ABSTRAK
Ilmu sosial merupakan ilmu yang mempelajari tentang berbagai macam masalah oleh masyarakat umum dengan berbagai macam pengertian seperti fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang berasal dari berbagai macam bidang ilmu pengetahuan keahlian dalam lapangan ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, geografi sosial, sosiologi, antropologi, psikologi sosial, sejarah dan lain sebagainya. Tujuan ilmu sosial adalah untuk membantu perkembangan pengetahuan atau wawasan pemikiran dan juga kepribadian agar mendapatkan wawasan pemikiran sosial yang lebih komprehensif.
Kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauhmana dapat digunakan dan diamnfaatkan oleh manusia. Disamping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah. Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta yang berada dalam lingkup religi ataupun metafisika dan mistik serta non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Katakunci: Peran, Ilmu Sosial, Dalam, Kebenaran Ilmiah.
ABSTRACT
Social science is the study of various kinds of problems by the general public with various kinds of understanding such as facts, concepts, principles and procedures that come from various fields of expertise in the field of social sciences, for example economics, social geography, sociology, anthropology, social psychology, history and so on. The aim of social science is to foster the development of knowledge or insight into thinking and also personality in order to gain a more comprehensive insight into social thinking.
Scientific truth can not be separated from meaning and the function of science it self to the extent that it can be used and used by humans. Besides that the process to get it must go through the stages of the scientific method. Scientific criteria from a science indeed cannot explain the facts and reality that exist. Especially with respect to facts that are within the scope of religion or metaphysics and mysticism and other non-scientific. This is where the need to develop attitudes and personalities that are able to put humans in their world.
Keywords: Role, Social Sciences, In, Scientific Truth.
PENDAHULUAN
Istilah ilmu sosial menurut Ralf Dahrendorf (2000), seorang ahli Sosiologi Jerman dan penulis buku Class and Class Conflict in Industrial Society yang dikenal sebagai pencetus Teori Konflik Non-Marxis, merupakan suatu konsep yang ambisius untuk mendefinisikan seperangkat disiplin akademik yang memberikan perhatian pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia. Bentuk tunggal ilmu social menunjukkan sebuah komunitas dan pendekatan yang saat ini hanya diklaim oleh beberapa orang saja; sedangkan bentuk jamaknya, ilmu-ilmu social mungkin istilah tersebut merupakan bentuk yang lebih tepat. Ilmu-ilmu social mencakup sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, geografi sosial, politik bahkan sejarah walaupun di satu sisi ia termasuk ilmu humaniora.
Istilah ilmu sosial tidak begitu saja dapat diterima di tengah-tengah kalangan akademis, terutama di Inggris, Sciences Sociale dan Sozialwissenschaften adalah istilah-istilah yang lebih mengena, meski keduanya juga membuat ‘’menderita’’ karena diinterpretasikan terlalu luas maupun terlalu sempit (Dahrendorf, 2000:1000). Ironisnya, ilmu social yang dimaksud sering hanya untuk mendefinisikan sosiologi, atau hanya teori social sintetis. Kenyataan seperti itu dapat kita lihat pada tahun 1982, pemerintah Inggris menentang masa Social Science Research Council yang dibiayai negara, mereka menguusulkan kejian-kejian social dan akhirnya dewan itu disebutEconomic and Social Research Council (Dahrendorf, 2000:1000).
Berjalannya waktu dan peristiwa sejarah, tidak banyak membantu dalam mengusahakan diterimanya konsep itu. Ilmu-ilmu sosial tumbuh dari filsafat moral, sebagaimana ilmu-ilmu alam tumbuh dari filsafat alam. Di kalangan filsafat moral Skotlandia, kajian ekonomi politik selalu diikuti oleh kajian isu-isu social yang lebih luas, meski tidak disebut sebagai ilmu sosial. Unggulnya positivisme pada awal abad ke-19 terutama di Perancis, mengambil alih filsafat moral.
Meskipun Auguste Comte, positivisme menekankan sisi factual dan bukan spekulatif, manfaat dan bukam kesia-siaan, kepastian bukan keragu-raguan, ketepatan bukan kekaburan, positif bukan negatif maupun kritis. Maka sejak abd ke-19, positivisme merupakan illmu dalam pengertian materialism. Kemudian Comte menyebutnya science social, dari Charles Fourier (1808) untuk mendeskripsikan keunggulan disiplin sintetis dari bangunan ilmu. Pada saat yang sama, sedikitpun ia tidak ragu bahwa metode ilmu sosial (yang juga disebut sebagai fisika sosial) sama sekali tidak berbeda dengan dari ilmu-ilmu alam.
Kata kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak (Hamami, 1983). Jadi ada 2 (dua) pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’I, 1995). Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri.
Dalam hal ini kebenaran dibatasi pada kekhususan makna ‘’kebenaran keilmuan (ilmiah). Kebenaran ini mutlak dan tidak sama ataupun langgeng, melainkan bersifat nisbi (ralatif), sementara (tetatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo), 1985). Kebenaran intelektual uyang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Dladjoeni, 1985). Selaras dengan Poedjawiyatna (1987) yang menyatakan bahwa persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Kebenaran pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek dilihat dari jenis pengetahuan yang dibangun. Adapun pengetahuan itu sebagai berikut:
1. Pengetahuaj biasa disebut Knowlwdge of the man in the street atau ordinary knowledge atau common sense knowledge.Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif. Artinya sangat terikat pada subjek yang mengenal. Dengan demikian, pengetahuan tahap ini memiliki sifat selalu benar sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
2. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula. Artinya, metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan diantara para ahli yang sejenis. Maksudnya kandungan kebenaran dari jenis pengetuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan pesesetujuan, adanya agreementkonvensi para ilmuean sejenis.
3. Pengetahuan filsafat adalah sejenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat yang bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis dan spekulatif. Sifat kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan filsafat adalah absolute intersubjective. Maksudnya nilai kebenaran yang terkandung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat dari seorang pemikir filsafat serta selalu mendapat pembenaran dari filsafat kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. Jika pendapat filsafat itu ditinjau dari sisi lain, artinya dengan pendekatan filsafat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya akan berbeda atau bahkan bertentangan atau menghilangkan sama sekali. Misalnya, filsafat matematika atau geometri dari Phytagoras sampai sekarang masih tetap seperti waktu Phytagoras itu pertama kalimemunculkan pendapatnya pada abd VI SM.
4. Kebenaran jenis penengetahuan uanadalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis. Artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna dari kandungan kitab suci dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu. Akan tetapi, kandungan maksud dari ayat kitab suci itu dapat diubah dari sifatnya absolut.
Kebenaran kedua dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangun dengan penginderaan atau sense experience, akal pikiran atau ratio, intuisi, atau keyakinan. Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan itu akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya. Artinya, jika seseorang membangunnya melalui indera atau sense experience. Maka pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan itu harus melalui indera pula. Begitu juga dengan cara yang lain misalnya dengan indra kimiawi. Jenis pengetahuan menurut kriteria karaktersitiknya dibedakan dalam jenis pengetahuan seperti pengetahuan indrawi, akal budi, intuitif, pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif dan pengetahuan yang lainnya.
Kebenaran pengetahuan ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atau ketergantungan terjadinya pengetahuan. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek. Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebanaran yang sifatnya subjektif. Artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandungnya sangat tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu atau jika objek yang berperan. Sifatnya objektif seperti pengetahuan tentang alam dan ilmu-ilmu alam.
PEMBAHASAN
A. Peran Ilmu Sosial
Penggunaan metode ilmu sosial digagas oleh Comte, gambaran metodologis tentang ilmu-ilmu sosial antara lain:
1. Apa yang kemudian dilanjutkan dan dilakukan oleh Emile Durkheim (1895) serta Vilfredo Pareto (1916), keduanya mempelopori tardisi seperti ini. Hanya saja, bedanya secara khusus jika Durkheim terkesan oleh perlunya mempelajari fakta sosial, sementara Pareto menstimulasi pemikiran metamorforis dari teori-teori spesifik.
2. Usaha lain untuk meyakinakan ilmu social dikemukakan oleh Willheim Dilthey (1911) dan Max Weber (1921) dengan pendekatan yang berbeda melalui Verstehen, pendekatan empati dan pemahaman tentang apa yang kita kenal dengan perspektif hermeneutic ataufenomenologis.
3. Usaha serupapun pernah dilakukan oleh Karl Popper dalam bukunya yang menumental The Logic of scientific Discovery. Popper (1959) menegaskan bahwa ada satu logika kemajuan melalui Faksifikasi, kita mengajukan hipotesis (teori) , dan kemajuan terjadi melalui penolakan hipotesis yang telah diterima melalui riset, yaitu metode trial and error yang bersifat nomotetik, walaupun sebenarnya teori ini pun dapat memperkering perkembangan ilmu sosial jika nasihat Popper disalah interpretasikan sebagai nasihat praktis bagi para akademisi dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Sebab jika kemajuan Hypothetico-deductive hanya demikian adanya maka 99% ilmu sosial tidak banyak berguna (Dahrandorf, 2000:1000). Hal ini dapat dipahami karena hokum yang objektif dan berlaku universal perlu dipertanyakan atau didekonstruksi karena dalam kajian ilmu social terikat dengan space and time.
4. UsahaTalcot Parsons pun begitu gigih dan ambisius karena ditujukan bagi substansi teoretis dari ilmu sosial. Melalui berbagai analitis abstraknya, Parsons berpendapat bahwa substansi ilmu social adalah satu, yaitu tindakan sosial (Dahrendorf, 2000:1001). Selain itu, inkarnasi dari tindakan sosial sekalipun berasal dari model umum yang sama, yaitu sistem sosial. Sistem sosial memiliki subsistem, yakni ekonomi, politik, budaya dan sistem integratif.
Dengan demikian, ekonomi, ilmu politik, kajian budaya dan integrasi sosial (sosiologi) merupakan disiplin yang berhubungan dan interdependen. Turunan dari system sosial, yakni semua subsistem tersebut memerlukan analisis yang serupa. Klaim Parsons hanya berdampak kecil pada perkembangan ilmu-ilmu sosial selain sosiologi.
Sebagian ahli ilmu ekonomi mengabaikan. Kelemahan mendasarnya adalah walaupun masyarakat dapat dilihat dari sisi ini, tetapi ternyata tidak harus demikian. Dalam setiap kasus, ilmu-ilmu sosial yang memiliki karaktersitik berbeda-beda dan kompleks terus menjalani jalannya masing-masing. Apakah mereka mengalami kemajuan? Mungkin sebagian besar ilmu sosial akan menyatukan beberapa pendekatan yang telah memisahkan berbagai subjek, meski upaya pencarian sintesis tidak akan mereda. Pada kenyataannya ilmu-ilmu sosial untuk sementara waktu masih akan terlihat coreng-moreng dan tampak seperti sebuah kelompok petualang intelektual yang sangat berbeda *Dahrendorf, 2000:1002).
Pendapat ilmu-ilmu sosial lainnya yang agak berbeda dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein, Profesor sosiologi yang terkemuka dan Direktur Fernand Braudel Pusat Studi Ekonomi, Sistem-Sistem Sejarah, dan Peradaban State University of New York at Banghamton. Penulis buku Africa: The Politics (1971); The Capitalist World Economy (1979); The Modern World Sustem, 2 Volks (1980); Historical Capitalism (1983); The Politics of the World Economy (1984), dan Open the Social Science Report of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Science (1996) . begitu juga oleh Bung Hatta (Abdullah, 2006:9-26).
Pandangannya tentang ilmu-ilmu sosial, tidak sepesimis Ralf Dahrendorf, namun ia pun tetap kritis terhadap pandangan menyeret ilmu sosial ke nomotetis maupun ideografis. Dengan demikian, pendekatannya membuat dia tidak jatuh ke salah kutub ekstrem dari Tarik ulur tersebut. Hal itu dapat diketahui dari beberapa pernyataannya yang dikemukakan sebagai berikut:
a. Meskipun distingsi epistemologis antara ideosinkrasi dan nomotetik anti akan menghilang, tetapi makna kognitifnya masih akan tetap. Dan dia tidak mengatakan bahwa sudah ada solusi yang memuaskan untuk keluar dari dikotomi ideosinkratis nomotetik tersebut.
b. Yang harus diupayakan adalah bagaimana caranya menerima secara serius suatu pluralitas, berbagai pandangan dunia ke dalam ilmu sosial tanpa kehilangan pendirian bahwa ada juga kemungkinan untuk mengetahui dan mewujudkan kumpulan nilai-nilai yang boleh jadi pada kenyataannya memang sama, atau menjadi sama, untuk semua humanitas. Dari pernyataan itu tampak jelas bahwa Wallerstein tidak sama sekali meninggalkan pendekatan nomotetik.
c. Kita sekarang tidak berada pada momen dimana struktur disiplin yang ada telah dibongkar. Kita berada pada satu titik dimana struktur yang sedang bersaing mencoba memperjuangkan eksistensi mereka (Wallerstein dalam Alexander Irwan, 1997:xxii-xxiii).
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan atau kerap disebut ilmu. Metode ilmiah sebagai prosedur yang harus memiliki langkah-langkah sistematis sebagai pengkajian dari peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Hasil akhir metode ilmiah adalah sebuah bangunan teori. Dalam membuat bangunan teori diperlukan sebuah tahapan. Lapisan tahapan inilah yang dinamakan metode ilmiah yang meliputi:
1) Tahapan persepsi, adalah tahapan awal mengarah pada observasi dengan berbagai teknis dan metode yang menghasilkan penalaran.
2) Tahapan hipotesis, merupakan hasil penalaran yang disusun dengan pernyataan (proposisi), yang menyatakan ada kaitan antara dua konsep observasi. Jika terbukti benar akan menjadi sebuah hokum.
3) Tahapan hukum, yaitu menunjuk pada suatu keteraturan, dimana antara satu dengan yang lain saling menunjang.
4) Tahapan teori, yaitu hasil abstraksi dari suatu keteraturan sehingga menjadi berlaku umum sebagai teori.
Landasan penelaahan ilmu social dalam filsafat seperti dijelaskan oleh Komara (2012), meliputi:
a) Ontologi, secara etimologis berasal dari Bahasa Yunani onto yang berarti sesuatu yang sungguh-sungguh ada, kenyataan yang sesungguhnya, dan logos yang berarti studi tentang, teori yang dibicarakan (Angeles, 1981). Secara terminologis, ontologi diartikan dengan meta fisika umum, yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang sifat dasar dari kenyataan yang terdalam membahas asas-asas rasional dari kenyataan (Kattsoff, 1986). Dengan kata lain, permasalahan ontology adalah menggali sesuatu dari yang nampak. Pada dasarnya, ilmu merupakan hasil dari penjelajahan dalam pengalaman manusia. Sehingga ilmu bersifat terbatas pada pengalaman manusia itu sendiri. Ilmu tidak dapat memaparkan persoalan yang tidak terwujud.
b) Epistemologi, berasal dari Bahasa Yunani episteme , yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu atau teori. Artinya epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang hakikat sebuah pengetahuan. Dapat juga dikatakan bahwa epistemologi bekerja dalam ranah metodologis sebuah ilmu pengetahuan. Ada dua pandangan tentang ilmu sosial khususnya, yaitu ilmu sosial bersifat universal. Artinya ilmu sosial tidak tergantung pada apa, siapa, kapan dan dimana dikembangkan. Klaim universalitas metode ilmu sosial itu hanyalah kalim naif. Pandangan ini beranggapan bahwa ilmu sosial berkembang seiring perkembangan masyarakat. Artinya ilmu sosial tumbuh dan berkembang untuk menjawab problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Universilatas tidak harus mengorbankan unsur keunikan suatu budaya.
c) Aksiologi, secara etimologi berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori yang mempelajari hakikat nilai. Landasan aksiologis yang dimaksud adalah pandangan tentang nilai yang mendasari asumsi ilmu sosial. Polemik yang berkepanjangan yang menandai perkembangan ilmu-ilmu sosial adalah berkaitan dengan klaim bebas dan tidak bebas nilai dalam ilmu-ilmu sosial. Bebas nilai artinya ilmu sosial harus mengacu pada ilmu-ilmu alam yang berusaha menangkap hukum-hukmu alam yang objektif yang tidak tercemari oleh kepentingan manusiawi. Pada dasarnya etos ilmu sosial adalah mencari kebenaran objektif atau mencari realism, yaitu suatu istilah yang salah satu artinya menunjuk pada suatu pandangan objektif tentang realitas (Gunnar Myrdal, 1981).
B. Kebenaran Ilmiah
Istilah kebenaran sebertulnya memiliki tentang rentang yang sangat luas, tergantung dari perspektif mana melihatnya. Julienne Ford dalam Paradigms and Fairy Tales (1975) mengemukakan bahwa istilah kebanaran memiliki empat arti yang berbeda, antara lain:
1. Kebenaran Pertama(TI1 adalah kebenaran metafisik. Kebenaran itu tidak dapat diuji benar atau tidaknya (baik melalui justifikasi maupun falsifikasi) berdasarkan norma eksternal, seperti kesesuaian dengan alam. Logika deduktif, atau standar perilaku professional. Kebenaran metafisik merupalan kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran atau basic, ultimate truth (Supriadi, 1998:5). Oleh karena itu, harus diterima apa adanya (taken for granted) sebagai sesuatu given. Misalnya, kebenaran iman dan doktrin absolut agama.
2. Kebenaran Kedua (T2) adalah kebenaran etik, yang menunjuk pada perangkat standar moral atau profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan, termasuk kode etik atau cole of conduct. Seseorang dikatakan benar secara etik, bila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu. Sumber T2 dapat berasal dari T1 atau norma sosial budaya suatu lingkup masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang relatif.
3. Kebenaran Ketiga (T3) adalah kebenaran logis. Sesuatu dianggap benar apabila secara logis atau matematis konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai sesuatu yang benar (dalam pengertian T3) atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik (F1). Aksioma matematik yang menyatakan bahwa sudut kegitiga sama sisi masing-masing 60 derajat, atau 2 + 2 = 4, adalah contoh kebenaran logic. Peranan rasio atau logika sangat dominan dalam T3. Meskipun demikian seperti halnya pada bagian T2, kebenaran ini tidak terlepas dari consensus orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bahkan 2 + 2 /= 5? Dan mengapa pula jumlah sudut segitiga harus 180 derajat, tidak 300 derajat.
4. Kebenaran Keempat (K4) adalah kebenaran empirik, yang lazimnya dipercayai sebagi landasan pekerjaan para ilmuwan dalam melakukan penelitian. Sesuatu (kepercayaan, asumsi, dalil, hipotesis, dan proposisi) dianggap benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti diverifikasi, dijustifikasi, dan (meminjam istilah Popper) tahan terhadap falsifikasi atau kritik. Dalam hal ini, korespondensi antara teori dan fakta di lapangan, antara pengetahuan apriori dengan pengetahuan aposteori (demikian Immanuel Kant menyebutnya) menjadi persoalan utama.
Dalam konteks kebenaran ilmiah yang melibatkan subjek (manusia, knower, danobservas) dengan objek (fakta, realitas, dan known), terdapat tiga teori utama tentang kebenaran, antara lain:
a. Teori Korespondensi (Correspondence Theory), teori ini beranggapan bahwa sebuah pernyataan itu benar jika apa yang diungkapkannya itu merupakan fakta, dalam arti adanya suatu kenyataan yang interaksional antara teori dengan realita (Kattsoff, 1996:183). Motto teori iniadalah truth is fidelity to objective reality atau kebanaran itu setia atau tunduk pada realitas objektif (Supriadi, 1998:7). Contoh Jakarta adalah ibu kota Indonesia, dan setelah dicocokkan dengan realitanyab memang Jakarta adalah ibu kota negara Republik Indonesia. Alitran teori kebenaran ini berimplikasi bahwa hakikat pencarian kebenaran ilmiah tidak lain untuk mencari relasi yang konsisten antara subjek dengan objek, atau antara subjek dengan subjek (intersubjektivitas), dan antara objek dengan objek berdasarkan perspektif subjek. Dengan demikian, teori ini kebenaran realisme dan empirisme ini erat kaitannya dengan kebenaran empiric (T4).
b. Teori Koherensi (Coherence Theory), yang beranggapan bahwa sesuatu dianggap benar jika terdapat koherensi atau konsistensi, dalam arti tidak terjadi kontradiksi pada saat bersamaan, antara dua atau lebih logika. Jadi focus kebenaran dalam teori ini adalah logika yang konsisten dan secara inheren memiliki koherensi. Jadi, di sisi kebenaran logis mendahului kebenaran empiris (Kattsoff, 1996:181; Supriadi, 1998:7). Dengan demikian, suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi yang benar, bukan dengan fakta atau realita. Oleh karena itu, teori ini sejalan dengan paham idealism yang dikembangkan oleh Hegel, Bradley, maupun Ford. Contohnya, pernyataan orang yang sederhana, kecil kemungkinan untuk berperilaku serakah maupun materialistic.
c. Teori Pragmatisme (Pragmatism Theory), yang beranggapan bahwa kebanaran itu tersimpul pada aspek fungsional secara praktis (Kattsoff, 1996:130-131). Segala sesuatu yang benar apabila memiliki asas manfaat (utilitarian). Jadi, kebenaran itu menaruh perhatian dalam praktik. Mereka memandang hidup manusia itu sebagai suatu perjuangan yang berlangsung terus-menerus, yang di dalamnya terdapat konsekuensi bersifat praktis. Oleh karena itu, paham ini yang dikembangkan oleh C.S. Peirce di Amerika Serikat, membuat kebenaran menjadi pengertian yang dinamis, sambal berjalan kita membuat kebenaran. Karena masalah yang kita hadapi bersifat nisbi bagi kita (Kattsoff, 1996:131).
PENUTUP
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A. Ilmu-ilmu sosial adalah sekelompok disiplin keilmuan yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu sosial muncul akibat adanya masalah sosial. Masalah sosial selalu ada kaitannya dengan nilai moral dan pranata sosial.
B. Sosiologi sebagai cabang ilmu sosial paling tua timbul akibat adanya gejala sosial di era revolusi Perancis yang membawa pengaruh signifikan di dunia barat. Setidaknya kejadian tersebut telah meruntuhkan susunan masyarakat feudal dan mengawali proses demokratisasi. Gagasan barupun tumbuh pada keyakinan bahwa manusia bebas untuk mengatur dunianya. Dampaknya adalah terjadinya perubahan struktur sosial. Hal inilah yang memunculkan para pemikir untuk merumuskan teori-teori sosial, yang berkaitan dengan gejala dan fakta sosial.
C. Langkah-langkah metode ilmiah meliputi: perumusan hipotesisi spesifik atau pernyataan spesifik untuk penyelidikan, perancangan penyelidikan, pengumpulan data, penggolongan data dan pengembangan generalisasi, dan pemeriksaan kebenaran terhadap hasil.
D. Kebenaran Ilmiah meliputi: kebenaran metafisik, kebenaran etik, kebenaran logis, dan kebenaran empirik. Teori utama tentang kebenaran meliputi: teori korespondensi, teori koherensi dan teori pragmatisme.
DAFTAR PUSTAKA
DAHRENDORF, RALF. 2000. Social Science (Ilmu Sosial) dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kattsoff, Luis O. 1996. Pengantar Filsafat. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Komara, Endang. 2012. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: Refika Aditama.
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Supriadi, Dedi. 1998. Kebenaran Ilmiah, Metode Ilmiah, dan Paradigma Riset Kependidikan. Bandung: Pascasarjana IKIP Bandung.
nice info banget kak
BalasHapusKarawang Industrial Estate