Senin, 09 Maret 2009

PERAN KAPITALISME PENDIDIKAN DALAM ERA GLOBALISASI Oleh: Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si. (Asesor Sertifikasi Dosen)

I. Abstrak
Kapitalisme adalah salah satu ideologi yang saat ini mendominasi dunia. Dominasi kapitalisme sebagai ideologi ini bukan karena kehandalannya untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup manusia termasuk dunia pendidikan, tetapi lebih karena berbagai manipulasi yang digunakan untuk menutupi kelemahannya. Ketika kaum kapitalis menghadapi serangan para penganut sosialis akibat ketimpangan sosial yang ditimbulkan, ideologi ini segera mengadopsi gagasan keadilan sosial (social justice) untuk menutupi kebobrokannya.
Dewasa ini umat manusia tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham Pasar bebas, yang dikenal dengan zaman Globalisasi. Tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan ternyata bagi sebagian manusia dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan. Bagaimana mungkin tradisi manusia tentang visi pendidikan sebagai strategi untuk eksistensi manusia yang telah direproduksi berabad-abad selama ini, diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditi.
Pendidikan diperlakukan sebagai komoditi diperkuat sejak dikembangkannya ditandatanganinya kesepakatan GATT, di mana dunia secara global telah memihak pada kepentingan pasar. Hal ini dilakukan demi membuka peluang bagi Trans National Corporations (TNCs) untuk ekspansi. Salah satu usaha strategis mereka adalah mempengaruhi kebijakan negara-negara Selatan untuk melicinkan jalan bagi TNCs untuk beroperasi. Mekanisme dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh para aktor utama, globalisasi yakni TNCs, Bank Dunia atau IMF melalui kesepakatan yang dibuat di WTO, sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang berangkat dari kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi bebas. Kompetisi Pasar Bebas merupakan suatu kompetisi yang agresif akibat dari terjaganya makanisme pasar bebas. Kesemua keyakinan ini berangkat dari suatu pendirian bahwa pasar bebas itu efisien. Pasar bebas diyakini sebagai cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam yang langka, demi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumber daya telah habis atau masih banyak. Kalau harga murah itu berarti persediaan memadai. Harga mahal artinya produknya mulai langka. Harga tinggi maka orang akan menanam modal kesana. Oleh sebab itu harga menjadi tanda apa yang harus diproduksi. Itulah alasan mengapa Neo-Liberal ekonomi tidak ingin pemerintah itu ikut campur, serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk bekerja.

II. Pendahuluan
Kapitalisme dibangun dengan berdasarkan prinsip pemisahan total antara Allah SWT dengan sistem yang mengatur berbagai interaksi dalam kehidupan. Ide ini merupakan akidah kapitalisme, yang sekaligus merupakan kepemimpinan dan akidah berfikirnya. Berdasar hal di atas, kaidah berfikir sistem kapitalis Dr. Mahmud Al Khalidi (2002:13) menyatakan, bahwa manusialah yang membuat sistem (untuk mengatur) kehidupannya. Dengan demikian akidah kapitalisme tersebut telah memberikan kebebasan mutlak kepada manusia dalam mengemukakan pendapat, berakidah dan kepemilikan yang dari sanalah lahir sistem kapitalis. Karena itu, Capitalism merupakan sesuatu yang paling menonjol dalam ideologi Kapitalis dilihat dari aspek labeling sesuatu berdasarkan substansinya yang paling menonjol.
Maka sangat tepat jika ideologi dunia ini disebut ideologi Kapitalisme. Pada dasarnya, lahirnya ideologi ini terjadi ketika para Kaisar dan raja di Eropa dan Rusia ketika itu telah menggunakan agama sebagai sarana untuk mengeksploitasi, menzalimi dan menghisap darah rakyat. Mereka juga menggunakan para pemuka agama sebagai kuda tunggangan untuk tujuan itu, dari sanalah kemudian terjadi pertarungan dahsyat yang di tengah pertarungan tersebut muncul para filsuf dan pemikir, yang mengingkari agama secara mutlak, serta munculnya mereka yang mengakui agama tetapi tetap menyerukan pemisahan agama tersebut dari kehidupan, sehingga mayoritas filsuf dan pemikir menetapkan suatu ide, yaitu pemisahan agama dari realitas kehidupan; dari sana wajar jika kemudian lahir ide pemisahan agama dari negara.
Akidah kapitalisme dengan memisahkan agama dari kehidupan berarti secara implisit telah mengakui, bahwa ada sesuatu yang bernama agama. Artinya, bahwa alam, manusia dan kehidupan ini mempunyai sang Pencipta yang menciptakannya, dan ada hari di mana manusia akan dibangkitkan di sana pasca kematiannya, karena agama menuntut adanya semuanya tadi, dilihat dari substansi agama sebagai agama. Ketika akidah Kapitalisme melontarkan ide pemisahan agama dari kehidupan, ia mengakui dan menetapkan ide bahwa agama merupakan interaksi dan hubungan antara individu dengan Penciptanya saja; agama juga tidak mempunyai hubungan dengan sistem kehidupan.
Kapitalisme pendidikan adalah ideologi individualisme, yang memandang bahwa masyarakat terdiri dari individu, dan hanya memandang komunitas dengan pandangahn skunder, sembari mencurahkan pemikiran dan seluruh potensinya kepada indiividu sebagai individu. Dengan demikian, kapitalisme telah menjamin kebebasan yang terlepas dari berbagai ikatan, agama, sistem, adat, nilai, tujuan tertinggi (high goal) ataupun hal-hal lain.
Pendidikan memang tidak murah meskipun bermuka dari niat yang mulia. Awalnya demi untuk mencerdasrkan dan menjadi cerdas selalu butuh biaya. Tentu jika ada biaya disitu bicara soal kemampuan untuk membayar dan meraup laba. Biaya kadang membuat pendidikan berlaku bak perusahaan yang mengubah siswa tidak saja bijak tapi juga asset yang membawa untung. Soalnya lagi biaya menjadi sebuah spiral tempat banyak pihak berebut pengaruh dan yang lain, saling sibuk untuk melakukan korupsi.
Berbicara mengenai perebutan pengaruh tentunya di sana ada pelaku dan agenda tersembunyikan. Pelaku dan agenda tersembunyikan membangun suatu sistem. Ada sistem pasar, ada sistem komando, dan ada pula sistem humanis populis atau sistem yang menaruh manusia sebagai tujuan namun tidak bersifat eksklusif melainkan menjangkau semua lapisan termasuk yang masih terpinggirkan. Kalau arah pendidikan ditentukan oleh sistem pasar, maka yang menang di arena pasar itulah yang menentukan arah, hitam putihnya, pendidikan. Sebaliknya kalau arah pendidikan ditentukan oleh komando negara, maka yang berkuasa di negara itulah yang menentukan warna pendidikan. Kemungkinan ketiga adalah arah pendidikan ditentukan oleh rakyat dan untuk tujuan memanusiakan manusia. Sistem ini akan menjadikan pendidikan alat pemanusiaan, sehingga kegunaan, kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan diukur dari kemampuan rakyat dan kebutuhan pemanusiaan, diisi dengan hal-hal yang mengangkat derajat manusia dan memberdayakan rakyat, diarahkan sehingga memenuhi kebutuhan dasar manusia hidup dan cita-cita ekonomi sosial rakyat jelata. Bagaimana masing-masing sistem beroperasi.
Pasar adalah sesuatu yang anonim dan ideologis. Dibalik pasar bukan sekedar para pelaku pasar, penawaran dan permintaan, tetapi siapa yang kuat mengontrol sarana ekonomi dan alokasinya. Bagi pelaku kapitalis liberal, seperti pengusaha lintas negara, maupun kapitalis feodalis, seperti pengusaha-pengusaha, gerak ekonomi diarahkan ke pelebaran dan penguasaan pasar untuk akumulasi kapital lebih banyak lagi. Arah pendidikan dibuat sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan ekonomi kapitalis tersebut. Kurikulum juga diisi dengan pengetahuan dan keahlian untuk industrialisasi, baik manufaktur maupun agroindustri.
Era globalisasi menurut Dr. Mochtar Buchori (1995:140) ialah proses yang mendorong umat manusia untuk beranjak dari cara hidup dengan wawasan nasional semata-mata ke arah cara hidup dengan wawasan global. Dalam wawasan ini dunia dipandang sebagai suatu sistem yang utuh, bukan sekedar sebagai kumpulan dari keping-keping geografis yang bernama ‘negara’ atau ‘bangsa’. Dalam situasi kehidupan yang bersifat global ini gejala dan masalah tertentu hanya dapat dipahami dan diselesaikan dengan baik apabila mereka meletakkan dalam kerangka yang bersifat global, bukan dalam kerangka lokal, nasional atau regional. Bardasarkan pemahaman tersebut, maka era globalisasi berarti suatu kurun waktu atau zaman yang ditandai oleh munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut umat manusia dituntut untuk menggantikan pola-pola perspesi dan pola-pola pikir tertentu, dan pola-pola yang bersifat nasional semata-mata ke pola-pola yang bercakupan global.

III. Pembahasan
A. Peran Kapitalisme Pendidikan
Kapitalisme pendidikan menurut Francis Wahono (2001:6) berarti arah pendidikan dibuat sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan ekonomi kapitalis tersebut. Kurikulum juga diisi dengan pengetahuan dan keahlian untuk industrialisasi, baik manufaktur maupun agroindustri. Pertahanan ekonomi lama dari sebagian besar rakyat, seperti pertanian, perkembunan rakyat, pertambangan rakyat dan perikanan rakyat, dijadikan timbal untuk memberikan pelayanan berupa tenaga kerja murah eks sektor primer, tanah dan makanan untuk buruh sektor industri. Mengapa industrialisasi? Sebab pasar selalu mencari nilai tukar produk yang tertinggi. Nilai produk yang tertinggi secara relatif adalah dari segi teknologi dan pengetahuan lebih unggul. Itu adalah produk hasil karya negara-negara bermodal besar. Itu yang menjajah pasar negara berkembang maupun menjajah sistem nilai tukar barang. Akhirnya juga menjajah secara nilai tukar mata uang yang terkait dengan sistem Bretton Woods yakni IMF dengan SDR-nya dan Worl Bank dengan Kredit Pembangunannya, yang pada gilirannya diikuti dengan hutang yang terakhir dengan perangkap hutang dari negara-negara maju maupun bank-bank negara maju terhadap negara berkembang. Perangkap hutang menjadi pengendalian empuk dari negara dan pemain negara maju juga karena mereka memberikan hutang pada rejim dan penguasa negara berkembang yang korup. Itulah globalisasi perdagangan, ilmu, teknologi, sistem hukum, keuangan, kebijakan ekonomi, kebijakan industrialisasi yang mengorbankan pertanian, dan politik serta pola hidup dan konsumsi (Latin America Bureau, 1983; Walters, 1995; Chossudovasky, 1997; Amalados, ed. 1999; Cahyono ed. 1999; Wahono, 1999).
Akhirnya upah, gaji dan karier bagi anak bangsa paling menggiurkan tersedia pada sektor yang berkaitan dengan globalisasi dan akar ke bawahnya. Gulanya ada di sana, maka semut-semut pendidikan, termasuk program penelitian, semua larinya ke sana pula. Kalau hal demikian yang terjadi, maka pembatasan perans ekolah pada pengajaran, sementara pendidikan diserahkan kepada masyarakat (J.I.G.M. Drost, 1998) akan cenderung mendukung ekonomi kapitalis liberal dan mengarahkan pendidikan sebagai pabrik tenaga kerjanya. Pas sudah dengan pendekatan sumberdaya manusia, manusia diperlukan sejajar dengan barang, bahkan diukur dan dijual belikan sebagai komoditi. Pemanusiaan manusia merupakan cita-cita yang bertentangan dengan pendekatan komoditisasi manusia atau tenaga kerja.
Kemungkinan yang kedua adalah pelaku yang mengarahkan pendidikan adalah negara. Itulah yang terjadi di negara-negara otoriter termasuknegara diktator proletariat pada sistem komunisme penguasaan oleh partai, negara Uni Soviet dulu, Cuba dan Cina daratan. Pemerintah atau partai berkuasa tahu yang terbaik bagi rakyatnya. Yang terjadi adalah teror dan penyeragaman di mana-mana. Ideologi yang melestarikan status quo dindoktrinasikan, dipompakan, melalui antara lain upacara bendera sampai kuis cerdas cermat. Suasana itu pula kita rasakan selama Orde Baru. Nilai pelajaran dapat dipesan, seragama bukan hanya dalam hal berpakaian, tetapi kurikulum, pengkatrolan nilai (social enginering), bahkan muatan lokal yang seragam untuk seluruh Nusantara yang beranekaragam. Pendekatan dari atas ke bawah menjadi panutan di mana-mana. Gaji guru dipatok rendah agar posisi tawar menawar hidupnya lemah, sehingga pilihan hidup ditukar dengan pilihan sebuah partai pemerintah. Sikap kritis dipasung, hasil penelitian direkayasa, laporan kertas bertumpuk-tumpuk, semuanya tidak lain untuk membuat langgeng birokrasi yang boros. Akhirnya pendidikan menjadi pembodohan dan pembohongan generasi. Dan kita semua diajar untuk otoriter, serba juklak (petunjuk pelaksanaan), mendungukan diri atau didungukan, jauh dari demokratis dan cinta damai, karena yang ditanamkan setiap hari adalah hukum kekuasaan bukan hukum adil dan hormat pada orang lain, akhirnya manakala kehendak tidak terpenuhi seperti anak-anak kecil yang manja atau yang tertekan, mudah meledak, beramuk dan suka mempergunakan kekerasan. Di era globalisasi, di mana komunikasi menyatukan dunia menjadi satu desa raksasa, di mana kemenangan ditentukan oleh kepintaran otak dan pengelolaan harta, kita cenderung tidak beradab dan semakin tertinggal kereta, karena amuk, marah, nekad, merasa kuasa menjadi jalan penyelesai persoalan (Bdk. Drost, 1998; Tilaar, 1988; Darmaningtyas, 1999; Cahyono, 1999).
Kemungkinan yang ketiga adalah pelaku yang mengarahkan pendidikan adalah rakyat yang mencari jati diri kemanusiaannya dan menuntut kedailan sosial yakni hak mendapatkan pendidikan yang sama. Dalam hal ini, negara dapat bercampur tangan, tetapi tidak lebih dari sekedar menjadi fasilitator. Kafasilitatoran negara ini perlu ditekankan, sebab kecenderungannya adalah yang mengontrol uang, mengontrol pula manusianya. Apalagi kini negara mulai hendak melepas pendidikan pada swasta, yang negeri diberi kesempatan untuk otonom, artinya untuk berswasta; yang swasta dibiarkan mencari rekanan kerja perusahaan-perusahaan. Negara sebagai fasilitator artinya juga sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan, sebab moderator keadilan sosial, namun tetap membiarkan pelaku didik berkreasi menurut kebutuhan anak didik dan konteks regionalnya. Perebutan jelajah antara di satu pihak pendidikan yang dikehendaki oleh rakyat dan di lain pihak pendidikan yang dimaui oleh perusahaan swasta, di mana negara lebih condong ke yang terakhir adalah wilayah dari kajian ekonomi dan pendidikan. Dari sudut pandang pendidikan sebagai alat, perebutan tersebut dapat dirumuskan sebagai pendidikan itu diusahakan untuk membuat orang menang berkompetisi yang dilawankan dengan pendidikan untuk menyiapkan orang sehingga mampu mandiri? Kita dihadapkan pada pilihan antara pendidikan kompetisi ekonomi yang mencari kemenangan diri dan pendidikan keadilan sosial yang menjamin kemandirian. Pilihan pertama akan menciptakan korban yakni mereka yang kalah berkompetisi, tetapi boleh jadi cepat membuahkan keuntungan finansial bagi yang menang. Pilihan kedua akan menuntut biaya yang tidak tentu membuahkan bunga uang atau keuntungan finansial langsung, namun akan lebih dapat mengangkat harkat bagi sebanyak mungkin orang: mampu menentukan dirinya sendiri. Yang pertama adalah pendidikan elitis yang meminggirkan yang miskin dan tak produktif. Yang kedua adalah pendidikan yang memebaskan, memberdayakan semua orang menurut bakat dan keterbatasnnya sehingga menjadi orang realis dan kreatif.
Kedua pilihan yang saling bertentangan ditentukan oleh contoh acuan hidup dan bekarja, atau paradigma. Dari paradigma itulah diturunkan visi dan missi, yang secara operasional disebut sistem ekonomi politik. Paradigma pertama adalah paradigma kapitalis liberalis untyuk tingkat internasional atau kapitalis feodalis sebagaimana dipraktekan di Indonesia selama Orde Baru. Paradigma kedua adalah paradigma populis demokrartis humanis sebagaimana ditunjukkan oleh UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga sesuai dengan kebijakan pendidikan pada Kabinet Indonesia Bersatu yakni pemerataan pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan.
Di negara-negara terbelakang dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, seperti Indonesia, sistem ekonomi akan lebih merupakan determinan dari pendidikan daripada sebaliknya. Menurut Todaro (1995:386) bahwa; “sikap pendidikan di negara-negara Dunia ketiga sangat kuat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh gambaran, bentuk dan sifat atau karakter proses pembangunan”. Di negara-negara maju dalam hal ilmu pengetahuan dan kaya dana, pendidikan mungkin menjadi penentu sistem ekonomi. Bahwa sistem ekonomi menjadi penentu pendidikan itu sudah berlangsung sejak zaman kota Sparta (900 SM) dan Athena (500 SM). Sistem ekonomi kota perdagangan pantai membutuhkan serdadu dan teknik perang tinggi untuk pertahanan dan melebarkan daerah jelajah pedagang. Pendidikan diarahkan untuk menguasai wilayah dengan ilmu perang. Zaman Renaissance (1400-16000 telah malahirkan pendidikan sistem magang dengan tumbuhnya sistem ekonomi perdagangan, industri dan perbankan (Thomson, 1951:26). Pada abad ke-18 di Perancis kesadaran akan pembaharuan politik ekonomi negara sesudah Revolusi Perancis telah menjadikan pendidikan alat untuk menciptakan birokrat yang mampu mengurus negara (Thomson, 1951:19-20). Sayang bahwa di sela-sela itu, sistem politik ekonomi theokrasi feodalisme telah menjadikan pendidikan berkuat pada menyalurkan nilai-nilai moral dan keagamaan. Di Indonesia masa lampau yang banyak berperan adalah sistem politik ekonomi theokrasi feodalis. Kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, dan Majapahit untuk menjaga kelanggengan dan keagungan negara theokrasi memompakan pendidikan akhlak dan keagamaan (Bradjanagara, 1956). Pada zaman Orde Baru sistem theokrasi feodalis itu mengambil bentuk barum yakni kapitalis feodalis. Yang dituju bukan kejayaan jelajah budaya dan politik raja-dewata, melainkan jelajah ekonomi dan politik presiden-raja. Bukan bahwa pendidikan semacam itu tidak bermanfaat, tetapi bahwa pendidikan semacam itu menutup mata terhandap kenyataan sosial ekonomi. Lari dari kenyataan. Kenyataan sosial ekonomi yang tidak adil dan sarat dengan kemiskinan, yang berkelas sosial dan meminggirkan sebagian besar rakyat, semestinya telah menjadikan pendidikan alat untuk pembebasan kemiskinan dan kebodohan.
Dasar-dasar sistem kapitalis dalam dunia pendidikan dijelaskan oleh Dr. Mahmud Al Khalidi (2002:23-24) bahwa: “ sistem ekonomi kapitalis dibangun berdasarkan tiga asas yaitu: (1) masalah kelangkaan reralit; (2) nilai (value) barang yang diproduksi; (3) peranan harga (price) dalam produksi, konsumsi dan distribusi. Masalah kelangkaan relatif tersebut adalah masalah ketidakcukupan barang (good) dan jasa (service) untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus berkembang. Inilah masalah ekonomi terbesar yang dihadapi oleh masyarakat kapitalis menurut pandangan mereka. Sementara pemikiran ekonomi politik Kapitalis berpandangan, bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi, sehingga harus ada lata-alat pemuas kebutuhan tersebut. Kebutuhan ini juga hanya bersifat material murni, karena adakalanya berupa kebutuhan yang dapat diindera dan dirasakan manusia, seperti kebutuhan manusia terhadap makanan dan pakaian, dan adakalanya berupa kebutuhan yang dapat dirasakan tetapi tidak dapat diindera manusia, seperti kebutuhan manusia terhadap jasa dokter dan guru. Sementara kebutuhan imaterial (ma’nawi), seperti kebanggaan, serta kebutuhan spiritual, seperti pensucian, semuanya tadi keberadaannya secara ekonomis tidak pernah diakui oleh para pandang pemikiran Kapitalis, dan semuanya tadi tidaka mempunyai tempat di mata orang Kapitalis, serta tidak mempunyai ruang ketika melakukan pembahasan ekonomi.
Mengenai barang dan jasa dianggap sebagai alat pemuas kenutuhan dalam ekonomi politik Kapitalis, maka barang menurut konsepsi mereka adalah alat pemuas kebutuhan yang dapat diindra dan dirasakan. Sedangkan jasa adalah alat pemuas kebutuhan yang dapat dirasakan tetapi tidak dapat diindera. Sementara aspek yang akan dipuaskan (dipenuhi) dengan barang dan jasa tersebut adalah manfaat (utility) yang ada di dalamnya. Manfaat(utility) ini bersifat spesifik; jika barang memenuhi spesifikasi ini, maka ia layak untuk memenuhi kebutuhan, di samping bahwa kebutuhan secara ekonomi bermakna keinginan (want), sehingga sesuatu yang bermanfaat (utility) secara ekonomi adalah apa saja yang diinginkan, baik yang mendesak (primer) ataupun tidak.
Teori Nilai (Theory of Value). Nilai barang yangb diproduksi dalam pandangan kaum Kapitalis adalah tingkat urgensinya, adakalanya menurut orang tertentu, dan adakalanya dengan barang lain. Pada kondisi pertama disebut Nilai Guna (Utility Value), dan pada kondisi kedua disebut Nilai tukar. Nilai guna barang (utility value) dapat disimpulkan, bahwa nilai guna adalah satuan dari sesuatu yang diukur berdasarkan manfaat yang paling akhir, yaitu manfaat satuan tersebut ketika memuaskan kebutuhan yang paling rendah. Nilai yang oleh kaum Kapitalis disebut dengan Theory of Marginal Stratisfaction (Teori Kepuasan Batas) ; artinya manfaat tersebut tidak diukur berdasarkan pandangan produsen, sehingga akan diukur menurut beban produksinya, karena ketika itu nilai tersebut hanya memeperhatikan pandangan supply (penawaran) dengan mengesampingkan demand (permintaan), juga tidak diukur berdasarkan pandangan konsumen, sehingga akan diukur berdasarkan kadar kegunaan (utility) dan rasa butuh pada utility dengan memperhatikan faktor kelangkaan, karena ketika itu nilai tersebut hanya memperhatikan pandangan demand, minussupply. Kaum Kapitalis berpendapat, bahwa pertukaran tersebut hanya sempurna jika ada alat pengganti barang atau jasa yang setara atau hampir setara nilainya. Dari sinilah, maka menurut Kaum Kapitalis nilai (value) harus dibahas, karena nilai tersebut merupakan asas pertukaran, dan karena ia juga merupakan sifat yang dapat dinilai, juga karena ia merupakan standar yang menjadi standar barang dan jasa, yang dengan nilai itu juga aktivitas produktif dan non-produktif dapat diklasifikasikan.
Sebab, produksi adalah menciptakan atau menambah kegunaan (utility). Produksi tidak akan sempurna kecuali dengan adanya usaha, sementara aktivitas produtif dan non produktif, serta mana yang tingkat produktifitasnya lebih tinggi dibanding yang lain bisa diklasifikasikan, semuanya memerlukan standar yang detail untuk mengukur berbagai produk dan jasa yang beragam. Standar yang detail inilah nilai sosial bagi produk dan jasa, atau dengan kata lain itulah penilaian komunal yterhadap usaha (aktivitas) yang dicurahkan atau jasa yang diberikan.
Teori Harga (Theory of Price). Struktur harga (structure of price) dan peran yang dimainkannya dalam produksi, konsumsi dan distribusi adalah batu fondasi sistem ekonomi Kapitalis. Karena nilai tukar (exchange vaue) di zaman modern ini telah dispesifikasikan dengan satuan penghitung (unit of account) nilainya sehingga menjadi dominan dibanding dengannya, maka nilai barang tidak disandarkan kepada barang lain. Karena seluruh barang tersebut di seluruh penjuru dunia disandarkan kepada satu barang saja yang disebut (money). Struktur harga dan pengaruhnya dalam kehidupan ekonomi dijelaskan oleh Dr. Mahmud Al Khalidi antara lain: (1) struktur harga adalah metode ideal untuk mengatur distribusi barang dan jasa kepada anggota masyarakat; (2) struktur harga adalah pendorong laju produksi; (3) struktur hargalah yang juga akan mewujudkan keseimbangan antara produksi dan konsumsi dan; (4) peran struktur harga dalam supply and demand.

B. Era Globalisasi
Globalisasi adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan Jepang melakukan ekspansi besar-besaran; kemudian berusaha mendominir dunia dengan kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, politik, budaya, militer dan ekonomi. Pengaruh mereka di segala bidang terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu penjajahan berdampak positif dan negatif sekaligus. Berdampak positif, karena pada beberapa segi ikut mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material. Sedangkan dampak negatifnya antara lain berupa: (1) munculnya teknokrasi dan tirani yang sangat berkuasa dan; (2) didukung oleh alat-alat teknik modern dan persenjataan yang canggih.
Ternyata kini bahwa ilmu pengetahuan, mesin-mesin, pesawat hiper modern dan persenjataan itu sering disalahgunakan; yaitu dijadikan mekanisme operasionalistik yang menjarah dan menghancurkan. Sebagai akibatnya timbul banyak perang, penderitaan dan malapetaka di dunia. Negara-negara maju itu pada banyak segi, terutama di bidang teknis, ilmu pengetahuan dan manajerial memiliki segugus besar kelebihan dan kelimpahan, berupa: science, teknik canggih, industri dan produksi yang berlimpah. Karena itu semua kelimpahan tadi perlu didistribusikan keluar, dan dijadikan barang dagangan yang menguntungkan. Oleh sebab itu mereka memerlukan lahan pasar lebih luas lagi untuk menjual kelebihan hasil produksinya. Maka langkah niaga mereka yang semula bersifat spontan, damai, ramah, humaniter dan fasifistis, kemudian berubah menjadi agersif, ekspansif, eksploitatif, menjarah dan imperialistik. Tidak lama kemudian mereka menjadi kekuatan neo-kolonialisme (militer-politik-ekonomi) yang cepat mengembangkan sayap kekuasaannya ke negara-negara yang lemah sistem perekonomiannya.
Sehubungan dengan nafsu ekspansi mereka itu, teknik dan ilmu pengetahuan yang dijadikan alat politik dan alat ekonomi perlu disamarkan. Misalnya dalam bentuk: misi bantuan pengembangan, program pembangunan daerah miskin, misi perdamaian, dana pampasan, tugas kemanusiaan, program kerjasama pendidikan, misi kebudayaan dan lain-lain. Maka berkaitan dengan derasnya arus globalisasi yang ditunggangi aksi-aksi kolonial tersembunyi perlu lebih meningkatkaqn kewaspadaan nasional, di samping memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Menurut Kellner (2002:287) bahwa: “globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkar relasi sosial dan aliran komoditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk kultur, dan penduduk yang melewati batas nasional via jaringan masyarakat global … transmutasi teknologi dan kapital bekerja sama menciptakan dunia baru yang mengglobal dan saling berhubung. Revoluasi teknologi yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer, transportasi, dan pertukaran merupakan pra-anggapan (presumpposition) dari ekonomi global, bersama dengan perluasan dari sistem pasar kapitalis dunia yang menarik lebih banyak area dunia dan ruang produksi, perdagangan dan konsumsi ke dalam orbitnya.
Meskipun ekonomi kapitalis masih penting untuk mamahami globalisasi, teknosainslah (techno-science) yang memberikan infrastrukturnya. Jadi, kuncinya terletak dalam hubungan dalektis antara tekno-sains dengan ekonomi kapitalis, atau tekno-kapitalisme (techno-capitalism). Kellner berusaha untuk menghindasri ekstremitas determinsime ekonomi dan teknologi yang dianggap sebagai pemikiran dominan tentang globalisasi.
Yang merupakan hal penting bagi Kellner, dan refleksi dari perspektif dialektikanya, adalah pemikirannya tentang internet. Teknologi baru ini dipakai dengan berbagai macam cara untuk mempromosikan globalisasi kapitalis. Akan tetapi, internet juga dipakai untuk memobilisasi orang-orang yang menentang globalisasi. Jadi, Kellner melihat potensi demokrasi utopian di dalam teknologi baru ini, tetapi pada tingkat minimum teknologi baru ini mengubah globalisasi menjadi daerah persaingan.
Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau instusional. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya adalah apakah seseorang melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses di mana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Trend menuju homogenitas sering kali diasosiasikan dengan imperialisme kultural atau dengan kata lain, bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu. Ada banyak variasi imperialisme kuktural termasuk yang menekankan peran yang dimainkan oleh kultur Amerika (Kuisel, 1993; Ritzer, 1995, 2000a), Barat (Giddens, 1990) atau negara-negara pusat (Hanneez, 1990). Robertson (1992), meskipun dia tak menggunakan istilah inperialisme kultural, menentang ide tersebut melalui konsepnya yang sangat terkenal, glocalization, di mana dunia global dilihat berinteraksi dengan dunia lokal untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda, yakni glocal. Selain Robertson, orang lain yang menekankan keragaman kultural adalah Garcia Canclini (1995) dan Pieterse (1995). Yang juga dalam kategori umum ini adalah karya-karya dari sarjana seperti Friedman (1994), yang mendeskripsikan dunia yang dicirikan oleh percampuranb kultural (pastiche cultural).
Teoritisi yang memfokuskan pada faktor-faktor ekonomi cenderung menekankan arti penting ekonomi dan efeknya yang bersifat homogenizing terhadap dunia. Mereka umumnya melihat globalisasi sebagai penyebaran ekonomi pasar ke seluruh kawasan dunia yang berbeda-beda. Misalnya, George Stiglitz (2002), seorang pemenang Nobel Ekonomi dan Bekas Dewan Penasihat Ekonomi, mengeluarkan kecaman tajam kepada Bank Dunia, WTO, dan khususnya IMF karena peran mereka yang bukannya memperbaiki tetapi malah memperburuk krisis ekonomi global. Di antara kritik itu, Stiglitz (2002:34) mengecam IMF karena menyamaratakan pendekatan “one-size-fits-all” yang tidak mempertimbangkan perbedaan nasional.
Meski orang-orang yang memfokuskan pada ekonomi cenderung menekankan homogenitis, namun ada yang mengakui beberapa perbedaan (heterogenitas) di pinggiran ekonomi global. Stiglitz menyatakan perlunya kebijakan yang tidak seragam (differentiated) di IMF dan organisasi global lainnya. Bentuk lain dari heterogenitas dalam dunia ekonomi menyangkut, misalnya kodifikasi kultur lokal dan eksistensi spesialisasi yang fleksibel yang bisa mengaitkan berbagai produk dengan kebutuhan dari beragam spesifikasi lokal. Yang lebih umum, mereka yang menekankan pada heterogenisasi akan mengatakan bahwa interaksi pasar global dengan pasar lokal akan menciptakan pasar glocal yang unik, yang mengintegrasikan tuntutan pasar global dengan realitas pasar lokal.
Globalitas berarti bahwa mulai sekarang tak ada kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi seluruh dunia . Menurut Beck (2000:12) globalitas adalah proses baru setidaknya keran tiga alasan. Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua, pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil; pengaruhnya terus berlanjut dari waktu ke waktu. Ketiga, ada densitas (density) yang lebih besar untuk “jaringan transnasional, hubungan dan arus pekerjaan jaringan”. Beck juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannyan dengan manifestasi lain dari transnasionalitas antara lain: (1) kehidupan sehari-hari dan interaksi lintas batas negara semakin terpengaruh; (2) ada persepsi diri tentang transnasionalitas ini dalam bidang-bidang seperti media massa, konsumsi, dan pariwisata (tourism); (3) komunitas, tenaga kerja, kapital semakin tak bertempat (placeless); (4) bertambahnya kesadaran tentang bahaya global dan tindakan yang harus diambil untuk menanganinya; (5) meningkatnya persepsi transtruktural dalam kehidupan kita; (6) industri-industri kultur global beredar pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan; (7) peningkatan dalam jumlah dan kekuatan aktor-aktor, institusi, dan kesepakatan transnasional.

IV. Kesimpulan
Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam hal-hal berikut ini:
1. Pendidikan sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak rahasia alam raya dan manusia.
2. Kapitalisme pendidikan bertentangan dengan tradisi manusia tentang visi pendidikan sebagai startegi untuk eksistensi manusia juga untuk menciptakan keadilan sosial, wahana untuk memanusiakan manusia serta wahana untuk pembebasan manusia, diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditi. Implikasi kapitalisme pendidikan antara lain: (1) pemerintah harus melepaskan semua sekolahnya, dan serahkan urusan pendidikan kepada perusahaan swasta; (2) menuntut negara menghentikan subsidi kepada rakyat karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip Neoliberal tentang jauhkan campur tangan pemerintah juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas dan persaingan bebas.
3. Akibat liberalisasi pendidikan ini, pendidikan akan hanya mampu dijangkau oleh mereka yang secara ekonomi diuntungkan oleh struktur dan sistem sosial yang ada. Sementara itu bagi mereka yang datang dari kelas yang dieksploitasi secara ekonomi tidak akan mampu menjangkau pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan telah menjadi suatu komoditi, bagi mereka yang memiliki uang dan mampu untuk membayarnya, akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan, sementara bagi mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan pelayanan pendidikan.
4. Globalisme berpandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus globalisasi perlu dikembangkan dan ditanamkan karakter nasionalisme, yaitu dididikkan terus menerus lewat sistem pendidikan, dan secara sistematis untuk menghadapi dampak negatif dari arus globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Chossudovsky, Michael. 1997. The Globalization of Poverty: Impact of IMF and World Bank Reforms. Penang: Third World Book.
Francis Wahono. 2001. Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Kartini Kartono. 1997. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti. Jakarta: Pradnya Paramita.
Mahmud Al Khalidi. 2002. Kerusakan dan Bahaya Sistem Ekonomi Kapitalis. Jakarta: Wahyu Press.
Mochtar Buchori. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Triwibowo Budi Santoso. (ed.). 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

1 komentar:

  1. hai kk endang, saat ini saya membutuhkan bahan mengikuti lomba, saya membutuhkan sebuah inovasi baru tentang kreatifitas sains yang menyangkut kultur lokal jawa barat. mudah2an kk bisa bantu dan memberi solusi..

    BalasHapus