PENGUATAN PENDIDIKAN
KARAKTER & PEMBELAJARAN ABAD 21
|
ENDANG
KOMARA,
Prof, Drs,
Dr, M.Si
|
Guru Besar Sosiologi Pendidikan Kopertis Wilayah IV
Dpk pada STKIP Pasundan,
Ketua STKIP Pasundan, Anggota Dewan Pendidikan Daerah
Provinsi Jawa Barat, Sekretaris Paguyuban Profesor dan,
Ketua KORPRI Kopertis Wilayah IV
|
Abstrak
Pendidikan
karakter adalah gerakan nasional dalam menciptakan sekolah untuk mengembangkan
peserta didik dalam memiliki etika, tanggung jawab, dan kepedulian dengan
menerapkan dan mengajarkan karakter yang baik melalui penekanan pada
nilai-nilai universal. Pendidikan karakter adalah usaha yang disengaja, proaktif yang dilakukan oleh
sekolah dan pemerintah (daerah dan pusat) untuk menanamkan nilai-nilai inti,
etis, seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan penghargaan
terhadap diri dan orang lain (Character
Education Partnership).
Model
pembelajaran Abad 21, meliputi: pertama pembelajaran
diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber
observasi, bukan diberitahu. Kedua pembelajaran
diarahkan untuk mampu merumuskan masalah (menanya), bukan hanya menyelesaikan
masalah (menjawab). Ketiga, pembelajaran
diarahkan untuk melatih berfikir analitis (pengambilan keputusan) bukan
berfikir mekanistis (rutin). Keempat, pembelajaran
menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah.
I.
Pendahuluan
Pendidikan karakter merupakan suatu keniscayaan dalam upaya
menghadapi berbagai tantangan pergeseran karakter yang dihadapi saat ini.
Pendidikan karakter bertujuan
mengembangkan kemampuan seseorang untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehar-hari
dengan sepenuh hati. Karena pendidikan karakter merupakan suatu habit, maka
pembentukan karakter seseorang itu memerlukan communities of character (komunitas masyarakat yang bisa membentuk
karakter). Peran sekolah sebagai communities
of character dalam pendidikan
karakter sangat penting. Sekokah mengembangkan proses pendidikan karakter
melalui proses pembelajaran, habituasi, kegiatan ekstrakurikuler, dan bekerja
sama dengan keluarga dan masyarakat dalam pengembangannya.
Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017 (Komalasari dan Didin saripudin,
2017), mengidentifkasi lima nilai utama karakter yang saling berkaitan
membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu nilai
religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Pertama, nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadaap Tuhan Yang
Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan
kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan
damai dengan pemeluk agama lain. Nailai karakter religius ini meliputi tiga
dimensi relasi sekaligus, yaitu hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan
sesama, dan individu dengan alam semesta (lingkungan). Nilai karakter religius
ini ditunjukkan dalam perilaku mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan. Subnilai
religius antara lain cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan
kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerjasama antar pemeluk agama dan
kepercayaan, antibuli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan
kehendak, mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih. Kedua, nilai karakter nasionalis
merupakan cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Subnilai nasionalis antara
lain apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela
berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum,
disiplin, menghormati keregaman budaya, suku dan agama. Ketiga, nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak
bergantung pada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu
untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Subnilai mandiri antara lain
etos kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya juang, profesional,
kreatif, keberanian dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Keempat, nilai karakter gotong royong mencerminkan
tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan
persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persabatan, memberi
bantuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Subnilai gotong royong
antara lain menghargai, kerja sama,
inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong-menolong,
solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan. Kelima, nilai karakter integritas merupakan nilai yang
mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki
komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas
moral). Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara,
aktif terlibat dalam kehidupan sosial, meliputi konsistensi tindakan dan
perkataan yang berdasarkan kebenaran. Subnilai integritas antara lain
kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan,
tanggung jawab, keteladanan, dan menghargai martabat individu.
Dari zaman ke zaman, pendidikan muncul dalam berbagai bentuk
dan paham. Dilihat dari sejarahnya, pendidikan Indonesia dapat dibagi secara
urutan waktu kurang lebih sebagai beikut: Pertama,
zaman pra-kolonial, masa prasejarah dan masa sejarah. Kedua, zaman colonial ketika system pendidikan ‘modern’ dari Eropa
diperkenalkan, dan ketiga, zaman
kemerdekaan Republik Indonesia yang berlangsung hingga sekarang. Masing-masing
zaman memiliki corak dan bentuk sendiri.
Memasuki abad ke-21 sekarang ini, pendidikan Indonesia
dihadapkan dengan sejumlah tantangan dan peluang, yang tentunya berbeda dengan
zaman-zaman sebelumnya. Guna mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan
berbagai tuntutan dan dinamika perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung
di Abad ke-21 ini, bangsa Indonesia harus semakin mengasah kemampuan yang
dibutuhkan untuk menghadapi setiap revolusi pada Pendidikan di Abad ke-21 ini.
Selaras dengan prinsip-prinsip dalam revolusi pembelajaran (learning
revolution), proses pembelajaran seharusnya berpijak pada pilar-pilar active learning, creative learning,
effective learning, dan joyful
learning. Pembelajaran juga berpijak pada empat pilar pendidikan menurut
UNESCO, yakni learning to know, learning
to do, learning to be, dan learning
how to live together.
II.
Pembahasan
Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) mengidentifikasi 5 (lima)
nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu
dikembangkan sebagai prioritas, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong
royong, dan integritas.
Pengembangan nilai-nilai karakter menurut Ki hajar Dewantara
yakni olah hati (etika), olah pikir (literasi), olah karsa (estetika), dan olah
raga (kinestetika). Nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan meliputi:
religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab dan lain-lain.
Menurut Lickona (1992:51) menekankan pentingnya tiga
komponen karakter yang baik dimana “
Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral
feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good,
desiring the good, nad doing the good-habits of the mind, habits of the heart,
and habits of action’’. Artinya, karakter yang baik terdiri atas mengetahui
kebaikan (knowing the good),
mencintai atau menginginkan kebaikan (loving
or desiring the good), dan melakukan kebaikan (acting the good). Oleh karena itu, cara membentuk karakter yang
efektif adalah dengan melibatkan ketiga aspek tersebut. Lickona (1992:52)
menguraikan komponen dari ketiga aspek tersebut sebagai berikut:
1. Moral knowing
a. Moral awareness
b. Knowing moral values
c. Perspective taking
d. Moral reasoning
e. Decision making, dan
f. Self-knowledge
2.
Moral feeling
a.
Conscience
b.
Self-esteem
c.
Empathy
d.
Loving the good
e.
Self-control, dan
f.
Humility
3.
Moral action
a.
Competence
b. Will, dan
c. Habit
Menurut Lickona (1992) lebih lanjut menjelaskan identifikasi
moral knowing atau pengetahuan
tentang moral, moral feeling atau
perasaan tentang moral dan moral action atau
perbuatan moral. Moral knowing adalah
hal yang penting untuk diajarkan, yang
terdiri atas enam hal: 1) moral awareness
(kesadaran moral), 2) knowing moral
values (mengetahui nilai-nilai moral), 3) perspective taking (pengambilan perspektif), 4) moral reasoning (alasan moral), 5) decision making (pengambilan keputusan),
dan 6) self-knowledge (pengetahuan
diri). Moral feeling adalah asfek
yang lain yang harus ditanamkan kepada siswa yang merupakan sumber energy dari
diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6
(enam) hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang
untuk menjadi manusia berkarakter yakni: 1) conscience
(nurani), 2) self esteem (percaya
diri), 3) empathu (merasakan
penderitaan orang lain), 4) loving the
good (mencintai kebenaran), 5) self
control (mampu mengontrol diri), dan 6) humility
(kerendahan hati). Moral action adalah
bagaimana membuat pengetahuan dan perasaan moral dapat diwujudkan menjadi
tindakan nyata. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morality) maka harus dilihat tiga
aspek lain dari karakter yaitu: 1) kompetensi (competency), 2) keinginan (will),
dan 3) kebiasaan (habit).
Indonesia heritage Foundation (Megawangi: 2004:94) telah
menyusun ketiga komponen karakter tersebut ke dalam serangkaian nilai yang
selayaknya diajarkan kepada anak-anak, yang meliputi: (a) cinta Tuhan dan
segenap ciptaan-Nya; (b) kemandirian dan tanggung jawab; (c) kejujuran/amanah,
bijaksana; (d) hormat dan santun; (e) dermawan, suka menolong, dan gotong
royong; (f) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras; (g) kepemimpinan dan
keadilan; (h) baik dan rendah hati; dan (i) toleransi, kedamaian dan kesatuan.
Ahli pendidikan moral, Lickona (1992) menyebut setidaknya ada karakter: jujur,
kasih saying, keberanian, baik, control diri, tekun. Sedangkan Deklarasi Aspen
memasukkan 6 (enam) nilai: 1) trustworthy
yang meliputi honesty dan integrity; 2) treats people with respect; 3) responsible;
4) fair; 5) caring; dan 6) good citizen. Nilai-nilai
yang terkandung dalam karakyter ini dijadikan karakter dasar dalam pendidikan
karakter. Perbedaan karakter dasar antara keduanya dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 1.1 Karakter Dasar
Indonesia
Heritage Foundation
|
Character
Counts USA
|
Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
|
Dapat dipercaya (trustworthy)
meliputi sifat jujur (honesty) dan
integritas (integrity)
|
Kemandirian dan tanggung jawab
|
Memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect)
|
Kejujuran/amanah, bijaksana
|
Bertanggung jawab (responsible)
|
Hormat dan santun
|
Adil (fair)
|
Dermawan, suka menolong dan gotong royong
|
Kasih saying (caring),
dan
|
Percaya diri, kreatif dan pekerja keras
|
Warga negara yang baik (good citizen).
|
Kepemimpinan dan keadilan
|
|
Baik dan rendah hati
|
|
Toleransi dan kedamaian dan kesatuan
|
|
Lebih lanjut Dimerman (2009:9) mengidentifikasi 10 karakter
yang harus dikembangkan yaitu: 1) respect;
2) responsibility; 3) honesty; 4) empathy; 5) fairness; 6) initiative; 7)
courage; 8) perseverance; 9) optimism; and 10) integrity. Indonesia
heritage Foundation yang juga banyak bergerak dalam pendidikan karakter
mengidentifikasi ada 9 (Sembilan) karakter mulia yang menjadi pilar: 1) cinta
Tuhan dan kebenaran; 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; 3)
amanah; 4) hormat dan santun; 5) kasih saying, kepedulian, dan kerjasama; 6)
percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8)
baik dan rendah hati; 9) toleransi dan cinta samai (Megawangi, 2004:28-30).
Sementara itu Tim Pakar yayasan Jati Diri Bangsa (2011) mengangkat rumus 5+3+3
atau 11 kebiasaan. Secara ringkas dikutipkan di sini, 5 (lima) sikap dasar
yaitu jujur, terbuka, berani mengambil resiko dan bertanggung jawab, komitmen,
berbagi dengan 3 (tiga) syarat yaitu niat, tidak mendahului kehendak Tuhan dan
bersyukur, lalu dilakukan dengan 3 9tiga) syarat yaitu do’a atau ibadah,
mewujudkan perubahan lalu dikunci dengan teladan.
Dewantara (1962) menegaskan, beberapa jenis karakter yang
harus dikembangkan melalui pendidikan yaitu: 1) tetep, antep, mantep artinya bahwa pendidikan itu harus membentuk
ketetapan pikiran dan batin, menjamin keyakinan diri dan membentuk kemantapan
dalam prinsip hidup; 2) ngandel, kendel dan
bandel. Ngandel adalah istilah dalam
bahasa Jawa yang artinya ‘’berpendirian tegak’’. Pendidikan itu harus
menghantar orang pada kondisi diri yang ngandel
(berpendirian tegak/teguh). Orang yang berpendirian tegak adalah yang
berprinsip dalam hidup. Kendel adalah
istilah yang menunjukkan keberanian. Pendidikan membentuk seseorang untuk
menjadi pribadi yang berani, berwibawa dan ksatria. Orang yang berpendidikan
adalah orang yang berani menegakkan kebernaran dan keadilan, matang dan dewasa
dalam menghadapi segala cobaan. Bandel menunjukkan
bahwa orang yang terdidik adalah yang ‘’tahan uji’’. Segala cobaan hidup dan
dalam segala situasi hidup yang dihadapinya dengan sikap tawakal, tidak lekas
ketakutan dan hilang nyali; 3) neng,
ning, nung dan nang. Artinya
bahwa pendidikan pada tataran terdalam bercorak religious. Pendidikan itu
menciptakan kesenangan perasaan (neng),
keheningan (ning), renungan (nung), dan ketenangan (nang). Dalam dan melalui pendidikan dan
pembelajaran, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin.
Secara lebih khusus dalam pendidikan kewarganegaraan dikenal
civic disposition (Branson, 1999:23).
Pada civic disposition yaitu ‘’… those attitudes and habit of mind of the
citizen that are conductive to the healthy functioning and common good of the
democratic system’’. Sikap dan kebiasaan berpikir warga negara yang
menopang berkembangnya fungsi social yang sehat dan jaminan kepentingan umum
dari system demokrasi. Secara konseptual civic
disposition meliputi sejumlah karakter kepribadian, yakni: ‘’Civility (respect and civil discourse), individual
responsibility, self-discipline, civic-mindedness, open mindedness (openness,
skepticism, recognition of ambiguity), compromise (conflict of principles,
compassion, generosity, and loyality to the nation and its principles)’’ (Quigley,
et. Al., 1991:13-14).
Untuk mampu mengembangkan pembelajaran abad 21 ini ada
beberapa yang penting untuk diperhatikan antara lain:
1. Tugas Utama Guru sebagai Perencana Pembelajaran
Sebagai
fasilitator dan pengelola kelas maka tuga sutama guru yang penting s adalah dalam
pemuatan RPP. RPP haruslah baik dan detail dan mampu menjelaskan semua proses
yang akan terjadi dalam kelas termasuk proses penilaian dan target yang ingin
dicapai.dalam penyusunan RPP, guru harus mampu memngkombinasikan antara target
yang diminta dalam kurikulum nasional, mengembangkan kecakapan abad 21 atau
karakter nasional serta menafaatan teknologi dalam kelas.
2. Masukkan unsur berfikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking)
Teknologi dalam
hal ini khususnya internet akan sangat memudahkan siswa untuk memperoleh
informasi dan jawaban dari persoalan yang disampaikan oleh guru. Untuk
permasalahan yang bersifat pengetahuan dan pemahaman bisa dicari solusinya
dengan sangat mudah dan nada kecenderungan bahwa siswa hanya menjadi pengumpul
informasi. Guru harus mampu memberikan tugas di tingkat aplikasi, analisa,
evaluasi dan kreasi. Hal ini akan mendorong siswa untuk berpikir kritis dan
membaca informasi yang mereka kumpulkan sebelum menyelesaikan tugas dari guru.
3. Penerapan pada pendekatan dan model pembelajaran yang bervariasi.
Beberapa
pendekatan pembelajaran seperti pembelajaran berbasis proyek (project Based Learning), pembelajaran
berbasis keinginan tahuan (Inquiry Based
Learning), serta model pembelajaran silang (jigsaw) maupun model kelas terbalik (Flipped Clasroom) dapat diterapkan oleh guru untuk memperkaya
pengalaman belajar siswa (Learning
Experience). Satu hal yang perlu dipahami bahwa siswa harus mengerti dan
memahami hubungan antara ilmu yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan
nyata, siswa harus mampu menerapkan ilmunya untuk mencari solusi permasalahan
dalam kehidupan nyata. Hal ini yang membuat Indonesia mendapatkan peringkatb
rendah (64 dari 65 negara) dari nilai PISA di tahun 2012. Siswa Indonesia tidak
bisa menghubungkan ilmu dengan permasalahan riil kehidupan.
4. Integrasi teknologi
Sekolah dimana
siswa dan guru mempunyai akses teknologi yang baik harus mampu memanfaatkan
teknologi dalam proses pembelajaran, siswa harus terbiasa bekerja dengan
teknologi seperti layaknya orang yang bekerja. Seringkali guru mengeluhkan
mengenai fasilitas teknologi yang belum mereka miliki, satu hal saja bahwa
pengembangan pembelajaran abad 21 bisa dilakukan tanpa unsur teknologi, yang
terpenting adalah guru yang baik yang bisa mengembangkan proses pembelajaran
yang aktif dan kolaboratif, namun terus saja guru harus berusaha untuk
menguasai teknologinya terlebih dahulu. Hal yang paling mendasar yang harus
diingat bahwasanya teknologi tidak akan menjadi alat bantu yang baik dan kuat
apabila pola pembelajarannya masih tradisional.
Sementara itu, Jennifer Nicholas
(2015) menyederhanakannya ke dalam prinsip pokok pembelajaran abad ke-21 yang
dijelaskan dan dikembangkan seperti berikut ini.
a.
Instructional should be
student-centered
Pengembangan pembelajaran seyogyanya menggunakan
pendekatan pembelajaran yang berpusat
pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yangs ecara aktif
mengembangkan minat dann potensi yang dimilikinya. Siswa tidak lagi dituntut
untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang diberikan guru, tetapi
berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan
kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi
untuk memecahkan masalah nyata yang terjadi dalam masyarakat.
b.
Educational should be collaborative
Siswa harus
dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan
orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai yang dianutnya. Dalam menggali
informasi dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa berkolaborasi
dengan teman-teman di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, siswa perlu
dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta
bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat dengan mereka.
c.
Learning should have contest
Perkembangan
tidak akan banyak berarti jika tidak memberi dampak terhadap kehidupan siswa di
luar sekolah. Oleh karena itu materi pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari siswa. Guru mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan
siswa terhubung dengan dunia nyata (real
word). Guru membantu siswa agar dapat menemukan nilai, makna dan keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya
serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Guru melakukan
penilaian kinerja siswa yang dikaitkan
dengan dunia nyata.
d.
Schools should be integrated with
society
Dalam upaya mempersiapkan siwa
menjadi warga negara yang bertanggung jawab, sekolah seyogyanya dapat
memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya
mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, dimana siswa dapat belajar mengambil
peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial. Siswa dapat
dilibatkan dalam berbagai pengembangan program yang ada di masyarakat, seperti
program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup dan sebagainya. Selain itu,
siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti asuhan untuk melatih kepekaan
empati dan kepedulian sosialnya.
III.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan ke dalam hal-hal sebagai berikut:
A. Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa
untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan
sehari-hari dengan sepenuh hati.
B. Pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek
pengetahuan yang baik (moral knowing),
tetapi juga merasakan dengan baik atau loving
the good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Jadi pendidikan karakter erat kaitannya dengan
‘habit’ atau kebiasaan yang terus
menerus dipraktikkan dan dilakukan.
C. Pendidikan karakter merupakan suatu habit, maka pembentukan karakter
seseorang itu memerlukan communities of
character yang terdiri atas keluarga, sekolah, institusi keagamaan, media,
pemerintahan dan berbagai pihak yang mempengaruhi generasi muda. Semua communities of character tersebut
hendaknya memberikan suatu keteladanan, intervensi, pembiasaan yang dilakukan
secara konsisten, dan penguatan. Dengan kata lain pembentukan karakter
memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses
pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus menerus dalam jangka panjang yang
dilakukan secara konsisten dan penguatan.
D. Pendidikan nasional abad 21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa,
yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang
sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan terhormat dan setara dengan bangsa dan
dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya
manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan
untuk mewujudkan cita-cita bangsanya.
E. Pengembangan pembelajaran abad 21 beberapa hal yang perlu diperhatikan
antara lain: tugas utama guru sebagai perencana pembelajaran, memasukkan unsur
berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking), penerapan pola
pendekatan dan model pembelajaran yang bervarisi, serta integrasi teknologi.
DAFTAR
PUSTAKA
Dewantara, Ki Hadjar. 1962. Karya Bagian I: Pendidikan. Yogyakarta:
MLPTS.
Dimerman, S. 2009. Character is The Key. Canada: Wiley.
Hosnan, M. 2016. Pendekatan Saintifik dan Konstektual Dalam
pembelajaran Abad 21: Kunci Sukses Implementasi Kirikulum 21. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Yaumi, Muhammad. 2014. Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar &
Implementasi. Jakarta; Prenadamedia Group.
Komalasari, Kokom dan Didin
Saripudin. 2017. Pendidikan Karakter:
Konsep dan Aplikasi Living Values Education. Bandung: Refika Aditama.
Lickona.1992. Educating for Character How Our School Can Teach Respect and
Responsibility. New York-Toronto-London-Sydney: Bantam Books.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter (Solusi yang Tepat untuk
Membangun Karakter Bangsa). Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.