai-nilai karakter dan budaya bangsa, dan pendidikan adalah tempat terbaik untuk membangun pilar-pilar karakter dan budaya bangsa yang dimaksud. 
Satuan pendidikan dapat secara langsung menerapkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tersebut atau dapat menambah dan mengurangi, namun diharapkan menetapkan minimal lima karakter, yakni nilai karakter religius, nasionalis, gotong royong, kemandirian dan nilai karakter integritas. Nilai-nilai karakter dan budaya bangsa bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional (Sarbaitinil, 2014 dalam Yaumi, 2014:82). Sumber-sumber tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: Pertama, nilai-nilai karakter dan budaya bangsa bersumber dari ajaran agama. Bangsa Indonesia memiliki keberagaman keyakinan dan kepercayaan. Agama Islam, Kristen, Budha, Hindu, aliran kepercayaan, dan berbagai bentuk kepercayaan lain dapat hidup dengan baik di negeri ini walaupun sering juga terjadi gesekan-gesekan kecil. Pluralitas dalam beragama telah melahirkan tata nilai, dan budaya yang beragam yang menghasilkan nilai-nilai agung dalam kehidupan bernegara dana bermasyarakat. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan nilai-nilai yang dianut secara nasional oleh warga negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun oleh para pendiri bangsa atas dasar prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan  dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Ketiga, budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Keempat, tujuan pendidikan nasional, sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam kehidupan sistem politik, yang mana disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing warga negara. Menurut Rush dan Athoff (2005) menguraikan luasnya partisipasi politik, dalam bentuk hierarki atau berjenjang, yang dimulai dari yang rendah sampai ke yang tinggi, yakni voting, aktif, dan diskusi politik, terlibat dalam rapat umum, demonstrasi, menjadi anggota pasif suatu organisasi semua politik, keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik, keanggotaan pasif suatu organisasi politik, keanggotaan aktif organisasi politik, mencari jabatan politik, dan terakhir menduduki jabatan politik atau administratif.
Partisipasi politik secara teoretik dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu partisipasi politik yang konvensional (pemberian suara (voting), diskusi politik, kampanye, membentuk dan aktif dalam kelompok kepentingan (interest kekerasan politik group), komunikasi individual dengan kekerasan politik pejabat politik dan administratif. Dan Partisipasi politik non-konvensional (pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan terhadap harta benda, tindakan terhadap manusia, perang gerilya dan revolusi.

PEMBAHASAN
A.  Pilar-Pilar Pendidikan Karakter
Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) mengidentifikasi lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu religious, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas. Pertama, religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 1) kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama adalah tuntutan semua penganut agama pasti berkeyakinan bahwa ajaran agamanya yang paling benar.pada saat yang sama, mereka meyakini bahwa ajaran agama lain tidak ada yang benar, namun harus menghormati keyakinan yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap keberagaman keyakinan menandakan adanya penghargaan yang tulus terhadap perkembangan kepercayaan dan keyakinan yang memicu keberlangsungan kehidupan yang harmonis di antara para penganut agama. Bagi penganut ajaran agama Islam, tidak perlu merasa risaukarena Al-Qur’an telah menggaris bawahi begitu pentingnya sikap terbuka dan demokratis terhadap semua agama. Peringatan Al-Qur’an seperti “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku’’ dan ‘’Tidak ada paksaan dalam agama’’, menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi toleransi antara umat beragama. 2) toleransi adalah jalan tengah yang terbaik yang harus tumbuh dalam ruang kesadaran para penganut agama. Mengakui keberadaan agama lain bukan berarti  memepercayai apalagi meyakini kebenarannya, melainkan justru menambah keyakinan terhadap kebenaran dan keunggulan agama sendiri. Toleransi berarti mengakui pluralitas agama dan kepercayaan tanpa harus memaksa penganut yang berbeda untuk mengikuti agama yang kita anut. Walaupun demikian, penyebarluasan agama harus terus dilakukan, namun terbingkai oleh batas-batas keyakinan yang membuka ruang dialogis dengan menegaskan justifikasi yang merendahkan keyakinan penganut agama yang berbeda. 3) kerukunan hidup antara penganut agama merupakan pilar penting dalam membangun relasi sosial dalam bernegara dan bermasyarakat. Kekuatan suatu negara sangat mudah diukur dari harmonisasi hubungan yang tidak tersandera oleh pola piker sectarian dan primordial, atau pemaksaan kehendak yang berbasis pada kepicikan. Sebaliknya, kelemahan suatu negara, ketika tidak mampu menciptakan kerukunan hidup, harmoni, dan kedamaian bagi setiap orang karena terganggu dalam mamandang perbedaan suku, ras, agama, etnik, dan budaya. Religius dalam Kurikulum 2013 diarahkan pada aspeksikap spiritual yang dipahami sebagai cara pandang tentang hakikat diri termasuk menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianut. Sikap spiritual mencakup suka berdoa, senang menjalankan ibadah shalat atau sembahyang, senang mengucapkan salam, selalu bersyukur dan berterima kasih, dan berserah diri. Mengucapkan doa sebelum dan sesudah melakukan sesuatu, bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Tuhan, mengucaapkan salam sebelum dan sesudah menyampaikan pendapat, mengungkapkan kekaguman tentang kebesaran Tuhan, membuktikan kebesaran Tuhan melalui ilmu pengetahuan, memberikan kepuasan batin tersendiri dalam diri seseorang yang telah mengintegrasikan nilai dalam aktivitas keseharian. Mengintegrasikan nilai adalah melakukan internalisasi nilai-nilai ke dalam jiwa dan setiap derap langkah mencerminkan sikap dan perilaku religi.
Kedua,nasionalis. Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap Bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Menurut Komalasari dan Didin Saripudin (2017:10), subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghornati keragaman budaya, suku dan agama. Ketiga, mandiri. Kemandirian harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya peserta didik dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Pribadi yang mandiri tidak tergantung kepada orang lain dalam menghadapi  berbagai masalah, tidak lari dari tanggung jawab, dan berupaya mencari jalan keluar untuk mengatasi setiap masalah. Mandiri (independent) adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas. Kemandirian berkembang melalui proses belajar yang dilakukan secara abertahap dan berulang-ulang mulai dari tahap awal perkembangan kapasitas sampai tahap perkembangan kemandirian yang sempurna. Vygotsky dalam Rajeev (2014) menguraikan empat tahap perkembangan yang terkenal dengan istilah Zone of Proximal Development (ZPD), di mana ZDP adalah jarak antara zona (daerah) perkembangan actual (kemampuan saat ini) dan perkembangan poptensial (kemampuan sebenarnya). Keempat tahap tersebut yaitu: (1) Full dependence (ketergantungan sepenuhnya), bantuan banyak diberikan oleh orang lain; (2) Less dependence (ketergantungan yang kurang), dapat dilakukan sendiri, tetapi masih membutuhkan arahan dari orang lain; (3) Automatization (otomatisasi), sepenuhnya dapat dilakukan sendiri walaupun masih terjadi sedikit kekeliruan; (4) De-automatization (kemandirian yang sempurna), terjadi penyatuan antara jiwa dan raga. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai kemandirian sepenuhnya, seseorang melewati tahapan perkembangan awal yang harus dibantu oleh pihak lain, perkembangan yang bisa dilakukan sendiri melalui arahan dan keamandirian awal. Dua tahap pertama merupakan bentuk ketidakmandirian, sedangkan dua tahap berikutnya sudah mencapai kemandirian. Oleh karena itu karakteristik kemandirian dapat dijelaskan ke dalam empat bagian seperti diutarakan oleh Yaumi (2014:100) yaitu: (a) mencari orang lain (orang tua, ahli, guru, dan teman sejawat) untuk meminta bantuan menyelesaikan tugas tertentu; (b) melakukan sendiri melalui arahan dan nasihat dari orang lain; (c) melakukan latihan sendiri secara berulang-ulang melalui prosedur dan langkah-langkah penyelesaian; (d) mengembangkan dan menciptakan cara lain untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Keempat, gotong royong. Nilai karakter gotong royong. Mencerminkan tindkan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bentuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Subnilai gotong royong antara lain menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah  mufakat, tolong-menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan dan sikap relawan. Kelima, integritas. Nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari  perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan, dan menghargai martabat individu (terutama penyandang disabilitas).
         
B.  Partisipasi Politik Warga Negara
Partisipasi politik merupakan keterlibatan atau keikutsertaan warga negara dalam sistem politik. Menurut Huntington dan Nelson (1990), bahwa partisipasi dalam konteks politik yang selanjutnya dikonsepsikan partisipasi politik, yaitu kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Lebih lanjut Huntington dan Nelson menekankan 3 (tiga) hal yang terkandung dalam pengertian partisipasi politik tersebut, yaitu pertama,  partisipasi mencakup kegiatan-kegiatan politik yang objektif, akan tetapi tidak sikap-sikap politik yang subjektif. Kedua, yang dimaksud warga negara preman adalah warga negara sebagai perorangan dalam berhadapan dengan masalah politik.Ketiga, kegiatan dalam partisipasi itu difokuskan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam kehidupan sistem politik, yang sama disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing warga negara. Banyak contoh lain partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh warga negara sesuai dengan kemampuan masing-masing. Berikurt dikemukakan beberapa contoh perwujudan atau manifestasi partisipasi politik Pertama, Mengkritisi secara Arif terhadap Kebijakan Pemerintah. Setiap warga negara dituntut untuk senantiasa merespon dan mengkritisasi berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah. Di era keterbukaan saat ini, bukan zaman lagi warga negara hanya menerima begitu saja setiap kebijakan yang diambil pemerintah, tanpa memberikan respond an kritik terhadap kebijakan tersebut. Budaya politik parokial kaula di mana warga negara bersifat pasif dan cenderung menerima atas output politik dalam bentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Respon dan kritik tersebut diwujudkan masyarakat melalui berbagai kegiatan di antaranya melakukan demonstrasi atau unjuk rasa yang dilakukan dengan damai (peace) dan secara konstitusional dalam menyikapi setiap kebijakan pemerintah. Terutama jika kebijakan tersebut secara nyata dan jelas tidak berpihak atau tidak membela kepentingan masyarakat luas (populis). Terlebih jaminan konstitusional yang memberikan jaminan tentang hak mengajukan pendapat di muka umum telah diundangkan, yakni Undang_undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaaan menyampaikan pendapat di muka umum, semakin memberikan peluang yang sangat terbuka bagi anggota masyarakat untuk secara aktif dan positif mengajukan berbagai gagasan atau pendangannya tentang kebijakan pemerintah. Kedua, aktif dalam Partai Politik. Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijakan mereka. (Budiardjo, 1989).  Sementara itu seorang ahli politik, yakni Roger H. Sultau, mendefinisikan partai politik sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, yang bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. Ketiga, aktif dalam kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga Swadaya Masyarakat atau sering juga disebut dengan Ornop (Organisasi Non Pemerintahan) atau dalam Bahasa Inggris NGO (Non Governmental Organization) merupakan wadah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mewujudkan cara berpolitik. Konsentrasi kegiatan LSM adalah memberikan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, guna menuju pemerintahan yang baik, transparan, dan bertanggung jawab. Keempat, diskusi politik. Dewasa ini berbagai acara diskusi politik berjalan dengan sangat pesatnya. Tidak hanya yang bersifat diskusi dalam forum langsung, melainkan juga difasilitasi oleh media massa terutama TV dan Koran yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang melibatkan pertisipasi aktif anggota masyarakat untuk melalui diskusi interaktif yang sengaja dikemas semenarik mungkin ssehingga menarik minat keterlibatan masyarakat. Wacana politik diangkat ke permukaan untuk memperoleh respon dari masyarakat. Proses diskusi inilah yang merupakan bentuk pendidikan politik yang efektif guna meningkatkan kemelekan politik dan kedewasaan politik warga masyarakat.   

PENUTUP
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A.    Pilar-pilar pendidikan karakter terdiri dari enam pilar, yang mencakup amanah atau dapat dipercaya (trustworthiness), rasa hormat atau penghargaan (respect), pertanggungjawaban (responsibility), keadilan (fairness), kepedulian (caring) dan nasionalis, kewarganegaraan (zitizenship)
B.    Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengidentifikasi lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
C.   Partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam kehidupan sistem politik, yang mana disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing warga negara. Partisipasi politik meliputi: mengkritisasi secara arif terhadap kebijakan pemerintah, aktif dalam partai politik, aktif dalam kegiatan LSM, dan diskusi politik.

DAFTAR PUSTAKA


Athoff, Philip dan Rush, Michael. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Budiardjo, Miriam. 1989. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.  

Huntington, Samuel P & Joan Nelson. 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta.

Yaumi, Muhammad. 2014. Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar & Implementasi. Jakarta: Kharisma Putra Utama.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.  

Komalasari, Kokom dan Didin Saripudin. 2017. Pendidikan Karakter: Konsep dan Aplikasi Living Values Education. Bandung: Refika Aditama.


Rajeev, Lovelee. ‘’Zone of Proximal Development’’. Online: http://www.buzzle.com/artticles/zone-of-proximal-development.html. Diakses 6 Oktober 2014.    

3 komentar: