Minggu, 18 Maret 2018

KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN CIVIC EDUCATION

KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN CIVIC EDUCATION
Oleh:
 Prof. Dr. Endang Komara, Drs., M.Si
Guru Besar Sosiologi Pendidikan dan Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pasundan
Abstak
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untu mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Di Indonesia telah memasukkan program pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum sekolah sekitar satu dekade setelah proklamasi kemerdekaan. Tentu nomenklatur yang digunakan saat itu bukan pendidikan kewarganegaraan. Pengalaman lebih dri setengah abad menyelenggarakan pendidikan keawrganegaraan bahkan pada semua jenjang  pendidikan mulai pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi masih menyisahakn persoalan umum dan klasik yakni tingkat kemelekwacanaan politik yang masih rendah apalagi untuk mencapai cita-cita menciptakan warga negara Indonesia yang  cerdas dan terampil. Kemelekwacanaan politik bukan hanya pengetahuan politik melainkan kemampuan warga negara yang mumpuni baik dalam aspek pengetahuan, kecakapan, maupun nilai dan sikap. Komponen yang menjadi indicator capaiannya adalah warga negara yang efektif dalam kehidupan bermasyarakat seperti menguasai pengetahuan tentang dan dalam penyelesaian konflik dan bagaimana menghadapi konflik, mengambil keputusan yang terkait dengan masalah sosial dan ekonomi.
Pembelajaran Civic Education, guru dituntut mengembangkan proses pembelajaran yang menarik, menyenangkan, menantang, dan membentuk peserta didik untuk mampu berpikir kritis dan konstruktif. Guru PKn harus mampu menyajikan materi pembelajaran secara kontekstual, mengaitkan materi pelajaran dengan kondisi nyata di lapangan, mengatikan teori dengan praktek, antara harapan dan kenyataan, mengidentifikasi masalah yang terjadi, dan mendorong peserta didik untuk memunculkan alternatif pemecahan masalah.
Kata kunci: Kurikulum, pembelajaran, kehidupan bermasyarakat dan Civic Education.

I.               Pendahuluan
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 ayat (19) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Selanjutnya tujuan pendidikan nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,  berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan berperadaban dunia. Kurikulum adalah instrumen pendidikan untuk dapat membawa insan Indonesia yang memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif dan afektif.
Salah satu langkah dalam penyusunan Kurikulum 2013 adalah penataan ulang PKn menjadi PPKn yang meliputi: Pertama, mengubah nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Kedua, menempatkan mata pelajaran PPKn sebagai sebagai bagian utuh dari kelompok mata pelajaran yang memiliki misi pengokohan kebangsaan. Ketiga, mengorganisasikan SK-KD dan indikator PPKn secara nasional dengan memperkuat nilai dan moral Pancasila; nilai dan norma UUD NRI Tahun 1945; nilai dan semangat Bhineka Tunggal Ika, serta wawasan dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat, memantapkan pengembangan peserta didik dalam dimensi: pengetahuan kewarganegaraan, sikap kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, keteguhan kewarganegaraan, komitmen kewarganegaraan, dan kompetensi kewarganegaraan. Kelima, mengembangkan dan menerapkan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik PPKn yang berorientasi pada pengembangan karakter peserta didik sebagai warganegara yang cerdas dan baim secara utuh. Keenam, mengembangkan dan menerapkan berbagai model penilaian proses pembelajaran dan hasil belajar PPKn.

II.              Pembahasan
A.   Struktur Kurikulum Civic Education
Dalam pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara imperatif digariskan bahwa: ‘’Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa  kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab’’. Karena itu idealisme pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis merupakan misi suci (mission sacre) dari pendidikan kewarganegaraan. Secara khusus, seperti dapat dicermati pada Penjelasan Pasa 37 ayat (1) ‘’Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air’’. Dalam konteks itu pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya merupakan pendidikan kebangsaan atau pendidikan karakter bangsa. Semua imperatif atau keharusan itu menuntut perlunya penghayatan baru kita terhadap pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan paksis pendidikan yang utuh pada gilirannya dapat menumbuhkan ‘’civic intelligence’’ dan ‘’civic participation’’ serta ‘’civic responsibility’’ sebagai anak bangsa dan warga negara Indonesia. (Idris Affandi dalam http://www.lpmpjabar.go.id).
Secara historis epistemologis dan pedagogis, pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler dimulai dengan diintroduksikannya mata pelajaran Civics dalam Kurikulum SMA tahun 1962 yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata pelajaran Civics atau Kewarganegaraan, pada dasarnya berisikan  pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri, 1967:7). Istilah Civics tersebut secara formal tidak dijumpai dalam Kurikulum 1957 maupun dalam Kurikulum 1946. Namun secara materil dalam Kurikulum SMP dan SMA 1957 terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum, dan dalam Kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan pengetahuan mengenai pemerintahan.
Kemudian dalam Kurikulum 1968 dan 1969 istilah Civics dan pendidikan kewargaan negara digunakan secara bertukar pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai mana mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan civics (diterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara). Dalam Kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam Kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1969).
Selain itu, dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), digunakan beberapa istilah, yakni Pendidikan Kewargaan Negara, Studi Sosial, Civics dan Hukum. Untuk SD 8 tahun pada PPSP digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang merupakan mata pelajaran IPS terpadu dan mirip dengan integrated social studies di Amerika. Di situ istilah pendidikan kewargaan negara kelihatannya diartikan sama dengan pendidikan IPS. Di sekolah menengah 4 tahun digunakan istilah studi sosial sebagai pengajaran IPS yang terpadu untuk semua kelas dan pengajaran IPS yang terpisah-pisah dalam bentuk pengajaran geografi, sejarah dan ekonomi sebagai program major pada jurusan IPS. Selain itu juga terdapat mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti yang harus ditempuh oleh semua siswa. Sedangkan mata pelajaran Civics dan Hukum diberikan sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS (PPSP IKIP Bandung; 1973a).
Selanjutnya dalam Kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan misi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini harus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1976).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya  muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development (Taba, 1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas.
Sesuai dengan ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN Pendidikan Pancasila mencakup pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan  nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Dari situ dapat dilihat bahwa Pendidikan Pancasila memiliki dimensi pendidikan ideologi, pendidikan nilai dan moral, dan pendidikan kejuangan.
Bila dianalisis denga cermat, ternyata baik istilah yang dipakai maupun rumusan misi dan organisasi isi mata pelajaran Civics atau Pengetahuan Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, di dalam dunia persekolahan yang berkembang selama hampir empat dasawarsa (1960-an s.d. awal 2000-an) menunjukkan telah terjadinya inkonsistensi pemikiran yang secara mendasar yang mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, dan ternyata hal itu berdampak pada terjadinya krisis konseptual dan operasional pedagogis.
Menurut  Winataputra dan Budimansyah (2007:158), hal tersebut tidak usah merasa aneh, karena keadaan seperti ini mirip juga dengan situasi yang pernah dialami di Amerika Serikat, dimana ‘’Civics, Civic/Citizenship Education, Social Studies/Social Science Education’’ sejak kelahirannya tahun 1880-an sampai dengan terbitnya dokumen akademis NCSS (1994) ‘’Curriculum Standards for Social Studies: Expectation of Excellence’’. Namun demikian mereka kini telah berhasil mengatasi krisis konseptual dan kurikuler. Setidaknya mereka kini telah mencapai suatu konsensus akademis dan programatik yang pada gilirannya akan memandu terjadinya proses kurikulum yang lebih koheren.
     Bagi Indonesia konsensus serupa sangatlah penting dan didambakan untuk mendapatkan paradigma yang cocok mengenai pendidikan bidang sosial di sekolah. Namun sampai dengan saat ini rasanya belum juga tercapai. Sampai dengan diberlakukannya kurikulum persekolahan tahun 1994, terdapat tiga jenis pendidikan bidang sosial yakni Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diwajibkan untuk semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan; Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai bendera dari kelompok mata pelajaran ilmu bumi, sejarah nasional, dan sejarah umum pada jenjang pendidikan dasar; dan mata pelajaran sosial yang  berdiri sendiri secara terpisah seperti geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan tata negara di sekolah menengah.
Hakikat dari PPKn adalah kesadaran sebagai warganegara (civic literacy), komunikasi sosial kultural kewarganegaraan (civic engagement), kemampuan berpartisipasi sebagai warga negara (civic skill and participation), penalaran kewarganegaraan (civic knowledge), dan partisipasi kewarganegaraan secara bertanggung jawab (civic participation and civic responsibility).
Nama PPKn sebenarnya bukan hal yang baru pada kurikulum pendidikan nasional. Pada Kurikulum 1994 nama PPKn juga muncul, kemudian pada Kurikulum 2006 ‘’hilang’’, dan pada Kurikulum 2013 Pancasila dimunculkan kembali. Pada Kurikulum 2006 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan pada Kurikulum 2013 Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk mengembangkan peserta didik menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Ruang lingkup kurikulum atau substansi utama perubahan PKn menjadi PPKn.  Kurikulum PKn 2006 meliputi: persatuan dan kesatuan bangsa; norma, hukum dan peraturan; hak asasi manusia; kebutuhan warga negara; konstitusi negara; kekuasaan dan politik; Pancasila; dan globalisasi. Sedangkan Kurikulum PPKn 2013 meliputi: Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa; UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam keberagaman yang kohesif dan utuh; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara Indonesia. 
B.   Pembelajaran Civic Education
Menurut Branson (1999:7) tujuan Civic Education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn menurut Depdiknas (2006:49) adalah  untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:
a.    Berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
b.    Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.     Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk membentuk diri bedasarkan karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.
d.    Berinteraksi dengan bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Tujuan PKn yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995:10) adalah, pertama, secara umum tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian pendidikan nasional yaitu: ‘’Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasysrakatan dan kebangsaan.’’ Kedua, secara khusus tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan menurut Sapriya (2001) tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warganegara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warganegara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partispasi yang efektif dan bertanggung jawab itupun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung keberfungsiannya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat.
Tujuan umum pembelajaran PKn ialah mendidik warganegara agar menjadi warganegara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan warganegara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis …, Pancasilais sejati (Somantri, 2001:279). Fungsi mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warganegara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD NRI 1945.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan negara mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan agar setiap warganegara menjadi warganegara yang baik (to be good citizens), yakni warganegara yang memiliki kecerdasan (civic intelliegence) baik intelektual, emosional, sosial maupun spiritual, memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility), dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Gagasan perlunya warga negara memiliki kemelekwacanaan politik telah ada dan berkembang sejak berdirnya sebuah negara. Hal ini sangat rasional karena setiap  negara memiliki cita-cita luhur yang eksistensinya perlu dijaga dan dipertahankan. Upaya mempertahankan eksistensi negara dilakukan antara lain dengan membangun kecerdasan warag negara dalam bidang politik. Upaya ini dapat ditempuh melalui bentuk pembelajaran agar semua cita-cita dapat diwujudkan secara nyata. Menurut Ian Davies dan Sylvia Hogarth (2004) ada dua pendekatan yang sudah tidak relevan lagi hingga perlu ditolak. Pertama, apa yang dinamakan model ‘’Civics” yang ditafsirkan secara sempit. Model ini dianggap sebagai proses transmisi pengetahuan factual dan metodologi pembelajaran yang menekankan kemelkwacanaan sebagai produk.kapanpun pendekatan ini diujicoba, tetap tidak memberi inspirasi dan tidak memandu peserta didik menjadi warga negara yang baik. Pendekatan kedua yang mesti ditolak disebut model ‘big issues’. Model inibercirikan upaya pengenalan peserta didik terhadap perlombaan debat tentang isu-isu politik yang menekankan kemelekwacanaan politik sebagai proses belaka.
Mengapa dua model ini tidak mendapat rekomendasi? Ada dua hal yang menjadi kelemahannya, ialah (1) guru hanya berupaya mengangkat isu-isu kontroversial sebagai kasus dengan harapan upaya ini berdampak dan dapat dipahami secara luas, ternyata hal ini tidak terjadi; (2) peserta didik yang memiliki pengetahuan mendalam tentang isu-isu tertentu, lalu dipilih karena dianggap pengetahuannya relevan dengan masalah terkini, namun masalah-masalah tersebut diangkat oleh media bukan oleh ahli pendidikan dan tidak terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga peserta didik tidak mendapat materi politik yang layak.
Model alternative yang direkomendasikan oleh Ian Davies dan Sylvia Hogarth (2004) adalah model ‘public discourse’. Model ini berupaya memfasilitasi peserta didik menguasai Bahasa, konsep, kemampuan berargumen dan keterampilan social sebagai syarat berpikir dan berbicara tentang kehidupan dari sudut pandang politik. Model ini menekankan pada proses dan produk. Juga model ini, pengetahuan actual dianggap penting, namun dimanfaatkan bagi kemampuan lain yang lebih penting yakni untuk kemelekwacanaan politik.model alternative ini didukung oleh sejumlah ahli antara lain Newton, Driver, and Osborne (1999) yang menyarankan bahwa melibatkan peserta didik dalam debat secara aktif dipandang sangat tepat untuk mengembangkan konsep. Project of Civic Education yang ada di Inggris juga menemukan bahwa sekolah-sekolah yang memiliki model praktik demokrasi sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan keterlibatan kewarganegaraan.
Tentunya banyak tantangan dalam menciptakan pembelajaran yang tepat untuk kemelekwacanaan politik. Seperti kurangnya pengalaman professional, rendahnya tingkat pengetahuan peserta didik, sifat ilmu politik yang membingungkan (mana yang perlu diterapkan dan mana yang perlu diabaikan), jenis perilaku mana yang diharapkan dari peserta didik dan model inovatif dan progresif manakan yang dapat digunakan walaupun seringkali membingungkan. Dari fakta ini, tampak bahwa untuk mencapai warga negara yang melek politik banyak dipengaruhi oleh kemampuan guru dan kesiapan peserta didik. Oleh karena itu, untuk membangun kemelekwacanaan politik diperlukan strategi pembelajaran yang tepat.
Model alternatif ‘public discourse’  yang direkomendasikan oleh Ian Davies dan Sylvia Hogarth (2004) dapat diterapkan dengan variasi strategi atau teori belajar dari Marzano (1985) yang dinamakan Dimension of Learning. Menurut teori ini, proses pembelajaran akan berhasil apabila guru memulai dengan pemberian persepsi dan sikap positif (positive perception ang attitudes) terhadap para siswa.pada tahap ini guru memberikan motivasi kepada siswanya mengenai pentingnya melek politik bagi warga negara. Dengan penerapan strategi ini, maka tahap selanjutnya akan terjadi, yakni siswa dengan sendirinya akan berupaya mendapatkan pengetahuan dan beruopaya mengintegrasikan dengan pengetahuan yang sudah ada pada dirinya (acquiring and integrating knowledge). Bila proses ini sudah terjadi, maka siswa tidak perlu lagi didorong untuk mendalami pengetahuan karena dengan sendirinya mereka akan berupaya memperluas dan memperbaiki pengetahuan yang telah dimilikinya (extending and refining knowledge). Kemudian ia pun akan beruapa menggunakan pengetahuan tersebut secara bermakna (using knowledge meaningfully) sehingga pada akhirnya ia akan menggunakan pengetahuan sebagai kebiasaan berpikir secara produktif (using productive habit of mind).

III.            Kesimpulan
a.    Pendidikan adalah daya upaya memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect),  dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita.
b.    Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bnagsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
c.     Guru merupakan contoh (patten)  para peserta didik, maka tampilan guru sangat berpengaruh terhadap kelanjutan pembelajaran peserta didiknya.guru dapat menyajikan proses pembelajaran yang menarik, memberi motivasi dan menginspirasi, diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman guru yang senantiasa diperbaharui dengan berbagai masukan positif yang didapat dari berbagai sumber belajar. Pengetahuan dan pengalaman dapat diperoleh dari buku, mass media, kegiatan seminar maupun melalui pelatihan pendidian. Dalam proses belajarnya guru dituntut menghasilkan karya dan inovasi yang dapat mencerahkan untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga dapat menumbuhkan semua potensi peserta didik dan mereka bukan sekadar bias meraih, tapi bias melampaui cita-citanya. Guru bukan hanya seorang pengajar, tetapi lebih dari itu guru merupakan pendidik. Sebagai pendidik, guru harus memiliki berbagai kemampuan sebagai kompetensi yang harus dimiliki sebagai pendidik professional. Baik kompetensi pendagogik, kepribadian, social maupun profesional.
d.    Perkembangan Civics dan Civic Education di Indonesia terjadi pada tahun: pertama, Kewarganegaraan (1957) membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara. Kedua, Civics (1962) tampil dalam bentuk indoktrinasi politik. Ketiga, Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Keempat, Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS. Kelima, Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikkan dengan pengajaran IPS. Keenam, Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4. Ketujuh, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. Kedelepan, PKn (2006) yang meliputi persatuan dan kesatuan bangsa; norma, hukum dan peraturan; hak asasi manusia; kebutuhan warga negara; konstitusi negara; kekuasaan dan politik; Pancasila; dan globalisasi. Kesembilan, PPKn (2013) yang  meliputi  Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa; UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud keberagaman kehiduoan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam keberagaman yang kohesif dan utuh; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara Indonesia.    
e.    Ruang lingkup Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah; Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis; dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat obyektif hidup bernegara.
f.      Melalui Pembelajaran PKn siswa diharapkan, pertama, memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup Negara Republik Indonesia. Kedua, melek konstitusi (UUD NRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam Negara Republik Indonesia. Ketiga, menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas. Keempat, mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri  dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.  

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Idris. 2013. Kurikulum PPKn 2013. Dalam http://www.lpmpjabar.go.id.
Branson. 1999. Belajar Civic Education. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen P&K. 1962. Kurikulum Sekolah Dasar. Jakarta.
Departemen P&K. 1969. Pedoman Kerja Sekolah Pendidikan Guru. Jakarta.
Departemen P&K. 1976. Kurikulum Sekolah Menengah Atas 1975: Buku I Ketentuan Pokok. Jakarta: Balai Pustaka.
Djahiri. A. Kosasih. 1994/1995. Dasar Umum Metodologi Pengajaran Pendidikan Nilai, Moral. Bandung: LAB PPKn IKIP.
Ian Davies & Sylvia Hogarth. 2004. Political Literacy: Issues for Teachers and Learners.  Dalam Jack Demaine 2004. Citizenship and Political Education Today. London: Palgrave Macmillan Ltd.
Newton, P., Driver, R. and Osborne, J. 1999. ‘The Place of Argumentation in the Pedagogy of School Science’, International Journal of Science Education, 21.
PPSP IKIP Bandung. 1973a. Program Kurikulum Studi Sosial Sekolah Dasar Pembangunan. Bandung.
Sapriya.  2001. Ontologi Pendidikan Keawarganegaraan dan Perannya dalam Pembangunan Karakter Pribadi dan Kebangsaan Indonesia. Dalam Budimansyah, D & Komalasari, K. (Eds). 2011. Pendidikan  Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa Penghargaan dan Kehormatan 70 tahun Prof. Dr. H. Endang Somantri, M.Ed. (hlm. 136-150). Bandung: Widya Aksara Press.
Somantri, N. 1967. Pelajaran Kewargaan  Negara di Sekolah. Bandung: IKIP Bandung.
Somantri, N. 2001. Community Civic Education: Basic Concept and Esensial Elements. Bandung: Center for Indonesian Civic Education (CICED).
Taba, Hilda. 1967. The Process of Education. Dalam www.got.blogger.com.
Winataputra, Udin dan Dasim Budimansyah. 2007. Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bumi Siliwangi: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
  




1 komentar: