Minggu, 18 Maret 2018

MEMBANGUN KECERDASAN MORAL

MEMBANGUN KECERDASAN MORAL
Oleh: Prof. Dr. Endang Komara, M.Si (Guru Besar pada Magister Pendidikan IPS STKIP Pasundan)

Abstrak
Kecerdasan moral (moral quotient) sebagai kapasitas mental untuk menentukan cara prinsip manusia yang seharusnya diterapkan pada nilai-nilai tujuan dan perilaku individu. Kecerdasan moral lebih mendasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan moral  sebagai kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah yang sesuai dengan prinsip hidup kemanusiaan. Dengan demikian kecerdasan moral merupakan kemampuan seseorang untuk membedakan benar dan salah berdasarkan keyakinan yang kuat akan etika dan menerapkannya dalam tindakan. Perkembangan kecerdasan moral adalah suatu bentuk evaluasi individu atas apa yang benar dan apa yang salah, dan moral yang meliputi penerimaan individu atas aturan dan nantinya berpengaruh pada perilaku individu terhadap orang lain.
Kata kunci: Membangun, kecerdasan, moral, etika dan tindakan.
I.               Pendahuluan
Kecerdasan moral adalah kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah. Artinya, memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga orang bersikap benar dan terhormat. Kecerdasan yang sangat penting ini mencakup karakter utama, seperti kemampuan untuk memahami penderitaan orang lain dan tidak bertindak jahat; mampu mengendalikan dorongan dan menunda pemuasan; mendengarkan dari berbagai pihak sebelum memberikan penilaian; menerima dan menghargai perbedaan; bisa memahami pilihan yang tidak etis;  dapat berempati; memperjuangkan keadilan; dan menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain.
Hal tersebut merupakan sifat-sifat utama yang akan membentuk anak didik menjadi baik hati, karakter kuat, dan warga negara yang baik (Good Citizenship). Kita melihat betapa anak-anak semakin tenggelam dalam berbagai persoalan yang serius karena mereka tidak pernah mempelajari kecerdasan moral. Dengan naluri yang lemah, kontrol diri yang rapuh, kepekaan moral yang kurang, dan keyakinan yang salah, membuat anak-anak mengalami hambatan. Meski penyebab merosotnya moralitas sangatlah kompleks, terdapat fakta yang tidak dapat dipungkiri: lingkungam moral tempat anak-anak dibesarkan saat ini sangat meracuni kecerdasan moral mereka. Mengapa demikian? Pertama, sejumlah faktor sosial kritis yang membentuk karakter bermoral secara perlahan mulai runtuh, yaitu: pengawasan orang tua, teladan perilaku bermoral, pendidikan spiritual dan agama, hubungan akrab dengan orang dewasa, sekolah khusus, norma-norma yang jelas, dukungan masyarakat, stabilitas,  dan pola asuh yang benar. Kedua, anak-anak secara terus-menerus menerima masukan dari luar yang bertentangan dengan norma-norma yang tengah kita tumbuhkan. Kedua faktor tersebut berperan terhadap kerusakan moral anak-anak kita bersamaan dengan hilangnya kepolosan mereka.
Tantangan semakin besar karena pengaruh buruk tersebut muncul dari berbagai sumber yang mudah didapat anak-anak. Televisi, film, video permainan, musik pop, dan iklan memberikan pengaruh terburuk bagi moral mereka karena menyodorkan sinisme, pelecehan, materialisme, seks bebas, kekasaran, dan kekerasan. Hal-hal buruk di dunia internet juga sangat mengejutkan: pornografi, pencurian dan penyiksaan/pembunuhan, pemujaan setan, pedofilia, dan begitu banyak situs-situs penghasut yang mengajarkan kebencian, yang semuanya bisa lolos dari sistem filter terbaik sekalipun. Tentu saja media popular bukan satu-satunya yang memberi pengaruh buruk; siapa pun atau apa pun yang berbenturan dengan keyakinan dengan keyakinan moral keluarga adalah ancaman, termasuk di dalamnya teman sebaya dan orang dewasa.
Kenyataannya pengaruh negatif begitu melekat dalam  budaya kita, sehingga hampir tidak mungkin menghindarkan anak-anak dari pengaruh tersebut. Meskipun kita sudah berusaha membatasi atau melarang penggunaan media tersebut di rumah, sekali mereka keluar rumah, mereka bisa mendapatkannya di mana-mana. Itulah sebabnya mengapa membangun kecerdasan moral sangat penting dilakukan agar suara hati anak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga mereka dapat menangkis pengaruh buruk dari luar.  Kecerdasan moral menjadi otot kuat yang diperlukan untuk melawan tekanan buruk dan membekali anak kemampuan bertindak tanpa bantuan orang tuanya.
Kecerdasan moral seperti diungkapkan oleh  Michele Borba Ed. D. (2008) terbangun dari tujuh kebajikan utama yaitu: empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan yang membantu anak menghadapi tantangan dan tekanan etika yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupannya kelak. Semuanya itu dapat diajarkan, dicontohkan, disadarkan, serta didorong sehingga dapat dicapai anak.
Pertama, empati merupakan inti emosi moral yang membantu anak memahami perasaan orang lain. Kebijakan ini membuatnya menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, mendorongnya menolong orang yang kesusahan atau kesakitan, serta menuntutnya memperlakukan orang dengan kasih sayang. Emosi moral yang kuat mendorong anak bertindak benar karena ia bisa melihat kesusahan orang lain sehingga mencegahnya melakukan tindakan yang dapat melukai orang lain.
Kedua, hati nurani adalah suara hati yang membantu anak memilih jalan yang benar darpada jalan yang salah serta berada di jalur yang bermoral; membuat dirinya merasa bersalah ketika menyimpang dari jalur semestinya. Kebajikan ini membentengi anak dari pengaruh buruk dan membuatnya mampu bertindak benar meski tergoda untuk melakukan hal yang sebaliknya. Kebajikan ini merupakan fondasi bagi perkembangan sifat jujur, tanggung jawab, dan berintegritas diri yang tinggi.
Ketiga, kontrol diri membantu anak menahan dorongan dari dalam dirinya dan berpikir sebelum bertindak, sehingga ia melakukan hal yang benar, dan kecil kemungkinan mengambil tindakan yang akan menimbulkan akibat buruk. Kebajikan ini membantu anak menjadi mandiri karena ia tahu bahwa dirinya bisa mengendalikan tindakannya sendiri. Sifat ini membangkitkan sikap murah dan baik hati karena anak mampu menyingkirkan keinginan memuaskan diri serta merangsang kesadaran mementingkan keperluan orang lain.
Keempat, rasa hormat mendorong anak bersikap baik dan menghormati orang lain. Kebajikan ini mengarahkan anak memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain memperlakukan dirinya,  sehingga mencegah anak bertindak kasar, tidak adil dan bersikap memusuhi. Jika anak terbiasa bersikap hormat terhadap orang lain, ia akan memerhatikan hak-hak serta perasaan orang lain; akibatnya, ia juga akan menghormati dirinya sendiri.
 Kelima, kebaikan hati membantu anak mampu menunjukkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan dan perasaan orang lain. Dengan mengembangkan kebajikan ini, anak lebih belas kasih dan tidak terlalu memikirkan diri sendiri, serta menyadari perbuatan baik sebagai tindakan yang benar, kebaikan hati membuat anak lebih banyak memikirkan kebutuhan orang lain, menunjukkan kepedulian, memberikan bantuan kepada yang memerlukan, serta melindungi mereka yang kesulitan atau kesakitan.
Keenam, toleransi membuat anak mampu menghargai perbedaan kualitas dalam diri orang lain, membuka diri terhadap pandangan dan keyakinan baru, dan menghargai orang lain tanpa membedakan suku, gender, penampilan, budaya, kepercayaan, kemampuan, atau orientasi seksual. Kebajikan ini membuat anak memperlakukan orang lain dengan baik dan penuh pengertian, menentang permusuhan, kekejaman, kefanatikan, serta menghargai orang-orang berdasarkan karakter mereka.
Ketujuh, menuntun anak agar memperlakukan orang lain dengan baik, tidak memihak, dan adil, sehingga ia mematuhi aturan, mau bergiliran dan berbagi, serta mendengar semua pihak secara terbuka sebelum memberi penilaian apa pun. Karena kebajikan ini meningkatkan kepekaan moral anak, ia pun akan terdorong membela pihak yang diperlakukan secara tidak adil dan menuntut agar semua orang tanpa pandangan suku, bangsa, budaya, status ekonomi, kemampuan atau keyakinan.            
Membangun Kecerdasan Moral memberikan cetak biru langkah demi langkah untuk meningkatkan kapasitas moral anak berdasarkan prinsip-prinsip etika dari ketujuh kabajikan tersebut. Setiap kali anak berhasil menguasai satu kebajikan, kecerdasan moralnya bertambah, dan ia pun menaiki tangga kecerdasan moral yang lebih tinggi.
II.              Pembahasan
2.1  Sejarah Perkembangan Kecerdasan Moral
Perkembangan moral merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian dan sosial anak. Perkembangan moral pada awalnya masuk ke dalam salah satu bidang etika, akan tetapi sekitar tahun 1930 mulai diadakan penelitian tentang fenomena moralitas di Amerika dan Eropa. Kemudian pada tahun 1950 perhatian mengenai moral mulai mendorong perkembangannya penelitian tetang moral.
Menurut Coles (2001) mengartikan moral sebagai: The capacity to understand right from wrong, it means to have strong ethical conviction and to act on them so that ones behaves in the right and honorable way. This wonderful aptitude encompasses such essential life characteristic as the ability to recognize some one’s pain and to stop one self from acting on cruel intentions; to control one’s impulse and delay gratifications; to listen openly to all sides before judging; to accept and appreciate differences; to stand up against injustice, and to treat others with compassion and respect. Dapat diartikan sebagai moral yang: Kapasitas untuk memahami benar dan salah, artinya memiliki keyakinan etis yang kuat dan bertindak pada mereka sehingga orang-orang berperilaku dalam cara yang benar dan terhormat. aptitude indah ini meliputi karakteristik hidup yang penting seperti kemampuan untuk mengenali nyeri seseorang dan untuk menghentikan salah satu diri dari bertindak atas niat kejam; untuk mengontrol seseorang impuls dan keterlambatan pemberian hadiah; untuk mendengarkan secara terbuka kepada semua pihak sebelum menilai; untuk menerima dan menghargai perbedaan; untuk berdiri melawan ketidakadilan, dan memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan rasa hormat.
Sedangkan Borba (2008), kecerdasan moral diartikan sebagai kemampuan untuk memahami benar dan salah dan berpendirian yang kuat untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai moral. Di sisi lain, Lennick & Kiel (2005) menjelaskan kecerdasan moral sebagai kapasitas mental untuk menentukan cara prinsip manusia yang seharusnya diterapkan pada nilai-nilai tujuan dan perilaku individu. Kecerdasan moral lebih mendasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan moral didefinisikan sebagai kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah yang sesuai dengan prinsip hidup kemanusiaan.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan kecerdasan moral adalah suatu bentuk evaluasi individu atas yang benar dan apa yang salah, dan moral meliputi penerimaan individu atas aturan dan nantinya berpengaruh pada perilaku individu terhadap orang lain
     2.2. Pendekatan Perkembangan Kecerdasan Moral
Pendekatan perkembangan kecerdasan moral dapat ditinjau dari 3 (tiga) perspektif teori, antara lain:
1)    Teori Psikoanalisa
Freud sebagai pencetus teori psikoanalisa mengklasifikasikan perkembangan seseorang ke dalam tiga hal yang saling berurutan, yaitu das es, das ich, dan das ueber ich. Das es merupakan permulaan perkembangan yang mengarah pada impuls nafsu, sedangkan das ich merupakan perkembangan yang menjaga hubungan dengan realitas agar dapat terkoordinasi. Kemudian yang terakhir adalah das ueber ich inilah yang merupakan perkembangan moral dimana norma-norma dipandang sebagai suatu instansi yag telah diinternalisasikan dan diproyeksikan oleh lingkungan.
2)     Teori Kognitif
Pendekatan teori kognitif ini menitikberatkan pada pengertian dan pemahaman, dimana Piaget telah melakukan banyak penelitian mengenai hal ini. Piaget  (Suparno, 2001) menyatakan bahwa, untuk mengembangkan moral pada anak dapat dimulai dari aturan-aturan yang dibuat dalam permainan. Di dalam permainan tersebut, seorang anak dapat belajar untuk saling menghormati, dan menghargai orang lain. Adapun tingkat perkembangan moral menurut Piaget yaitu, pertama tahap heteronomous morality (fase absolut) merupakan suatu kemampuan untuk memahami isu-isu moral seperti kebohongan, pencurian, hukuman dan keadilan pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah dan lepas dari kendali manusia. Anak akan menghayati peraturan sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah dan orang tua, guru atau pemerintah adalah otoritas yang harus dipatuhi untuk menghindari hukuman, sehingga moral diindikasikan sebagai obyek eksternal yang tidak boleh diubah. Kedua, tahap transition (fase realistis) tahapan yang menunjukkan sikap antara keduanya (antara hetenomous morality dan antomous morality). Seorang anak akan menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan dari orang lain. Dalam fase ini, seorang anak akan memandang otoritas sama dengan mereka. Di sini, sang anak meninggalkan penghormatan sepihak kepada otoritas, contohnya orang tua dan mengembangkan penghormatan terhadap teman sebayanya. Ketiga, antonomus morality, tahapan yang lebih kompleks dibandingkan dengan dua fase sebelumnya yang ada pada anak usia 10 tahun ke atas. Kemudian teori Piaget ini dijadikan dasar oleh Kohlberg  menjadi suatu teori yang lebih baik. Kohlberg membagi perkembangan moralitas ke dalam tiga tahap yang masing-masing memiliki dua stadium yang berbeda-beda yaitu:
(1) Pre conventioning Reasoning
Seorang anak akan mendasarkan diri pada objek di luar individu sebagai ukuran benar dan salah. Ia akan menafsirkan benar dan salah berdasarkan konsekuensi tindakan yang bersifat hedonistic yang berupa hukuman: a. stadium 1: punishment and obedience orientation. Merupakan sebuah orientasi perkembangan moral yang menitikberatkan pada hukuman dan tingkat kepatuhan. Suatu tindakan dikatakan benar jika tidak dihukum dan salah jika mendapat hukuman. Seseorang harus patuh terhadap otoritas yang lebih berkuasa dan seorang anak akan patuh terhadap orang tuanya karena ia disuruh taat. Dalam stadium ini, seorang anak akan taat atau menurut untuk menghindari hukuman;  b. stadium 2: individualism and purpose, merupakan suatu orientasi perkembangan moral yang menitikberatkan pada individualism dan tujuan. Anak-anak taat karena mereka merasa bahwa dengan taat mereka akan mendapat sesuatu yang mereka inginkan (keuntungan bagi mereka). Apa yang dianggap benar bagi mereka itulah yang dianggap menghasilkan keuntungan. Selain itu, pada tahap ini moral didasarkan pada keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Dalam stadium ini, seorang anak akan bersikap konformitis untuk mendapatkan hadiah dan dipandang baik oleh orang lain; c. stadium 3: interpersonal norms, merupakan sebuah stadium yang berfokus pada norma-norma interpersonal. Seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral. Anak sering mengadopsi standar moral orang tuanya dan mengharapkan penghargaan dari orang tua sebagai anak yang baik. Sehingga seorang anak akan menilai sesuatu itu baik jika ia dapat menyenangkan orang lain dan dipandang sebaik anak yang baik jika melakukan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tua atau masyarakat sekitar. Dalam stadium ini, seorang anak bersikap konformitis untuk menghindari celaan dan dapat disenangi oleh orang lain; d. stadium 4: social system morality, dalam stadium ini sistem moral sosial yang bekerja. Artinya seorang anak melihat aturan sosial sebagai sesuatu yang harus dijaga. Seseorang dipandang bermoral jika ia melakukan tugasnya dengan demikian ia melestarikan aturan dan sistem sosial. Dan pertimbangan yang diambil didasarkan pada pemahaman terhadap aturan sosial kewajiban, hukuman dan keadilan. Dalam stadium ini anak bersikap konformitis untuk mempertahankan sistem peraturan sosial yang ada dalam kehidupan bersama; e. stadium 5: social contruct or utility versus individual right, dalam stadium ini diperlukan sebuah pemahaman aturan dengan kontrol atau perjanjian antara diri orang dengan masyarakat. Sehingga aturan dan nilai bersifat relatif dan standar setiap orang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Seseorang yakin bahwa aturan dan hukum sangat penting tetapi dapat diubah tanpa mengurangi nilai hukum atau aturan tersebut. Dalam stadium ini sebuah konfirmitas dilakukan karena memenuhi perjanjian bersama yang ada dalam peraturan sosial; dan f. stadium 6: universal ethical principles, jika peraturan dan norma bersifat subyektif, maka batasan-batasannya juga bersifat subyektif dan tak pasti. Seseorang mengembangkan standar moral berdasarkan hak-hak manusia secara universal, dan ketika ia menghadapi konflik antara hukum dan hati nurani maka ia akan mengikuti hati nurani walaupun beresiko bagi dirinya sendiri. Dalam stadium ini konformitas dilakukan bukan karena perintah atau norma dari luar melainkan proses internalisasi karena keyakinan diri sendiri ingin melakukannya.  


(2) Conventioning Reasoning
Tahap ini mendasarkan pada pengharapan sosial yaitu sesuatu dianggap benar jika sesuai dengan peraturan yag berlaku di masyarakat. Sehingga konsep mengenai hal baik dan buruk didasarkan pada norma yang ada pada masyarakat.    
3)    Teori Belajar
Dalam teori ini dikemukakan bahwa semua tingkah laku merupakan suatu hal yang dipelajari. Teori ini menolak adanya tingkah laku sebagai perwujudan dari suatu bawaan. Karena jika apa yang baik dalam masyarakat tentunya belum tentu baik bagi masyarakat lainnya. Teori ini menyatakan bahwa kata hati atau nurani merupakan suatu sistem norma yang telah diinternalisasikan menjadi milik pribadi. Hal ini dimaksudkan bahwa seseorang akan tetap melakukan norma-norma meskipun tidak ada kontrol dari luar. Jika dahulu melakukan berdasarkan reward atau punishment dari luar, maka sekarang dialihkan ke dalam, sehingga norma-norma yang telah diinternalisasikan membuat seseorang yakin untuk bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.
Perkembangan kecerdasan moral dalam teori belajar ini menyelidiki fenomena kata hati atau nurani melalui pertanyaan mengenai reaksi terhadap pelanggaran dan pertahanan terhadap godaan. Sebuah penerimaan orang tua terhadap anaknya dan pemberian kasih sayang yang penuh akan mengembangkan dan membentuk kata hati atau nurani yang baik. Dari konsistensi yang diberikan, maka anak akan belajar perilaku moral secara konsisten dan tidak bergantung pada situasi. Dan dari studi perbandingan terlihat bahwa moralitas merupakan pernyataan dari kebutuhan akan keteraturan dan keseimbangan, serta suatu usaha ke arah pemberian arti meskipun ada perubahan historis, sosial dan individual.
Menurut Kohlberg (Santo, 1995), kebanyakan orang tidak mencapai tingkat post-conventional reasoning atau mengalami keterlambatan dalam mencapainya dikarenakan faktor budaya. Menurut penelitiannya, 10% dari remaja Amerika mencapai tingkat post-conventional reasoning ini pada usia 16 tahun. Kemudian Kohlberg menambahkan bahwa perkembangan moral dapat distimulasi oleh pendidikan moral. Akan tetapi apa yang telah dijelaskan oleh Piaget dan Kohlberg mengenai perkembangan kecerdasan moral yang dimulai sejak masa kanak-kanak berbeda  dengan apa yang diungkapkan oleh Furter (1965). Dalam tinjauan fenomenologisnya, Furter menjelaskan ke dalam tiga hal, yaitu:
(1)  Tingkah laku moral sesungguhnya baru timbul pada usia remaja.
(2)  Masa remaja sebagai periode masa muda yang harus dihayati betul-betul untuk mencapai tingkah laku moral yang otonom. Sehingga remaja tersebut mampu mengadopsi nilai moral yang ada di sekitarnya sebagai nilai pribadi.
(3)  Eksistensi masa muda merupakan masalah moral dan harus dilihat sebagai hal yang bersangkutan dengan nilai-nilai. Sehingga remaja tersebut tidak hanya memperoleh pengertian tetang nilai tetapi juga dapat menjalankannya.
Dan Furter juga menjelaskan bahwa perkembangan kecerdasan moral sangat memperhatikan perkembangan kognisi dan kognisi social. Perkembangan kognisi dianggap sebagai salah satu prasyarat yang mutlak bagi perkembangan kognisi social, sedangkan perkembangan kognisi sosial merupakan syarat mutlak bagi perkembangan moral. Dengan kata lain, jika seseorang mengalami hambatan dalam perkembangan kognisi dan sosial, maka dapat dikatakan terhambat pula perkembangan moralnya. Di sisi lain, Berns (2007) menjelaskan beberapa teori kecerdasan  moral dan mengelompokkannya ke dalam tiga komponen, yaitu:
(a)  Komponen afektif/moral emosional (moral feeling), komponen afektif ini dikembangkan oleh Hoffman, dimana contohnya adalah rasa bersalah, malu dan empati.
(b)    Komponen kognitif (moral reasoning), komponen kognitif ini dikembangkan oleh Piaget dan Kohlberg, dimana seseorang yang mempunyai kecerdasan moral dapat dilihat dari cara memahami aturan, membedakan benar dan salah, mampu menerima sudut pandang orang lain dan mampu mengabil keputusan.
(c)  Komponen behavioral (moral action), komponen ini dikembangkan oleh Eisenberg dan Fabes, dimana kecerdasan moral dapat dilihat dari kemampuan seseorang untuk mersepon godaan yang dating untuk tetap berpegang teguh pada aturan, perilaku sosial, antisosian, control diri atas dorongan yang muncul.

2.3  Membangun Kecerdasan Moral
Martin Hoffman (2000), seorang ahli yang terkenal dalam pengembangan moral, meyakini bahwa anak-anak mengembangkan empati mereka dalam beberapa tahapan. Mulai dari tahap egosentris, berpusat pada diri sendiri, pandangan yang selalu berpikir tentang diri sendiri sampai tahap mereka tidak hanya peduli terhadap orang lain. Tahap-tahap tersebut antara lain:
Tahap 1: Empati Umum (bulan pertama kelahiran)
Seorang anak tidak dapat membedakan dengan tegas antara dirinya dan lingkungannya, sehingga ia tidak dapat memahami penderitaan orang lain karena menganggap penderitaan itu sebagai bagian dari dirinya. Contohnya: ‘’ Bayi berusia enam bulan mendengar bayi lain menangis dan ikut menangis juga.”

Tahap 2: Empati Egosentris (mulai usia 1 tahun)
Reaksi seorang anak kepada anak lain yang sedang menderita perlahan-lahan mulai berubah. Dia sekarang memahami ketidaknyamanan orang lain sebagai bukan bagian dari dirinya. Contohnya: “Anak usia dua tahun melihat ibunya menangis, lalu dia duduk di samping ibunya menangis, lalu dia duduk di samping ibunya dan mengusap-usap tangan ibunya dengan lembut.”
            Tahap 3: Empati Emosional (Tahun-tahun pertama prasekolah)
            Pada saat usia sekitar dua atau tiga tahun, seorang anak mulai mengembangkan kemampuan memerankan orang lain. Dia mengenali bahwa perasaan seseorang mungkin berbeda dari perasaannya, yang dapat dengan sangat baik mengetahui sumber-sumber penderitaan orang lain, dan menemukan cara sederhana memberikan bantuan atau menunjukkan dukungan. Contohnya: ‘’Kamu tampak sedih. Sepedamu rusak, kamu dapat menggunakan ini sebagai gantinya.”
Tahap 4: Empati Kognitif (Tahun-tahun pertama sekolah dasar, mulai usia 6 tahun)
Pada tahap ini seorang anak dapat memahami persoalan dari sudut pandang orang lain, sehingga ada peningkatan dalam usahanya mendukung dan membantu kebutuhan orang lain. Kemampuannya menggunakan bahasa untuk membantu orang lain juga meningkat pesat. Contohnya: ‘’Nenek itu tampaknya membutuhkan bantuan untuk menaiki elevator, piker Kelly; lalu ia Manahan pintu elevator sehingga nenek itu dapat masuk dengan aman’’.
Tahap 5: Empati Abstrak (Tahun-tahun akhir masa kanak-kanak: usia 10 sampai 12 tahun)
Pada tahap ini seorang anak dapat memperluas empatinya melampaui hal-hal yang ia ketahui secara pribadi dan mengamati langsung kelompok masyarakat yang belum pernah ia temui. Contohnya: ‘’Masyarakat India tampaknya kelaparan. Jika saya menyumbangkan uang saya setiap pecan, mungkin mereka merasa lebih baik.’’  
III.            Penutup
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
3.1  Kecerdasan moral merupakan kemampuan seseorang untuk membedakan benar dan salah berdasarkan keyakinan yang kuat akan etika dan menerapkannya dalam tindakan. Perkembangan kecerdasan moral adalah suatu bentuk evaluasi individu atas apa yang benar dan apa yang salah, dan moral yang meliputi penerimaan individu atas aturan dan nantinya berpengaruh pada perilaku individu terhadap orang lain.
3.2  Kecerdasan moral terbangun dari tujuh kebajikan utama yaitu: empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan yang membantu anak menghadapi tantangan dan tekanan etika yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupannya kelak. Semuanya itu dapat diajarkan, dicontohkan, disadarkan, serta didorong sehingga dapat dicapai anak.
3.3  Pendekatan kecerdasan moral dapat dilihat melalui teori psikoanalisa, teori kognitif dan teori belajar.
3.4  Cara membangun kecerdasan moral yang meliputi: Empati umum, egosentris, emosional, kognitif, dan empati abstrak.



         DAFTAR PUSTAKA

Andra L. Cole & J. Gary Knowles (Eds.) (2001). Lives in Context: The Art of Life History Research. Walnut Creek, CA: AltaMira Press.
Borba, Michele Ed.D. (2008). Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Doug Lennick & Fred Kiel. (2005). Moral Intellegence; Enhancing Business Performance & Leadership Success. Englewood Cliffs, New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Martin Hoffman. (2000). Empathy and Moral Development: Implication For Caring and Justice. Cambridge: Cambridge University Press.
Santo, John de. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral. Lawrence Kohlberg. Yogyakarta: Kanisius.
Suparno, Paul. (2001). Teori Perkembangan Kognitif  Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar