KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN CIVIC EDUCATION
Oleh:
Prof. Dr. Endang Komara, Drs., M.Si
Guru
Besar Sosiologi Pendidikan dan Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Pasundan
Abstak
Kurikulum merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untu mencapai
tujuan pendidikan tertentu. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Di Indonesia telah memasukkan
program pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum sekolah sekitar satu dekade
setelah proklamasi kemerdekaan. Tentu nomenklatur yang digunakan saat itu bukan
pendidikan kewarganegaraan. Pengalaman lebih dri setengah abad menyelenggarakan
pendidikan keawrganegaraan bahkan pada semua jenjang pendidikan mulai pendidikan dasar, menengah
hingga pendidikan tinggi masih menyisahakn persoalan umum dan klasik yakni
tingkat kemelekwacanaan politik yang masih rendah apalagi untuk mencapai cita-cita
menciptakan warga negara Indonesia yang
cerdas dan terampil. Kemelekwacanaan politik bukan hanya pengetahuan
politik melainkan kemampuan warga negara yang mumpuni baik dalam aspek
pengetahuan, kecakapan, maupun nilai dan sikap. Komponen yang menjadi indicator
capaiannya adalah warga negara yang efektif dalam kehidupan bermasyarakat
seperti menguasai pengetahuan tentang dan dalam penyelesaian konflik dan
bagaimana menghadapi konflik, mengambil keputusan yang terkait dengan masalah
sosial dan ekonomi.
Pembelajaran Civic Education, guru dituntut mengembangkan proses pembelajaran yang
menarik, menyenangkan, menantang, dan membentuk peserta didik untuk mampu
berpikir kritis dan konstruktif. Guru PKn harus mampu menyajikan materi
pembelajaran secara kontekstual, mengaitkan materi pelajaran dengan kondisi
nyata di lapangan, mengatikan teori dengan praktek, antara harapan dan
kenyataan, mengidentifikasi masalah yang terjadi, dan mendorong peserta didik
untuk memunculkan alternatif pemecahan masalah.
Kata kunci: Kurikulum,
pembelajaran, kehidupan bermasyarakat dan Civic
Education.
I.
Pendahuluan
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003, Pasal 1 ayat (19) kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Selanjutnya tujuan pendidikan nasional sebagaimana telah
dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 adalah untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan
insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara
yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu
berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan
berperadaban dunia. Kurikulum adalah instrumen pendidikan untuk dapat membawa
insan Indonesia yang memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan
sehingga dapat menjadi pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif,
inovatif dan afektif.
Salah satu langkah dalam penyusunan Kurikulum 2013 adalah
penataan ulang PKn menjadi PPKn yang meliputi: Pertama, mengubah nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Kedua, menempatkan mata pelajaran PPKn
sebagai sebagai bagian utuh dari kelompok mata pelajaran yang memiliki misi
pengokohan kebangsaan. Ketiga, mengorganisasikan
SK-KD dan indikator PPKn secara nasional dengan memperkuat nilai dan moral
Pancasila; nilai dan norma UUD NRI Tahun 1945; nilai dan semangat Bhineka
Tunggal Ika, serta wawasan dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat, memantapkan pengembangan peserta
didik dalam dimensi: pengetahuan kewarganegaraan, sikap kewarganegaraan,
keterampilan kewarganegaraan, keteguhan kewarganegaraan, komitmen
kewarganegaraan, dan kompetensi kewarganegaraan. Kelima, mengembangkan dan menerapkan berbagai model pembelajaran
yang sesuai dengan karakteristik PPKn yang berorientasi pada pengembangan
karakter peserta didik sebagai warganegara yang cerdas dan baim secara utuh. Keenam, mengembangkan dan menerapkan
berbagai model penilaian proses pembelajaran dan hasil belajar PPKn.
II.
Pembahasan
A. Struktur Kurikulum Civic
Education
Dalam pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) secara imperatif digariskan bahwa: ‘’Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara
yang demokratis dan bertanggung jawab’’. Karena itu idealisme pembentukan watak
dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warganegara yang demokratis dan
bertanggung jawab secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis merupakan
misi suci (mission sacre) dari
pendidikan kewarganegaraan. Secara khusus, seperti dapat dicermati pada
Penjelasan Pasa 37 ayat (1) ‘’Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air’’. Dalam konteks itu pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya
merupakan pendidikan kebangsaan atau pendidikan karakter bangsa. Semua
imperatif atau keharusan itu menuntut perlunya penghayatan baru kita terhadap
pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan
paksis pendidikan yang utuh pada gilirannya dapat menumbuhkan ‘’civic intelligence’’ dan ‘’civic participation’’ serta ‘’civic responsibility’’ sebagai anak
bangsa dan warga negara Indonesia. (Idris Affandi dalam http://www.lpmpjabar.go.id).
Secara historis epistemologis dan pedagogis, pendidikan
kewarganegaraan sebagai program kurikuler dimulai dengan diintroduksikannya
mata pelajaran Civics dalam Kurikulum
SMA tahun 1962 yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata pelajaran Civics atau Kewarganegaraan, pada
dasarnya berisikan pengalaman belajar
yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan
politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan
tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri, 1967:7). Istilah Civics tersebut secara formal tidak
dijumpai dalam Kurikulum 1957 maupun dalam Kurikulum 1946. Namun secara materil
dalam Kurikulum SMP dan SMA 1957 terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum,
dan dalam Kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran pengetahuan umum yang di
dalamnya memasukkan pengetahuan mengenai pemerintahan.
Kemudian dalam Kurikulum 1968 dan 1969 istilah Civics dan pendidikan kewargaan negara
digunakan secara bertukar pakai (interchangeably).
Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara
yang dipakai sebagai mana mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah
Indonesia, geografi Indonesia, dan civics
(diterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara). Dalam Kurikulum SMP
1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah
Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam Kurikulum SMA 1968
terdapat mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan materi,
terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969
mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan
dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi
manusia (Dept. P&K: 1969).
Selain itu, dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP), digunakan beberapa istilah, yakni Pendidikan Kewargaan
Negara, Studi Sosial, Civics dan
Hukum. Untuk SD 8 tahun pada PPSP digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara
yang merupakan mata pelajaran IPS terpadu dan mirip dengan integrated social studies di Amerika. Di situ istilah pendidikan
kewargaan negara kelihatannya diartikan sama dengan pendidikan IPS. Di sekolah
menengah 4 tahun digunakan istilah studi sosial sebagai pengajaran IPS yang
terpadu untuk semua kelas dan pengajaran IPS yang terpisah-pisah dalam bentuk
pengajaran geografi, sejarah dan ekonomi sebagai program major pada jurusan
IPS. Selain itu juga terdapat mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara
sebagai mata pelajaran inti yang harus ditempuh oleh semua siswa. Sedangkan
mata pelajaran Civics dan Hukum
diberikan sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS (PPSP IKIP Bandung;
1973a).
Selanjutnya dalam Kurikulum 1975 istilah Pendidikan
Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan
materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan misi pendidikan yang
diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata
pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP
ini harus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya
Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975
(Depdikbud: 1976).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur,
jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan
memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau
PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994
mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir
nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi
lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development (Taba,
1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran
nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam
setiap kelas.
Sesuai dengan ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN
Pendidikan Pancasila mencakup pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4),Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat
dan nilai-nilai kejuangan khususnya
nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Dari situ dapat dilihat bahwa Pendidikan
Pancasila memiliki dimensi pendidikan ideologi, pendidikan nilai dan moral, dan
pendidikan kejuangan.
Bila dianalisis denga cermat, ternyata baik istilah yang
dipakai maupun rumusan misi dan organisasi isi mata pelajaran Civics atau Pengetahuan Kewargaan
Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, di dalam dunia persekolahan yang berkembang
selama hampir empat dasawarsa (1960-an s.d. awal 2000-an) menunjukkan telah
terjadinya inkonsistensi pemikiran yang secara mendasar yang mencerminkan telah
terjadinya krisis konseptual, dan ternyata hal itu berdampak pada terjadinya
krisis konseptual dan operasional pedagogis.
Menurut Winataputra
dan Budimansyah (2007:158), hal tersebut tidak usah merasa aneh, karena keadaan
seperti ini mirip juga dengan situasi yang pernah dialami di Amerika Serikat,
dimana ‘’Civics, Civic/Citizenship
Education, Social Studies/Social Science Education’’ sejak kelahirannya
tahun 1880-an sampai dengan terbitnya dokumen akademis NCSS (1994) ‘’Curriculum Standards for Social Studies:
Expectation of Excellence’’. Namun demikian mereka kini telah berhasil
mengatasi krisis konseptual dan kurikuler. Setidaknya mereka kini telah
mencapai suatu konsensus akademis dan programatik yang pada gilirannya akan
memandu terjadinya proses kurikulum yang lebih koheren.
Bagi Indonesia konsensus serupa sangatlah
penting dan didambakan untuk mendapatkan paradigma yang cocok mengenai
pendidikan bidang sosial di sekolah. Namun sampai dengan saat ini rasanya belum
juga tercapai. Sampai dengan diberlakukannya kurikulum persekolahan tahun 1994,
terdapat tiga jenis pendidikan bidang sosial yakni Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang diwajibkan untuk semua jenis, jalur dan jenjang
pendidikan; Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai bendera dari kelompok mata
pelajaran ilmu bumi, sejarah nasional, dan sejarah umum pada jenjang pendidikan
dasar; dan mata pelajaran sosial yang
berdiri sendiri secara terpisah seperti geografi, sejarah, ekonomi,
sosiologi, antropologi, dan tata negara di sekolah menengah.
Hakikat dari PPKn adalah kesadaran sebagai warganegara (civic literacy), komunikasi sosial
kultural kewarganegaraan (civic
engagement), kemampuan berpartisipasi sebagai warga negara (civic skill and participation),
penalaran kewarganegaraan (civic
knowledge), dan partisipasi kewarganegaraan secara bertanggung jawab (civic participation and civic
responsibility).
Nama PPKn sebenarnya bukan hal yang baru pada kurikulum
pendidikan nasional. Pada Kurikulum 1994 nama PPKn juga muncul, kemudian pada
Kurikulum 2006 ‘’hilang’’, dan pada Kurikulum 2013 Pancasila dimunculkan
kembali. Pada Kurikulum 2006 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan pada
Kurikulum 2013 Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk mengembangkan peserta
didik menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah
air, yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Ruang lingkup kurikulum atau substansi utama perubahan PKn
menjadi PPKn. Kurikulum PKn 2006 meliputi:
persatuan dan kesatuan bangsa; norma, hukum dan peraturan; hak asasi manusia;
kebutuhan warga negara; konstitusi negara; kekuasaan dan politik; Pancasila;
dan globalisasi. Sedangkan Kurikulum PPKn 2013 meliputi: Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa; UUD 1945 sebagai hukum dasar yang
menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara; Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud keberagaman kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam keberagaman yang kohesif dan utuh;
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara Indonesia.
B. Pembelajaran Civic
Education
Menurut Branson (1999:7) tujuan Civic Education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung
jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian,
dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn menurut Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:
a.
Berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
b.
Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta
bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.
Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk
membentuk diri bedasarkan karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa lain.
d.
Berinteraksi dengan bangsa lain dalam peraturan dunia secara
langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Tujuan PKn yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995:10)
adalah, pertama, secara umum tujuan
PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian pendidikan nasional yaitu:
‘’Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.
Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasysrakatan dan kebangsaan.’’ Kedua, secara
khusus tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama,
perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang
mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun
kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya
untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan menurut Sapriya (2001) tujuan pendidikan
kewarganegaraan adalah partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam
kehidupan politik dari warganegara yang taat kepada nilai-nilai dan
prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warganegara
yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu
pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan
serta. Partispasi yang efektif dan bertanggung jawab itupun ditingkatkan lebih
lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang
meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan
mendukung keberfungsiannya sistem politik
yang sehat serta perbaikan masyarakat.
Tujuan umum pembelajaran PKn ialah mendidik warganegara agar
menjadi warganegara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan warganegara yang
patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis …,
Pancasilais sejati (Somantri, 2001:279). Fungsi mata pelajaran PKn adalah
sebagai wahana untuk membentuk warganegara yang cerdas, terampil dan
berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan
dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila
dan UUD NRI 1945.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan negara
mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan agar setiap warganegara menjadi
warganegara yang baik (to be good
citizens), yakni warganegara yang memiliki kecerdasan (civic intelliegence) baik intelektual, emosional, sosial maupun
spiritual, memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility), dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat.
Gagasan perlunya warga negara memiliki kemelekwacanaan politik
telah ada dan berkembang sejak berdirnya sebuah negara. Hal ini sangat rasional
karena setiap negara memiliki cita-cita
luhur yang eksistensinya perlu dijaga dan dipertahankan. Upaya mempertahankan
eksistensi negara dilakukan antara lain dengan membangun kecerdasan warag
negara dalam bidang politik. Upaya ini dapat ditempuh melalui bentuk
pembelajaran agar semua cita-cita dapat diwujudkan secara nyata. Menurut Ian
Davies dan Sylvia Hogarth (2004) ada dua pendekatan yang sudah tidak relevan
lagi hingga perlu ditolak. Pertama, apa
yang dinamakan model ‘’Civics” yang
ditafsirkan secara sempit. Model ini dianggap sebagai proses transmisi
pengetahuan factual dan metodologi pembelajaran yang menekankan kemelkwacanaan
sebagai produk.kapanpun pendekatan ini diujicoba, tetap tidak memberi inspirasi
dan tidak memandu peserta didik menjadi warga negara yang baik. Pendekatan kedua yang mesti ditolak disebut model ‘big issues’. Model inibercirikan upaya
pengenalan peserta didik terhadap perlombaan debat tentang isu-isu politik yang
menekankan kemelekwacanaan politik sebagai proses belaka.
Mengapa dua model ini tidak mendapat rekomendasi? Ada dua
hal yang menjadi kelemahannya, ialah (1) guru hanya berupaya mengangkat isu-isu
kontroversial sebagai kasus dengan harapan upaya ini berdampak dan dapat
dipahami secara luas, ternyata hal ini tidak terjadi; (2) peserta didik yang
memiliki pengetahuan mendalam tentang isu-isu tertentu, lalu dipilih karena
dianggap pengetahuannya relevan dengan masalah terkini, namun masalah-masalah
tersebut diangkat oleh media bukan oleh ahli pendidikan dan tidak terjadi dalam
proses pembelajaran di kelas, sehingga peserta didik tidak mendapat materi
politik yang layak.
Model alternative yang direkomendasikan oleh Ian Davies dan
Sylvia Hogarth (2004) adalah model ‘public
discourse’. Model ini berupaya memfasilitasi peserta didik menguasai
Bahasa, konsep, kemampuan berargumen dan keterampilan social sebagai syarat
berpikir dan berbicara tentang kehidupan dari sudut pandang politik. Model ini
menekankan pada proses dan produk. Juga model ini, pengetahuan actual dianggap
penting, namun dimanfaatkan bagi kemampuan lain yang lebih penting yakni untuk
kemelekwacanaan politik.model alternative ini didukung oleh sejumlah ahli
antara lain Newton, Driver, and Osborne (1999) yang menyarankan bahwa
melibatkan peserta didik dalam debat secara aktif dipandang sangat tepat untuk
mengembangkan konsep. Project of Civic
Education yang ada di Inggris juga menemukan bahwa sekolah-sekolah yang
memiliki model praktik demokrasi sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan
dan keterlibatan kewarganegaraan.
Tentunya banyak tantangan dalam menciptakan pembelajaran
yang tepat untuk kemelekwacanaan politik. Seperti kurangnya pengalaman
professional, rendahnya tingkat pengetahuan peserta didik, sifat ilmu politik
yang membingungkan (mana yang perlu diterapkan dan mana yang perlu diabaikan),
jenis perilaku mana yang diharapkan dari peserta didik dan model inovatif dan
progresif manakan yang dapat digunakan walaupun seringkali membingungkan. Dari
fakta ini, tampak bahwa untuk mencapai warga negara yang melek politik banyak
dipengaruhi oleh kemampuan guru dan kesiapan peserta didik. Oleh karena itu,
untuk membangun kemelekwacanaan politik diperlukan strategi pembelajaran yang
tepat.
Model alternatif ‘public
discourse’ yang direkomendasikan
oleh Ian Davies dan Sylvia Hogarth (2004) dapat diterapkan dengan variasi
strategi atau teori belajar dari Marzano (1985) yang dinamakan Dimension of Learning. Menurut teori
ini, proses pembelajaran akan berhasil apabila guru memulai dengan pemberian
persepsi dan sikap positif (positive
perception ang attitudes) terhadap para siswa.pada tahap ini guru
memberikan motivasi kepada siswanya mengenai pentingnya melek politik bagi
warga negara. Dengan penerapan strategi ini, maka tahap selanjutnya akan
terjadi, yakni siswa dengan sendirinya akan berupaya mendapatkan pengetahuan
dan beruopaya mengintegrasikan dengan pengetahuan yang sudah ada pada dirinya (acquiring and integrating knowledge). Bila
proses ini sudah terjadi, maka siswa tidak perlu lagi didorong untuk mendalami
pengetahuan karena dengan sendirinya mereka akan berupaya memperluas dan
memperbaiki pengetahuan yang telah dimilikinya (extending and refining knowledge). Kemudian ia pun akan beruapa
menggunakan pengetahuan tersebut secara bermakna (using knowledge meaningfully) sehingga pada akhirnya ia akan
menggunakan pengetahuan sebagai kebiasaan berpikir secara produktif (using productive habit of mind).
III.
Kesimpulan
a.
Pendidikan adalah daya upaya memajukan bertumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak.
Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan
hidup anak-anak kita.
b.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bnagsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
c.
Guru merupakan contoh (patten)
para peserta didik, maka tampilan
guru sangat berpengaruh terhadap kelanjutan pembelajaran peserta didiknya.guru
dapat menyajikan proses pembelajaran yang menarik, memberi motivasi dan
menginspirasi, diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman guru yang senantiasa
diperbaharui dengan berbagai masukan positif yang didapat dari berbagai sumber
belajar. Pengetahuan dan pengalaman dapat diperoleh dari buku, mass media,
kegiatan seminar maupun melalui pelatihan pendidian. Dalam proses belajarnya
guru dituntut menghasilkan karya dan inovasi yang dapat mencerahkan untuk
diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga dapat menumbuhkan semua
potensi peserta didik dan mereka bukan sekadar bias meraih, tapi bias melampaui
cita-citanya. Guru bukan hanya seorang pengajar, tetapi lebih dari itu guru
merupakan pendidik. Sebagai pendidik, guru harus memiliki berbagai kemampuan
sebagai kompetensi yang harus dimiliki sebagai pendidik professional. Baik
kompetensi pendagogik, kepribadian, social maupun profesional.
d.
Perkembangan Civics
dan Civic Education di Indonesia
terjadi pada tahun: pertama, Kewarganegaraan
(1957) membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara. Kedua, Civics (1962) tampil dalam bentuk
indoktrinasi politik. Ketiga, Pendidikan
Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang
bernuansa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Keempat, Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk
pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS. Kelima,
Pendidikan Kewargaan Negara
(1973) yang diidentikkan dengan pengajaran IPS. Keenam, Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil
menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4. Ketujuh,
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan
kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk
pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. Kedelepan, PKn (2006) yang meliputi
persatuan dan kesatuan bangsa; norma, hukum dan peraturan; hak asasi manusia;
kebutuhan warga negara; konstitusi negara; kekuasaan dan politik; Pancasila;
dan globalisasi. Kesembilan, PPKn
(2013) yang meliputi Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan
hidup bangsa; UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Bhineka Tunggal Ika sebagai
wujud keberagaman kehiduoan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam
keberagaman yang kohesif dan utuh; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sebagai bentuk negara Indonesia.
e.
Ruang lingkup Civic
Education meliputi seluruh program dari sekolah; Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar
yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat
demokratis; dalam Civic Education termasuk
pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan
syarat obyektif hidup bernegara.
f.
Melalui Pembelajaran PKn siswa diharapkan, pertama, memahami dan menguasai secara
nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan
hidup Negara Republik Indonesia. Kedua,
melek konstitusi (UUD NRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam Negara Republik
Indonesia. Ketiga, menghayati dan meyakini
tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas. Keempat, mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap
perilaku diri dan kehidupannya dengan
penuh keyakinan dan nalar.
DAFTAR PUSTAKA
Branson. 1999. Belajar Civic Education. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen P&K. 1962. Kurikulum Sekolah Dasar. Jakarta.
Departemen P&K. 1969. Pedoman
Kerja Sekolah Pendidikan Guru. Jakarta.
Departemen P&K. 1976. Kurikulum Sekolah Menengah Atas 1975: Buku I
Ketentuan Pokok. Jakarta: Balai Pustaka.
Djahiri. A. Kosasih. 1994/1995. Dasar Umum Metodologi Pengajaran Pendidikan
Nilai, Moral. Bandung: LAB PPKn IKIP.
Ian Davies & Sylvia Hogarth.
2004. Political Literacy: Issues for Teachers and Learners. Dalam
Jack Demaine 2004. Citizenship and Political Education Today. London: Palgrave
Macmillan Ltd.
Newton, P., Driver, R. and Osborne,
J. 1999. ‘The Place of Argumentation in the Pedagogy of School Science’,
International Journal of Science Education, 21.
PPSP IKIP Bandung. 1973a. Program Kurikulum Studi Sosial Sekolah Dasar
Pembangunan. Bandung.
Sapriya. 2001. Ontologi
Pendidikan Keawarganegaraan dan Perannya dalam Pembangunan Karakter Pribadi dan
Kebangsaan Indonesia. Dalam Budimansyah, D & Komalasari, K. (Eds).
2011. Pendidikan Karakter:
Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa Penghargaan dan Kehormatan
70 tahun Prof. Dr. H. Endang Somantri, M.Ed. (hlm. 136-150). Bandung: Widya
Aksara Press.
Somantri, N. 1967. Pelajaran Kewargaan Negara di Sekolah. Bandung: IKIP Bandung.
Somantri, N. 2001. Community
Civic Education: Basic Concept and Esensial Elements. Bandung: Center for
Indonesian Civic Education (CICED).
Taba, Hilda. 1967. The
Process of Education. Dalam www.got.blogger.com.
Winataputra, Udin dan Dasim
Budimansyah. 2007. Civic Education:
Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bumi Siliwangi: Program
Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia.
Terima kasih. Sangat bermanfaat, Prof.
BalasHapus