MEMBANGUN KECERDASAN MORAL
Oleh: Prof.
Dr. Endang Komara, M.Si (Guru Besar pada Magister Pendidikan IPS STKIP
Pasundan)
Abstrak
Kecerdasan moral (moral quotient)
sebagai kapasitas mental untuk menentukan cara prinsip manusia yang seharusnya
diterapkan pada nilai-nilai tujuan dan perilaku individu. Kecerdasan moral
lebih mendasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan moral sebagai kemampuan untuk membedakan yang benar
dan salah yang sesuai dengan prinsip hidup kemanusiaan. Dengan demikian kecerdasan
moral merupakan kemampuan seseorang untuk membedakan benar dan salah
berdasarkan keyakinan yang kuat akan etika dan menerapkannya dalam tindakan.
Perkembangan kecerdasan moral adalah suatu bentuk evaluasi individu atas apa
yang benar dan apa yang salah, dan moral yang meliputi penerimaan individu atas
aturan dan nantinya berpengaruh pada perilaku individu terhadap orang lain.
Kata kunci: Membangun, kecerdasan, moral, etika dan tindakan.
I.
Pendahuluan
Kecerdasan moral adalah kemampuan
memahami hal yang benar dan yang salah. Artinya, memiliki keyakinan etika yang
kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga orang bersikap
benar dan terhormat. Kecerdasan yang sangat penting ini mencakup karakter
utama, seperti kemampuan untuk memahami penderitaan orang lain dan tidak
bertindak jahat; mampu mengendalikan dorongan dan menunda pemuasan;
mendengarkan dari berbagai pihak sebelum memberikan penilaian; menerima dan
menghargai perbedaan; bisa memahami pilihan yang tidak etis; dapat berempati; memperjuangkan keadilan; dan
menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain.
Hal tersebut merupakan sifat-sifat
utama yang akan membentuk anak didik menjadi baik hati, karakter kuat, dan
warga negara yang baik (Good Citizenship).
Kita melihat betapa anak-anak semakin tenggelam dalam berbagai persoalan yang
serius karena mereka tidak pernah mempelajari kecerdasan moral. Dengan naluri
yang lemah, kontrol diri yang rapuh, kepekaan moral yang kurang, dan keyakinan
yang salah, membuat anak-anak mengalami hambatan. Meski penyebab merosotnya
moralitas sangatlah kompleks, terdapat fakta yang tidak dapat dipungkiri:
lingkungam moral tempat anak-anak dibesarkan saat ini sangat meracuni
kecerdasan moral mereka. Mengapa demikian? Pertama,
sejumlah faktor sosial kritis yang membentuk karakter bermoral secara perlahan
mulai runtuh, yaitu: pengawasan orang tua, teladan perilaku bermoral,
pendidikan spiritual dan agama, hubungan akrab dengan orang dewasa, sekolah
khusus, norma-norma yang jelas, dukungan masyarakat, stabilitas, dan pola asuh yang benar. Kedua, anak-anak secara terus-menerus
menerima masukan dari luar yang bertentangan dengan norma-norma yang tengah
kita tumbuhkan. Kedua faktor tersebut berperan terhadap kerusakan moral
anak-anak kita bersamaan dengan hilangnya kepolosan mereka.
Tantangan semakin besar karena
pengaruh buruk tersebut muncul dari berbagai sumber yang mudah didapat
anak-anak. Televisi, film, video permainan, musik pop, dan iklan memberikan
pengaruh terburuk bagi moral mereka karena menyodorkan sinisme, pelecehan,
materialisme, seks bebas, kekasaran, dan kekerasan. Hal-hal buruk di dunia
internet juga sangat mengejutkan: pornografi, pencurian dan
penyiksaan/pembunuhan, pemujaan setan, pedofilia, dan begitu banyak situs-situs
penghasut yang mengajarkan kebencian, yang semuanya bisa lolos dari sistem
filter terbaik sekalipun. Tentu saja media popular bukan satu-satunya yang
memberi pengaruh buruk; siapa pun atau apa pun yang berbenturan dengan
keyakinan dengan keyakinan moral keluarga adalah ancaman, termasuk di dalamnya
teman sebaya dan orang dewasa.
Kenyataannya pengaruh negatif begitu
melekat dalam budaya kita, sehingga
hampir tidak mungkin menghindarkan anak-anak dari pengaruh tersebut. Meskipun
kita sudah berusaha membatasi atau melarang penggunaan media tersebut di rumah,
sekali mereka keluar rumah, mereka bisa mendapatkannya di mana-mana. Itulah
sebabnya mengapa membangun kecerdasan moral sangat penting dilakukan agar suara
hati anak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga mereka
dapat menangkis pengaruh buruk dari luar.
Kecerdasan moral menjadi otot kuat yang diperlukan untuk melawan tekanan
buruk dan membekali anak kemampuan bertindak tanpa bantuan orang tuanya.
Kecerdasan moral seperti diungkapkan
oleh Michele Borba Ed. D. (2008)
terbangun dari tujuh kebajikan utama yaitu: empati, hati nurani, kontrol diri,
rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan yang membantu anak
menghadapi tantangan dan tekanan etika yang tidak dapat dihindarkan dalam
kehidupannya kelak. Semuanya itu dapat diajarkan, dicontohkan, disadarkan,
serta didorong sehingga dapat dicapai anak.
Pertama, empati merupakan
inti emosi moral yang membantu anak memahami perasaan orang lain. Kebijakan ini
membuatnya menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain,
mendorongnya menolong orang yang kesusahan atau kesakitan, serta menuntutnya
memperlakukan orang dengan kasih sayang. Emosi moral yang kuat mendorong anak
bertindak benar karena ia bisa melihat kesusahan orang lain sehingga
mencegahnya melakukan tindakan yang dapat melukai orang lain.
Kedua, hati nurani adalah
suara hati yang membantu anak memilih jalan yang benar darpada jalan yang salah
serta berada di jalur yang bermoral; membuat dirinya merasa bersalah ketika
menyimpang dari jalur semestinya. Kebajikan ini membentengi anak dari pengaruh
buruk dan membuatnya mampu bertindak benar meski tergoda untuk melakukan hal yang
sebaliknya. Kebajikan ini merupakan fondasi bagi perkembangan sifat jujur,
tanggung jawab, dan berintegritas diri yang tinggi.
Ketiga, kontrol diri
membantu anak menahan dorongan dari dalam dirinya dan berpikir sebelum
bertindak, sehingga ia melakukan hal yang benar, dan kecil kemungkinan
mengambil tindakan yang akan menimbulkan akibat buruk. Kebajikan ini membantu
anak menjadi mandiri karena ia tahu bahwa dirinya bisa mengendalikan
tindakannya sendiri. Sifat ini membangkitkan sikap murah dan baik hati karena
anak mampu menyingkirkan keinginan memuaskan diri serta merangsang kesadaran
mementingkan keperluan orang lain.
Keempat, rasa hormat
mendorong anak bersikap baik dan menghormati orang lain. Kebajikan ini
mengarahkan anak memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain
memperlakukan dirinya, sehingga mencegah
anak bertindak kasar, tidak adil dan bersikap memusuhi. Jika anak terbiasa
bersikap hormat terhadap orang lain, ia akan memerhatikan hak-hak serta
perasaan orang lain; akibatnya, ia juga akan menghormati dirinya sendiri.
Kelima,
kebaikan hati membantu anak mampu menunjukkan kepeduliannya terhadap
kesejahteraan dan perasaan orang lain. Dengan mengembangkan kebajikan ini, anak
lebih belas kasih dan tidak terlalu memikirkan diri sendiri, serta menyadari
perbuatan baik sebagai tindakan yang benar, kebaikan hati membuat anak lebih
banyak memikirkan kebutuhan orang lain, menunjukkan kepedulian, memberikan
bantuan kepada yang memerlukan, serta melindungi mereka yang kesulitan atau
kesakitan.
Keenam, toleransi membuat
anak mampu menghargai perbedaan kualitas dalam diri orang lain, membuka diri
terhadap pandangan dan keyakinan baru, dan menghargai orang lain tanpa
membedakan suku, gender, penampilan, budaya, kepercayaan, kemampuan, atau
orientasi seksual. Kebajikan ini membuat anak memperlakukan orang lain dengan
baik dan penuh pengertian, menentang permusuhan, kekejaman, kefanatikan, serta
menghargai orang-orang berdasarkan karakter mereka.
Ketujuh, menuntun anak
agar memperlakukan orang lain dengan baik, tidak memihak, dan adil, sehingga ia
mematuhi aturan, mau bergiliran dan berbagi, serta mendengar semua pihak secara
terbuka sebelum memberi penilaian apa pun. Karena kebajikan ini meningkatkan kepekaan
moral anak, ia pun akan terdorong membela pihak yang diperlakukan secara tidak
adil dan menuntut agar semua orang tanpa pandangan suku, bangsa, budaya, status
ekonomi, kemampuan atau keyakinan.
Membangun Kecerdasan Moral
memberikan cetak biru langkah demi langkah untuk meningkatkan kapasitas moral
anak berdasarkan prinsip-prinsip etika dari ketujuh kabajikan tersebut. Setiap
kali anak berhasil menguasai satu kebajikan, kecerdasan moralnya bertambah, dan
ia pun menaiki tangga kecerdasan moral yang lebih tinggi.
II.
Pembahasan
2.1 Sejarah
Perkembangan Kecerdasan Moral
Perkembangan moral merupakan salah
satu hal yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian dan sosial anak.
Perkembangan moral pada awalnya masuk ke dalam salah satu bidang etika, akan
tetapi sekitar tahun 1930 mulai diadakan penelitian tentang fenomena moralitas
di Amerika dan Eropa. Kemudian pada tahun 1950 perhatian mengenai moral mulai
mendorong perkembangannya penelitian tetang moral.
Menurut Coles (2001) mengartikan
moral sebagai: The capacity to understand right from wrong, it
means to have strong ethical conviction and to act on them so that ones behaves
in the right and honorable way. This wonderful aptitude encompasses such
essential life characteristic as the ability to recognize some one’s pain and
to stop one self from acting on cruel intentions; to control one’s impulse and
delay gratifications; to listen openly to all sides before judging; to accept
and appreciate differences; to stand up against injustice, and to treat others
with compassion and respect. Dapat diartikan sebagai
moral yang: Kapasitas untuk memahami benar dan salah, artinya
memiliki keyakinan etis yang kuat dan bertindak pada mereka sehingga
orang-orang berperilaku dalam cara yang benar dan terhormat. aptitude indah ini
meliputi karakteristik hidup yang penting seperti kemampuan untuk mengenali
nyeri seseorang dan untuk menghentikan salah satu diri dari bertindak atas niat
kejam; untuk mengontrol seseorang impuls dan keterlambatan pemberian hadiah; untuk mendengarkan secara terbuka kepada semua pihak
sebelum menilai; untuk menerima dan menghargai perbedaan; untuk berdiri melawan
ketidakadilan, dan memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan rasa hormat.
Sedangkan Borba (2008), kecerdasan
moral diartikan sebagai kemampuan untuk memahami benar dan salah dan
berpendirian yang kuat untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai
moral. Di sisi lain, Lennick & Kiel (2005) menjelaskan kecerdasan moral
sebagai kapasitas mental untuk menentukan cara prinsip manusia yang seharusnya
diterapkan pada nilai-nilai tujuan dan perilaku individu. Kecerdasan moral
lebih mendasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan moral didefinisikan
sebagai kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah yang sesuai dengan prinsip
hidup kemanusiaan.
Dari pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa perkembangan kecerdasan moral adalah suatu bentuk evaluasi
individu atas yang benar dan apa yang salah, dan moral meliputi penerimaan
individu atas aturan dan nantinya berpengaruh pada perilaku individu terhadap
orang lain
2.2. Pendekatan Perkembangan Kecerdasan Moral
Pendekatan perkembangan kecerdasan
moral dapat ditinjau dari 3 (tiga) perspektif teori, antara lain:
1)
Teori
Psikoanalisa
Freud sebagai pencetus teori psikoanalisa mengklasifikasikan
perkembangan seseorang ke dalam tiga hal yang saling berurutan, yaitu das es, das ich, dan das ueber ich. Das es merupakan permulaan perkembangan yang mengarah pada impuls
nafsu, sedangkan das ich merupakan
perkembangan yang menjaga hubungan dengan realitas agar dapat terkoordinasi.
Kemudian yang terakhir adalah das ueber
ich inilah yang merupakan perkembangan moral dimana norma-norma dipandang
sebagai suatu instansi yag telah diinternalisasikan dan diproyeksikan oleh
lingkungan.
2)
Teori Kognitif
Pendekatan teori kognitif ini menitikberatkan pada pengertian dan
pemahaman, dimana Piaget telah melakukan banyak penelitian mengenai hal ini.
Piaget (Suparno, 2001) menyatakan bahwa,
untuk mengembangkan moral pada anak dapat dimulai dari aturan-aturan yang
dibuat dalam permainan. Di dalam permainan tersebut, seorang anak dapat belajar
untuk saling menghormati, dan menghargai orang lain. Adapun tingkat
perkembangan moral menurut Piaget yaitu, pertama
tahap heteronomous morality (fase
absolut) merupakan suatu kemampuan untuk memahami isu-isu moral seperti
kebohongan, pencurian, hukuman dan keadilan pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan
aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah dan lepas
dari kendali manusia. Anak akan menghayati peraturan sebagai sesuatu yang tidak
dapat diubah dan orang tua, guru atau pemerintah adalah otoritas yang harus
dipatuhi untuk menghindari hukuman, sehingga moral diindikasikan sebagai obyek
eksternal yang tidak boleh diubah. Kedua,
tahap transition (fase realistis)
tahapan yang menunjukkan sikap antara keduanya (antara hetenomous morality dan antomous
morality). Seorang anak akan menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan
dari orang lain. Dalam fase ini, seorang anak akan memandang otoritas sama
dengan mereka. Di sini, sang anak meninggalkan penghormatan sepihak kepada
otoritas, contohnya orang tua dan mengembangkan penghormatan terhadap teman
sebayanya. Ketiga, antonomus morality, tahapan yang lebih
kompleks dibandingkan dengan dua fase sebelumnya yang ada pada anak usia 10
tahun ke atas. Kemudian teori Piaget ini dijadikan dasar oleh Kohlberg menjadi suatu teori yang lebih baik. Kohlberg
membagi perkembangan moralitas ke dalam tiga tahap yang masing-masing memiliki
dua stadium yang berbeda-beda yaitu:
(1) Pre conventioning Reasoning
Seorang anak akan mendasarkan diri pada objek di luar individu sebagai
ukuran benar dan salah. Ia akan menafsirkan benar dan salah berdasarkan
konsekuensi tindakan yang bersifat hedonistic yang berupa hukuman: a. stadium 1: punishment and obedience orientation. Merupakan
sebuah orientasi perkembangan moral yang menitikberatkan pada hukuman dan
tingkat kepatuhan. Suatu tindakan dikatakan benar jika tidak dihukum dan salah
jika mendapat hukuman. Seseorang harus patuh terhadap otoritas yang lebih
berkuasa dan seorang anak akan patuh terhadap orang tuanya karena ia disuruh
taat. Dalam stadium ini, seorang anak akan taat atau menurut untuk menghindari
hukuman; b. stadium 2: individualism and purpose, merupakan
suatu orientasi perkembangan moral yang menitikberatkan pada individualism dan
tujuan. Anak-anak taat karena mereka merasa bahwa dengan taat mereka akan
mendapat sesuatu yang mereka inginkan (keuntungan bagi mereka). Apa yang
dianggap benar bagi mereka itulah yang dianggap menghasilkan keuntungan. Selain
itu, pada tahap ini moral didasarkan pada keuntungan dan kepentingan diri sendiri.
Dalam stadium ini, seorang anak akan bersikap konformitis untuk mendapatkan
hadiah dan dipandang baik oleh orang lain; c. stadium 3: interpersonal norms, merupakan sebuah stadium yang berfokus pada
norma-norma interpersonal. Seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan
kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral. Anak sering
mengadopsi standar moral orang tuanya dan mengharapkan penghargaan dari orang
tua sebagai anak yang baik. Sehingga seorang anak akan menilai sesuatu itu baik
jika ia dapat menyenangkan orang lain dan dipandang sebaik anak yang baik jika
melakukan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tua atau masyarakat
sekitar. Dalam stadium ini, seorang anak bersikap konformitis untuk menghindari
celaan dan dapat disenangi oleh orang lain; d. stadium 4: social system morality, dalam stadium ini sistem moral sosial yang
bekerja. Artinya seorang anak melihat aturan sosial sebagai sesuatu yang harus
dijaga. Seseorang dipandang bermoral jika ia melakukan tugasnya dengan demikian
ia melestarikan aturan dan sistem sosial. Dan pertimbangan yang diambil
didasarkan pada pemahaman terhadap aturan sosial kewajiban, hukuman dan
keadilan. Dalam stadium ini anak bersikap konformitis untuk mempertahankan sistem
peraturan sosial yang ada dalam kehidupan bersama; e. stadium 5: social contruct or utility versus individual
right, dalam stadium ini diperlukan sebuah pemahaman aturan dengan kontrol
atau perjanjian antara diri orang dengan masyarakat. Sehingga aturan dan nilai
bersifat relatif dan standar setiap orang berbeda-beda antara satu dengan yang
lain. Seseorang yakin bahwa aturan dan hukum sangat penting tetapi dapat diubah
tanpa mengurangi nilai hukum atau aturan tersebut. Dalam stadium ini sebuah
konfirmitas dilakukan karena memenuhi perjanjian bersama yang ada dalam
peraturan sosial; dan f. stadium 6: universal
ethical principles, jika peraturan dan norma bersifat subyektif, maka
batasan-batasannya juga bersifat subyektif dan tak pasti. Seseorang mengembangkan
standar moral berdasarkan hak-hak manusia secara universal, dan ketika ia
menghadapi konflik antara hukum dan hati nurani maka ia akan mengikuti hati
nurani walaupun beresiko bagi dirinya sendiri. Dalam stadium ini konformitas dilakukan
bukan karena perintah atau norma dari luar melainkan proses internalisasi
karena keyakinan diri sendiri ingin melakukannya.
(2) Conventioning Reasoning
Tahap ini mendasarkan pada pengharapan sosial yaitu sesuatu dianggap
benar jika sesuai dengan peraturan yag berlaku di masyarakat. Sehingga konsep
mengenai hal baik dan buruk didasarkan pada norma yang ada pada masyarakat.
3)
Teori
Belajar
Dalam teori ini dikemukakan bahwa semua tingkah laku merupakan suatu hal
yang dipelajari. Teori ini menolak adanya tingkah laku sebagai perwujudan dari
suatu bawaan. Karena jika apa yang baik dalam masyarakat tentunya belum tentu
baik bagi masyarakat lainnya. Teori ini menyatakan bahwa kata hati atau nurani
merupakan suatu sistem norma yang telah diinternalisasikan menjadi milik
pribadi. Hal ini dimaksudkan bahwa seseorang akan tetap melakukan norma-norma
meskipun tidak ada kontrol dari luar. Jika dahulu melakukan berdasarkan reward atau punishment dari luar, maka sekarang dialihkan ke dalam, sehingga
norma-norma yang telah diinternalisasikan membuat seseorang yakin untuk
bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.
Perkembangan kecerdasan moral dalam teori belajar ini menyelidiki
fenomena kata hati atau nurani melalui pertanyaan mengenai reaksi terhadap
pelanggaran dan pertahanan terhadap godaan. Sebuah penerimaan orang tua
terhadap anaknya dan pemberian kasih sayang yang penuh akan mengembangkan dan
membentuk kata hati atau nurani yang baik. Dari konsistensi yang diberikan,
maka anak akan belajar perilaku moral secara konsisten dan tidak bergantung
pada situasi. Dan dari studi perbandingan terlihat bahwa moralitas merupakan
pernyataan dari kebutuhan akan keteraturan dan keseimbangan, serta suatu usaha
ke arah pemberian arti meskipun ada perubahan historis, sosial dan individual.
Menurut Kohlberg (Santo, 1995), kebanyakan orang tidak mencapai tingkat post-conventional reasoning atau
mengalami keterlambatan dalam mencapainya dikarenakan faktor budaya. Menurut
penelitiannya, 10% dari remaja Amerika mencapai tingkat post-conventional reasoning ini pada usia 16 tahun. Kemudian
Kohlberg menambahkan bahwa perkembangan moral dapat distimulasi oleh pendidikan
moral. Akan tetapi apa yang telah dijelaskan oleh Piaget dan Kohlberg mengenai
perkembangan kecerdasan moral yang dimulai sejak masa kanak-kanak berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Furter
(1965). Dalam tinjauan fenomenologisnya, Furter menjelaskan ke dalam tiga hal,
yaitu:
(1) Tingkah laku moral sesungguhnya baru timbul pada
usia remaja.
(2) Masa remaja sebagai periode masa muda yang harus
dihayati betul-betul untuk mencapai tingkah laku moral yang otonom. Sehingga
remaja tersebut mampu mengadopsi nilai moral yang ada di sekitarnya sebagai
nilai pribadi.
(3) Eksistensi masa muda merupakan masalah moral dan
harus dilihat sebagai hal yang bersangkutan dengan nilai-nilai. Sehingga remaja
tersebut tidak hanya memperoleh pengertian tetang nilai tetapi juga dapat
menjalankannya.
Dan Furter juga menjelaskan bahwa perkembangan kecerdasan moral sangat
memperhatikan perkembangan kognisi dan kognisi social. Perkembangan kognisi
dianggap sebagai salah satu prasyarat yang mutlak bagi perkembangan kognisi
social, sedangkan perkembangan kognisi sosial merupakan syarat mutlak bagi
perkembangan moral. Dengan kata lain, jika seseorang mengalami hambatan dalam
perkembangan kognisi dan sosial, maka dapat dikatakan terhambat pula perkembangan
moralnya. Di sisi lain, Berns (2007) menjelaskan beberapa teori kecerdasan moral dan mengelompokkannya ke dalam tiga
komponen, yaitu:
(a) Komponen afektif/moral emosional (moral feeling), komponen afektif ini
dikembangkan oleh Hoffman, dimana contohnya adalah rasa bersalah, malu dan
empati.
(b) Komponen kognitif (moral reasoning), komponen kognitif ini dikembangkan oleh Piaget
dan Kohlberg, dimana seseorang yang mempunyai kecerdasan moral dapat dilihat
dari cara memahami aturan, membedakan benar dan salah, mampu menerima sudut
pandang orang lain dan mampu mengabil keputusan.
(c) Komponen behavioral (moral action), komponen ini dikembangkan oleh Eisenberg dan Fabes,
dimana kecerdasan moral dapat dilihat dari kemampuan seseorang untuk mersepon
godaan yang dating untuk tetap berpegang teguh pada aturan, perilaku sosial,
antisosian, control diri atas dorongan yang muncul.
2.3 Membangun Kecerdasan Moral
Martin Hoffman (2000), seorang ahli yang
terkenal dalam pengembangan moral, meyakini bahwa anak-anak mengembangkan
empati mereka dalam beberapa tahapan. Mulai dari tahap egosentris, berpusat
pada diri sendiri, pandangan yang selalu berpikir tentang diri sendiri sampai
tahap mereka tidak hanya peduli terhadap orang lain. Tahap-tahap tersebut
antara lain:
Tahap 1: Empati Umum (bulan pertama kelahiran)
Seorang anak tidak
dapat membedakan dengan tegas antara dirinya dan lingkungannya, sehingga ia
tidak dapat memahami penderitaan orang lain karena menganggap penderitaan itu
sebagai bagian dari dirinya. Contohnya: ‘’ Bayi berusia enam bulan mendengar
bayi lain menangis dan ikut menangis juga.”
Tahap 2: Empati Egosentris (mulai usia 1 tahun)
Reaksi seorang anak
kepada anak lain yang sedang menderita perlahan-lahan mulai berubah. Dia
sekarang memahami ketidaknyamanan orang lain sebagai bukan bagian dari dirinya.
Contohnya: “Anak usia dua tahun melihat ibunya menangis, lalu dia duduk di
samping ibunya menangis, lalu dia duduk di samping ibunya dan mengusap-usap
tangan ibunya dengan lembut.”
Tahap 3: Empati Emosional (Tahun-tahun pertama
prasekolah)
Pada saat
usia sekitar dua atau tiga tahun, seorang anak mulai mengembangkan kemampuan
memerankan orang lain. Dia mengenali bahwa perasaan seseorang mungkin berbeda
dari perasaannya, yang dapat dengan sangat baik mengetahui sumber-sumber
penderitaan orang lain, dan menemukan cara sederhana memberikan bantuan atau
menunjukkan dukungan. Contohnya: ‘’Kamu tampak sedih. Sepedamu rusak, kamu
dapat menggunakan ini sebagai gantinya.”
Tahap 4: Empati
Kognitif (Tahun-tahun pertama sekolah dasar, mulai usia 6 tahun)
Pada tahap ini seorang anak dapat
memahami persoalan dari sudut pandang orang lain, sehingga ada peningkatan
dalam usahanya mendukung dan membantu kebutuhan orang lain. Kemampuannya
menggunakan bahasa untuk membantu orang lain juga meningkat pesat. Contohnya:
‘’Nenek itu tampaknya membutuhkan bantuan untuk menaiki elevator, piker Kelly;
lalu ia Manahan pintu elevator sehingga nenek itu dapat masuk dengan aman’’.
Tahap 5: Empati
Abstrak (Tahun-tahun akhir masa kanak-kanak: usia 10 sampai 12 tahun)
Pada tahap ini seorang anak dapat
memperluas empatinya melampaui hal-hal yang ia ketahui secara pribadi dan
mengamati langsung kelompok masyarakat yang belum pernah ia temui. Contohnya:
‘’Masyarakat India tampaknya kelaparan. Jika saya menyumbangkan uang saya setiap
pecan, mungkin mereka merasa lebih baik.’’
III.
Penutup
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
3.1 Kecerdasan moral merupakan kemampuan seseorang
untuk membedakan benar dan salah berdasarkan keyakinan yang kuat akan etika dan
menerapkannya dalam tindakan. Perkembangan kecerdasan moral adalah suatu bentuk
evaluasi individu atas apa yang benar dan apa yang salah, dan moral yang
meliputi penerimaan individu atas aturan dan nantinya berpengaruh pada perilaku
individu terhadap orang lain.
3.2 Kecerdasan moral terbangun dari tujuh kebajikan
utama yaitu: empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati,
toleransi, dan keadilan yang membantu anak menghadapi tantangan dan tekanan
etika yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupannya kelak. Semuanya itu dapat
diajarkan, dicontohkan, disadarkan, serta didorong sehingga dapat dicapai anak.
3.3 Pendekatan kecerdasan moral dapat dilihat
melalui teori psikoanalisa, teori kognitif dan teori belajar.
3.4 Cara membangun kecerdasan moral yang meliputi:
Empati umum, egosentris, emosional, kognitif, dan empati abstrak.
DAFTAR PUSTAKA
Andra L.
Cole & J. Gary Knowles (Eds.) (2001). Lives
in Context: The Art of Life History Research. Walnut Creek, CA: AltaMira Press.
Borba, Michele
Ed.D. (2008). Membangun Kecerdasan Moral.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Doug Lennick & Fred Kiel. (2005). Moral Intellegence; Enhancing Business Performance & Leadership
Success. Englewood Cliffs, New Jersey:
Pearson Prentice Hall.
Martin Hoffman. (2000). Empathy
and Moral Development: Implication For Caring and Justice. Cambridge:
Cambridge University Press.
Santo, John de. (1995). Tahap-tahap
Perkembangan Moral. Lawrence Kohlberg. Yogyakarta: Kanisius.
Suparno, Paul. (2001). Teori Perkembangan
Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar