Kamis, 26 Februari 2009

PERANAN BIROKRASI DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Oleh: Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si (Asesor Sertifikasi Dosen 2008 dan Dosen Pascasarjana STKIP Pas

A. Abstrak
Birokrasi merupakan keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga-lembaga non departemen, baik di pusat maupun di daerah. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, dihadapkan pada suatu kebutuhan untuk menciptakan dan menerapkan sistem politik yang modern yang didukung oleh birokrasi pemerintah sebagai kekuatan utamanya. Namun realitas politik menunjukkan, perhatian harus dipusatkan pada masalah yang lebih penting yakni bagaimana meletakkan dasar yang kokoh dan kuat sebagai negara kebangsaan di tengah-tengah ke-Bhinekaan loyalitas primordial sempit yang pada saat tertentu dapat memicu konflik.
Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan bahwa masyarakat diberi kuasa, dalam upaya untuk mernyebarkan kekuasaan, melalui pemberdayaan masyarakat, organisasi agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya untuk semua aspek kehidupan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan dan sebagainya.

B. Pendahuluan
Negara merupakan wadah utama birokrasi yang di dalamnya diselenggarakan proses untuk mencapai tujuan suatu masyarakat bangsa. Adapun penyelenggaraan proses pencapaian tujuan tersebut adalah pemerintah dengan komponen dan kelengkapannya yang populer disebut dengan birokrasi. Oleh karenanya banyak yang mengidentikan dalam artian luas, negara adalah pemerintah dan pemerintah adalah birokrasi walau dalam kajian-kajian spesifik bisa ditarik garis-garis perbedaan.
Sebagai kajian keilmuan negara, pemerintah walaupun birokrasi telah intensif dibicarakan sejak sekitar 400 SM. Kala itu di Yunani Purba terdapat negara yang makmur, sejahtera yang disebut polis atau the greet state. Pada polis, negara kota, demokrasi diselenggarakan secara langsung. Rakyat ikut serta dalam mengawasi jalannya pemerintahan yang disebut ecclesia. Demokrasi saat itu dapat dilaksanakan secara langsung. Menurut Suhendra (2006:24) disebabkan oleh beberapa alasan yaitu: (1) wilayah negara masih sangat kecil, layaknya suatu kota pada saat kini; (2) jumlah penduduknya masih terbatas sekitar 200.000-300.000 orang dan; (3) masalah-masalah yang dihadapi negara belum terlalu kompleks.
Oleh karenanya dapat dipahami jika dewasa ini penyelenggaraan negara tidak mungkin melalui demokrasi langsung. Demokrasi dilaksanakan melalui perwakilan yang kemudian menimbulkan kajian pelik yang perlu dibahas lebih seksama. Dewasa ini memang beberapa jabatan seperti Presiden dan Wakil Presiden (UU Nomor 23 Tahun 2003), jabatan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Nomor 23 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2005) dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi setelah para pejabat yang dipilih dan bekerja melaksanakan tugas-tugasnya para pejabat bertindak untuk dan atas nama rakyat (mewakili). Kemudian para pejabat ini menyampaikan laporan pertanggung jawab kepada wakil rakyat (DPR-DPRD). Oleh karenanya secara formal demokrasi langsung hanya pada saat pemilihan. Demokrasi secara formal juga secara materil kadang-kadang perlu pengujian, terbukti di beberapa daerah pemilihan kepala daerah terjadi keributan seperti issu money politics, issu mark-up suara dan lain sebagainya.
Pada masa Yunani Purba pun yang disebut rakyat ”citizen” sebenarnya terbatas pada penduduk yang berdomisili di sekitar pusat pemerintahan seperti dikatakan RM Mac Iver (Basah 1967:85) “… But The citizen were a smallish fraction of the population of attica, the territory of the Athenian state”.
Yunani purba semakin kaya dan makmur setelah dapat mengalahkan Persia, kemakmuran yang melimpah ini telah merubah pada kehidupan para penguasanya. Dari penguasa yang arif dan bijaksana, menjadi penguasa yang tamak, boros, korupsi dan melupakan kepentingan rakyat banyak.
Menurut Plato (Suhendra, 2000:26) mengajarkan tiga bentuk negara yaitu: Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi. Monarki, berasal dari “mono” artinya pemerintah, jadi berarti pemerintahan yang diperintah satu orang raja yang memerintah suatu kerajaan. Penguasa tunggal ini sangat mementingkan kepentingan rakyat. Raja yang memerintah ini, mempunyai kekuasaan yang amat besar sebagai penguasa tunggal, akan tetapi dengan kearifan penguasa ini sangat memperhatikan kepentingan dan aspirasi rakyatnya. Aristokrasi, berasal dari kata “aristol”, artinya cerdik pandai secara bersama-sama yang berasal dari keluarga bangsawan menjalankan pemerintahan secara arif dan bijaksana. Penguasa kolektif ini, secara bersama-sama melanjutkan kearifan penguasa tunggal Monarchi. Negara Cita kedua ini menambah kemakmuran menjadi lebih baik, karena kolegialitas orang-orang bijaksana ini tentu hasilnya lebih baik dibandingkan hasil karya pemikiran satu orang.
Demokrasi, berasal dari kata majemuk “demos” (rakyat) dan “cratia” (pemerintah). Suatu pemerintahan yang dipimpin dan dikendalikan oleh rakyat. Bentuk negara cita ketiga inilah yang populer hingga di abad modern ini. Pemerintah rakyat ini tentunya tidaklah diartikan secara harfiah dapat dibayangkan rakyat banyak pemerintah, lantas siapa yang diperintah?. Demokrasi dimaksudkan sang penguasa memperhatikan aspirasi rakyat, mengakomodasi, menyeleksi, dalam hal-hal tertentu membuat resultante dari aspirasi yang demikian banyak dan berbeda sepanjang secara obyektif itulah terbaik bagi bangsa. Bukan terbaik bagi buat orang perorang, kelompok, maupun satu partai tertentu. Di dalam praktek demokrasi ini adalah kriteria good governance.
Pengertian birokrasi dapat dilihat dari 3 (tiga) kategorisasi, yakni pertama birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau-rationality); kedua birokrasi dalam pengertian suatu penyakit (bureau-pathology); dan ketiga birokrasi dalam pengertian netral (value-free). Dalam pengertian netral ini birokrasi diartikan sebagai keseluruhan pejabat negara di bawah pejabat politik, atau keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif, atau birokrasi bisa juga diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar (every big organization is bureaucracy).
Secara umum birokrasi dapat diartikan sebagai keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga-lembaga non-departemen, baik di pusat maupun di daerah. Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi menurut Rahman (2002:136) dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) katagori, yakni:
1. Birokrasi Pemerintah Umum, yaitu serangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan dari pusat sampai daerah yang bersifat mengatur (regulative-function).
2. Birokrasi Pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan dan lain-lain yang fungsi pokoknya adalah development-function atau adaptive-function.
3. Birokrasi Pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakekatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah service (pelayanan) langsung kepada masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa birokrasi itu pada hakekatnya bersifat mengatur, menjalankan roda pembangunan secara fisik maupun psikis juga harus dapat melayani berbagai kebutuhan masyarakat secara langsung kepada seluruh masyarakat, tanpa membedakan status sosial masyarakat.
Serangkaian usaha untuk menyehatkan birokrasi pemerintah sebagai instrumen penting yang oleh Max Weber disebut “legal-rasional” akankah mampu menopang dan memperlancar usaha pembangunan ekonomi yang efisien dan produktif. Pengertian legal-rasional ditandai oleh: (a) tingkat spesialisasi yang tinggi; (b) struktur kewenangan hirarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas; (c) hubungan antara anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi; (d) rekruitmen yang didasarkan atas kemampuan teknis; (e) diferensiasi antara pendapatan resmi dan pribadi.
Hal tersebut berarti kualitas yang ingin dicapai melalui pengaturan struktural seperti hirarki kewenangan, pembagian kerja, profesionalisme, tata kerja, dan sistem pengupahan yang kesemuanya berlandaskan peraturan yang berlaku. Juga pengertian yang dilontarkan oleh Weber, sering dianggap terlampau ideal, karena sering muncul pertanyaan apakah mungkin sosok birokrasi yang demiakian dapat sepenuhnya terwujud, karena ditentukan oleh banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya peraturan perundang-undangan, institusi dan pemberdayaan juga mentalitas masyarakat.

C. Pembahasan
1. Peran Birokrasi
Birokrasi menurut Blow dan Meyer (1987:5) adalah organisasi besar merupakan lembaga yang sangat berkuasa yang mempunyai kemampuan sangat besar untuk berbuat kebaikan atau keburukan. Pengertian birokrasi tersebut di atas sesuai dengan kenyataan birokrasi dewasa ini dengan tiga kata kunci yaitu organisasi besar yang sangat berkuasa, untuk berbuat kebaikan atau untuk berbuat keburukan.
Pertama, organisasi besar dan sangat berkuasa. Hal ini dengan mudah dapat dipahami. Dimanapun birokrasi dapat memaksakan berjalannya regulasi seperti penagihan pajak, dan apabila wajib pajak tidak membayar pada waktunya maka birokrasi dapat mengenakan penalty (denda). Apabila batas toleransi pembayaran pajak telah habis, birokrasi dapat melakukan sita atas asset wajib pajak dengan paksa melalui peradilan. Pemerintah kota dapat memaksa merobohkan dan menggusur rumah rakyat yang dinyatakan tidak sesuai dengan peruntukannya dan seterusnya. Birokrasi memiliki personalia hingga jutaan orang, suatu jumlah yang sangat besar bagi organisasi yang besar pula.
Organisasi besar dalam artian birokrasi pemerintah yang memiliki jutaan pagawai, kadang merupakan pemborosan keuangan negara yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain: pengkajian informasi yang tidak obyektif, nepotisme, penyelewengan dan sebagainya. Pertengahan Tahun 2006 Menteri PAN (pendayagunaan Aparatur Negara) ternyata menemukan angka fiktif PNS (Pegawai Negeri Sipil) ratusan juta orang. Angka fiktif berasal dari PNS yang sudah meninggal atau pensiunan masih terdaftar sebagai PNS dan mendapat gaji, ada PNS yang memiliki status PNS di dua instansi dan di dua tempat tersebut mendapat gaji.
Pemerintah Indonesia mencoba melakukan berbagai upaya efisiensi PNS antara lain tidak menambah PNS yang dikenal dengan zero growth PNS, menyerahkan pekerjaan kasar kepada pihak ketiga seperti petugas sekuriti petugas kebersihan maupun pemeliharaan rutin. Pemerintah juga melakukan upaya-upaya down sizing jabatan melalui PP Nomor 8 Tahun 2003 yang membatasi dinas atau jabatan eselon II pada Pemerintah Daerah maksimal 14. Akan tetapi upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu meningkatkan efisiensi birokrasi secara signifikan.
Kedua, untuk berbuat kebaikan. Tidak sedikit negara menganut “welfare state” yang mengalokasikan anggaran negara untuk social assurance atau jaminan social, guna memberikan jaminan hidup bagi para penganggur maupun penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya. Tidak sedikit negara yang birokrasinya sangat akomodatif terhadap aspirasi rakyat menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan serta membuat rakyat “ayem tentrem totorahjo” (aman damai, makmur dan sejahtera).
Banyak negara yang berbentuk kerajaan, kepala negaranya Ratu atau Raja sebagai simbol; sedang kepala pemerintahannya dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Wibawa Ratu dan Raja demikian tinggi dan mampu mempengaruhi program-program kesejahteraan rakyatnya. Oleh karenanya tidaklah berlebihan apabila Ratu dan Raja ini sangat dicintai rakyatnya.
Ketiga, berbuat keburukan. Ada pula pemerintah negara yang menjadikan rakyat bangsanya hanya menjadi alat tujuan sekelompok elit. Ada kelompok penguasa yang kalah dalam pemilihan umum, dengan kekuatan yang dimiliki malah menguasai pemerintah negara, justru yang menang dalam pemilihan umum meringkuk dalam penjara. Ada pemerintah negara yang menangkap tanpa proses hukum bagi rakyatnya yang berani berbicara dan berbuat beda dengan rulling clas yang sangat berkuasa. Ada pemerintah negara yang kaya, tetapi rakyatnya miskin sementara penguasanya hidup mewah dan lain sebagainya.
Menurut Moerdiono et. Al (1992:38): birokrasi pemerintahan adalah seluruh jajaran badan-badan eksekutif sipil yang dipimpin oleh pejabat pemerintah di bawah tingkat menteri. Tugas pokok birokrasi adalah secara profesional menindak lanjuti keputusan politik yang telah diambil pemerintah. Kabinet yang terdiri dari para menteri sebagai pemimpin negara. Lain halnya dengan Albrow (1989:XVI) bahwa: suatu ketika birokrasi tampak menunjuk pengertian efisiensi administrasi, pada saat yang lain berarti sebaliknya. Istilah ini mungkin nampak sangat bersahaja sebagai sinonim bagi pegawai negeri, atau mungkin merupakan sesuatu yang sama kompleksnya dengan gagasan yang meringkaskan ciri-ciri khsusus struktur organisasi modern.
Dewasa ini hampir disemua negara menempatkan Hak Asasi Manusia, semakin berkembang berbarengan bertambah banyaknya negara yang memproklamasikan diri sebagai negara hukum, oleh karenanya kinerja kebaikan dari birokrasi semakin menguat sementara kekuatan buruk menjadi tereleminasi. Hukum tidak lagi dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan penguasa malah sebaliknya dijadikan alat pembangunan masyarakat yang dipelopori mazhab Rescue Pound “Law is a tool of social engenering”. Bahwa hukum adalah sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini dimaksudkan dengan perubahan paradigma yang begitu cepat dan kompleks, maka agar tetap terjaminnya kepastian hukum, pihak-pihak yang berwenang haruslah sudah memprediksi sebelumnya dan mengakomodasikan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini agar tetap terjaminnya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Diperlukan upaya-upaya agar suatu perubahan tidak membawa kekacauan dan peluang yang digunakan oleh yang “kuat” untuk mendapatkan keuntungan secara tidak wajar, memangsa yang lemah.
Sejak awal konsep birokrasi modern yang disampaikan Max Weber (Suhendra, 2006:34-35) yang dikenal sebagai Bapak Birokrasi Weber optimis bahwa birokrasi mengandung hal-hal positif yang dikenal dengan birokrasi ideal antara lain:
a. Distribusi kegiatan atau pembagian tugas melalui cara yang telah ditentukan, ahli khusus dengan jabatan khusus (spesialisasi).
b. Prinsip birokrasi dalam pengorganisasian kantor setiap jenjang melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan dikontrol oleh atasannya.
c. Peraturan perundang-undangan yang jelas konsisten dilaksanakan untuk memberikan kejelasan tanggung jawab dan prosedur kerja.
d. Sine era et studio (formal dan tidak bersifat pribadi, like or dislike).
e. Pembinaan karier yang didasarkan atas senioritas atau prestasi atau gabungan serta memunculkan semangat corp (spirit de corp).
f. Pengalaman mendapat penghargaan disamping prestasi dan jasa.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi dibangun atas otoritas rasional dan syah. Walau banyak kritik yang disampaikan berbagai pihak terhadap birokrasi ideal Weber akan tetapi banyak pihak yang mengakui bahwa enam prinsip birokrasi Weber masih dapat dijadikan patokan penting. Birokrasi keberadaannya masih sangat dibutuhkan dan setiap kajian birokrasi kini masih relevan dan menarik banyak peminat. Kalaupun ada ide-ide peran pelayanan dan sebagian fungsi pemerintahan (governanceI) tidak mungkin dialihkan.
Birokrasi yang kuat dan netral dapat menjamin Pemerintah yang stabil seperti dikatakan oleh Atmosoedirdjo (1973:12) bahwa: peranan birokrasi yang begitu menentukan antara lain dapat dilihat di Eropa Barat yang birokrasinya sudah berkembang sejak pertengahan abad ke-17 relatif tenang dan stabil terhadap gejolak internal maupun eksternal yang melandanya seperti perubahan politik cabinet, perubahan undang-undang dan sebagainya hal ini dikarenakan kemampuan mesin birokrasi yang dapat menanggung dan menetralisirnya. Berdasarkan pendapat di atas bahwa birokrasi merupakan kekuatan besar yang mampu melaksanakan perubahan sosial revolusioner akan tetapi juga sekaligus merupakan kekuatan besar untuk mempertahankan struktur kelembagaan yang sudah ada melalui berbagai kenyataan seperti penegakan hukum.
Pada era modern yang semakin kompleks tidak dapat dipungkiri arti penting dan peranan birokrasi yang menurut Henry (1988:5) yaitu: “Pluralisme politik; hipotesis pemindahan atau konsentrasi dan; tekhnobirokrasi”. Pertama, pluralisme politik. Bahwa masyarakat semakin modern, semakin kompleks dan semakin heterogen. Pada masa transisi dari tradisional ke masyarakat modern akan terjadi model prismatic sebagai berikut:





Memusat

Prismatik Memencar
Gambar 1: Prismatic Society (Diperbaharui dari Riggs,
1988:24)

Heterogenitas masyarakat menjadikan terjadinya persaingan-persaingan yang kadangkala terjadinya kepentingan yang saling bertentangan dalam upaya penggunaan asset dan lain sebagainya. Kepentingan penguasa industri, lapangan golf, pengembangan perumahan memerlukan lahan (tanah) yang luas untuk sementara petani juga memerlukan lahan yang luas. Perbedaan kepentingan inilah pemerintah memerankan diri sebagai penyeimbang yang bijaksana dengan prinsip “win-win solution” atau “non zero sum game” (skenario menang-menang). Pemerintah melalui regulasi misalnya membuat RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) bahwa untuk kepentingan non pertanian diarahkan pada daerah tandus yang kemungkinan sukar dijangkau irigasi teknis. Jangan terjadi seperti asumsi bahwa program yang menyangkut masyarakat rendah seperti melawan kemiskinan, kesejahteraan penyandang cacat, lebih menguntungkan kelas menengah dibanding kelas bawah. Kelompok kelas menengah menerima banyak lapangan pekerjaan yang tercipta melalui berbagai program kesejahteraan kelas bawah.
Kedua, hipotesis pemindahan atau konsentrasi. Kondisi darurat yang tidak diduga sebelumnya muncul seperti bencana alam, musim kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen, wabah penyakit dan lain sebagainya yang memerlukan anggaran belanja khusus. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang disebut hipotesis pemindahan. Sama halnya di Indonesia, melalui Inpres Nomor 5 Tahun 1993 yang dikenal dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT) pemerintah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk menolong masyarakat miskin di lokasi desa tertentu. Demikian pula halnya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi daerah yang kekeringan akibat kemarau panjang dan gagal panen, wabah penyakit di suatu daerah dan lain sebagainya. Konsep ini adalah baik, walaupun pada prakteknya di sana-sini terdapat kelemahan dan kekurangan.
Ketiga, teknobirokrasi. Dengan perubahan yang begitu cepat termasuk di bidang teknologi dan sosial, rakyat yang sebagian besar tidak mempunyai akses informasi secara memadai lebih-lebih masyarakat Kominitas Adat Terpencil, terisolasi memerlukan bantuan informasi. Apabila arus informasi tidak dapat dijangkau oleh kelompok ini, maka mereka akan tertinggal dan diam dalam keadaan kurang berdaya, tidak menikmati hasil pembangunan malah sebaliknya bisa menjadi korban dampak sampingan yang tidak diharapkan. Contoh sederhana misalnya di suatu kawasan, banyak orang kota membeli tanah warga masyarakat secara besar-besaran, dan masyarakat tertarik untuk menjualnya karena harga yang diberikan sedikit lebih tinggi dari biasanya. Selang waktu kemudian ternyata harga tanah tersebut menjadi berlipat ganda karena kawasan itu akan dijadikan lapangan terbang komersial. Orang kota yang cukup mendapat akses informasi menangkap peluang, sementara masyarakat setempat menghadapi korban penyesalan. Menghadapi seperti itu, birokrasi yang terdiri dari tenaga-tenaga professional dalam semua bidang dan sektoral mempunyai kewajiban menginformasikan dan menafsirkan perubahan yang sedang terjadi dan yang diperkirakan akan segera terjadi. Lebih jauh birokrasi diharapkan dapat memerankan sebagai change agent (pioner perubahan), agent of development (pioner pembangunan) dan agent of stability (pioner stabilitas).

2. Pemberdayaan Masyarakat
Secara politis sejak digulirkannya reformasi tahun 1997, pemberdayaan masyarakat, kekuatan dan kekuasaan rakyat berkembang cukup pesat. Presiden Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun terpaksa dijatuhkan oleh MPR karena tekanan masyarakat. Bupati Kampar Propinsi Riau dijatuhkan oleh para guru yang didukung oleh pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada pertengahan tahun 2004.
Banyak anggota DPRD di berbagai wilayah dipaksa menandatangani kontrak politik dengan masyarakat agar bersikap dan berbuat lebih memihak kepada kepentingan masyarakat, dipenghujung tahun 2004. Presiden dan wakil presiden telah dipilih langsung oleh rakyat di tahun 2004. Gubernur, Bupati dan Walikota, sesuai pengaturan pemerintah sejak Juni 2005 dipilih secara langsung pula oleh rakyat pemilih.
Kalau secara politis, rakyat telah relatif berdaya, bagaimana dengan aspek pendidikan, kesehatan, perekonomian dan lain sebagainya. Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono dengan berbagai pernyataan telah menjanjikan, semoga tidak sekadar retorika belaka. Yang pasti pemberdayaan masyarakat adalah upaya sadar berkesinambungan, jangka panjang, dan melibatkan semua potensi bangsa, membutuhkan kesungguhan, pengorbanan, kearifan, kejujuran, juga keberanian yang penuh damai.
Pemberdayaan masyarakat menurut Suhendra (2006:81) adalah: “suatu konsep yang mulia karena sangat menghargai harkat dan martabat manusia. Suatu cita yang idealis, suatu das sollen”. Pemberdayaan masyarakat analogis dengan konsep demokrasi dan kesejahteraan sosial serta kedaulatan rakyat. Dengan kondisi pemberdayaan masyarakat yang tercipta disuatu masyarakat bangsa, maka akan terbentuk suatu sinergitas berbagai komponen bangsa terdiri dari pemerintah, masyarakat serta penguasa. Akan terbentuk tatanan masyarakat yang harmonis, dinamis terhindar dari konflik sosial yang merugikan. Anggota masyarakat akan dapat mengoptimalkan kreativitas dan aspirasinya, saling bertoleransi, saling menyayangi, terbentuk suatu suasana yang tat-twan asi, homo sacra res homini (kamu adalah aku, manusia menyayangi sesama), walau dalam kemajemukan, semakin modern suatu masyarakat akan menjadi semakin majemuk dari unsur ras, agama, suku, golongan, profesi, akan tetapi dalam tatanan masyarakat yang berdaya akan menjadi “bhineka tunggal ika”, unity in diversity.
Masyarakat relatif akan menjadi lebih sejahatera, lebih puas karena aspirasinya terakomodasi dalam keputusan dan kebijakan penguasa maupun lembaga-lembaga yang mewakilinya. Kesenjangan sosial tidak terlampau dalam, oleh karenanya potensi kecemburuan sosial dapat diperkecil yang mempunyai ikatan konflik sosial dapat diperkecil. Masyarakat berkuasa dan berdaulat untuk merencanakan, mengelola asset lokal, mengawasi dan menikmati hasil jerih payahnya secara proporsional dalam tatanan yang penuh santun, modern dan beradab serta terhindar dari suasana “chaos” di bawah kepemimpinan dan perwakilan yang aspiratif dan akomodatif.
Konsep pemberdayaan masyarakat telah menjadi kuasa kata berbagai tulisan, lokakarya, seminar dan sebagainya lebih dari tiga dasa warsa di Indonesia. Kita telah familier dengan istilah people empowerment, people centered development, demokrasi, kesejahteraan social, kedaulatan rakyat, masyarakat madani (civil society). Suatu cita ke realita ternyata khususnya di Indonesia merupakan proses yang memerlukan waktu cukup panjang dan memerlukan banyak pengorbanan Munir pejuang hak-hak asasi manusia Ketua yayasan Kontras, yang wafat di pesawat terbang secara misterius. Marsinah pejuang buruh wanita di Jawa Timur yang juga wafat mengerikan. Peristiwa Semanggi 1997 beberapa orang mahasiswa yang tewas terhembus timah panas. Mereka adalah korban-korban pejuang keadilan dan pemberdayaan yang hingga kini belum terungkap secara tuntas. Hingga kini pemberdayaan masyarakat masih jauh dari kenyataan dan masih memerlukan proses perjuangan, baru merupakan wacana dan retorika.
Pemberdayaan masyarakat dalam prakteknya tidak sederhana seperti yang kita ucapkan berkaitan dengan aspek kemampuan rakyat, kesejahteraan, kultur, struktur maupun ”political will” penguasa. Kemampuan rakyat, dalam berbagai pertemuan ilmiah kadang berbau politis dikatakan “jangan diremehkan”, karena sejak dahulu rakyat punya keahlian di berbagai bidang seperti pertanian, industri, kelautan dan sebagainya. Rakyat mempunyai potensi adalah benar dan tidak terbantahkan, akan tetapi di era globalisasi yang penuh kompetitif maka setiap ukuran harus dipersandingkan dengan pihak lain. Kemampuan, keahlian menjadi sesuatu yang nisbi dan relatif.
Banyak kendala yang membelenggu percepatan proses pemberdayaan masyarakat Indonesia. Juga pemberdayaan masyarakat tidak serta merta terbentuk, masyarakat berangkat dari awal untuk dimotivasi mengartikulasikan peluang yang baru tersedia, akan memakan waktu berproses. Diperlukan banyak pemimpin lokal yang lebih memprioritaskan pemberdayaan masyarakat. Karena sebagian masyarakat sudah apatis dan selalu menyerah pada takdir.


D. Penutup
Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Birokrasi Indonesia menggambarkan bahwa: (a) birokrasi cenderung mengatur segenap segi kehidupan masyarakat dan negara; (b) dalam usahanya melayani masyarakat menggunakan pola Top down approach yang diterapkan oleh birokrasi cenderung semakin meningkat dan meluas sampai tingkat desa; (c) dalam usaha mempercepat pembangunan, birokrasi melakukan pembangunan besar-besaran dan dimotivasi melalui pentargetan.
2. Pemberdayaan masyarakat dengan ciri-ciri demokratisasi, kesetaraan masyarakat dengan pemerintah, kebebasan berbicara, kebebasan berkreativitas, hak untuk merencanakan, hak untuk mengelola asset lokal, hak untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan, hak untuk menikmati jerih payah sebagai buah pembangunan adalah sekaligus tujuan yang akan dituju oleh gerakan pemberdayaan masyarakat.
3. Unsur-unsur yang dapat mempercepat terjadinya pemberdayaan masyarakat di antaranya: (a) kemampuan politik mendukung; (b) suasana kondusif untuk mengembangkan potensi secara menyeluruh; (c) motivasi; (d) potensi masyarakat; (e) peluang yang tersedia; (f) kerelaan mengalihkan wewenang; (g) perlindungan dan; (h) awarness (kesadaran).

DAFTAR PUSTAKA

Atmosudirdjo, Prayudi. 1973. Dasar-Dasar Office Management. Jakarta.
Blow, Peter dan Marshall, W. Meyer. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Terjemahan Gerry R. Yusuf. Jakarta: UI Press.
Henry, Nicholas. 1998. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan. Terjemahan Lusiana D. Lontoh. Jakarta: Rajawali Press.
Martin, Albrow. 1989. Birokrasi. Terjemahan M. Rusli Karim dan Totok Daryanto. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Moerdiono. 1992. Birokrasi dan Administrasi Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rahman, Arifin. 2002. Sistem Politik Indonesia: Dalam Perspektif Struktural Fungsional. Surabaya: SIC.
Riggs, Fred W., 1988. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan. Terjemahan Lusiana D. Lontoh. Jakarta: Rajawali Press.
Suhendra, K. 2006. Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Alfabeta.

PERAN SISTEM PENJAMIN MUTU DALAM MENCIPTAKAN MANAJEMEN PERGURUAN TINGGI MODERN Oleh:Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si (Asesor Sertifikasi Dosen 2008 da

A. Abtrak
Penjamin mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi merupakan proses penerapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan dan pendidikan tinggi secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholder (mahasiswa, orang tua, dunia kerja, pemerintah, dosen, tenaga penunjang, serta pihak lain yang berkepentingan) memperoleh kepuasaan.
Penjamin mutu yang diharapkan dilakukan oleh seluruh perguruan tinggi antara lain: kurikulum program studi, sumber daya manusia (dosen dan tenaga penunjang), mahasiswa, proses pembelajaran, prasarana dan sarana, suasana akademik, keuangan, penelitian dan publikasi, pengabdian kepada masyarakat, tata pamong, manajemen lembaga, sistem informasi, serta kerjasama dalam dan luar negeri.
Sebagian besar perguruan tinggi adalah organisasi sosial atau nirlaba, sedangkan sebagian kecil lebih cenderung disebut perusahaan komersial sebagaimana perusahaan bisnis yang lain. Perguruan tinggi modern dalam menghadapi tantangan globalisasi secara internal tetap setia pada misi perguruan tinggi pada umumnya, yaitu mencari kebenaran sejati melalui ilmu pengetahuan dan penelitian untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia serta meningkatkan penghormatan dan martabat manusia. Kemudian secara eksternal perguruan tinggi memberikan inspirasi, mengajak dan mendorong masyarakat luas untuk tetap mengembangkan budaya yang mendukung keberpihakan pada peningkatan penghormatan atas martabat manusia.

B. Pendahuluan
Penjamin Mutu di Peguruan Tinggi merupakan strategi Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi untuk meningaktkan kualitas Perguruan Tinggi di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Higher Education Long Term Strategy (HELTS) 2003-2010 antara lain: “Penjamin mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi adalah proses penerapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan dan pendidikan tinggi secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholder (mahasiswa, orang tua, dunia kerja, pemerintah, dosen, tenaga penunjang, serta pihak lain yang berkepentingan) memperoleh kepuasaan’’. Dengan demikian, penjaminan mutu diharapkan dilakukan di seluruh perguruan tinggi dengan memperhatikan butir-butir mutu yang diterapkan antara lain: kurikulum program studi, sumber daya manusia (dosen dan tenaga penunjang), mahasiswa, proses pembelajaran, prasarana dan sarana, suasana akademik, keuangan, penelitian dan publikasi, pengabdian kepada masyarakat, tata pamong, manajemen lembaga, sistem informasi, serta kerjasama dalam dan luar negeri.
Proses penjamin mutu menurut Rinda Hedwig (2007:2-3) yaitu pertama-tama perguruan tinggi melakukan evaluasi diri untuk mengetahui tantangan dan hambatan yang dihadapi, kemudian melakukan tinjauan terhadap kesesuaian visi dan misi dalam menjawab tantangan dan hambatan tersebut, termasuk di dalamnya menetapkan visi dan misi. Ditekankan dalam pembuatan visi dan misi ini adalah sebaiknya visi yang dibuat adalah satu visi yang merupakan mimpi bersama dari perguruan tinggi dan hendak diwujudkan secara bersama. Sedangkan misi mendapatkan muatan kompetensi sehingga misi ini dapat diturunkan hingga tingkat program studi.
Visi dan misi dijabarkan menjadi serangkaian kebijakan mutu dan supaya terlihat lebih jelas benang merah yang menghubungkan antara visi, misi, dan kebijakan mutu maka dibuatkan sasaran mutu. Sasaran mutu memuat lebih jelas mengenai ukuran yang hendak ditetapkan oleh perguruan tinggi tersebut. Dengan adanya sasaran mutu ini maka kemudian perguruan tinggi menentukan proses pendukung agar sasaran mutu dapat tercapai.
Bila proses pendukung telah ditetapkan maka selanjutnya yang disusun adalah struktur organisasi yang di dalamnya memuat unit yang memberikan dukungan terhadap proses tersebut. Hal ini sangatlah penting karena tidak mungkin sasaran dapat dicapai jika tidak ada satu pun unit pendukung dibentuk guna membantu tercapainya sasaran yang ditetapkan. Selain unit, pendukung bisa berupa kebijakan yang mengarah kepada pencapaian sasaran tersebut.
Tahap berikutnya adalah perguruan tinggi mulai melaksanakan penjaminan mutu dengan menerapkan manajemen mutu yang kemudian diikuti proses evaluasi dan revisi dari standar mutu melalui tolok ukur secara berkelanjutan. Proses yang menjaga agar penjaminan ini secara konsisten dilakukan adalah proses pengawasan (monitoring) dan evaluasi secara internal yaitu di dalam proses tersebut memuat kegiatan audit, asesmen dan evaluasi. Kegiatan ini walaupun secara teori dipisah-pisah, namun secara praktis tidak dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Manajemen perguruan tinggi modern menurut Indrajit dan Djokopranoto (2006:42) meliputi: ‘’kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan’’. Perencanaan program kerja, termasuk perencanaan anggaran bukan merupakan hal baru bagi perguruan tinggi, baik perencanaan lima tahunan maupun perencanaan tahunan. Namun perencanaan perlu pula dilakukan untuk perencanaan strategis, yaitu perencanaan yang menentukan hidup mati dan berkembang tidaknya suatu perguruan tinggi.
Tugas pengorganisasian dan staf termasuk perencanaan, rekrutmen, seleksi, pelatihan, pengembangan karier, pembuatan rincian tugas (job description) dan kebutuhan tugas (job requirement), penetapan otoritasi, menentukan organigram, menentukan hubungan lini dan hubungan staf, menentukan rentang kendali (span of control), membuat penilaian tugas dan jenjang tugas (job evaluation dan job establishment), merencanakan kaderisasi dan sebagainya. Tugas pengorganisasian ini meliputi: (1) karyawan akademik, yakni para dosen dan peneliti yang bertugas mengajar dan malakukan penelitian ilmiah; (2) karyawan administrasi, yakni karyawan yang bekerja di rektorat, keuangan, pendaftaran, personalia, dan sebagainya; (3) karyawan penunjang akademik, yakni mereka yang bekerja sebagai ahli atau karyawan di perpustakaan, laboratorium, bengkel latihan, dan sejenisnya; (4) karyawan penunjang lain, yakni karyawan lain seperti sopir, tukang kebun, petugas pembersih gedung, petugas keamanan, dan sejenisnya.
Tugas penggerakan (actuating) adalah tugas menggerakkan seluruh manusia yang bekerja dalam suatu perusahaan agar masing-masing bekerja sesuai yang telah ditugaskan dengan semangat dan kemampuan maksimal. Ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi fungsi manajemen karena menyangkut manusia, yang mempunyai keyakinan, harapan, sifat, tingkah laku, emosi, kepuasan, pengembangan, akal budi serta menyangkut hubungan antar pribadi. Oleh karena itu fungsi penggerakan adalah fungsi yang paling penting serta paling sulit dalam keseluruhan fungsi manajemen. Fungsi penggerakan berada pada semua tingkat, lokasi, dan bagian perusahaan. Kemudian fungsi penggerakan meliputi mermberikan motivasi, memimpin, menggerakkan, mengevaluasi kinerja individu, memberikan imbal jasa, mengembangkan para manajer, dan sebagainya. Alat yang seringkali digunakan untuk membantu memahami kebutuhan yang dikembangkan oleh A.H. Maslow (Indrajit dan Djokopranoto, 2006:44-45) yakni hierarki kebutuhan dasar manusia yang meliputi: kebutuhan fisiologis (physchological need), kebutuhan keamanan (safety need), kebutuhan afeksi (affection need), kebutuhan penghargaan (esteem need), kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization need).
Pengawasan adalah pengamatan dan pengkuran, apakah pelaksanaan dan hasil kerja sudah sesuai dengan perencanaan atau tidak. Kalau tidak, apa kendalanya dan bagaimana menghilangkan kendala agar hasil kerja sesuai dengan yang diharapkan. Fungsi pengawasan tidak harus dilakukan hanya setiap akhir tahun anggaran, tetapi justru harus secara berkala dalam waktu yang lebih pendek, misalnya setiap bulan, sehingga perbaikan yang perlu dilakukan tidak terlambat dilaksanakan.





C. Pembahasan
1. Peranan Sistem Penjamin Mutu
Penjamin mutu merupakan pekerjaan rutin yang berkesinambungan dan harus terus menerus dilakukan dan bukan merupakan kegiatan yang bersifat ad hoc. Oleh karenanya, proses monitoring dan evaluasi perlu diterapkan secara terus menerus dengan penekanan bahwa kegiatan ini bukan mencari-cari kesalahan melainkan untuk melakukan tindakan perbaikan terus menerus. Proses monitoring dan evaluasi internal dapat dilakukan oleh tim yang berdiri sendiri dan terdiri dari beberapa personil. Yang perlu ditekankan adalah personil tersebut harus bebas dari kepentingan, bukan merupakan personil yang akan di-audit unitnya, memiliki sikap jujur, egaliter, tidak memihak, serta tidak mencari-cari kesalahan. Tugas dan fungsi dari monitoring dan evaluasi dapat dilihat pada table berikut ini.
Tabel1: Tugas dan Fungsi Monitoring dan Evaluasi
Pemeriksaan Penilaian Evaluasi
Meninjau pemenuhan persyaratan dan sistem yang diwajibkan Mengkaji dan menilai seberapa baik rencana dan produk memenuhi kepuasan stakeholder Menilai dan menentukan apakah produk yang dihasilkan penting atau tidak penting, pantas atau tidak pantas, bagus atau buruk, benar atau salah sesuai atau tidak sesuai
Meninjau kepatuhan persyaratan dan sistem yang diwajibkan Mengkaji apakah standar yang ditetapkan sudah dipenuhi Menilai dan menentukan apakah produk yang dihasilkan menarik, sukar, berguna, efektif secara fungsional, mahal, terlalu banyak, terlalu rumit, terlalu sedikit atau berantakan
Meninjau kepatuhan terhadap rencana dan program kerja Meninjau adakah masalah dengan produk Hasil dari audit dan asesmen dievaluasi dan dijadikan bahan pengambilan keputusan, tinjauan manajemen, tindakan koreksi dan perbaikan mutu secara aterus menerus.
Proses yang dijalankan sesuai dengan apa yang ditulis Meninjau bagaimana produk dikembangkan lagi
Memeriksa manual mutu, catatan mutu, prosedur kerja, instruksi kerja, wewenang dan tanggung jawab, formulir sudah dijalankan sesuai dengan ketentuan Mendeteksi secara dini masalah, hambatan dan penyimpangan terhadap proses yang berlangsung.
Mengirim pesan kepada pimpinan dan penanggung jawab kegiatan atas penyimpangan yang terjadi
Pelaporan hasil audit dalam bentuk comply, not comply (major and minor), observasi Pelaporan hasil berupa rekaman bagus tidaknya spesifikasi produk, proses dan rekomendasi, dijadikan bahan feedback kepada yang berwenang
Sumber: Diadaptasi dari Hedwid (2007:3-4)
Kegiatan monitoring harus senantiasa berbasis pada data atau fakta yang ada., berpedoman pada proses kerja yang berlaku di unit tersebut dan pada pencapaian rencana kerja. Evaluasi hanya bisa dilakukan jika hasil monitoring telah didapatkan. Jika pencapaian kerja tidak dapat diukur maka rencana kerja tersebut tidak dapat dikendalikan. Jika tidak dapat dikendalikan maka tidak dapat diperbaiki dan hal ini mengakibatkan unit tidak dapat bersaing. Jika tidak dapat bersaing maka tidak dapat bertahan.
Indikator kinerja merupakan kunci kegiatan monitoring. Dengan menentukan indikator kinerja maka visi dan misi yang ditetapkan di awal dapat dicapai. Sedangkan visi dan misi yang telah ditetapkan akan dijabarkan ke dalam rencana strategis institusi yang implementasinya dilakukan dengan menentukan kebijakan mutu dan sasaran mutu. Dari sasaran mutu inilah ditentukan indikator kerja sebagai impelementasinya. Indikator kerja diukur dan dievaluasi pencapaiannya setiap semester melalui proses monitoring dan evaluasi. Jika indikator kinerja mencapai target maka hal ini akan mendukung sasaran mutu dan kebijakan mutu demi tercapainya visi dan misi.
Menurut Hedwig (2007:5) bahwa: ‘’Kegiatan monitoring dan evaluasi diarahkan pada mendapatkan dan menganalisis kemajuan, rencana kerja dan data pencapaian kemajuan, mengidentifikasi halangan atau hambatan, dan jika ditemukan ketidaksesuaian harus dilakukan tindakan perbaikan’’.
Lebih lanjut Hedwig (2007:6) mengemukakan prosedur monitoring dan evaluasi sebagai berikut:
1. Tujuan: Untuk mengatur verifikasi pelaksanaan dan efektivitas penerapan sistem penjaminan mutu di institusi.
2. Runag lingkup: Seluruh Departemen/Unit/Biro/UPT pada institusi.
3. Prosedur:
a. Kegiatan MonEvIn dilaksanakan 6 (enam) bulan sekali. Quality Assurance Center (QAC) bertanggung jawab untuk mengkoordinir jegiatan tersebut.
b. QAC menyusun rencana tahunan MonEvLn.
c. Paling lambat 2 (dua) munggu sebelum pelaksanaan MonEvIn, QAC melakukan penjadwalan dan diumumkan serta didistribusikan kepada semua Deparetemen/Unit/Biro/UPT.
d. QAC menentukan anggota tim yang ditunjuk tidak boleh memiliki keterkaitan tanggung jawab dengan lingkup prosedur yang diaudit. Anggota tim yang ditunjuk adalah yang sudah pernah mengikuti pelatihan MonEvIn.
e. Anggota Tim MonEvIn/auditee yang ditunjuk segera menyiapkan daftar pertanyaan berdasarkan dokumen yang terkait dengan proses yang akan diperiksa dan temuan pemeriksaaan sebelumnya.
f. Kegiatan MonEvIn dilakukan dengan memeriksa bukti penerapan sistem penjaminan mutu yang dilakukan oleh auditee. Bukti yang diperiksa harus cukup meyakinkan bahwa penerapan sistem penjaminan mutu telah dijalankan dengan baik.
g. Temuan diklasifikasikan sebagai berikut: (1) sesuai: Bila penerapan sistem penjaminan mutu oleh auditee sudah sesuai sebagaimana yang ditentukan dalam dokumen sistem mutu (prosedur kerja, instruksi kerja, catatan mutu); (2) observasi; Bila diperlukan peningkatan atas penerapan sistem penjamin mutu yang sudah dilaksanakan oleh auditee, atau hasil pengamatan umum terhadap cara kerja auditee; (3) minor: Bila penerapan sistem penjaminan mutu oleh auditee belum sesuai (menyimpang) dengan ketentuan yang ada dalam dokumen sistem mutu, ketidaksesuaian yang ditemukan dapat segera diperbaiki, dan/tidak merugikan pelanggan; (4) major: Bila auditee tidak melaksanakan/menerapkan sistem penjaminan nutu sebagaimana ditentukan dalam dokumen sistem penjamin mutu.
h. Anggota tim MonEvIn membuat laporan tertulis atas hasil pemeriksaan.
i. Hasil pemeriksaan tersebut akan terkirim langsung ke QAC untuk mendapatkan persetujuan QAC. Setelah disetujui temuan hasil pemeriksaan akan dikirim ke auditee untuk diisikan rencana tindakan perbaikan/pencegahan yang akan dilakukan auditee.
j. Hasil pemeriksaan perbaikan harus dicatat oleh anggota tim MonEvIn pada kolom laporan verifikasi hasil perbaikan yang sudah disediakan.
k. Apabila terdapat perselisihan pendapat dalam penentuan jenis temuan antara tim MonEvIn dengan auditee maka keputusan akhir diambil oleh QAC.

Menurut Hedwig (2007:9) ada beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh anggota Tim Monitoring dan Evaluasi yaitu: (1) Kemampuan manajemen informasi yang meliputi: presentasi diri, manajemen waktu, komunikasi non verbal, tegas, mengumpulkan informasi, wawancara, mendengar dan bertanya, observasi/pengamatan, mencari dokumen, mencatat, menulis laporan, kemampuan presentasi dan kemampuan memberikan saran; (2) Kemampuan manajemen pemberian tugas yang meliputi: perencanaan dan persiapan, pengawasan dan pemeriksaan, pendelegasian, pengambilan keputusan dan evalusi, analisa informasi dan pengambilan sampel; (3) Kemampuan manajemen klien yang meliputi: pelaporan dan hubungan kerja, mengendalikan rapat, manajemen konflik, kebijaksanaan dan diplomasi, sensitif terhadap kebutuhan bisnis auditee dan kebutuhan personal; (4) Kemampuan manajemen Tim (khusus pimpinan/ketua tim MonEvIn) yang meliputi: memimpin rapat, identifikasi dan penggunaan sumber daya, campur tangan di dalam tim, menetapkan sasaran tim dan membimbing anggota tim.
Di samping itu yang dibutuhan oleh anggota tim MonEvIn adalah kepribadian. Kepribadian dapat diukur dan pengukuran sangat bermanfaat untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan setiap orang. Juga, untuk menentukan apakah seseorang itu dapat ditugaskan menjadi seorang pemimpin atau hanya anggota tim MonEvIn. Jenis kepribadian dikategorikan menjadi aktivis, reflektor, teoris dan pragmatis.
Kepribadian aktivis cenderung mudah terlibat dalam berbagai kegiatan dan senang akan pengalaman baru. Mereka cenderung menikmati suasana dan senantiasa bergembira. Merek termasuk orang yang terbuka pemikirannya, dan cenderung antusias terhadap hal baru. Mereka cenderung untuk mau mencoba dan bertindak dahulu serta memikirkan konsekuensi belakangan (bagaimana nanti). Kesehariannya penuh dengan aktivitas dan menyelesaikan masalah dengan bertukar pikiran. Begitu aktivitas yang dilakukan sudah tidak menarik maka mereka cenderung mencari kegiatan lain serta mudah jenuh.
Seorang reflektor adalah seorang pemikir yang cenderung mengamati setiap pengalaman dari berbagai perspektif. Mereka melakukan pengumpulan data dari berbagai pihak dan memilih untuk memikirkan sebelum mengambil kesimpulan. Karena kebiasaannya untuk melakukan analisis data dan kejadian, orang-orang reflektor seringkali menunda pengambilan keputusan selama mungkin. Mereka adalah pemikir yang memperhatikan kemungkinan dan implikasi sebelum melakukan tindakan dan ragu-ragu.
Teoris, seseorang beradaptasi dan berintegrasi terhadap pengamatan yang logis. Mereka memikirkan masalah satu persatu secara logis dan kesesuaiannya diperhatikan berdasarkan teori yang berlaku. Seorang teoris senang menganalisis dan berpikir bahwa semuanya harus sempurna sesuai dengan prosedur atau standar yang berlaku dan rasional. Pertanyaan yang seringkali mereka ajukan antara lain, ‘’Apakah masuk akal?’’, ‘’Bagaimana hal ini sesuai?’’, Apa yang menjadi asumsi dasar?’’.
Pragmatis, orang senang mencoba hal baru baik berupa ide, teori maupun teknik baru. Secara positif mereka mencari ide baru dan mengambil kesempatan pertama untuk mencoba ide tersebut dalam bentuk praktis. Mereka senantiasa bertindak cepat dan praktis namun tidak beraturan. Mereka kurang sabar, praktis dalam pengambilan keputusan dan dalam menyelesaikan masalah. Mereka menganggap masalah dan kesempatan sebagai tantangan dan filosofi yang mereka pegang adalah ‘’selalu ada cara terbaik’’ dan ‘’jika dapat bekerja maka hal ini baik’’.

2. Manajemen Perguruan Tinggi Modern
Menurut Peter Drucker (1992:30), bahwa ciri manajemen pada Abad 21 antara lain: Pertama, manajemen harus berhubungan dengan kompetisi global, bukan lagi local atau regional. Kedua, manajemen harus menyadari bahwa internasionalisasi telah terdesak oleh globalisasi. Ketiga, manajemen dewasa ini lebih berbasis teknologi, terlebih lagi teknologi informasi. Keempat, karyawan lebih merupakan mitra daripada bawahan. Kelima, para manajer harus mengelola perubahan. Keenam, kewiraswastaan dewasa ini tetap mendorong kemajuan ekonomi. Ketujuh, kerjasama tetap merupakan kebutuhan dan keharusan. Kedelapan, keragaman pun harus dikelola. Kesembilan, para manajemen harus mengubah budaya organisasi.
Manajemen selalu menyangkut orang karena definisi manajemen sendiri adalah pencapaian tujuan melalui orang lain. Namun, definisi klasik agaknya perlu diubah. Definisi ‘management is how get things done through other people’ agaknya harus diubah menjadi ‘management is how to get things done with other people’. Orang lain atau karyawan sudah tidak dianggap dan diperlakukan sebagai alat atau bawahan, tetapi sudah menjadi ‘mitra’ kerja.
Organisasi yang didirikan bukan terutama untuk mencari keuntungan bagi pendirinya biasa disebut organisasi nirlaba (non profit atau non for profit organization) atau organisasi sosial. Organisasi semacam ini milsanya adalah organisasi pemerintah, pendidikan, rumah sakit, keagamaan, pramuka, perlindungan atau suaka alam, dan sebagainya. Sayangnya, istilah nirlaba atau tanpa laba seringkali rancu karena organisasi semacam itu dapat pula mendatangkan keuntungan, tetapi bukan untuk pemilik atau pendiri organisasi, melainkan untuk mengembangkan organisasi. Namun, kalau memang keuntungan digunakan untuk dibagikan guna menambah kekayaan pemilik atau pendirinya, organisasi semacam itu tidak patut disebut organisasi sosial atau organisasi nirlaba. Dalam Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan misalnya, yayasan disebut badan hokum yang harus mempunyai maksud dan tujuan social, keagamaan, dan kemanusiaan. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahum 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum menggunakan istilah nirlaba. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan bersifat sosial. Jadi dalam praktik, agaknya istilah nirlaba dan sosial digunakan dengan maksud dan arti yang sama.
Sebelum membicarakan manajemen perguruan tinggi, kita lebih dulu perlu menelaah hakikat yang lebih utuh mengenai perguruan tinggi karena entitas perguruan tinggi mempunyai beberapa dimensi fungsi atau dimensi makna. Salah satu definisi menyebutkan bahwa perguruan tinggi adalah suatu satuan pendidikan penyelenggraan pendidikan tinggi. Tujuan pendidikan tinggi ialah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Dengan demikian menurut Indrajit dan Djokopranoto (2006:36) ada lima dimensi makna yang melekat pada manajemen perguruan tinggi modern, yaitu (1) dimensi keilmuan (ilmu dan teknologi), (2) dimensi pendidikan (pendidikan tinggi), (3) dimensi sosial (kehidupan sosial), (4) dimensi korporasi (satuan pendidikan atau penyelenggara), dan (5) dimensi etis.
a. Dimensi Etis
Universitas dikenal sebagai pusat kreativitas dan pusat penyebaran ilmu pengetahuan bukan demi kreativitas sendiri, tetapi demi kesejahteraan umat manusia. Hakikat tugas dan panggilan universitas ialah mengabdikan diri pada penelitian, pengajaran dan pendidikan para mahasiswa yang dengan suka rela bergabung dengan para dosen dalam cinta yang sama akan pengetahuan. Universitas adalah suatu komunitas akademik yang dengan cermat dan kritis membantu melindungi dan meningkatkan martabat manusia dan warisan budaya melalui penelitian, pengajaran, dan berbagai pelayanan yang diberikan kepada komunitas setempat, nasional, dan bahkan internasional. Universitas bergumul dalam pencarian akan kebenaran secara terus-menerus dan mengkomunikasikannya kepada kaum muda dan kepada siapapun yang belajar berpikir, sehingga dapat secara benar bertindak dan melayani umat manusia dengan lebih baik. Di dalam konteks pencarian kebenaran secara utuh, universitas mempunyai kebebasan akademik. Kebebasan akademik berakar pada martabat manusia yang mempunyai kebebasan internal atau kebebasan dasar dalam pribadinya. Namun, di sisi lain, tidak dapat tidak manusia harus mencari makna penemuan baru. Makna tersebut akan menjamin bahwa penemuan baru digunakan untuk kesejahteraan otentik individu dan masyarakat secara keseluruhan.
b. Dimensi Keilmuan
Dunia perguruan tinggi adalah dunia ilmu pengetahuan. Tujuan utama pendidikan tinggi adalah mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan dengan proses belajar mengajar, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya di perguruan tinggi melalui pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan betul-betul dikembangkan dan bukan di pendidikan yang lebih rendah atau di tempat lain. Universitas adalah suatu masyarakat akademik, yaitu masyarakat ilmu pengetahuan yang mempunyai otonomi ilmu pengetahuan berupa kebebasan akademik dalam tiap disiplin ilmu sesuai dengan prinsip dan metode masing-masing. Oleh karena itu, para dosen harus berusaha selalu meningkatkan kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan penelitian yang dikuasainya. Demikian pula, para mahasiswa dirangsang untuk berpikir kritis, sistematis, dan taat asas serta mau dan mampu belajar seumur hidup.
c. Dimensi Pendidikan
Pendidikan tinggi adalah pendidikan, yaitu pendidikan pada tingkat tinggi. Namun, hal ini sering menimbulkan polemik, apakah memang betul bahwa proses yang terjadi di universitas merupakan suatu pendidikan atau suatu pembelajaran karena arti ‘pendidikan’ beda dengan ‘pembelajaran’. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa diusahakan menjadi orang yang belajar, mau belajar terus-menerus. Proses pembelajaran umumnya bersifat formal. Sebaliknya, pendidikan adalah proses penyiapan manusia muda menjadi manusia dewasa, yaitu manusia yang mandiri dan bertanggung jawab. Proses pendidikan bersifat informal dan terjadi terutama di dalam keluarga, tetapi dapat pula di dalam masyarakat dan sekolah. Dalam proses pendidikan termasuk pendidikan tinggi, tidak ada pengaturan, kurikulum, maupun penjenjangan. Pokoknya, tidak ada struktur atau sistem. Yang ada adalah penjenjangan, pengaturan, perencanaan, struktur dan sistem mengenai pembelajaran. Namun, polemik mungkin dapat didamaikan dengan penjelasan bahwa di dalam perguruan tinggi terjadi pendidikan melalui pembelajaran. Pendidikan dapat diberikan, baik dalam kurikulum intra, kurikulum ektra, maupun kurikulum tersembunyi. Dalam kurikulum intra, pendidikan dapat diberikan dalam bentuk penjelasan dan contoh aplikasi ilmu pengetahuan. Dalam kurikulum ektra, pendidikan dapat diberikan dalam seni budaya, seni olah raga, seni organisasi, dan sebagainya. Kemudian, dalam kurikulum tersembunyi, pendidikan dapat diberikan dalam contoh nyata pengaturan dan pengelolaan universitas. Disiplin, keterbukaan, pelayanan, bantuan pada yang lemah, kejujuran, kerja keras, dan sebagainya yang diperlihatkan dalam pengelolaan universitas adalah nilai-nilai konkret yang merupakan contoh nyata untuk dunia pendidikan.
d. Dimensi Sosial
Penemuan ilmiah dan penemuan teknologi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan industri yang sangat besar. Melalui pertumbuhan ekonomi dan industri, kesejahteraan manusiapun ditingkatkan. Melalui kegiatan dan perjuangan para ahli dan mahasiswa, kehidupan demokrasi ditingkatkan dan martabat manusia lebih dihargai. Perguruan tinggi mempersiapkan para mahasiswa untuk mengambil tanggung jawab di dalam masyarakat. Dari para lulusannya, masyarakat mengharapkan pembaruan dan perbaikan terus-menerus dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut, melalui pengajaran dan penelitian, perguruan tinggi diharapkan memberikan sumbangan dalam memecahkan berbagai problem yang sedang dihadapi masyarakat seperti kekurangan pangan, pengangguran, kekurangan pemeliharaan kesehatan, ketidakadilan, kebodohan, dan sebagainya.
e. Dimensi Korporasi
Perguruan tinggi memberikan jasa kepada masyarakat berupa pendidikan tinggi dalam bentuk proses belajar mengajar dan penelitian. Yang diajarkan dan diteliti adalah ilmu pengetahuan. Jadi, bisnis pendidikan tinggi ialah ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi mempunyai pelanggan, yaitu para mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusannya. Perguruan tinggi menghadapi persaingan, yaitu antar perguruan tinggi lain, baik dari dalam maupun luar negeri. Apabila mahasiswa (pelanggan) perguruan tinggi terlalu sedikit, perguruan tinggi tidak dapat membiayai dirinya sendiri, sehingga mengalami defisit dan kalau terus-menerus demikian, kelangsungan hidupnya terancam. Ada semacam break even point yang harus dicapai dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Perguruan tinggi memiliki dan mengelola berbagai sumber daya seperti manusia, barang-barang, peralatan, keuangan, dan metode. Perguruan tinggi perlu memperkenalkan produknya pada masyarakat agar dikenal dan dibeli. Semuanya menunjukkan adanya kesamaan antara perguruan tinggi dengan perusahaan. Inilah yang dimaksud dengan koorporasi perguruan tinggi.


D. Penutup
Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini.
1. Sistem penjaminan mutu di perguruan tinggi dapat dilakukan melalui monitoring dan evaluasi internal dengan tujuan menjaminkan kesesuaian dan kepatuhan terhadap prosedur senantiasa dijalankan sesuai dengan standar yang berlaku; melihat efektivitas dan tindakan perbaikan yang dilakukan karena ketidaksesuaian ditemukan pada pemeriksaan periode sebelumnya; meninjau adanya perbaikan khusus yang diimplementasikan sebagai tindakan pencegahan atas ketidaksesuaian yang mungkin terjadi; melakukan evaluasi terhadap proses produk dan layanan terhadap rencana kerja yang dibuat termasuk pencapaiannya dan; memeriksa catatan untuk mengevaluasi kecenderungan data.
2. Manajemen perguruan tinggi yang modern dapat dilakukan melalui perencanaan, pengorganisasian terhadap karyawan akademik-karyawan administrasi-karyawan penunjang akademik maupun karyawan penunjang lain, penggerakan terhadap kebutuhan fisiologis-kebutuhan keamanan- kebutuhan afeksi-kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri dan, melakukan pengawasan.
3. Perkembangan pemikiran perencanaan strategis melalui tahap evolusi antara lain: penganggaran dan pengawasan keuangan, perencanan jangka panjang, perencanaan strategis bisnis, perencanaan strategi korporat dan manajemen strategis.






DAFTAR PUSTAKA

Aaker, David A. 1991. Managing Brand Equity. New York: The Free Press-McMillan Inc.
Charleston University Website, 2002. Strategic Palnning.Office of the Vice President (finance and Administration). 24 September.
Febrian, Jack. 2000. Buku Saku Tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia. Bandung: Informatika.
Hedwig, Rinda. 2007. Sistem Penjamin Mutu di Perguruan Tinggi: Monitoring & Evaluasi Internal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Indrajit, R. Eko dan R. Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Andi.

PERAN PROFESIONALISME GURU DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN BERBASIS MUTU Oleh: Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si (Asesor Sertifikasi Dosen 2008 dan Dosen

ABSTRAK
Profesionalisme guru memberikan kemungkinan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensinya yang ditunjukkan oleh lima sikap, yakni: (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal; (2) meningkatkan dan memelihara citra profesi; (3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilan; (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi; dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya. Salah satu komponen penting program mutu dalam pendidikan adalah mengembangkan sistem pengukuran yang memungkinkan para profesional pendidikan mendokumentasikan dan menunjukkan nilai tambah pendidikan bagi siswa dan komunitasnya.
Kata Kunci: Profesionalisme guru, citra profesi, kualitas dan nilai tambah pendidikan.

1. Pendahuluan
Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yakni sebagai pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dalam mencari jalan keluar bersama peserta didik bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya. Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tak mungkin kerasan dan bangga menjadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.
Menurut Soedijarto (Kunandar, 2007:49) bahwa guru sebagai jabatan profesional memerlukan pendidikan lanjutan dan latihan khusus (advanced education and special training), maka guru sebagai jabatan profesional, seperti dokter dan lawyer, memerlukan pendidikan pasca sarjana. Namun pascasarjana bagi jabatan profesional bukanlah program akademik, setiap program profesional yang mengutamakan praktik. Seperti halnya dokter setelah menjadi sarjana kedokteran, calon dokter belajar praktik menjadi dokter selama dua tahun. Di Amerika Serikat, calon guru, baik SD, SMP maupun SMA kesemuanya B.A. dan program pasca B.A. (graduate programe), tetapi bukan untuk mendapatkan Master, melainkan untuk mendapatkan “Credential’’ melalui penguasaan ilmu-ilmu keguruab dan praktik keguruan selama satu tahun lebih.
Dalam upaya memajukan jabatan guru sebagai jabatan profesional, kita belum sepenuhnya menganut pendidikan profesional seperti yang dianut oleh jabatan profesional lainnya yang lebih tua seperti dokter. Namun dengan adanya Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang khusus menangani urusan mutu pendidikan dan keguruan, peluang untuk menuju ke arah profesionalitas jabatan guru dan pengelolaan pendidikan menjadi semakin terbuka.
Pemerintah melalui presiden sudah mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Guru sebagai profesi dikembangkan melalui: (1) sistem pendidikan; (2) sistem penjaminan mutu; (3) sistem manajemen; (4) sistem remunerasi; dan (5) sistem pendukung profesi guru. Dengan mengembangkan guru sebagai profesi diharapkan mampu: (1) membentuk, membangun, dan mengelola guru yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi di tengah masyarakat; (2) meningkatkan kehidupan guru yang sejahtera, dan (3) meningaktkan mutu pembelajaran yang mampu mendukung terwujudnya lulusan yang kompeten dan terstandar dalam kerangka pencapaian visi, misi dan tujuan pendidikan nasional pada masa mendatang. Selain itu juga diharapkan akan mendorong terwujudnya guru yang cerdas, berbudaya, bermatabat, sejahtera, canggih, elok, unggul, dan profesional. Guru masa depan diharapkan semakin konsisten dalam mengedepankan nilai-nilai budaya mutu, keterbukaan, demokratis, dan menjunjung akuntabilitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi sehari-hari.
Menurut Sidi (2003) bahwa : ‘’seorang guru yang profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal antara lain: memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus-menerus (continous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar dan semacamnya”. Dengan persyaratan semacam ini, maka tugas seorang guru bukan lagi knowledge based, seperti sekarang ini, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan yang berdasarkan nilai-nilai etika dan moral. Konsekuensinya, seorang guru tidak lagi menggunakan komunikasi satu arah yang selama ini dilakukan, melainkan menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga terjadi komunikasi dua arah secara demokratis antara guru dengan siswa. Kondisi yang demikian diharapkan mampu menggali potensi dan kreativitas peserta didik
Dengan profesionalisme guru, maka guru masa depan tidak tampila lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, tetapi beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (conselor), dan manajer belajar (learning manager). Sebagai pelatih, seorang guru akan berperan seperti pelatih olahraga. Ia mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya, dan membantu siswa menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai pembimbing atau konselor, guru akan berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sebagai manajer belajar, guru akan membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, dan mengeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya. Dengan ketiga peran guru ini, maka diharapkan para siswa mampu mengembangkan potensi diri masing-masing, mengembangkan kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif sehingga para siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.
Sementara itu, menurut Ngalim Purwanto (2002) bahwa sikap dan sifat-sifat guru yang baik adalah bersikap adil, percaya dan suka kepada muridnya, sabar dan rela berkorban, memiliki wibawa di hadapan peserta didik, penggembira, bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, bersikap baik terhadap masyarakat, benar-benar menguasai mata pelajarannya, suka dengan mata pelajaran yang diberikannya, dan berpengetahuan luas.
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada masukan, proses, luaran dan dampaknya. Mutu masukan dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha dan siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana, sarana sekolah dan lain-lain. Ketiga, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struktur organisasi, deskripsi kerja, dan struktur organisasi. Keempat, mutu masukan yang berisifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan dan cita-cita.
Mutu proses pembelajaran mengandung makna bahwa kemampuan sumber daya sekolah mentransformasikan mutijenis masukan dan situasi untuk mencapai derajat nilai tambah tertentu bagi peserta didik. Hal-hal yang termasuk dalam kerangka mutu proses pendidikan ialah derajat kesehatan, keamanan, disiplin, keakraban, saling menghormati, kepuasan dan lain-lain dari subjek selama memberika dan menerima jasa layanan. Menurut Umaedi (1999), manajemen sekolah dan manajemen kelas berfungsi menyinkronkan berbagai masukan tersebut atau menyinergikan semua komponen dalam interaksi belajar dan mengajar. Semua komponen ini bersinergi mendukung proses pembelajaran.
Hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Keunggulan akademik dinyatakan dengan nilai yang dicapai oleh peserta didik. Keunggulan ekstrakurikuler dinyatakan dengan aneka jenis keterampilan yang diperoleh siswa selama mengikuti program ekstrakurikuler. Di luar kerangka itu, mutu luaran juga dapat dilihat dari nilai-nilai hidup yang dianut, moralitas, dorongan untuk maju, dan lain-lain yang diperoleh anak didik selama menjalani pendidikan.
Mutu sebuah sekolah juga dapat dilihat dari tertib administrasinya. Salah satu bentuk tertib administrasi adalah adanya mekanisme kerja yang efektif dan efisien, baik secara vertikal maupun horizontal. Mereka bekerja karena memiliki rasa tanggung jawab akan tugas pokok dan fungsinya. Sikap mental (mind set) tenaga kependidikan di sekolah menjadi prasyarat bagi upaya meningkatkan mutu. Merujuk pada pendapat Edward Sallis (Prof. Dr. Sudarwan Danim, 2007:54)), sekolah yang bermutu bercirikan sebagai berikut: (1) Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal, (2) berfokus pada upaya pencegah pada sumber daya manusianya, (3) memiliki investasi pada sumber daya manusia, (4) memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik maupun tenaga administrasi, (5) mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada peristiwa atau kejadian berikutnya, (6) memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik perencanaan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang, (7) mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawabnya, (8) mendorong orang yang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas, dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas, (9) memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horizontal, (10) memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas, (11) memandang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut, (12) memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja dan, (13) sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus-menerus sebagai suatu keharusan.
Masalahnya, bagaimana sekolah harus distrukturkan agar mampu menciptakan mutu layanan yang dikehendaki. Aspek-aspek daya dukung dan masalah kontekstual sangat mungkin berpengaruh dalam penataan struktur organisasi sekolah yang memenuhi kriteria untuk mencapai mutu. Secara umum, struktur organisasi dan mekanisme kerja sekolah yang dikehendaki menurut konsep manajemen mutu terpadu (MMT), antara lain: (1) struktur organisasi sekolah mampu melancarkan proses pengelolaan mutu secara menyeluruh dan kondusif bagi perbaikan kualitas, (2) struktur organisasi sekolah mampu mengutamakan kerja sama yang solid secara tim kerja, (3) struktur organisasi sekolah mampu mengurangi fungsi kontrol yang tidak perlu, (4) struktur organisasi sekolah mampu mereduksi pekerjaan yang dilakukan secara repetitif atau tumpang-tindih akibat kesalahan struktur kerja, (5) struktur organisasi sekolah mampu membentuk tim yang terstruktur dengan sistem manajemen yang sederhana tetapi efektif, (6) struktur organisasi sekolah mampu mengupayakan agar semua anggota tim memahami visi lembaga, (7) struktur organisasi sekolah mampu mengupayakan agar semua anggota tim mampu memahami potensi lembaga, baik yang riil ada maupun yang mungkin diakses, (8) struktur organisasi sekolah mampu mengupayakan agar keseluruhan proses kerja berada di bawah suatu komando yang hubungan kerjanya sederhana dan, (9) struktur organisasi sekolah mampu melakukan penilaian untuk menentukan keberhasilan kerja sebuah sekolah.
Kepemimpinan mutu menjadi prasyarat untuk mencapai maksud tersebut yaitu kemampuan kepala sekolah untuk bekerja atau melalui staf administratif dan tenaga akademiknya. Seorang kepala sekolah seyogyanya memahami betul mengenai visi lembaganya. Mereka harus mampu membudayakan kerja secara bermutu dan dapat memberdayakan seluruh potensi yang ada untuk mendukung mutu yang dikehendaki. Ada lima kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh kepala sekolah. Pertama, memahami visi organisasi dan memiliki visi kerja yang jelas. Kedua, mampu dan mau bekerja keras. Maksudnya, kepala sekolah tidak cukup memiliki daya dorong kerja yang tinggi, tetapi juga harus memiliki kemampuan fisik yang kuat. Ketiga, tekun dan tabah dalam bekerja dengan bawahan, terutama tenaga administratif dan tenaga akademiknya. Keempat, memberikan layanan secara optimal dengan tetap tampil secara rendah hati. Kelima, kepala sekolah memiliki disiplin kerja yang kuat.



2. Pembahasan
2.1 Peran Profesionalisme Guru
Guru dalam bahasa Jawa adalah seorang yang harus digugu dan harus ditiru oleh semua muridnya. Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh murid. Segala ilmu pengetahuan yang datangnya dari sang guru dijadikan sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu dibuktikan atau diteliti lagi. Seorang guru juga harus ditiru, artinya seorang guru menjadi suri teladan bagi semua muridnya. Mulai dari cara berpikir, cara bicara, hingga cara berperilaku sehari-hari. Sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru seorang dengan sendirinya memiliki peran yang luar biasa dominasinya bagi murid.
Dalam sebuah proses pendidikan guru merupakan salah satu komponen yang sangat penting, selain komponen lainnya seperti tujuan, kurikulum, metode, sarana, dan prasarana, lingkungan dan evaluasi. Dianggap sebagai komponen yang paling penting karena yang mampu memahami, mendalami, melaksanakan dan akhirnya mencapai tujuan pendidikan adalah guru. Guru juga yang berperan penting dalam kaitannya dengan kurikulum, karena gurulah yang langsung berhubungan dengan murid. Demikian guru berperan penting dalam hal sarana, lingkungan dan evaluasi karena seorang gurulah yang mampu memanfaatkannya sebagai media pendidikan secara langsung bagi muridnya.
Dari sini diskursus tentang guru menjadi sangat relevan, apalagi bila dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia yang lagi mengalami krisis multidimensional. Guru dianggap oeh sebagian pengamat pendidikan sebagai yang bertanggung jawab besar terhadap kegagalan pendidikan nasional yang ternyata hanya mampu menghasilkan alumni yang korup, suka bertengkar dan mata duitan.
Dalam sejarahnya, guru senantiasa memiliki hubungan yang khas dengan muridnya. Menurut Muhamad Nurdin (2008:18-19) bahwa, tiga bentuk hubungan guru dengan murid, yaitu hubungan instruksional, hubungan emosional dan hubungan spiritual. Ketiga bentuk hubungan antara guru dan murid ini mempunyai implikasi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Hubungan tersebut ada yang bersifat abadi, temporal, dan hanya sekejap saja dalam rentang waktunya. Masing-masing bentuk memiliki kelebihan dan kekurangan yang secara inheren yang ada di dalamnya.
Hubungan instruksional adalah hubungan antara guru dan murid yang lebih bersifat teknis. Dalam hubungan yang demikian ini memunculkan beberapa kondisi. Pertama, antara guru dan murid terjadi interaksi yang bersifat mekanis. Guru memberikan beberapa instruksi kepada murid untuk melakukan suatu pekerjaan yang telah disusun secara rapi dan sistematis. Pemberian instruksi tersebut sifatnya monologis di mana guru menjadi lebih dominan. Kedua, antara guru dan murid terjadi interaksi yang bersifat kognitif-intelektual. Artinya, guru menyampaikan pengetahuan dan memberikan instruksi kepada muridnya tentang segala sesuatu yang bernuansa pengetahuan intelektual. Pada tataran ini, murid seperti botol yang masih kosong yang harus diisi oleh sang guru. Sebaliknya, guru bagaikan sebuah bank yang memberikan atau mengucurkan kredit sebanyak-banyaknya kepada murid. Ketiga, karena hubungannya berbentuk instruksional, maka hubungan yang terjadi tidak memiliki ikatan perasaan di antara keduanya. Seolah-olah di antara guru dan murid adalah dua pihak yang berbeda yang berada dialam lain tanpa adanya kemampuan untuk berinteraksi lebih intens dan berjiwa. Karena inilah yang kemudian menghasilkan murid atau alumnus yang tidak berjiwa dan kurang berperasaan meskipun kepada gurunya sendiri. Dan keempat, hubungan instruksional ini tidak mensyaratkan adanya kesamaan pandangan atau ideologi yang dimiliki oleh guru dan siswa. Yang menonjol dalam hubungan bentuk instruksiona ini adalah kesamaan kepentingan yang bersifat ilmiah dan intelektual. Dengan demikian, bisa saja terjadi antara guru dan murid berbeda pendapat bahkan terjadi pertentangan. Karena memang hal itu tidak ditabukan sama sekali.
Hubungan emosional adalah hubungan antara guru dam murid yang dilandasi perasaan. Dalam hubungan yang demikian ini memunculkan beberapa kondisi. Pertama, hubungan yang terjadi tidak hanya bersifat lipstik belaka, melainkan merupakan hubungan yang berjiwa dan sangat membekas di antara keduanya. Dalam waktu yang lama di antara keduanya masih akan terus terjadi kontak batin, meskipun sudah berada di tempat yang sangat jauh. Hubungan yang terjadi benar-benar merasuk sampai di lubuk hati guru maupun murid. Kedua, hubungan emosional kadang-kadang mengalahkan rasio kemanusiaan. Di kala sang guru memberikan suatu pelajaran atau perintah yang sebenarnya secara rasio tidak bisa diterima oleh sang murid akan diterima juga sebagai sebuah kebenaran. Hubungan yang demikian ini memang kadang-kadang menyebabkan sesuatu akibat yang jauh dari harapan dan keinginan sebelumnya. Karenanya, hubungan dengan bentuk emosional ini perlu dilakukan secara hati-hati dan sistematis. Ketiga, hubungan yang terjadi mensyaratkan adanya kesamaan perasaan di antara guru dan murid. Perasaan di sini bisa diartikan sebagai perasaan individual dan perasaan sosial, atau bahkan perasaan komunal. Perasaan yang sama antara satu pihak dengan pihak lain akan membentuk sebuah hubungan yang bukan hanya bersifat artifisial akan tetapi bersifat substantif. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud suasana perasaan yang selalu sama dan seirama.
Hubungan spiritual adalah hubungan antara guru dan murid yang didominasi oleh adanya kepentingan spiritual. Hubungan dalam bentuk yang demikian ini memunculkan beberapa kondisi. Pertama, hubungan yang terjadi antara guru dan murid lebih didorong oleh semangat spiritual keagamaan dan ketuhanan. Hubungan antara guru dan murid yang didorong oleh semangat keagamaan dan ketuhanan merupakan hubungan yang sangat kuat. Hubungan dalam bentuk ini kadang-kadang tidak hanya tidak rasional, akan tetapi kadang-kadang berbau nekat. Hubungan yang demikian ini diyakini sampai saat ini masih ada. Bahkan pada masa sebelumnya, hubungan yang demikian ini adalah hubungan yang paling dominan. Kedua, hubungan spiritual antara guru dan murid memunculkan suasana feodalistik di mana guru merupakan seseorang yang tidak boleh dianggap salah baik dalam berbicara, bertindak atau memberi perintah. Ketika terjadi perkataan, perbuatan atau perintah yang jelas-jelas salah baik dalam bingkai agama, tradisi, atau rasio, maka tidak langsung disalahkan. Akan tetapi harus dicari hikmah di balik perkataan, perbuatan atau perintah tersebut. Inilah yang menjadikan hubungan spiritual ini sangat unik yang kadang-kadang sulit dimengerti oleh orang awam. Ketiga, hubungan spiritual ini tidak akan terputus sepanjang zaman. Hubungan antara guru dan murid dengan bentuk hubungan ini tidak mungkin terputus walaupun dalam rentang waktu yang panjang dan jauah jaraknya secara geografis. Bahkan sampai berbilang generasi hubungan yang demikian ini masih sangat kental. Dan keempat, hubungan ini terjadi di antara guru dan murid yang memiliki akar tradisi, agama, ideologi, dan obsesi masa depan yang sama. Artinya primordialisme sangat kuat dalam hubungan bentuk ini. Hubungan yang mendasarkan diri pada pandangan primordialisme yang sangat kuat bukan lagi hubungan pemberian ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, akan tetapi sudah mengarah pada indoktrinasi nilai-nilai yang selama ini dipegang oleh guru. Hubungan ini tidak mungkin terputus meskipun nyawa taruhannya.
Hubungan instruksionalisme lebih banyak diadopsi oleh lembaga pendidikan modern yang sebisa mungkin menghilangkan subyektivitas sang guru maupun sang murid. Hubungan instruksional i ni juga diadopsi oleh sebagian besar lembaga pendidikan formal di Indonesia. Hubungan emosional lebih banyak diadopsi oleh lembaga-lembaga pionir dengan beragai ragam budaya dan agamanya. Meskipun hubungan emosional ini tidak menafikan transfer ilmu pengetahuan yang mensyaratkan adanya netralitas sang guru, akan tetapi transfer nilai-nilai budaya primordialisme masih sangat kuat. Di lembaga pendidikan yang menggunakan bentuk hubungan emosional, secara mencolok lebih menekankan pada nilai-nilai budaya dan adiluhung. Meskipun demikian, juga tidak mengabaikan sama sekali transfer pengetahuan. Sedangkan hubungan spiritual banyak diadopsi oleh lembaga keagamaan yang mengedepankan pendekatan transendental daripada realitas keduniaan. Hubunan spiritual banyak dilakukan oleh pesantren yang menekankan arti perjuangan Islam secara sempit, sehingga memunculkan murid atau orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk memenuhi seruan sang guru.
Dalam kaitannya dengan bentuk hubungan guru dan murid di Indonesia dapat dilihat dari metamorfose dan dialektikanya. Pada masa kerajaan Hindu dan Islam hubungan antara guru dan murid cenderung bersifat spiritual. Hubungan bentuk ini berlangsung sampai masa-masa perjuangan bangsa Indonesia. Memasuki masa kemerdekaan mulai terjadi pergeseran bentuk hubungan yang mengarah pada hubungan emosional. Hubungan ini dapat dilihat dari pemerintahan Orde Lama. Pada masa ini lebih banyak materi ideologis yang diberikan kepada murid, sehingga bentuk hubungan yang menonjol adalah hubungan emosional. Pada awal masa Orde Baru bersamaan dengan masuknya arus modernisasi, bentuk hubungan antara guru dan murid mulai bergeser ke bentuk instruksional. Hubungan ini sebagaimana dikemukakan di atas mensyaratkan adanya netralitas sang guru maupun sang murid dari subyektivitas. Yang menjadi perekat antara guru dan murid adalah murni intelektual dan kognisi bukan yang lain. Dengan demikian, perjalanan bentuk hubungan antara guru dan murid dapat diurutkan dari yang berbentuk spiritual, ke bentuk emosional, dan terakhir bentuk instruksional.
Bentuk hubungan yang proporsional adalah bentuk hubungan antara guru dan murid yang bukan hanya mengedepankan kognisi-intelektual, tidak hanya emosional, dan sekaligus spiritual belaka, tetapi hubungan yang proporsional adalah hubungan yang mengadopsi ketiga interes tersebut. Artinya hubungan antara guru dan murid selain untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan juga untuk membangun hubungan berjiwa dan sekaligus dilandasi oleh kepentingan spiritual. Karena dengan mementingkan atau menonjolkan salah satu interes dari ketiga bentuk di atas, ternyata bangsa Indonesia belum mampu menggapai apa yang menjadi cita-citanya. Dengan kata lain, bentuk hubungan antara guru dan murid yang selama ini ada di Indonesia perlu dirombak dan disesuaikan dengan sifat dasar manusia Indonesia, yaitu bentuk hubungan yang multidimensional.
Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi kriteria administratif, akademis, dan kepribadian. Persyaratan guru profesional antara lain: sehat jasmani dan rohani, bertaqwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi dan, menguasai bidang yang ditekuninya.

2.2 Pendidikan Berbasis Mutu
Dr. Joseph M. Juran (Arcaro, 2006:8) sebagai salah seorang ‘’Bapak Mutu”. Ia berlatar pendidikan teknik dan hukum. Juran menyebut mutu sebagai ‘’tepat untuk pakai’’ dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah ‘’mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat’’. Lebih lanjut Juran mengatakan bahwa ‘’tepat untuk dipakai’’ lebih tepat ditentukan oleh pemakai bukan oleh pemberi. Beberapa pandangan Juran (Arcaro, 2006:9) bahwa, mutu adalah: (1) meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir, (2) perbaikan mutu merupakan proses berseninambungan, bukan program sekali jalan, (3) mutu memerlukan kepemimpinan dari angota dewan sekolah dan adminsitrator, (4) pelatihan massal merupakan persyaratan mutu, dan (5) setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.
Inti pemikiran Juran bahwa membangun mutu sebagai prinsip dasar bagi pendidikan di sekolah, strategi dan filosofinya sama seperti yang terbukti dan berhasil dijalankan dalam bidang lain. Juran sudah memperkirakan keberhasilan bangsa Jepang dalam sebuah pidatonya untuk Organisasi Kontrol Mutu Eropa tahun 1966. Dia mengatakan: ‘’Bangsa Jepang menonjol di dunia dalam kepemimpinan mutu dan akan menjadi pemimpin dunia dalam dua dekade mendatang karena tak ada pihak lain yang bergerak ke arah mutu dengan kecepatan yang sama dengan bangsa Jepang’’.
Bila diterapkan secara tepat, Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan metodologi yang dapat membantu para profesional pendidikan menjawab tantangan lngkungan masa kini. MMT dapat dipergunakan untuk mengurangi rasa takut dan meningkatkan kepercayaan di lingkungan sekolah. MMT dapat digunakan sebagai perangkat untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Aliansi pendidikan memastikan bahwa para profesional sekolah atau wilayah memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan program-program pendidikan. MMT dapat memberikan fokus pada pendidikan dan masyarakat. MMT membentuk infrastruktur yang fleksibel yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan tuntutan masyarakat. MMT dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan dana dan waktu. MMT memudahkan sekolah mengelola perubahan.
Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh dewan sekolah, administrator, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu untuk wilayah dan setiap sekolah serta departemen dalam wilayah tersebut. Visi mutu memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan kostumer, mendorong keterlibatan total komunitas dalam program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah pendidikan, menunjang sistem yang diperlukan staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat produk pendidikan menjadi lebih baik.
Pertama, terfokus pada kostumer. Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output lembaga pendidikan adalah kostumer. Dalam survai terakhir atas 150 pengawas sekolah untuk mengukur pemahaman mereka atas mutu, rupanya 35% responden disurvai menunjukkan, mereka tak yakin bila sekolah itu memiliki kostumer. Memang masih lebih banyak pihak dalam komunitas pendidikan yang mengakui adanya kostumer untuk tiap keluaran pendidikan, tapi mutu pendidikan toh tak kunjung diperbaiki.
Kedua, keterlibatan total. Tiap orang mesti terlibat dalam transformasi mutu. Manajemen mesti memiliki komitmen untuk memfokuskan pada mutu. Seperti ditunjukkan dalam program mutu yakni manajemen administratif wilayah dan sekolah harus mendorong staf dan siswa untuk mengubah cara kerja yang selama ini dilakukannya. Tanpa adanya komitmen, program mutu tidak akan berhasil. Transformasi mutu diawali dengan mengadopsi paradigma baru pendidikan. Cara pikir dan cara kerja lama harus disingkirkan. Dalam bidang pendidikan, memang sungguh sulit bagi orang-orangnya untuk mengembangkan paradigma baru pendidikan. Ada dua keyakinan pokok yang menghalangi tiap upaya pencapaian mutu dalam sistem pendidikan. Pertama, banyak profesional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan bergantung pada besarnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Studi kasus mutakhir meruntuhkan keyakinan ini. Sebuah tulisan di New Hampshire Union Leader mengidentifikasi beberapa kasus kenaikan persentase anggaran pendidikan yang jauh di atas tingkat inflasi. Lebih lanjut tulisan itu menyatakan bahwa mutu pendidikan meningkat karena naiknya anggaran. Lebih dari dekade lalu negara bagian Connecticut menginvestasikan jutaan dollar AS dalam sistem pendidikannya. Biaya pendidikan per siswa di Connecticut tertinggi secara nasional. Para guru dan administrator pun mendapat gaji yang tinggi, dan rasio sisw guru merupakan yang terendah secara nasional. Namun Connecticut tidak menyadari bahwa yang terpenting untuk diperbaiki adalah mutu pendidikan. Negara bagian itu dipermasalahkan soal banyaknya uang yang diinvestasikan dalam sistem pendidikan. Kedua, banyak profesional pendidikan yang tetap memandang pendidikan sebagai sebuah ‘’jaringan anak manis’’. Mereka bersikukuh untuk bertahan dari tarikan profesional nonpendidikan yang mempengaruhi perubahan sistem. Banyak profesional pendidikan secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki komitmen terhadap transformasi mutu tapi tidak mengembangkan filosofi baru dalam pendidikan. Mutu pendidikan tidak akan mengalami perbaikan yang sgnifikan sampai ada penyelesaian terhadap kedua masalah tersebut.
Ketiga, pengukuran. Inilah justru yang sering gagal dilakukan di sekolah. Secara tradisional ukuran mutu atas keluaran sekolah adalah prestasi siswa. Ukuran dasarnya adalah hasil ujian. Bila hasil ujian bertambah baik, maka mutu pendidikan pun membaik. Para profesional pendidikan mesti belajar untuk mengukur mutu. Mereka perlu memahami pengumpulan dan analisa data yang diperlukan dalam proses yang sedang berlangsung. Begitu mereka belajar mengumpulkan dan menganalisa data, para profesional pendidikan itu pun dapat mengukur dan menunjukkan nilai tambah pendidikan.
Keempat, memandang pendidikan sebagai sistem. Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami para profesional pendidikan. Umumnya, orang yang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan sistem tanpa mengembangkan pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam sebuah analisa rinci atas perguruan tinggi di Inggris belum lama ini, ternyata cukup mengejutkan. Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses dan prosedur kerja. Fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pendidikan sebagai sebuah sistem maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.
Kelima, perbaikan berkelanjutan. Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama, ‘’kalau belum rusak, janganlah diperbaiki’’. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru, ‘’bila tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak melakukannya orang lain pasti melakukannya’’. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.

3. Penutup
Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
3.1 Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
3.2 guru yang berkualitas atau bermutu mampu menampilkan perilakunya. Pertama, bekerja dengan siswa secara individual. Kedua, persiapan dan perencanaan mengajar, Ketiga, pendayagunaan alat pelajaran. Keempat, melibatkan siswa dalam berbagai pengalaman. Kelima, kepemimpinan aktif dari guru.
3.3 Guru yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) guru yang waspada secara profesional, (2) mereka yakin akan nilai atau manfaat pekerjaannya, (3) mereka tidak leas tersinggung oleh larangan dalam hubungannya dengan kebebasan pribadi yang dikemukakan oleh beberapa orang untuk menggambarkan profesi keguruan, (4) mereka memiliki seni dalam hubungan manusiawi yang diperolehnya dari pengamatannya tentang bekerjanya secara psikologi, biologi dan antropologi kultural di dalam kelas dan, (5) mereka berkeinginan untuk terus tumbuh.
3.4 Pendidikan berbasis mutu hendaknya menerapkan hal-hal berikut: (1) anggota dewan sekolah dan administrator harus menetapkan tujuan mutu pendidikan yang akan dicapai, (2) menekankan pada upaya pencegahan kegagalan pada siswa, bukannya mendeteksi kegagalan setelah peristiwanya terjadi dan, (3) asal diterapkan secara ketat, penggunaan metode kontrol statistik dapat membantu memperbaiki outcomes siswa dan administrasi.






DAFTAR PUSTAKA

Jerome S. Arcaro. 1995. Quality in Education: An Implementation Handbook. United State of America: St. Lucie Press.
Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nurdin, Muhamad. 2008. Kiat Menjadi Guru Profesional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Purwanto, Ngalim . 2002. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: Rosda Karya.
Sidi, Indra Djati. 2003. Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina.
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depaertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

PERAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAAN DALAM MENCIPTAKAN GURU PROFESIONAL Oleh: Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si

A. Abstrak
Pembangunan dalam bidang pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar, pertama pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kedua relevansi, ketiga peningkatan kualitas, dan keempat efisiensi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso maupun mikro.
Guru yang profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi kriteria administratif, akademis, dan kepribadian. Juga di samping itu guru profesional dituntut sehat jasmani dan rohani, bertakwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan yang jelas, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan serta menguasai bidang yang ditekuni.

B. Pendahuluan
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu pembentukan manusia yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa memegang peranan penting dalam suatu sistem pendidikan. Maka kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan harus mampu mengantarkan anak didik menjadi manusia yang bertaqwa, cerdas, terampil dan berbudi luhur, berilmu, bermoral, tidak hanya sebagai mata pelajaran yang harus diberikan kepada murid semata, melainkan sebagai aktivitas pendidikan yang direncanakan untuk dialami, diterima, dan dilakukan.
Kurikulum sekolah merupakan instrumen strategis untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia baik jangka pendek maupun jangka panjang, kurikulum sekolah juga memiliki koherensi yang amat dekat dengan upaya pencapaian tujuan sekolah dan atau tujuan pendidikan. Oleh karena itu perubahan dan pembaruan kurikulum harus mengikuti perkembangan, menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan menghadapi tantangan yang akan datang serta menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Karim (Susilo, 2007:10) bahwa: ‘’dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, salah satunya adalah dengan perubahan kurikulum, sehingga mulai Cawu 2 Tahun Ajaran 2001/2002 sudah diperkenalkan kurikulum berbasis kompetensi yang merupakan pengembangan dari kurikulum 1994, dan kini dikenalkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang hampir sama dengan kurkulum berbasis kompetensi”.
Dasar perlunya perubahan kurikulum menurut Muhadi ((Susilo, 2007:10)) bahwa: “saat terjadi perkembangan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang perlu segera dianggap dan dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum baru pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Di mana peraturan perundang-undangan yang baru telah membawa implikasi terhadap pengembangan kurikulum seperti pembaruan dan diversifikasi kurikulum”.
Kurikulum berbasis kompetensi diharapkan mampu memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan pelaksanaan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien dan berhasil guna. Kurikulum berbasis kompetensi dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakpastian, dan kerumitan dalam kehidupan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ditujukan, untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam mengemban identitas budaya bangsanya. Kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas sosial serta membudayakan dan mewujudkan karakter nasional. Juga untuk memudahkan guru dalam menyajikan pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu pada empat pilar pendidikan universal sebagaimana yang telah dicetuskan oleh UNESCO sejak 1970 yakni: learning to know, learning to do, learning to life together dan learning to be.
KTSP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso maupun mikro. Kerangka makro erat kaitannya dengan upaya politik yang saat ini sedang ramai dibicarakan yaitu desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten sedangkan aspek mikro melibatkan seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang paling bawah, tetapi terdepan dalam pelaksanaannya yaitu sekolah.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepeduliaan pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan kurikulum yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah, KTSP tampil sebagai alternatif kurikulum yang ditawarkan.
KTSP merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, dan efisien pendidikan agar dapat memodifikasikan keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, industri, dan pemerintah dalam membentuk pribadi peserta didik. Hal tersebut dilakukan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam konsep ini sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik kepada orang tua, masyarakat, maupun pemerintah.
Otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kepada kelompok terkait dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Otonomi sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum tentang pemberdayaan sekolah, yang meyakini bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan sedapat mungkin keputusan dan seharusnya dibuat oleh mereka yang berada di garis depan (line staf) yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pelaksanaan kebijakan, dan terkena akibat dari kebijakan tersebut, baik guru maupun kepala sekolah.
Keterlibatan kepada sekolah dan guru dalam pengambilan keputusan sekolah juga mendorong rasa kepemilikan yang lebih tinggi terhadap sekolah yang pada akhirnya mendorong mereka untuk menggunakan sumber daya yang ada efisien untuk mencapai hasil yang optimal. Tujuan utama KTSP adalah memandirikan dan memberdayakan sekolah dalam mengembangkan kompetensi yang akan disampaikan kepada peserta didik, sesuai dengan kondisi lingkungan. Pemberian wewenang (otonomi) kepada sekolah diharapkan dapat mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Di samping lulusan yang kompeten, peningkatan mutu dalam KTSP antara lain akan diperoleh melalui reformasi sekolah (school reform), yang ditandai dengan peningkatan partisipasi orang tua, kerjasama dengan dunia industri, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan budaya mutu dalam suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan akan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Penetapan standar proses pendidikan merupakan kebijakan yang sangat penting dan strategis untuk pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan. Melalui standar proses pendidikan setiap guru dan atau pengelola sekolah dapat menentukan bagaimana seharusnya proses pembelajaran berlangsung. Proses pembelajaran adalah merupakan suatu sistem. Dengan demikian, pencapaian standar proses untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama proses pembelajaran dapat dimulai dari menganalisis setiap komponen yang dapat membentuk dan mempengaruhi proses pembelajaran. Begitu banyak komponen yang dapat mempengaruhi kualitas pendidikan, namun demikian, tidak mungkin upaya meningkatkan kualitas dilakukan dengan memperbaiki setiap komponen secara serempak. Hal ini selain komponen itu keberadaannya terpencar, juga kita sulit menentukan kadar keterpengaruhan setiap komponen.
Namun demikian, komponen yang selama ini dianggap sangat mempengaruhi proses pendidikan adalah komponen guru. Hal ini memang wajar, sebab guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa sebagai subyek dan obyek belajar. Bagaimanapun bagus dan idealnya kurikulum pendidikan, bagaimanapun lengkapnya sarana dan prasarana pendidikan, tanpa diimbangi dengan kemampuan guru dalam mengimplementasikan, maka semuanya akan kurang bermakna. Oleh sebab itu, untuk mencapai stndar proses pendidikan, sebaiknya dimulai dengan menganalisis komponen guru..
Meyakinkan setiap orang khususnya pada setiap guru bahwa pekerjaannya merupakan pekerjaan profesional merupakan upaya pertama yang harus dilakukan dalam rangka pencapaian standar proses sesuai dengan harapan. Mengapa demikian, sebab banyak orang termasuk guru sendiri yang meragukan bahwa guru merupakan jabatan profesional. Ada yang beranggapan setiap orang bisa menjadi guru walaupun mereka tidak memahami ilmu keguruan dapat saja dianggap sebagai guru, asal paham materi pelajaran yang akan diajarkannya. Apabila mengajar dianggap hanya sebagai proses penyampaian materi pelajaran, pendapat seperti itu ada benarnya. Konsep mengajar yang demikian, tuntutannya sangat sederhana, yaitu asal paham informasi yang akan diajarkannya kepada siswa, maka ia dapat menjadi guru. Tetapi, mengajar tidak sesederhana itu. Mengajar bukan hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi suatu proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh sebab itu, dalam proses mengajar terdapat kegiatan membimbing siswa agar bisa berkembang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya, melatih keterampilan baik intelektual maupun motorik sehingga sisiwa dapat dan berani hidup di masyarakat yang cepat berubah dan penuh persaingan, memotivasi siswa agar mereka dapat memecahkan berbagai persoalan hidup dalam masyarakat yang penuh tantangan dan rintangan, membentuk siswa yang memiliki kemampuan inovatif dan kreatif, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, seorang guru perlu memiliki kemampuan merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran yang dianggap cocok dengan minat dan bakat serta sesuai dengan taraf perkembangan siswa termasuk di dalamnya memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran untuk menjamin efektivitas pembelajaran. Dengan demikian seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan guru. Menurut James M .Cooper (1990:64): “A teacher is person charged with the responsibility of helping others to learn and to behave in new different ways”. Itulah sebabnya guru adalah pekerjaan profesional yang membutuhkan kemampuan khusu hasil proses pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan keguruan. Menurut Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. (2007:15) bahwa syarat-syarat pokok dari pekerjaan profesional antara lain: (1) pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; (2) suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalam bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas; (3) tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademis sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya, dengan demikian semakin tinggi pula tngkat penghargaan yang diterimanya; (4) suatru profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap setiap efek yang ditimbulkannya dari pekerjaan profesinya itu.
Dengan deikian, guru yang profesional berarti dituntut memiliki ilmu yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah; memiliki keahlian sesuai dengan bidang yang ditekuninya; keahliannya harus sesuai dengan latar belakang pendidikan yang didapatnya dan profesi guru yang profesional memiliki dampak sosial kemasyarakatan, baik kepada siswa, keluarga maupun masyarakat.

C. Pembahasan
1. Peran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama daan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka impelementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil, dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yasng tumpang tindih. Di samping itu, dituntut kemandirian dan kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran di balik otonomi yang dimilikinya. Sekolah harus mampu mencermati kebutuhan peserta didik yang bervariasi, keinginan staf yang berbeda, kondisi lingkungan yang beragam, harapan masyarakat yang menitipkan anaknya pada sekolah agar kelak bisa mandiri, serta tuntutan dunia kerja untuk memperoleh tenaga yang produktif, potensial dan berkualitas.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberi peluang bagi kepala sekolah, guru dan peserta didik untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial dan lain sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas dan profesionalisme yang dimiliki. Pelibatan masyarakat dalam pengembangan kurikulum mendorong sekolah untuk lebih terbuka, demokrasi dan bertanggung jawab. Pemberian kebebasan yang lebih luas memberi kemungkinan kepada sekolah untuk dapat menemukan jati dirinya dalam membina peserta didik, guru dan petugas lain yang ada di lingkungan sekolah. Dengan demikian, sekolah diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran yang efektif, dapat mencapai tujuan yang diharapkan, materi yang diajarkan relevan dengan kebutuhan masyarakat, berorientasi pada hasil (output), dan dampak (outcome), serta melakukan penilaian, pengawasan dan pemantauan secara terus menerus dan berkelanjutan. Hal tersebut diperlukan terutama untuk menjamin mutu secara menyeluruh (total quality), dan menciptakan proses perbaikan yang berkesinambungan (continues improvement), karena perbaikan tak kenal kata berhenti.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memerlukan pengajaran berbentuk tim, dan menuntut kerjasama yang kompak di antara para anggota tim. Kerjasama antara para guru sangat penting dalam proses pendidikan yang akhir-akhir ini mengalami perubahan yang sangat pesat. Meskipun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dapat diterapkan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan dan pada berbagai ranah pendidikan, kurikulum ini tidak dapat digunakan untuk memecahkan seluruh permasalahan pendidikan, namun memberi makna yang lebih signifikan kepada perbaikan pendidikan. Salah satu upaya yang menonjol dan dominan adalah pembelajaran individual, seperti modul dan pengajaran berprogram.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang ditawarkan merupakan bentuk operasional desentralisasi pendidikan yang akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan. Kebaruan ini harus diwaspadai dengan mengkaji berbagai sumber dan mendesiminasikannya kepada berbagai pihak terutama pada pelaksana dan calon pelaksana di lapangan agar tidak salah tafsir dan salah kaprah dalam penerapannya. Faktor lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kesiapan aparat pelaksanaannya. Kesiapan ini sangat ditentukan oleh para pelaku, antara lain ketulusan pemerintah pusat, aparat daerah, masyarakat dan sekolah itu sendiri. Kesiapan ini juga menyangkut kemampuan dalam mengajukan argumentasi dan rasionalisasi dan berbagai sudut pandang untuk mendukung diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan sosialisasi yang matang kepada berbagai pihak, agar kurikulum baru yang ditawarkan tersebut dapat dipahami dan diterapkan secara optimal. Sebagaimana dikemukakan oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Susilo, 2007:16) bahwa : “sosialisasi merupakan langkah penting yang akan menunjang dan menentukan keberhasilan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)”.
Sekolah yang dipandang sebagai suatu organisasi yang didesain untuk dapat berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat suatu bangsa. Sebagai salah satu institusi pendidikan, sekolah perlu dikelola, diatur, ditata dan diberdayakan agar sekolah dapat menghasilkan produk secara optimal. Sekolah sebagai tempat penyelenggara pendidikan merupakan sistem yang memiliki pemberdayaan. Dalam Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolah (Depdiknas, 2001) pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) bertujuan untuk: Pertama, meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan mampu mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Kedua, meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar.
Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka sekolah seharusnya memiliki komponen-komponen sekolah antara lain: kurikulum, tenaga pendidikan, kesiswaaan, sarana prasarana, keuangan, hubungan dengan masyarakat dan layanan khusus. Modal yang dimiliki oleh sekolah tersebut harus dapat dikelola dengan cara baik dan terarah, sehingga akan mampu dalam mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang merupakan harapan bagi upaya peningkatan mutu di dunia pendidikan.
Menurut Sukmadinata (2000:19) prinsip pengembangan kurikulum terbagi dalam dua hal yaitu: prinsip umum dan prinsip khsus. Yang termasuk prinsip umum antara lain: relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efekktivitas. Sedangkan yang termasuk prinsip khusus antara lain: prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, isi pendidikan, proses belajar mengajar, media dan alat pengajaran dan kegiatan penilaian. Lain halnya dengan Soetopo dan Soemanto (1986:24) yang mengatakan bahwa dalam usaha mengembangkan kurikulum, ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan agar kurikulum yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh semua pihak, baik itu sekolah, siswa, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Prinsip dasar yang paling utama dan harus diperhatikan adalah prinsip relevansi, efekktivitas dan efisiensi. Sedangkan prinsip dasar yang lain adalah prinsip kesinambungan dan fleksibilitas.
Langkah-langkah pengembangan perangkat kurikulum dalam bentuk silabus menurut Susilo (2007:114-138) antara lain: (1) penentuan format dan sistematika silabus; (2) penentuan kemasan silabus seperti penentuan format standar operasional pengembangan silabus dan penulisan identitas mata pelajaran; (3) penentuan kemampuan dasar; (4) penentuan materi pembelajaran dan uraiannya; (5) penentuan pengalaman belajar; (6) penentuan alokasi waktu; (7) penentuan sumber acuan dan: (8) pengembangan satuan pelajaran.

2. Guru Profesional
Paradigma baru pendidikan nasional telah menempatkan pendidik sebagai tenaga profesional, yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (Pasal 39 ayat (2) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Pasal ini tidak diikuti dengan perintah untuk pengaturan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Itulah salah satu sebab, maka pengaturan lebih lanjut tentang pendidik, khususnya guru dan dosen, perlu dibuat dalam bentuk undang-undang.
Dalam Pasal 39 ayat (2) UU Sisdiknas terlihat bahwa tugas pendidik (guru dan dosen) relatif sama. Namun dalam anak kalimat, ada terdapat perbedaan yang substansial. Tugas meneliti dan mengabdi kepada masyarakat lebih ditekankan kepada dosen, meskipun tidak berarti guru tidak boleh melakukan tugas tersebut. Dengan kata lain, bahwa melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, wajib bagi dosen, dan sunnat bagi guru.
Persamaan yang paling esensial, bahwa guru dan dosen adalah pendidik yang merupakan tenaga profesional. Pengertian professional memang tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU Sisdiknas, dan karena itu dalam Rancangan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, diberi rumusan: “Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupannya yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi”.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen menurut Prof. Dr. Anwar Arifin (2007:44) ditetapkan dengan jelas sembilan prinsip profesional (Pasal 7 ayat 1), yaitu guru dan dosen: (a) memiliki bakat, minat dan panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; dan (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas; dan (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. Selain itu guru dan dosen harus juga: (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; dan (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Khusus bagi guru harus (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa dan kode etik profesi. Selain itu baik guru dan dosen tidak diberi pengertian dalam UU Sisdiknas, sehingga dalam Undang-Undang Guru dan Dosen perlu dirumuskan dalam ketentuan umum. Dalam Pasal 1 ayat (1) butir 1 ditetapkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur formal, serta pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, termasuk pada pendidikan usia dini. Demikian juga disebutkan bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui penelitian ilmiah dan melakukan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 1 butir 2) pada jenjang pendidikan tinggi.
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional diatur lebih rinci dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen Pasal 2 ayat (10 disebutkan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, yang diangkata sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedudukan guru sebagai tenaga professional dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Pasal 2 ayat (2) UU GD). Demikian juga dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 3 ayat (1) UU GD). Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga professional juga dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Pasal 3 ayat (2) UU GD).
Pengakuan kedudukan guru dan dosen yang masing-masing dibuktikan dengan sertifikat pendidik itu, menunjukkan adanya kesamaan antara guru dan dosen dalam meningkatkan martabatnya, meskipun proses memperoleh sertifikat pendidik itu diatur secara berbeda. Perbedaan itu, didasarkan pada fungsi yang relatif tidak sama antara guru dan dosen. Meskipun guru dan dosen berfungsi sebagai pendidik dan agen pembelajaran dalam meningkatkan mutu pendidikan, namun dosen juga mempunyai fungsi sebagai ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 4 dan 5 RUU GD). Guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam pendidikan juga mempunyai tujuan yang sama yaitu melaksanakan pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Pasal 6 UU GD).
Patut disadari bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dimaksudkan agar guru dan dosen memiliki kompetensi ilmu, teknis dan moral dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dengan jaminan kesejahteraan yang memadai untuk memenuhi hak warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 ayat 1 UU Sisdiknas). Bahkan lebih jauh dari itu adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mencapai tujuan pendidikan nasional.
Saat ini ada sekitar 67 juta anak Indonesia yang harus memperoleh pendidikan yang bermutu, agar dapat melanjutkan dan mengembangkan eksistensi bangsa di masa depan. Dengan kata lain, 67 juta anak bangsa itu harus dilindungi dari pendidikan yang tidak bermutu, karena jika mereka memperoleh pendidikan yang tidak bermutu, maka mereka dapat menjadi bukan sumber daya melainkan dapat menjadi sumber masalah. Justru itu perlindungan terhadap mereka harus dilakukan, dengan memperbaiki mutu guru, baik kompetensinya maupun kesejahteraannya.
Jika guru dan dosen itu sebagai pendidik yang professional, maka harus ada pendidikan khusus dan pengalaman yang cukup dalam bidang pendidikan yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Justru itu dalam Undang-Undang Sisdiknas diamanatkan bahwa pendidik (guru dan dosen) harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 42 ayat (1) UU Sisdiknas). Hal ini dipertegas dan diperluas oleh UU GD bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi sebagai agen pembelajaran, dan sertifikat pendidik, serta sehat jasmani dan rohani untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 8 UU GD). Khusus untuk dosen ditambah lagi satu unsur yaitu kualifikasi yang dipersyaratkan perguruan tinggi tempat bertugas (Pasal 45 UU GD).
Kualifikasi minimum yang dimaksud di atas, untuk guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10 ayat 1 UU GD). Penggunaan istilah agen pembelajaran itu hingga kini masih pro-kontra, namun untuk pengenalan tetap digunakan dalam UU GD. Bagi dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, yang diperoleh melalui pendidikan tinggi pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahliannya. Kualifikasi minimum bagi dosen adalah lulusan program magister untuk bertugas pada program diploma satu, diploma dua atau diploma tiga, diploma empat atau program sarjana. Untuk bertugas pada program pascasarjana, harus kualifikasi lulus program doktor (Pasal 46).
Kualifikasi akademik itu sangat penting diatur, karena selama ini banyak dosen pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang diangkat karena nepotisme (hubungan keluarga dan kekerabatan), tanpa memiliki kualifikasi akademik minimum dan kompetensi sama sekali baik ilmu maupun keterampilan mendidik. Justru kualifikasi minimum itu, bagi calon guru atau dosen, harus tetap menjadi syarat, untuk melindungi peserta didik dari pendidik yang tidak kompeten. Perlindungan terhadap peserta didik itulah yang harus diutamakan, sehingga pendidikan khusus itu diperlukan bagi calon guru dan calon dosen, yang dibuktikan dengan ijazah dan sertifikat pendidik. Dengan adanya ijazah dan sertifikat pendidik itu, maka akuntabilitas dapat terjamin, dan sekaligus sebagai alat seleksi bagi negara untuk memberikan berbagai keuntungan kepada guru dan dosen sebagai pendidikan profesional.

D. Penutup
Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Pengembangan KTSP dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Juga kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan potensi peserta didik.
2. Pengembangan KTSP berlandaskan pada tujuan filsafat dan pendidikan nasional; sosial budaya dan agama; perkembangan peserta didik; keadaan lingkungan, kebutuhan pembangunan dan; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga prinsip pengembangannya berorientasi pada tujuan; relevansi (kesesuaian); efisiensi dan efektivitas; fleksibilitas; kontinuitas (berkesinambungan); keseimbangan; keterpaduan dan peningkatan mutu.
3. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dimaksudkan agar memiliki kompetensi ilmu, teknis dan moral dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dengan jaminan kesejahteraan yang memadai untuk memenuhi hak warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga dapat dicapai tujuan pendidikan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anwar. 2007. Profil Baru Guru & Dosen Indonesia: Idealis, Profesional, Sejahtera. Jakarta: Pustaka Indonesia.

Cooper, James M. (ed.) 1990. Classroom Teaching Skill. Lexington, Massachusetts Toronto: D.C. Heath and Company.

Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat menjadi Guru Profesional. Jogjakarta: Prismasophie.

Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Susilo, Muhammad Joko. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyajarta: Pustaka Pelajar Offset.

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia

Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005. Guru dan Dosen. Bandung: Fokusmedia