Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih.
Dalam ajaran Islam banyak ayat Al Qur’an dan Hadist yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada rasul-Nya dan kepada Ulil Amri dari (kalangan) kamu …” (An Nisa: 59)
Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha maupun belajar, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan agama dan jauh dari sifat putus asa. Perlu kita sadari bahwa betapa pentingnya disiplin dan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa maupun kehidupan bernegara.
Disiplin dalam penggunaan waktu
Disiplin dalam penggunaan waktu perlu diperhatikan dengan seksama. Waktu yang sudah berlalu tak mungkin dapat kembali lagi. Demikian pentingnya waktu sehingga berbagai bangsa menyatakan penghargan terhadap waktu. Orang Inggris mengatakan Time is money (waktu adalah uang), peribahasa Arab mengatakan”
(waktu adalah pedang) atau waktu adalah peluang emas, dan kita orang Indonesia mengatakan: ‘’sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna’’.
Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang berhasil mencapai sukses dalam hidupnya adalah orang-orang yang hidup teratur dan berdisiplin dalam memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak akan datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui latihan yang ketat dalam kehidupan pribadinya.
Ada empat cara agar kita tidak menjadi orang-orang yang melalaikan waktu, antara lain: (1) beriman, (2) beramal saleh, (3) saling berwasiat dalam kebenaran, (4) saling berwasiat dalam kesabaran.
Inilah yang dijelaskan dalam ayat terakhir surat Al-Ashr. ‘’Illal ladziina amanu wa’amilushshaalihaati watawaahau bish shabr, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan menasihat-menasihati supaya menaati kebenaran serta menasihat-menasihati supaya tetap dalam kesabaran.’’
1. Beriman
Iman, secara bahasa bermakna “membenarkan”. Maksudnya membenarkan segala hal yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw., yang pokok-pokoknya tersistematisasikan dalam rukun iman. Iman sifatnya abstrak, dimensinya batiniah alias tidak terlihat. Karenanya, yang paling tahu apakah iman seseorang itu kuat atau lemah hanyalah Allah swt. Zat yang Maha Mengetahui masalah ghaib. Walaupun iman itu abstrak, namun Allah swt. Menyebutkan sejumlah ciri orang-orang yang imannya benar. Firman-Nya, ‘’Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan pada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya serta ampunan dan nikmat yang mulia.’’ (Q.S. Al Anfal 8:2-4). Iman itu bersifat fluktuatif, artinya kadang-kadang meningkat dan kadang-kadang menurun. Dalam suatu riwayat, disebutkan bahwa Al immanu yaziidu wa yanqushu (iman itu dapat bertambah dan bisa juga berkurang). Oleh sebab itu kita wajib merawat iman agar tetap prima supaya tidak terjerumus menjadi orang-orang yang merugi.
2. Beramal Saleh
Kedua yang bisa menyelamatkan manusia dari kerugian adalah beramal saleh. Kata amiluu berasal dari kata amalun artinya pekerjaan yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Kata shalihaat berasal dari kata shaluha artinya bermanfaat atau sesuai. Jadi, amal saleh adalah aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa pekerjaan itu memberi manfaat untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Selain itu, pekerjaan tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan amal saleh sebagai perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Jadi, karya atau kreativitas apapun yang kita lakukan dengan penuh kesadaran demi kemaslahatan diri sendiri, keluarga ataupun masyarakat, dapat disebut amal saleh. Harus diingat, amal saleh itu harus dibarengi dengan iman, karena amal saleh tanpa dilandasi iman kepada Allah swt. akan menjadi sia-sia, ‘’Dan Kami hadapi segala amal baik yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan”. (Q.S. Al Furqan 25:23)
3. Saling Berwasiat dalam Kebenaran
Watawaashau bil haq, Orang yang saling berwasiat dalam kebenaran. Berarti saling menasihati untuk berpegang teguh pada kebenaran. Kata Al haq di sini berarti kebenaran yang pasti, yaitu Ajaran Islam. Maka syarat agar manusia terhindar dari kerugian adalah mengetahui hakikat kebenaran Islam, mengamalkannya, dan menyampaikannya kepada orang lain. Siapa saja yang tidak mau mengajak manusia lain untuk berpegang pada kebenaran Islam setelah ia mengetahuinya, ia termasuk dalam golongan yang merugi.
Mengajak orang lain berada di jalan kebenaran bukan sekadar tugas para kiai, ulama, ustadz ataupun lembaga dakwah, namun merupakan kewajiban setiap individu. Rasulullah bersabda, ‘’Siapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan kekuasaan. Apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan, dan kalau tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hati, dan itulah iman yang paling lemah.’’
Kewajiban ini ditujukan kepada setiap individu muslim, kapan dan di mana pun melihat kemunkaran, kita wajib mengubahnya sesuai kadar kemampuan kita. Saling menasihati untuk berpegang teguh pada kebenaran harus dilakukan dengan ilmu, penuh kearifan, dan menggunakan kata-kata yang santun, sebagaimana Firman-Nya, “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S An-Nahl 16:125)
4. Saling Berwasiat dalam Kesabaran
Wa tawaashau bishshabr, saling menasihati supaya tetap dalam kesabaran. Kesabaran adalah suatu kekuatan jiwa yang membuat orang menjadi tabah menghadapi berbagai ujian. Sabar begitu penting untuk kita miliki. Allah swt. menyebut sabar sebanyak 103 kali dalam Al-Qur’an dengan berbagai konteks. Jiwa sabar harus kita miliki karena ujian akan selalu mewarnai kehidupan kita, ‘’Dan sungguh Kami akan berikan ujian padamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira orang-orang yang bersabar…” (Q.S. Al-Baqarah 2:155).
Disiplin dalan beribah.
Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk atau merendahkan diri. Pengertian yang lebih luas dalam ajaran Islam, ibadah berarti tunduk dan merendahkan diri hanya kepada Allah yang disertai dengan perasaan cinta kepada-Nya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa disiplin dalam dalam beribah itu mengandung dua hal: (1) berpegang teguh apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah atau larangan, maupun ajaran yang bersifat menghalalkan, menganjurkan, sunnah, makruh dan subhat; (2) sikap berpegang teguh yang berdasarkan cinta kepada Allah, bukan karena rasa takut atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah adalah senantiasa taat kepada-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 31:
‘’Katakanlah: ‘’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran 31).
Sebagaimana telah kita ketahui, ibadah itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (1) Ibadah Mahdah (murni) yaitu bentuk ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah; (2) Ibadah Ghaira Mahdah (selain mahdah), yang tidak langsung dipersembahkan kepada Allah melainkan melalui hubungan kemanusiaan.
Dalam ibadah mahdah (disebut juga ibadah khusus) aturan-aturannya tidak boleh semaunya akan tetapi harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang yang mengada-ada aturan baru misalnya, shalat subuh 3 raka’at atau puasa 40 hari terus-menerus tanpa berbuka, adalah orang yang tidak disiplin dalam ibadah, karena tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia termasuk orang yang berbuat bid’ah dan tergolong sebagai orang yang sesat.
Dalam ibadah Ghaira mahdah (disebut juga ibadah umum) orang dapat menentukan aturannya yang terbaik, kecuali yang jelas dilarang oleh Allah. Tentu saja suatu perbuatan dicatat sebagai ibadah kalau niatnya ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena riya ingin mendapatkan pujian orang lain.
Disiplin dalam bermasyarakat.
Hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia. Dilihat dari latar belakang budaya setiap manusia memiliki latar belakang yang berbeda. Karenanya setiap manusia memiliki watak dan tingkah laku yang berbeda. Namun demikian, dengan bermasyarakat (animal education/hayawunnatiq), mereka telah memiliki norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan serta peraturan yang disepakati bersama yang harus dihormati dan dihargai serta ditaati oleh setiap anggota masyarakat tersebut.
Agama Islam mengibaratkan anggota masyarakat itu bagaikan satu bangunan yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain mempunyai fungsi yang berbeda-beda, manakala salah satu komponen rusak atau binasa. Hadist Nabi SAW menegaskan:
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang sebagian dari mereka memperkuat bagian lainnya. Kemudian beliau menelusupkan jari-jari tangan sebelah lainnya’’. (H.R. Bukhori Muslkim dan Turmudzi)
Disiplin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara adalah alat untuk memperjuangkan keinginan bersama berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh para anggota atau warganegara tersebut. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi warganya, negara tidak akan terwujud. Oleh karena itu masyarakat merupakan prasyarat untuk berdirinya suatu Negara. Tujuan dibentuknya suatu negara adalah seluruh keinginan dan cita-cita yang diidamkan oleh warga masyarakat dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan. Rasulullah bersabda yang artinya: ‘’Seorang muslim wajib mendengar dan taat, baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah mengerjakan maksiat, maka tidak wajib untuk mendengar dan taat’’. (H.R. Bukhori Muslim)
Senin, 23 Maret 2009
Jumat, 13 Maret 2009
TRANSFORMASI OLAHRAGA TRADISIONAL DALAM MENGHADAPI POST MODERISM Oleh: Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si
Abstrak
Olahraga tradisional adalah jenis olahraga yang timbul berdasar permainan dari masing-masing suku dan etnis yang ada di Indonesia. Dan cabang itu tidak semuanya dilombakan baik secara nasional maupun internasional. Cabang-cabang olahraga tradisional meliputi sepak takraw, pencak silat, karapan sapi, egrang, dan lain-lain.
Karakteristik post modernism (posmo) dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Untuk memahami laju percepatan perubahan sosial yang luar biasa maka karakteristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimaksudkan agar substansi telaahannya dikenal baik dan selanjutnya diolah lebih baik.
I. Pendahuluan
Bila berbicara mengenai olahraga, maka kita menyadari bahwa ada bermacam-macam cabang olahraga yang bisa dipilih dan berkomitmen untuk menekuninya. Ada olahraga modern yang cara dan aturannya akan berbeda dengan olahraga tradisional yang masih minim baik dari tata cara bermain dan aturan-aturannya. Ada juga olahraga yang dirancang dan dilakukan untuk melatih kondisi fisik atau otot para pelakunya, ada pula yang dibuat untuk menstimulasi kesegaran rohani atau psikis dan merancang kerja otak. Maka perlu kita ketahui beberapa macam olahraga yang ada.
Berdasarkan masa terdiri dari pertama olahraga modern. Dalam lingkup ini, olahraga yang dimaksud modern adalah olahraga yang telah resmi, baik secara aturan permainan dan alat yang digunakan bermain di seluruh negara. Dan secara internasional, cabang-cabang olahraga modern ini tidak bisa diubah salah satu atributnya tanpa perubahan dari induk-induk organisasi olahraga dunia terkait. Beberapa cabang olahraga modern misalnya: anggar, angkat besi, bulutangkis, catur, golf, loncat indah, menembak, sepak bola, tenis, tinju dan lain-lain. Kedua, olahraga tradisional. Sejauh ini hanya di Indonesia yang mengenalkan jenis olahraga tradisional kepada publik dalam negeri. Yang dimaksud tradisional adalah jenis olahraga yang timbul berdasar permainan dari masing-masing suku dan etnis yang ada di Indonesia. Dan cabang ini tidak semuanya dilombakan baik secara nasional maupun internasional. Adapun cabang-cabang di dalamnya adalah: sepak takraw, pencak silat, karapan sapi, egrang, dan lain-lain.
Berdasarkan organ tubuh terdiri atas pertama Olahraga fisik atau otot. Sesuai dengan porsi latihan yang dilakukan, olahraga fisik atau otot ini lebih menitikberatkan pada ketahanan fisik dan kekuatan otot pelaku dimana sebelumnya mereka telah berlatih membentuk ketahanan dan kekuatan tubuh di masing-masing cabang olahraga ini. Banyak contoh dari olahraga ini yang banyak digemari, salah satunya binaraga. Dimana pelaku diharuskan berkelanjutan memperkuat otot dengan kombinasi olahraga angkat besi, lari, dan diimbangi dengan makanana bernutrisi. Namun secara umum, olahraga jenis ini tentu saja akan menguras banyak tenaga. Tapi tidak diperbolehkan penggunaan obat bantu untuk menambah ketahanan. Karena pengkonsumsian obat tersebut sama saja dengan pemforsiran fungsi kerja tubuh. Kedua, olahraga psikis. Sejak awal, cabang-cabang olahraga psikis atau olahraga otak ini mengindikasikan latihan untuk memperbagus fungsi kerja otak. Baik dari segi berpikir strategi maupun tingkat kesabaran pemain. Cukup sedikit cabang olahraga otak ini. Beberapa yang terkenal adalah catur yang banyak diminati karena pola permainannya yang mengandalkan pemilihan strategi menyerang dan bertahan juga melatih kesabaran pemain. Ada pula memancing yang menstimulasi tingkat kesabaran juga adrenalin para peminatnya.
Karakteristik posmo dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Untuk memahami laju percepatan perubahan sosial yang luar biasa membuat kita perlu mencari terus filsafat, teori, dan metodologi pengembangan ilmu yang tepat. Di samping itu mengenai karakteristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimasudkan agar substansi telaahannya dikenal baik, dan selanjutnya diolah dengan lebih baik.
Studi Geertz di Pare yang disamarkan dengan nama Mojokuto membagi masyarakat menjadi priyayi, abangan, dan santri mendapat kritik para fungsionalis (yang positif modern), sebagai sinkretis, dengan kesimpulan mengarah ke marginalisasi peran Islam, dan dimaknai bahwa Islam itu tidak berbahaya. Tetapi interpreti Geertz tentang priyayi, abangan, dan santri juga mendapat kritik dari ilmuwan Muslim sekarang, dengan mendekontruk paradigma yang dipakai Geertz, menampilkan peran aktif dan signifikan Islam.
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Sepeti dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif (2000:236) bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237) berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis; logikan yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996), logika discovery menurut Muhadjir (1982), atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernist yang ”mengejar” grandtheory dan jabarannya, ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah Postpositivistik Phenomenologik-Interpretif Logik dan Etik, misalnya berupa model Interpretif Geertz, Grounded Research, Ethnographik-Etnometodologik, Paradigma Naturalistik, Interaksionisme Simbolik dan Model Kontruktivist.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansu kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama, temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia, umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer, satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Apakah posmo hanya menyangkut rekayasa sosial? Tidak. Dengan mengkonstruksi paradigma genetik jantan-betina, menjadi paradigma lain, ditemukan DNA. Dengan mendekonstruk sistem desimal menjadi sistem digital berkembang software ilmu komputer. Dekonstruksi paradigma sosial, berkembang berbagai teori para futurolog. Dekonstruksi sosial paling banyak, tetapi nampaknya juga yang paling banyak membuat kesalahan prediksi. Makna poststruktural, postparadigmatik akan menjadi semakin menonjol dalam peran berfikir postmodern. Pada era modern, baik positivist maupun postpositivist, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif (divergen, lateral, holographik, dan lain-lain) pada postpositivistik. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era postposivist menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
II. Pembahasan
2.1 Transformasi Olahraga Tradisional
Arus globalisasi dapat menyeret identitas budaya yang dimiliki oleh sebuah bangsa. Globalisasi dengan seluruh perangkat penyebarannya harus dihadang dengan kekokohan jati diri bangsa dengan nilai-nilai budaya. Peningkatan jati diri diawali dari unsur-unsur budaya yang bisa menjadi pemantik restorasi budaya. Kaitannya dengan kebudayaan adalah bahwa kebudayaan termasuk sebagai proses dialektik antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan disintegrasi antara tradisi dan reformasi. Itu berarti, dalam kebudayaan ada semacam daya dorong yang mengakibatkan terjadinya sesuatu hal, katakanlah yang mengakibatkan seseorang menjadi tenang dan gelisah, upaya menemukan dan upaya mencarikan yang dilakukan oleh manusia sebagai pelaku kebudayaan.
Menyikapi adanya proses pencarian identitas kebudayaan nasional sebagai benteng untuk menyaring atau menjaga kebudayaan nasional dari terpaan budaya asing adalah sebagai gejala kekhawatiran akan lenyapnya kebudayaan nasional yang bersumber dari pemerkayaan kebudayaan daerah. Akan tetapi upaya itu tidak berhasil karena sesungguhnya yang kita lakukan adalah menentang kebudayaan asing itu dengan membiarkan kebudayaan nasional (daerah) lepas dari pengkajian-pengkajian dalam menemukan identitasnya kembali. Upaya untuk mempertahankan kebudayaan nasional dapat diawali dari transformasi salah satu dari sekian banyak unsur yang membentuk kebudayaan itu tersebut. Unsur kebudayaan yang paling mungkin adalah melalui olahraga tradisional.
Olahraga tradisional menarik untuk dibahas karena berbagai daerah di Indonesia memiliki olahraga tradisional masing-masing yang khas, misalnya Keranjang kambie dari Sumatera Barat, Ujungan dari Banten, Keket dari Jawa Timur, Barapen dari Papua, Tanggobe dari Gorontalo dan banyak lagi yang lainnya. Selain itu, olahraga tradisional sebagaimana olahraga modern menjadi jalan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sehingga multiplier effect-nya semakin besar. Akan tetapi, karena berbagai hak terkait dengan kondisi saat ini, maka olahraga tradisional memerlukan transformasi tanpa meninggalkan esensi dasarnya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam transformasi olahraga tradisional seluruh Indonesia, inventarisasi olahraga tradisional seluruh Indonesia, standarisasi dan nasionalisasi olahraga tradisional hasil klasifikasi, memasukkan olahraga tradisional ke dalam kurikulum pendidikan dasar, menciptakan iklim kompetisi olahraga tradisional yang kondusif, transformasi olahraga tradisional ke tempat ke-4, dan tentunya olahraga tradisional go international.
Pertama, inventarisasi olahraga tradisional seluruh Indonesia. Hal pertama yang harus dilakukan dalam pengembangan olahraga tradisional adalah melakukan inventarisasi semua olahraga tradisional yang terdapat di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Secara teori, setiap suku bangsa seharusnya memiliki kebudayaannya sendiri yang khas, walaupun mungkin tidak harus memiliki olahraga tradisional khas suku tersebut. Sehingga jumlah olahraga tradisional mendekati jumlah suku bangsa yang ada di Indoneis. Belum lagi apabila ada beberapa suku atau daerah yang memiliki lebih dari satu jenis olahraga tradisional. Hasil inventarisasi tersebut dapat menggambarkan keunikan serta karakteristik lain dari olahraga tradisional tersebut dalam mempengaruhi kesehatan pelaku olahraga tradisional itu serta aspek entertaint dan daya tarik bagi masyarakat penonton.
Kedua, klasifikasi olahraga tradisional seluruh Indonesia. Dari hasil inventarisasi yang telah dilakukan, kemudian diklasifikasikan ke dalam criteria yang sama. Hal ini terjadi karena ‘’nama’’ dari suatu olahraga tradisional di setiap daerah mungkin berbeda-beda, akan tetapi terbuka kemungkinan terdapat kemiripan antara olahraga tradisional yang satu dengan yang lain. Misalnya peraturan permainannya sangat mirip, akan tetapi peralatannya sedikit berbeda atau jumlah pemainnya berbeda atau ukuran medan permainannya berbeda.
Kriteria yang digunakan sebagai acuan ditentukan berdasarkan tingkat kesamaan dari olahraga tradisional tersebut. Kriteria klasifikasi yang paling utama hendaknya didasarkan pada kemiripan aturan permainan. Adapun mengenai alat yang agak berbeda, jumlah pemain yang berbeda atau factor pembantu lainnya dapat dilakukan standarisasi ulang.
Ketiga, standarisasi dan nasionalisasi olahraga tradisional hasil klasifikasi. Setelah dilakukan klasifikasi berdasarkan kemiripan aturan permainan olahraga tradisional, selanjutnya dilakukan standarisasi. Standarisasi tersebut dapat meliputi standarisasi jumlah pemain, ukuran medan pertandingan, standarisasi aturan pertandingan, kostum pertandingan, system penjurian serta peralatan pertandingan. Khusus untuk peralatan pertandingan, tidak harus sepenuhnya tradisional sesuai bentuk awal saat olahraga tradisional itu diciptakan. Hal ini dikarenakan kondisi kekinian tidak lagi memungkinkan. Misalnya keranjang yang berbahan baku rotan tidak lagi harus rotan karena persediaan rotan di hutan kita menipis dan nilai ekonomisnya semakin tinggi. Selain itu pada proses standarisasi dapat juga disisipkan teknologi modern dalam olahraga tradisional tanpa mengurangi nilai inti, keunikan serta ruh dari olahraga tradisional tersebut.
Proses standarisasi sebetulnya dilakukan untuk memudahkan proses nasionalisasi olahraga tradisional. Nasionalisasi dilakukan agar olahraga tradisional dari daerah tertentu tidak lagi hanya berkembang di dikenal di daerah tersebut. Selain itu, standarisasi serta nasionalisasi juga akan sangat membantu dalam mensosialisasikan olahraga nasional ke masyarakat serta dalam publikasi ke dunia internasional. Sehingga mungkin saja suatu saat karena sudah jelas standard an statusnya, olahraga nasional Indonesia dimainkan di manca Negara.
Keempat, kampanye dan keteladanan olahraga tradisional. Proses ini merupakan hal yang penting agar olahraga tradisional dapat di terima oleh masyarakat luas bahkan tidak hanya diterima, tetapi terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Karena di era globalisasi, olahraga tradisional harus mampu bersaing dengan permainan ataupun olahraga modern yang sarat dengan teknologi canggih.
Selama ini proses sosialisasi yang kurang optimal menjadi penyebab utama kegagalan olahraga tradisional untuk tetap eksis di era globalisasi. Sosialisasi olahraga modern demikian gencarnya tanpa kita sadari, sehingga kita lupa dengan olahraga tradisional kita. Misalnya tayangan sepak bola dari berbagai Negara dan kejuaran seolah semakin menjadi di televise, sehingga hamper tiada hari tanpa tayangan sepak bola atau setidaknya berita sepak bola. Sebetulnya, meskipun olahraga tradisional masih kurang dari segi penggunanaan teknologi mutakhir, namun olahraga tradisional mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki oleh permainan ataupun olahraga impor modern, yaitu berakar dari budaya bangsa sehingga karena itu pula olahraga tradisional perlu transformasi dengan standarisasi dan sentuhan teknologi.
Tentu saja karena pengaruh media massa dalam era informasi ini demikian besar, maka tahapan sosialisasi dan kampanye olahraga tradisional ini harus melibatkan media massa baikcetak maupun elektronik. Selain itu, dalam tahapan sosialisasi ini diperlukan juga keteladan dari para pemimpin bangsa agar mau mencoba melakukan olahraga tradisional. Hal-hal inilah yang harus di-blow up untuk melakukan proses penyadaran kepada seluruh elemen bangsa tentang urgensi olahaga tradisional menuju jati diri bangsa yang selama ini abstrak.
Kelima, memasukan olahraga tradisional dalam kurikulum Pendidikan Dasar. Ketika olahraga tradisional berakar pada budaya bangsa, seharusnya itu menjadi kebanggaan sekaligus identitas bangsa yang orisinalitasnya terjaga. Oleh karena itu seharusnya pengembangan olahraga tradisional juga bersifat sistemik dan mengakar.
Proses pendidikan merupakan cara yang efektif untuk membentuk kepribadian atau karakteristik individu bahkan generasi. Kepribadian atau karakteristik yang terbentuk tersebut akan sangat tergantung dari kurikulum pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, memasukkan olahraga tradisional ke dalam kurikulum pendidikan dasar merupakan cara yang sistematis dalam transformasi olahraga tradisional jangka panjang. Manfaatnya mungkin tidak akan dirasakan pada waktu dekat, akan tetapi pda jangka waktu yang panjang akan terjadi efek domino yang luar biasa. Anak-anak yang sejak dini sudah mengenal olahraga tradisional, akan tumbuh menjadi sosok yang tidak asing dengan hal tersebut. Sehingga apabila suatu saat mereka menjadi orang tua, mereka akan mentransfer informasi tersebut ke anak-anaknya. Hal ini berarti sosialisasi olahraga tradisional jangka panjang akan lebih mudah lagi. Proses ini merupakan sesuatu yang sulit di saat system pendidikan di Indonesia masih belum stabil dan jauh dari ideal. Apalagi untuk mengurusi olahraga tradisonal yang tidak termasuk prioritas dalam agenda pendidikan negeri ini. Sebenarnya caranya sangat sederhana yakni persepsi mengenai olahraga tradisional dirubah menjadi penting walaupun bukan prioritas utama, kemudian memasukan olahraga tradisional tersebut sebagai mata ajaran tambahan.
Keenam, menciptakan iklim kompetisi olahraga tradisional yang kondusif. Sebagaimana olahraga modern atau olahraga tradisional Jepang seperti sumo yang eksis karena adanya kompetisi, maka agar olahraga tradisional tetap eksis, perlu diciptakan iklim kompetisi yang baik. Sehingga agar iklim tersebut terbentuk, perlu dilakukan kompetisi di berbagai tempat. Bisa saja dilakukan di tingkat daerah atau tingkat nasional. Kompetisi bisa dilakukan secara terpisah atau dimasukan sebagai salah satu cabang dalam kegiatan olahraga yang sudah ada misalkan Pekan Olahraga Daerah (PORDA). Selain itu kompetisi dapat juga dilakukan di sekolah-sekolah atau kampus-kampus, misalkan melalui event Olympiade Olahraga Tradisional Mahasiswa. Hanya olahraga yang telah dinasionalisasi saja yang diikutsertakan dalam kompetisi ini.
Penciptaan iklim kompetisi yang kondusif tidak bisa hanya melakukan kompetisi di satu wilayah saja sementara wilayah lain tidak, akan tetapi harus serentak di seluruh wilayah bangsa ini. Wilayah yang dimaksud tidak hanya diartikan sebagai daerah provinsi, kabupaten atau sebagainya. Tapi juga mencakup wilayah pendidikan, tempat kerja atau komunitas social yang lainnya.
Ketujuh, transformasi olahraga tradisional ke tempat ke-4. Tren yang akan berkembang di masa yang akan datang adalah semakin ramainya tempat keempat setelah keluarga, tempat kerja dan tempat nongkrong dalam kehidupan manusia modern. Tempat ke-4 yang dimaksud adalah dunia maya yang tidak hanya berarti internet, tetapi juga game-game maya seperti yang ditandai lahirnya generasi Play Station yang popular dan diikuti oleh yang lainnya.Manusia modern dapat bermain dengan pertandingan di dunia maya atau tempat ke-4 tersebut.
Melihat perkembangan teknologi yang semakin cepat, sepertinya kita tidak dapat menghindari kehadiran tempat ke-4 tersebut. Sehingga cara terbijak yang harus dilakukan adalah mentransformasikan olahraga tradisional ke dalam dunia maya, sehingga manusia modern tidak hanya di Indonesia dapat memainkan olahraga tradisional di tempat keempat.
Kedelapan, apabila olahraga tradisional Indonesia sudah betul-betul berinternalisasi pada diri bangsa Indonesia, maka tidak mustahil olahraga tradisional Indonesia dapat go international. Kita dapat melihat olahraga tradisional Jepang yaitu sumo yang dikenal di dunia internasional karena Jepangpun cukup mengakar kuat. Selain itu, memperkenalkan olahraga tradisional di tempat ke-4 juga akan membantu mensosialisasikan olahraga tradisional ke manca Negara. Tidak mustahil pula bila suatu saat, olahraga tradisional Indonesia dimainkan pula di negara lain. Sekali lagi syaratnya adalah apabila olahraga tradisional tersebut sudah terinternalisasi dalam diri bangsa Indonesia.
Kesembilan, beberapa olahraga tradisional pada saat ini tidak dimanfaatkan lagi sebagai suatu sarana untuk meningkatkan kesehatan jasmani, ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa olahraga tradisional tidak dimanfaatkan oleh masyarakat apalagi diajarkan di sekolah-sekolah. Hilangnya olahraga tradisional sangat berpengaruh terhadap masyarakat mengingat belum adanya pengganti olahraga tersebut. Sedangkan olahraga yang ada kebanyakan berasal dari luar, di mana nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat pada olahraga tersebut kurang dipahami oleh sebagian besar pemanfaatnya, sehingga dalam melakukan olahraga modern sering terjadi konflik, baik antara pemain maupun antar penonton atau pendukung.
Perbedaan tersebut bukan berarti sesuatu yang tidak dapat disatukan, tetapi justru harus dapat disatukan di mana prestasi meningkat sekaligus rasa persaudaraan meningkat pula. Yang perlu dibangun pada saat ini adalah bagaimana memanfaatkan olahraga tradisional dengan menggunakan teknik modern, dengan peralatan modern, tetapi tetap memiliki nilai-nilai budya yang tinggi. Pembinaan olahraga tradisional dapat dilakukan di kalangan sekolah serta di kalangan masyarakat awam pada umumnya disatukan. Olahraga tradisional perlu mendapat perhatian yang berimbang apabila diharapkan bahwa olahraga tradisional dapat tetap eksis di dalam masyarakat. Studi olah para pakar olahraga dan antropolog tentulah sangat baik dan perlu, demi pelestarian bentuk dan isi olahraga tradisional itu sendiri. Pihak yang paling berwenang melakukan langkah-langkah tersebut adalah pemerintah. Akan tetapi pemerintah tidak dapat bergerak sendirian. Tentu saja pada akhirnya semua pihak dituntut peran sertanya dalam menghidupkan kembali jati diri bangsa ini, walaupun tetap harus ada yang mengarahkannya.
2.2 Pendekatan Post-Modernism
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia arsitektur. Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat, setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai prodesun. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: … akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi. Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
III. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagi berikut:
3.1 Transformasi Olahraga tradisional bertujuan untuk mengawali restorasi budaya Indonesia sehingga perlahan memperkokoh jati diri bangsa yang seakan pudar.
3.2 Manfaat transformasi olahraga tradisional antara lain: Mendukung program masyarakat sehat, mempererat ikatan sosial masyarakat, menjaga identitas budaya bangsa, kebanggaan kolektif bangsa, daya tarik pariwisata dan mendukung terciptanya masyarakat sejahtera.
3.3 Teori postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.
3.4 Postmodern menanyakan bagaimana setiap orang dapat percaya bahwa modernitas telah membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Juga cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas. Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi, teori, image dan realitas. Serta postmodern menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean. 1990. The Transparancy of Evil: Essays on Extreme Phenomena. London: Verso.
Bauman, A.T., 1992. The Role of Rhetorical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Best, Steven & Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern: Interogasi Kritis.Malang: Boyan Publishing.
Borgherts, Donald M. 1996. The Encyclopedia of Philosophy Supplement. New York: Simon & Schuster Macmillan.
Geertz, Clifford. 1960. Religion of Java. Glencoe: Free Press.
______________ 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Jameson, Fredric. 1989. Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.
Kleden, Ignas. 2000. Masyarakat dan Negara. Jakarta.
Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A. Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesofa Press.
Muhadjir, Noeng. 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
______________ 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustafa, Hasan. 2004. Perspektif dalam Psikologi Sosial {OnLine}. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/doc (13 Januari 2005)
Nuyen, A.T.,1992. The Role of Rhetorrical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Rosenan, Pauline Morie. 1992. Post Modernism and the Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.
Olahraga tradisional adalah jenis olahraga yang timbul berdasar permainan dari masing-masing suku dan etnis yang ada di Indonesia. Dan cabang itu tidak semuanya dilombakan baik secara nasional maupun internasional. Cabang-cabang olahraga tradisional meliputi sepak takraw, pencak silat, karapan sapi, egrang, dan lain-lain.
Karakteristik post modernism (posmo) dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Untuk memahami laju percepatan perubahan sosial yang luar biasa maka karakteristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimaksudkan agar substansi telaahannya dikenal baik dan selanjutnya diolah lebih baik.
I. Pendahuluan
Bila berbicara mengenai olahraga, maka kita menyadari bahwa ada bermacam-macam cabang olahraga yang bisa dipilih dan berkomitmen untuk menekuninya. Ada olahraga modern yang cara dan aturannya akan berbeda dengan olahraga tradisional yang masih minim baik dari tata cara bermain dan aturan-aturannya. Ada juga olahraga yang dirancang dan dilakukan untuk melatih kondisi fisik atau otot para pelakunya, ada pula yang dibuat untuk menstimulasi kesegaran rohani atau psikis dan merancang kerja otak. Maka perlu kita ketahui beberapa macam olahraga yang ada.
Berdasarkan masa terdiri dari pertama olahraga modern. Dalam lingkup ini, olahraga yang dimaksud modern adalah olahraga yang telah resmi, baik secara aturan permainan dan alat yang digunakan bermain di seluruh negara. Dan secara internasional, cabang-cabang olahraga modern ini tidak bisa diubah salah satu atributnya tanpa perubahan dari induk-induk organisasi olahraga dunia terkait. Beberapa cabang olahraga modern misalnya: anggar, angkat besi, bulutangkis, catur, golf, loncat indah, menembak, sepak bola, tenis, tinju dan lain-lain. Kedua, olahraga tradisional. Sejauh ini hanya di Indonesia yang mengenalkan jenis olahraga tradisional kepada publik dalam negeri. Yang dimaksud tradisional adalah jenis olahraga yang timbul berdasar permainan dari masing-masing suku dan etnis yang ada di Indonesia. Dan cabang ini tidak semuanya dilombakan baik secara nasional maupun internasional. Adapun cabang-cabang di dalamnya adalah: sepak takraw, pencak silat, karapan sapi, egrang, dan lain-lain.
Berdasarkan organ tubuh terdiri atas pertama Olahraga fisik atau otot. Sesuai dengan porsi latihan yang dilakukan, olahraga fisik atau otot ini lebih menitikberatkan pada ketahanan fisik dan kekuatan otot pelaku dimana sebelumnya mereka telah berlatih membentuk ketahanan dan kekuatan tubuh di masing-masing cabang olahraga ini. Banyak contoh dari olahraga ini yang banyak digemari, salah satunya binaraga. Dimana pelaku diharuskan berkelanjutan memperkuat otot dengan kombinasi olahraga angkat besi, lari, dan diimbangi dengan makanana bernutrisi. Namun secara umum, olahraga jenis ini tentu saja akan menguras banyak tenaga. Tapi tidak diperbolehkan penggunaan obat bantu untuk menambah ketahanan. Karena pengkonsumsian obat tersebut sama saja dengan pemforsiran fungsi kerja tubuh. Kedua, olahraga psikis. Sejak awal, cabang-cabang olahraga psikis atau olahraga otak ini mengindikasikan latihan untuk memperbagus fungsi kerja otak. Baik dari segi berpikir strategi maupun tingkat kesabaran pemain. Cukup sedikit cabang olahraga otak ini. Beberapa yang terkenal adalah catur yang banyak diminati karena pola permainannya yang mengandalkan pemilihan strategi menyerang dan bertahan juga melatih kesabaran pemain. Ada pula memancing yang menstimulasi tingkat kesabaran juga adrenalin para peminatnya.
Karakteristik posmo dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Untuk memahami laju percepatan perubahan sosial yang luar biasa membuat kita perlu mencari terus filsafat, teori, dan metodologi pengembangan ilmu yang tepat. Di samping itu mengenai karakteristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimasudkan agar substansi telaahannya dikenal baik, dan selanjutnya diolah dengan lebih baik.
Studi Geertz di Pare yang disamarkan dengan nama Mojokuto membagi masyarakat menjadi priyayi, abangan, dan santri mendapat kritik para fungsionalis (yang positif modern), sebagai sinkretis, dengan kesimpulan mengarah ke marginalisasi peran Islam, dan dimaknai bahwa Islam itu tidak berbahaya. Tetapi interpreti Geertz tentang priyayi, abangan, dan santri juga mendapat kritik dari ilmuwan Muslim sekarang, dengan mendekontruk paradigma yang dipakai Geertz, menampilkan peran aktif dan signifikan Islam.
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Sepeti dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif (2000:236) bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237) berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis; logikan yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996), logika discovery menurut Muhadjir (1982), atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernist yang ”mengejar” grandtheory dan jabarannya, ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah Postpositivistik Phenomenologik-Interpretif Logik dan Etik, misalnya berupa model Interpretif Geertz, Grounded Research, Ethnographik-Etnometodologik, Paradigma Naturalistik, Interaksionisme Simbolik dan Model Kontruktivist.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansu kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama, temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia, umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer, satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Apakah posmo hanya menyangkut rekayasa sosial? Tidak. Dengan mengkonstruksi paradigma genetik jantan-betina, menjadi paradigma lain, ditemukan DNA. Dengan mendekonstruk sistem desimal menjadi sistem digital berkembang software ilmu komputer. Dekonstruksi paradigma sosial, berkembang berbagai teori para futurolog. Dekonstruksi sosial paling banyak, tetapi nampaknya juga yang paling banyak membuat kesalahan prediksi. Makna poststruktural, postparadigmatik akan menjadi semakin menonjol dalam peran berfikir postmodern. Pada era modern, baik positivist maupun postpositivist, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif (divergen, lateral, holographik, dan lain-lain) pada postpositivistik. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era postposivist menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
II. Pembahasan
2.1 Transformasi Olahraga Tradisional
Arus globalisasi dapat menyeret identitas budaya yang dimiliki oleh sebuah bangsa. Globalisasi dengan seluruh perangkat penyebarannya harus dihadang dengan kekokohan jati diri bangsa dengan nilai-nilai budaya. Peningkatan jati diri diawali dari unsur-unsur budaya yang bisa menjadi pemantik restorasi budaya. Kaitannya dengan kebudayaan adalah bahwa kebudayaan termasuk sebagai proses dialektik antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan disintegrasi antara tradisi dan reformasi. Itu berarti, dalam kebudayaan ada semacam daya dorong yang mengakibatkan terjadinya sesuatu hal, katakanlah yang mengakibatkan seseorang menjadi tenang dan gelisah, upaya menemukan dan upaya mencarikan yang dilakukan oleh manusia sebagai pelaku kebudayaan.
Menyikapi adanya proses pencarian identitas kebudayaan nasional sebagai benteng untuk menyaring atau menjaga kebudayaan nasional dari terpaan budaya asing adalah sebagai gejala kekhawatiran akan lenyapnya kebudayaan nasional yang bersumber dari pemerkayaan kebudayaan daerah. Akan tetapi upaya itu tidak berhasil karena sesungguhnya yang kita lakukan adalah menentang kebudayaan asing itu dengan membiarkan kebudayaan nasional (daerah) lepas dari pengkajian-pengkajian dalam menemukan identitasnya kembali. Upaya untuk mempertahankan kebudayaan nasional dapat diawali dari transformasi salah satu dari sekian banyak unsur yang membentuk kebudayaan itu tersebut. Unsur kebudayaan yang paling mungkin adalah melalui olahraga tradisional.
Olahraga tradisional menarik untuk dibahas karena berbagai daerah di Indonesia memiliki olahraga tradisional masing-masing yang khas, misalnya Keranjang kambie dari Sumatera Barat, Ujungan dari Banten, Keket dari Jawa Timur, Barapen dari Papua, Tanggobe dari Gorontalo dan banyak lagi yang lainnya. Selain itu, olahraga tradisional sebagaimana olahraga modern menjadi jalan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sehingga multiplier effect-nya semakin besar. Akan tetapi, karena berbagai hak terkait dengan kondisi saat ini, maka olahraga tradisional memerlukan transformasi tanpa meninggalkan esensi dasarnya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam transformasi olahraga tradisional seluruh Indonesia, inventarisasi olahraga tradisional seluruh Indonesia, standarisasi dan nasionalisasi olahraga tradisional hasil klasifikasi, memasukkan olahraga tradisional ke dalam kurikulum pendidikan dasar, menciptakan iklim kompetisi olahraga tradisional yang kondusif, transformasi olahraga tradisional ke tempat ke-4, dan tentunya olahraga tradisional go international.
Pertama, inventarisasi olahraga tradisional seluruh Indonesia. Hal pertama yang harus dilakukan dalam pengembangan olahraga tradisional adalah melakukan inventarisasi semua olahraga tradisional yang terdapat di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Secara teori, setiap suku bangsa seharusnya memiliki kebudayaannya sendiri yang khas, walaupun mungkin tidak harus memiliki olahraga tradisional khas suku tersebut. Sehingga jumlah olahraga tradisional mendekati jumlah suku bangsa yang ada di Indoneis. Belum lagi apabila ada beberapa suku atau daerah yang memiliki lebih dari satu jenis olahraga tradisional. Hasil inventarisasi tersebut dapat menggambarkan keunikan serta karakteristik lain dari olahraga tradisional tersebut dalam mempengaruhi kesehatan pelaku olahraga tradisional itu serta aspek entertaint dan daya tarik bagi masyarakat penonton.
Kedua, klasifikasi olahraga tradisional seluruh Indonesia. Dari hasil inventarisasi yang telah dilakukan, kemudian diklasifikasikan ke dalam criteria yang sama. Hal ini terjadi karena ‘’nama’’ dari suatu olahraga tradisional di setiap daerah mungkin berbeda-beda, akan tetapi terbuka kemungkinan terdapat kemiripan antara olahraga tradisional yang satu dengan yang lain. Misalnya peraturan permainannya sangat mirip, akan tetapi peralatannya sedikit berbeda atau jumlah pemainnya berbeda atau ukuran medan permainannya berbeda.
Kriteria yang digunakan sebagai acuan ditentukan berdasarkan tingkat kesamaan dari olahraga tradisional tersebut. Kriteria klasifikasi yang paling utama hendaknya didasarkan pada kemiripan aturan permainan. Adapun mengenai alat yang agak berbeda, jumlah pemain yang berbeda atau factor pembantu lainnya dapat dilakukan standarisasi ulang.
Ketiga, standarisasi dan nasionalisasi olahraga tradisional hasil klasifikasi. Setelah dilakukan klasifikasi berdasarkan kemiripan aturan permainan olahraga tradisional, selanjutnya dilakukan standarisasi. Standarisasi tersebut dapat meliputi standarisasi jumlah pemain, ukuran medan pertandingan, standarisasi aturan pertandingan, kostum pertandingan, system penjurian serta peralatan pertandingan. Khusus untuk peralatan pertandingan, tidak harus sepenuhnya tradisional sesuai bentuk awal saat olahraga tradisional itu diciptakan. Hal ini dikarenakan kondisi kekinian tidak lagi memungkinkan. Misalnya keranjang yang berbahan baku rotan tidak lagi harus rotan karena persediaan rotan di hutan kita menipis dan nilai ekonomisnya semakin tinggi. Selain itu pada proses standarisasi dapat juga disisipkan teknologi modern dalam olahraga tradisional tanpa mengurangi nilai inti, keunikan serta ruh dari olahraga tradisional tersebut.
Proses standarisasi sebetulnya dilakukan untuk memudahkan proses nasionalisasi olahraga tradisional. Nasionalisasi dilakukan agar olahraga tradisional dari daerah tertentu tidak lagi hanya berkembang di dikenal di daerah tersebut. Selain itu, standarisasi serta nasionalisasi juga akan sangat membantu dalam mensosialisasikan olahraga nasional ke masyarakat serta dalam publikasi ke dunia internasional. Sehingga mungkin saja suatu saat karena sudah jelas standard an statusnya, olahraga nasional Indonesia dimainkan di manca Negara.
Keempat, kampanye dan keteladanan olahraga tradisional. Proses ini merupakan hal yang penting agar olahraga tradisional dapat di terima oleh masyarakat luas bahkan tidak hanya diterima, tetapi terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Karena di era globalisasi, olahraga tradisional harus mampu bersaing dengan permainan ataupun olahraga modern yang sarat dengan teknologi canggih.
Selama ini proses sosialisasi yang kurang optimal menjadi penyebab utama kegagalan olahraga tradisional untuk tetap eksis di era globalisasi. Sosialisasi olahraga modern demikian gencarnya tanpa kita sadari, sehingga kita lupa dengan olahraga tradisional kita. Misalnya tayangan sepak bola dari berbagai Negara dan kejuaran seolah semakin menjadi di televise, sehingga hamper tiada hari tanpa tayangan sepak bola atau setidaknya berita sepak bola. Sebetulnya, meskipun olahraga tradisional masih kurang dari segi penggunanaan teknologi mutakhir, namun olahraga tradisional mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki oleh permainan ataupun olahraga impor modern, yaitu berakar dari budaya bangsa sehingga karena itu pula olahraga tradisional perlu transformasi dengan standarisasi dan sentuhan teknologi.
Tentu saja karena pengaruh media massa dalam era informasi ini demikian besar, maka tahapan sosialisasi dan kampanye olahraga tradisional ini harus melibatkan media massa baikcetak maupun elektronik. Selain itu, dalam tahapan sosialisasi ini diperlukan juga keteladan dari para pemimpin bangsa agar mau mencoba melakukan olahraga tradisional. Hal-hal inilah yang harus di-blow up untuk melakukan proses penyadaran kepada seluruh elemen bangsa tentang urgensi olahaga tradisional menuju jati diri bangsa yang selama ini abstrak.
Kelima, memasukan olahraga tradisional dalam kurikulum Pendidikan Dasar. Ketika olahraga tradisional berakar pada budaya bangsa, seharusnya itu menjadi kebanggaan sekaligus identitas bangsa yang orisinalitasnya terjaga. Oleh karena itu seharusnya pengembangan olahraga tradisional juga bersifat sistemik dan mengakar.
Proses pendidikan merupakan cara yang efektif untuk membentuk kepribadian atau karakteristik individu bahkan generasi. Kepribadian atau karakteristik yang terbentuk tersebut akan sangat tergantung dari kurikulum pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, memasukkan olahraga tradisional ke dalam kurikulum pendidikan dasar merupakan cara yang sistematis dalam transformasi olahraga tradisional jangka panjang. Manfaatnya mungkin tidak akan dirasakan pada waktu dekat, akan tetapi pda jangka waktu yang panjang akan terjadi efek domino yang luar biasa. Anak-anak yang sejak dini sudah mengenal olahraga tradisional, akan tumbuh menjadi sosok yang tidak asing dengan hal tersebut. Sehingga apabila suatu saat mereka menjadi orang tua, mereka akan mentransfer informasi tersebut ke anak-anaknya. Hal ini berarti sosialisasi olahraga tradisional jangka panjang akan lebih mudah lagi. Proses ini merupakan sesuatu yang sulit di saat system pendidikan di Indonesia masih belum stabil dan jauh dari ideal. Apalagi untuk mengurusi olahraga tradisonal yang tidak termasuk prioritas dalam agenda pendidikan negeri ini. Sebenarnya caranya sangat sederhana yakni persepsi mengenai olahraga tradisional dirubah menjadi penting walaupun bukan prioritas utama, kemudian memasukan olahraga tradisional tersebut sebagai mata ajaran tambahan.
Keenam, menciptakan iklim kompetisi olahraga tradisional yang kondusif. Sebagaimana olahraga modern atau olahraga tradisional Jepang seperti sumo yang eksis karena adanya kompetisi, maka agar olahraga tradisional tetap eksis, perlu diciptakan iklim kompetisi yang baik. Sehingga agar iklim tersebut terbentuk, perlu dilakukan kompetisi di berbagai tempat. Bisa saja dilakukan di tingkat daerah atau tingkat nasional. Kompetisi bisa dilakukan secara terpisah atau dimasukan sebagai salah satu cabang dalam kegiatan olahraga yang sudah ada misalkan Pekan Olahraga Daerah (PORDA). Selain itu kompetisi dapat juga dilakukan di sekolah-sekolah atau kampus-kampus, misalkan melalui event Olympiade Olahraga Tradisional Mahasiswa. Hanya olahraga yang telah dinasionalisasi saja yang diikutsertakan dalam kompetisi ini.
Penciptaan iklim kompetisi yang kondusif tidak bisa hanya melakukan kompetisi di satu wilayah saja sementara wilayah lain tidak, akan tetapi harus serentak di seluruh wilayah bangsa ini. Wilayah yang dimaksud tidak hanya diartikan sebagai daerah provinsi, kabupaten atau sebagainya. Tapi juga mencakup wilayah pendidikan, tempat kerja atau komunitas social yang lainnya.
Ketujuh, transformasi olahraga tradisional ke tempat ke-4. Tren yang akan berkembang di masa yang akan datang adalah semakin ramainya tempat keempat setelah keluarga, tempat kerja dan tempat nongkrong dalam kehidupan manusia modern. Tempat ke-4 yang dimaksud adalah dunia maya yang tidak hanya berarti internet, tetapi juga game-game maya seperti yang ditandai lahirnya generasi Play Station yang popular dan diikuti oleh yang lainnya.Manusia modern dapat bermain dengan pertandingan di dunia maya atau tempat ke-4 tersebut.
Melihat perkembangan teknologi yang semakin cepat, sepertinya kita tidak dapat menghindari kehadiran tempat ke-4 tersebut. Sehingga cara terbijak yang harus dilakukan adalah mentransformasikan olahraga tradisional ke dalam dunia maya, sehingga manusia modern tidak hanya di Indonesia dapat memainkan olahraga tradisional di tempat keempat.
Kedelapan, apabila olahraga tradisional Indonesia sudah betul-betul berinternalisasi pada diri bangsa Indonesia, maka tidak mustahil olahraga tradisional Indonesia dapat go international. Kita dapat melihat olahraga tradisional Jepang yaitu sumo yang dikenal di dunia internasional karena Jepangpun cukup mengakar kuat. Selain itu, memperkenalkan olahraga tradisional di tempat ke-4 juga akan membantu mensosialisasikan olahraga tradisional ke manca Negara. Tidak mustahil pula bila suatu saat, olahraga tradisional Indonesia dimainkan pula di negara lain. Sekali lagi syaratnya adalah apabila olahraga tradisional tersebut sudah terinternalisasi dalam diri bangsa Indonesia.
Kesembilan, beberapa olahraga tradisional pada saat ini tidak dimanfaatkan lagi sebagai suatu sarana untuk meningkatkan kesehatan jasmani, ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa olahraga tradisional tidak dimanfaatkan oleh masyarakat apalagi diajarkan di sekolah-sekolah. Hilangnya olahraga tradisional sangat berpengaruh terhadap masyarakat mengingat belum adanya pengganti olahraga tersebut. Sedangkan olahraga yang ada kebanyakan berasal dari luar, di mana nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat pada olahraga tersebut kurang dipahami oleh sebagian besar pemanfaatnya, sehingga dalam melakukan olahraga modern sering terjadi konflik, baik antara pemain maupun antar penonton atau pendukung.
Perbedaan tersebut bukan berarti sesuatu yang tidak dapat disatukan, tetapi justru harus dapat disatukan di mana prestasi meningkat sekaligus rasa persaudaraan meningkat pula. Yang perlu dibangun pada saat ini adalah bagaimana memanfaatkan olahraga tradisional dengan menggunakan teknik modern, dengan peralatan modern, tetapi tetap memiliki nilai-nilai budya yang tinggi. Pembinaan olahraga tradisional dapat dilakukan di kalangan sekolah serta di kalangan masyarakat awam pada umumnya disatukan. Olahraga tradisional perlu mendapat perhatian yang berimbang apabila diharapkan bahwa olahraga tradisional dapat tetap eksis di dalam masyarakat. Studi olah para pakar olahraga dan antropolog tentulah sangat baik dan perlu, demi pelestarian bentuk dan isi olahraga tradisional itu sendiri. Pihak yang paling berwenang melakukan langkah-langkah tersebut adalah pemerintah. Akan tetapi pemerintah tidak dapat bergerak sendirian. Tentu saja pada akhirnya semua pihak dituntut peran sertanya dalam menghidupkan kembali jati diri bangsa ini, walaupun tetap harus ada yang mengarahkannya.
2.2 Pendekatan Post-Modernism
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia arsitektur. Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat, setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai prodesun. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: … akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi. Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
III. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagi berikut:
3.1 Transformasi Olahraga tradisional bertujuan untuk mengawali restorasi budaya Indonesia sehingga perlahan memperkokoh jati diri bangsa yang seakan pudar.
3.2 Manfaat transformasi olahraga tradisional antara lain: Mendukung program masyarakat sehat, mempererat ikatan sosial masyarakat, menjaga identitas budaya bangsa, kebanggaan kolektif bangsa, daya tarik pariwisata dan mendukung terciptanya masyarakat sejahtera.
3.3 Teori postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.
3.4 Postmodern menanyakan bagaimana setiap orang dapat percaya bahwa modernitas telah membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Juga cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas. Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi, teori, image dan realitas. Serta postmodern menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean. 1990. The Transparancy of Evil: Essays on Extreme Phenomena. London: Verso.
Bauman, A.T., 1992. The Role of Rhetorical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Best, Steven & Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern: Interogasi Kritis.Malang: Boyan Publishing.
Borgherts, Donald M. 1996. The Encyclopedia of Philosophy Supplement. New York: Simon & Schuster Macmillan.
Geertz, Clifford. 1960. Religion of Java. Glencoe: Free Press.
______________ 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Jameson, Fredric. 1989. Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.
Kleden, Ignas. 2000. Masyarakat dan Negara. Jakarta.
Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A. Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesofa Press.
Muhadjir, Noeng. 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
______________ 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustafa, Hasan. 2004. Perspektif dalam Psikologi Sosial {OnLine}. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/doc (13 Januari 2005)
Nuyen, A.T.,1992. The Role of Rhetorrical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Rosenan, Pauline Morie. 1992. Post Modernism and the Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.
PENDEKATAN POST-MODERN DALAM NPENELITIAN ILMU SOSIAL Oleh: H. Endang Komara,
Abstract. Postmodern in contemporary society with high technological media (high tech), transformation process and change that happened yield a new postmodern society arranged contradiction thinking, controversy, paradox, and dilematics. Hereinafter postmodern represent postmodernity era have attended new history phase and new sociocultural notching which need new theory and concept. Modernity in the form of technology like media and computer, new form of knowledge, and change of socio-economcs system yield materialization of postmodern society.
Research represent effort to look for and comprehend a number of information which in its gathering through research of field not always use just one technique. Information which will look for immeasurable also, many, special or sometime have to be selected by various researcher consideration and its research scope. Research method ( method field) consist of participation observation, informan interview and enumerate and sample.
Keyword: Postmodern knit poststructuralist implication in three core, that is clarification of science ( truth), aesthetics ( beauty), and morality ( kindness)
II. Pendahuluan
Karakteristik posmo dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Untuk memahami laju percepatan perubahan sosial yang luar biasa membuat kita perlu mencari terus filsafat, teori, dan metodologi pengembangan ilmu yang tepat. Di samping itu mengenai karakteristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimasudkan agar substansi telaahannya dikenal baik, dan selanjutnya diolah dengan lebih baik.
Studi Geertz di Pare yang disamarkan dengan nama Mojokuto membagi masyarakat menjadi priyayi, abangan, dan santri mendapat kritik para fungsionalis (yang positif modern), sebagai sinkretis, dengan kesimpulan mengarah ke marginalisasi peran Islam, dan dimaknai bahwa Islam itu tidak berbahaya. Tetapi interpreti Geertz tentang priyayi, abangan, dan santri juga mendapat kritik dari ilmuwan Muslim sekarang, dengan mendekontruk paradigma yang dipakai Geertz, menampilkan peran aktif dan signifikan Islam.
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Sepeti dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif (2000:236) bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237) berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis; logikan yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996), logika discovery menurut Muhadjir (1982), atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernist yang ”mengejar” grandtheory dan jabarannya, ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah Postpositivistik Phenomenologik-Interpretif Logik dan Etik, misalnya berupa model Interpretif Geertz, Grounded Research, Ethnographik-Etnometodologik, Paradigma Naturalistik, Interaksionisme Simbolik dan Model Kontruktivist.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansu kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama, temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia, umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer, satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Apakah posmo hanya menyangkut rakayasa sosial? Tidak. Dengan mengkonstruksi paradigma genetik jantan-betina, menjadi paradigma lain, ditemukan DNA. Dengan mendekonstruk sistem desimal menjadi sistem digital berkembang software ilmu komputer. Dekonstruksi paradigma sosial, berkembang berbagai teori para futurolog. Dekonstruksi sosial paling banyak, tetapi nampaknya juga yang paling banyak membuat kesalahan prediksi. Makna poststruktural, postparadigmatik akan menjadi semakin menonjol dalam peran berfikir postmodern. Pada era modern, baik positivist maupun postpositivist, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif (divergen, lateral, holographik, dan lain-lain) pada postpositivistik. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era postposivist menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
III. Pembahasan
A. Pendekatan Post-Modern
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia arsitektur.
Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat, setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai prodesun. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: … akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
B. Penelitian Ilmu Sosial
Setiap pendekatan dalam penelitian merupakan cara untuk memahami sesuatu, yang dalam ilmu sosial dan humaniora menurut Prof. H. Judistira K. Garna, Ph.D. (1999:59) adalah untuk memahami gejala-gejala sosial, gejala kehidupan kita sendiri ataupun orang lain. Pendekatan itu juga adalah upaya untuk mencari, menemukan, atau memberi dukungan akan kebenaran yang relatif, yang sebagai suatu model biasanya dikenal dengan paradigma. Penelitian melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif memberikan dua macam paradigma yang perlu diperhatikan.
Positivisme menekankan akan pentingnya mencari fakta dan penyebab dari gejala-gejala sosial dengan kurang memperhatikan tingkah laku subyektif individu yang dapat dimasukkan dalam kategori tertentu, yang dari anggapan itu tampak bahwa positivisme melatarbalakangi pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif menekankan akan pentingnya pemahaman tingkah laku menurut pola berpikir dan bertindak subyek kajian, karena itu paradigma alamiah atau naturalistik, mewarnai pendekatan kualitatif. Positivisme ialah pandangan filosofis yang dicirikan oleh suatu evaluasi yang positif dari ilmu dan metoda ilmiah, yang dengan demikian telah memberi dampak pada etika, agama, politik, dan filsafat serta metoda ilmiah, sehingga mempersiapkan suatu rasionalitas baru untuk melaksanakan atau operasional ilmu.
Penelitian yang kualitatif berakar dari data, dan teori berkaitan dengan pendekatan tersebut diartikan sebagai aturan dan kaidah untuk menjelaskan proporsisi atau perangkat proposisi yang dapat diformalisasikan secara deskriptif atau secara proporsional. Dua kepentingan akan terpenuhi, yaitu teori substantif disusun bagi keperluan empirik, dan teori formal bagi keperluan pengembangan. Penyusunan teori itu dilakukan melalui upaya kategorisasi dan relasi logik antara unsur-unsur dalam membina integrasi yang berlaku: analisis banding dapat dilakukan antara unsur satu dengan unsur lainnya, dan teori formal selain menguji teori formal lainnya, juga untuk analisis hasil penelitian.
Unsur-unsur berkaitan satu sama lainnya dalam melakukan fungsi menurut pola kebudayaan dari masyarakat yang diteliti, karena itu pendekatan emik dianggap penting dan tak perlu ditarik suatu generalisasi sebelum keseluruhan analisis itu selesai. Data uraian tentang data akan tampak, yang bukan sebaliknya berupa bangunan analisis yang diterapkan pada data. Atas asumsi bahwasanya tingkah laku yang terpolakan itu adalah menurut runtutan tindakan warga masyarakat yang menjadi obyek kajian, maka gaya analisis struktural memberikan keleluasan uraian dari kajian empirik. Ilmu-ilmu sosial tidak berubah bentuk, karena yang berubah adalah paradigma-paradigmanya, selain itu dilihat dari epistemologinya masih mengacu kepada peningkatan ilmu-ilmu sosial, meneliti fakta sosial dalam semua bentuk, dan mencari asal perjalanan institusi sosial dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Penggunaan metode kuantitatif, positivistik dan asumsi telah ditolak oleh peneliti kualitatif generasi yang terikat dan mendukung aliran poststruktural, postmodern yang sensitif. Para peneliti berargumentasi bahwa metode positivistik bukan jalan menceritakan kisah tentang masyarakat atau dunia sosial. Mereka juga bukan yang utama atau tidak lebih buruk dari metode yang lain, merka hanya dikatakan sebagai suatu perbedaan dari semacam kisah yang dimiliki.
Para ahli dari kelompok critical theory, constructivist dan aliran postmodern menolak kriteria positivis dan postpositivist sebagai pekerjaan yang layak. Mereka melihat bahwa kriteria itu tidak sesuai untuk kegiatan lapangan dan isinya merupakan reproduksi kriteria yang selalu memiliki macam kepastian dari sains, padahal sains itu bisu dan penuh kekerasan. Peneliti justru melihat bahwa kegiatan evaluasi kerja mengandung emosi, tanggapan pribadi, kebusukan pada etika, political praxis, teks kekerasan dan dialog dengan subjek. Sebaliknya positivistik menggunakan kelemahan di atas untuk bertahan diri dengan argumentasi bahwa mereka adalah sains yang baik, bebas dari bias individual dan subjektivitas; sebagai catatan bebas mereka melihat postmodern sebagai suatu serangan terhadap pikiran dan kebenaran.
Menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir (2000:319-321) bahwa penelitian antropologi kultural dan sosiologi terdiri atas: ethnologi orientalis, ethnography, ethnomethodologi dan critical ethnography. Ethnologi Orientalis yang dilandasi asumsi bahwa budaya banyak negara di Timur lebih inferior dibanding dengan budaya Barat, berkembang studi kebudayaan primitif yang disebut ethnologi. Ethnography bertolak dari asumsi ethnosentrisme, yaitu bahwa terjadi pengelompokan atas dasar kesamaan keyakinan atau kesamaan budaya atau kesamaan tradisi terdapat keberbedaan yang dapat dideskripsikan, tetapi tidak dapat digeneralisasikan. Karena itu berkembang studi deskriptif beragam budaya sebagai studi ethnography. Karena tradisi dan budaya masyarakat maju telah sangat luas dipelajari, maka ada semacam pemisahan antara studi ethnography bagi satuan-satuan masyarakat minoritas dengan studi antroplogi dan sosiologi bagi satuan-satuan masyarakat yang sudah lebih berkembang.
Ethnography bersifat idiographik “mendeskripsikan” budaya dan tradisi yang ada, dilawankan dengan studi nomothetik yang mengeneralisasikan temuan-temuan (dalam hal ini sosiologi). Era ethnography ini berada pada era positivisme. Kerangka teoritik dan kriteria pola budaya yang dipakai untuk “mendeskripsikan” budaya satuan minoritas dalam studi ethnography adalah teori dan kriteria budaya Barat. Akibatnya “deskripsinya” banyak bias; masyarakat minoritas dan masyarakat negara berkembang dilihat sebagai terbelakang, budayanya masih rendah, dan seterusnya.
Ethnomethologi termasuk era postpositivistik. Perintisnya adalah Garfinkel. Keyakinan, budaya, dan tradisi dideskripsikan sebagai masyarakat itu sendiri meyakini dan menyadarinya. Tidak lagi menggunakan kerangka teori atau kriteria Barat, melainkan diangkat dari grass root sebagaimana masyarakat itu sendiri menjelaskan. Dengan demikian studi ethnomethologi berkembang pada lingkungan masyarakat lebih luas. Studi ini menjadi overlap atau tumpang tindih dengan studi antropologi dan studi sosiologi; atau dalam visi menyatukan sering pula dikatakan ethnometologi merupakan salah satu model atau cara untuk mempelajari sosiologi atau antropologi.
Critical Ethnography merupakan hasil proses dialektik; pada satu sisi tumbuh dari ketidakpuasan dengan struktur masyarakat berupa kelas sosial, patriarkhat, dan rasialis, sehingga manusia sebagai pelaku sosial human tidak dapat tampil. Yang tampil hanyalah representasi kelas, ras dan gender. Pada sisi lain demokratisasi tanpa pembedaan kelas, ras dan gender pernah dapat muncul. Entah sadar entah tidak, telenovela dari Meksiko yang ditayangkan pada berbagai televisi di Indonesia telah dan sedang menanamkan struktur masyarakat berkelas.
Dalam perkembangannya ilmu sosial sejak tahun 1960-an, hal mana politik dan intelektualisme meragi (ferment) dan menantang grand theories dan metodologi ortodox (maksudnya metodologi fungsional) yang tampil “obyektif”, tetapi sebenarnya hendak mempertahankan kemapanan. Gerakan ini berupaya meninggalkan teori-teori substantif, dan mengembangkan interpretasi dan diskursus tentang realitas sosial itu sendiri. Critical Ethnography oleh Lather (dalam Muhadjir, 2000:320) disebut sebagai openly ideological research dalam konsep konvensional. Critical Ethnography, sebagaimana interpretivist, juga men-generate insights, menjelaskan kejadian dan mencari pemahaman. Para interpretivist memaknai realitas sosial sesuai dengan experience-near daripada pemaknaan peneliti sendiri, demikian Geertz. Meskipun demikian interpretivist adalah rekonstruksionist atas realitas sosial.
Penganut teori kritis dalam ethnography mencermati bahwa studi ethnographi sudah terlalu bersifat teoritis dan bersikap netral atas struktur sosial yang ada. Critical ethnography mencermati bahwa struktur sosial seperti sistem kelas, patriarkhat, dan rasisme bertentangan dengan humanisme. Pemikiran ilmu sosial pada tahun 1960-an mulai menggugat grand theories dan metodologi berfikir yang cenderung memapankan ketidakadilan.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Teori postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.
2. Postmodern menanyakan bagaimana setiap orang dapat percaya bahwa modernitas telah membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Juga cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas. Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi, teori, image dan realitas. Serta postmodern menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar.
3. Pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan penelitian yang berupaya guna memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa tak memerlukan kuantifikasi, atau karena gejal-gejala tersebut tak memungkinkan diukur secara tepat. Yang termasuk pendekatan penelitian kualitatif; penelitian kualitatif naturalistik atau penelitian alamiah, etnografi atau ethnometodologi, studi kasus, perspektif dalaman, penafsiran dan istilah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean. 1990. The Transparancy of Evil: Essays on Extreme Phenomena. London: Verso.
Bauman, A.T., 1992. The Role of Rhetorical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Best, Steven & Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern: Interogasi Kritis.Malang: Boyan Publishing.
Borgherts, Donald M. 1996. The Encyclopedia of Philosophy Supplement. New York: Simon & Schuster Macmillan.
Conrad, C., et al. 1993. Qualitative Research in Higher Education. Needham Heights MA: Giun Press.
Garna, Judistira K. 1999. Pendekatan Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.
Geertz, Clifford. 1960. Religion of Java. Glencoe: Free Press.
______________ 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Jameson, Fredric. 1989. Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.
Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A. Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesofa Press.
Muhadjir, Noeng. 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin
______________ 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustafa, Hasan. 2004. Perspektif dalam Psikologi Sosial {OnLine}. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/doc (13 Januari 2005)
Nuyen, A.T.,1992. The Role of Rhetorrical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Rosenan, Pauline Morie. 1992. Post Modernism and the Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.
Salim, Agus. (ed). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Dari Denzin Guba dan Penerapannya. Yogya: Tiara Wacana.
Research represent effort to look for and comprehend a number of information which in its gathering through research of field not always use just one technique. Information which will look for immeasurable also, many, special or sometime have to be selected by various researcher consideration and its research scope. Research method ( method field) consist of participation observation, informan interview and enumerate and sample.
Keyword: Postmodern knit poststructuralist implication in three core, that is clarification of science ( truth), aesthetics ( beauty), and morality ( kindness)
II. Pendahuluan
Karakteristik posmo dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Untuk memahami laju percepatan perubahan sosial yang luar biasa membuat kita perlu mencari terus filsafat, teori, dan metodologi pengembangan ilmu yang tepat. Di samping itu mengenai karakteristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimasudkan agar substansi telaahannya dikenal baik, dan selanjutnya diolah dengan lebih baik.
Studi Geertz di Pare yang disamarkan dengan nama Mojokuto membagi masyarakat menjadi priyayi, abangan, dan santri mendapat kritik para fungsionalis (yang positif modern), sebagai sinkretis, dengan kesimpulan mengarah ke marginalisasi peran Islam, dan dimaknai bahwa Islam itu tidak berbahaya. Tetapi interpreti Geertz tentang priyayi, abangan, dan santri juga mendapat kritik dari ilmuwan Muslim sekarang, dengan mendekontruk paradigma yang dipakai Geertz, menampilkan peran aktif dan signifikan Islam.
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Sepeti dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif (2000:236) bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237) berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis; logikan yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996), logika discovery menurut Muhadjir (1982), atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernist yang ”mengejar” grandtheory dan jabarannya, ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah Postpositivistik Phenomenologik-Interpretif Logik dan Etik, misalnya berupa model Interpretif Geertz, Grounded Research, Ethnographik-Etnometodologik, Paradigma Naturalistik, Interaksionisme Simbolik dan Model Kontruktivist.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansu kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama, temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia, umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer, satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Apakah posmo hanya menyangkut rakayasa sosial? Tidak. Dengan mengkonstruksi paradigma genetik jantan-betina, menjadi paradigma lain, ditemukan DNA. Dengan mendekonstruk sistem desimal menjadi sistem digital berkembang software ilmu komputer. Dekonstruksi paradigma sosial, berkembang berbagai teori para futurolog. Dekonstruksi sosial paling banyak, tetapi nampaknya juga yang paling banyak membuat kesalahan prediksi. Makna poststruktural, postparadigmatik akan menjadi semakin menonjol dalam peran berfikir postmodern. Pada era modern, baik positivist maupun postpositivist, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif (divergen, lateral, holographik, dan lain-lain) pada postpositivistik. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era postposivist menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
III. Pembahasan
A. Pendekatan Post-Modern
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia arsitektur.
Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat, setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai prodesun. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: … akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
B. Penelitian Ilmu Sosial
Setiap pendekatan dalam penelitian merupakan cara untuk memahami sesuatu, yang dalam ilmu sosial dan humaniora menurut Prof. H. Judistira K. Garna, Ph.D. (1999:59) adalah untuk memahami gejala-gejala sosial, gejala kehidupan kita sendiri ataupun orang lain. Pendekatan itu juga adalah upaya untuk mencari, menemukan, atau memberi dukungan akan kebenaran yang relatif, yang sebagai suatu model biasanya dikenal dengan paradigma. Penelitian melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif memberikan dua macam paradigma yang perlu diperhatikan.
Positivisme menekankan akan pentingnya mencari fakta dan penyebab dari gejala-gejala sosial dengan kurang memperhatikan tingkah laku subyektif individu yang dapat dimasukkan dalam kategori tertentu, yang dari anggapan itu tampak bahwa positivisme melatarbalakangi pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif menekankan akan pentingnya pemahaman tingkah laku menurut pola berpikir dan bertindak subyek kajian, karena itu paradigma alamiah atau naturalistik, mewarnai pendekatan kualitatif. Positivisme ialah pandangan filosofis yang dicirikan oleh suatu evaluasi yang positif dari ilmu dan metoda ilmiah, yang dengan demikian telah memberi dampak pada etika, agama, politik, dan filsafat serta metoda ilmiah, sehingga mempersiapkan suatu rasionalitas baru untuk melaksanakan atau operasional ilmu.
Penelitian yang kualitatif berakar dari data, dan teori berkaitan dengan pendekatan tersebut diartikan sebagai aturan dan kaidah untuk menjelaskan proporsisi atau perangkat proposisi yang dapat diformalisasikan secara deskriptif atau secara proporsional. Dua kepentingan akan terpenuhi, yaitu teori substantif disusun bagi keperluan empirik, dan teori formal bagi keperluan pengembangan. Penyusunan teori itu dilakukan melalui upaya kategorisasi dan relasi logik antara unsur-unsur dalam membina integrasi yang berlaku: analisis banding dapat dilakukan antara unsur satu dengan unsur lainnya, dan teori formal selain menguji teori formal lainnya, juga untuk analisis hasil penelitian.
Unsur-unsur berkaitan satu sama lainnya dalam melakukan fungsi menurut pola kebudayaan dari masyarakat yang diteliti, karena itu pendekatan emik dianggap penting dan tak perlu ditarik suatu generalisasi sebelum keseluruhan analisis itu selesai. Data uraian tentang data akan tampak, yang bukan sebaliknya berupa bangunan analisis yang diterapkan pada data. Atas asumsi bahwasanya tingkah laku yang terpolakan itu adalah menurut runtutan tindakan warga masyarakat yang menjadi obyek kajian, maka gaya analisis struktural memberikan keleluasan uraian dari kajian empirik. Ilmu-ilmu sosial tidak berubah bentuk, karena yang berubah adalah paradigma-paradigmanya, selain itu dilihat dari epistemologinya masih mengacu kepada peningkatan ilmu-ilmu sosial, meneliti fakta sosial dalam semua bentuk, dan mencari asal perjalanan institusi sosial dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Penggunaan metode kuantitatif, positivistik dan asumsi telah ditolak oleh peneliti kualitatif generasi yang terikat dan mendukung aliran poststruktural, postmodern yang sensitif. Para peneliti berargumentasi bahwa metode positivistik bukan jalan menceritakan kisah tentang masyarakat atau dunia sosial. Mereka juga bukan yang utama atau tidak lebih buruk dari metode yang lain, merka hanya dikatakan sebagai suatu perbedaan dari semacam kisah yang dimiliki.
Para ahli dari kelompok critical theory, constructivist dan aliran postmodern menolak kriteria positivis dan postpositivist sebagai pekerjaan yang layak. Mereka melihat bahwa kriteria itu tidak sesuai untuk kegiatan lapangan dan isinya merupakan reproduksi kriteria yang selalu memiliki macam kepastian dari sains, padahal sains itu bisu dan penuh kekerasan. Peneliti justru melihat bahwa kegiatan evaluasi kerja mengandung emosi, tanggapan pribadi, kebusukan pada etika, political praxis, teks kekerasan dan dialog dengan subjek. Sebaliknya positivistik menggunakan kelemahan di atas untuk bertahan diri dengan argumentasi bahwa mereka adalah sains yang baik, bebas dari bias individual dan subjektivitas; sebagai catatan bebas mereka melihat postmodern sebagai suatu serangan terhadap pikiran dan kebenaran.
Menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir (2000:319-321) bahwa penelitian antropologi kultural dan sosiologi terdiri atas: ethnologi orientalis, ethnography, ethnomethodologi dan critical ethnography. Ethnologi Orientalis yang dilandasi asumsi bahwa budaya banyak negara di Timur lebih inferior dibanding dengan budaya Barat, berkembang studi kebudayaan primitif yang disebut ethnologi. Ethnography bertolak dari asumsi ethnosentrisme, yaitu bahwa terjadi pengelompokan atas dasar kesamaan keyakinan atau kesamaan budaya atau kesamaan tradisi terdapat keberbedaan yang dapat dideskripsikan, tetapi tidak dapat digeneralisasikan. Karena itu berkembang studi deskriptif beragam budaya sebagai studi ethnography. Karena tradisi dan budaya masyarakat maju telah sangat luas dipelajari, maka ada semacam pemisahan antara studi ethnography bagi satuan-satuan masyarakat minoritas dengan studi antroplogi dan sosiologi bagi satuan-satuan masyarakat yang sudah lebih berkembang.
Ethnography bersifat idiographik “mendeskripsikan” budaya dan tradisi yang ada, dilawankan dengan studi nomothetik yang mengeneralisasikan temuan-temuan (dalam hal ini sosiologi). Era ethnography ini berada pada era positivisme. Kerangka teoritik dan kriteria pola budaya yang dipakai untuk “mendeskripsikan” budaya satuan minoritas dalam studi ethnography adalah teori dan kriteria budaya Barat. Akibatnya “deskripsinya” banyak bias; masyarakat minoritas dan masyarakat negara berkembang dilihat sebagai terbelakang, budayanya masih rendah, dan seterusnya.
Ethnomethologi termasuk era postpositivistik. Perintisnya adalah Garfinkel. Keyakinan, budaya, dan tradisi dideskripsikan sebagai masyarakat itu sendiri meyakini dan menyadarinya. Tidak lagi menggunakan kerangka teori atau kriteria Barat, melainkan diangkat dari grass root sebagaimana masyarakat itu sendiri menjelaskan. Dengan demikian studi ethnomethologi berkembang pada lingkungan masyarakat lebih luas. Studi ini menjadi overlap atau tumpang tindih dengan studi antropologi dan studi sosiologi; atau dalam visi menyatukan sering pula dikatakan ethnometologi merupakan salah satu model atau cara untuk mempelajari sosiologi atau antropologi.
Critical Ethnography merupakan hasil proses dialektik; pada satu sisi tumbuh dari ketidakpuasan dengan struktur masyarakat berupa kelas sosial, patriarkhat, dan rasialis, sehingga manusia sebagai pelaku sosial human tidak dapat tampil. Yang tampil hanyalah representasi kelas, ras dan gender. Pada sisi lain demokratisasi tanpa pembedaan kelas, ras dan gender pernah dapat muncul. Entah sadar entah tidak, telenovela dari Meksiko yang ditayangkan pada berbagai televisi di Indonesia telah dan sedang menanamkan struktur masyarakat berkelas.
Dalam perkembangannya ilmu sosial sejak tahun 1960-an, hal mana politik dan intelektualisme meragi (ferment) dan menantang grand theories dan metodologi ortodox (maksudnya metodologi fungsional) yang tampil “obyektif”, tetapi sebenarnya hendak mempertahankan kemapanan. Gerakan ini berupaya meninggalkan teori-teori substantif, dan mengembangkan interpretasi dan diskursus tentang realitas sosial itu sendiri. Critical Ethnography oleh Lather (dalam Muhadjir, 2000:320) disebut sebagai openly ideological research dalam konsep konvensional. Critical Ethnography, sebagaimana interpretivist, juga men-generate insights, menjelaskan kejadian dan mencari pemahaman. Para interpretivist memaknai realitas sosial sesuai dengan experience-near daripada pemaknaan peneliti sendiri, demikian Geertz. Meskipun demikian interpretivist adalah rekonstruksionist atas realitas sosial.
Penganut teori kritis dalam ethnography mencermati bahwa studi ethnographi sudah terlalu bersifat teoritis dan bersikap netral atas struktur sosial yang ada. Critical ethnography mencermati bahwa struktur sosial seperti sistem kelas, patriarkhat, dan rasisme bertentangan dengan humanisme. Pemikiran ilmu sosial pada tahun 1960-an mulai menggugat grand theories dan metodologi berfikir yang cenderung memapankan ketidakadilan.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Teori postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.
2. Postmodern menanyakan bagaimana setiap orang dapat percaya bahwa modernitas telah membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Juga cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas. Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi, teori, image dan realitas. Serta postmodern menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar.
3. Pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan penelitian yang berupaya guna memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa tak memerlukan kuantifikasi, atau karena gejal-gejala tersebut tak memungkinkan diukur secara tepat. Yang termasuk pendekatan penelitian kualitatif; penelitian kualitatif naturalistik atau penelitian alamiah, etnografi atau ethnometodologi, studi kasus, perspektif dalaman, penafsiran dan istilah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean. 1990. The Transparancy of Evil: Essays on Extreme Phenomena. London: Verso.
Bauman, A.T., 1992. The Role of Rhetorical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Best, Steven & Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern: Interogasi Kritis.Malang: Boyan Publishing.
Borgherts, Donald M. 1996. The Encyclopedia of Philosophy Supplement. New York: Simon & Schuster Macmillan.
Conrad, C., et al. 1993. Qualitative Research in Higher Education. Needham Heights MA: Giun Press.
Garna, Judistira K. 1999. Pendekatan Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.
Geertz, Clifford. 1960. Religion of Java. Glencoe: Free Press.
______________ 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Jameson, Fredric. 1989. Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.
Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A. Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesofa Press.
Muhadjir, Noeng. 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin
______________ 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustafa, Hasan. 2004. Perspektif dalam Psikologi Sosial {OnLine}. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/doc (13 Januari 2005)
Nuyen, A.T.,1992. The Role of Rhetorrical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Rosenan, Pauline Morie. 1992. Post Modernism and the Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.
Salim, Agus. (ed). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Dari Denzin Guba dan Penerapannya. Yogya: Tiara Wacana.
Selasa, 10 Maret 2009
SOCIO-CULTURAL TRANSFORMATION OF AGRICULTURE TO INDUSTRIAL SOCIETY (CASE STUDY AT THE INDUSTRIAL AREA OF CAMPAKA PURWAKARTA) BY: ENDANG KOMARA
ABSTRACT
Socio-cultural transformation at the industrial area of Campaka is marked by society structure changed from agriculture to industry. This research objective is to analyze values changes which can support and pursue development. Attitude as especial activator of socio-cultural transformation. Besides, also society achievement motive, discipline, appreciation of time, and work orientation.
Research method is combination of qualitative and quantitative approach which emphasize to qualitative approach. Consideration that this research focus is description of process and conduct meaning interpretation. This research is conducted at six countryside which consist of industrial and agrarian community. Case study at community unit, and expression change of value, attitude, achievement motive, discipline, appreciation of time and work orientation, representing fundamental research strategy. Data collected through depth interview, participant observation, usage of document. Quantitative data collected by using questionaire.
The result is if values change support development hence will be accomodated and harmonized with local culture; while if values change pursue development will change and lose by it self; and if change definitely pursue development hence the value will be abolished. Then if rational attitude and behavior support the socio-cultural change in society hence will become especial activator in transformation process from agrarian to industrial society. Also if the society socio-culturally transformed from agrarian to industrial society hence achievement motive, discipline, appreciation to time and work orientation will become values embraced by the society.
Key Words: Case study, Industrial are, socio cultural, transformation, agriculture, and industrial society.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transformasi sosial budaya di wilayah industri dicirikan dengan terjadinya perubahan struktur masyarakat agraris menjadi masyarakat yang berstruktur industri. Hal ini berimplikasi pada perubahan bentuk atau wujud mata pencaharian, pola hidup, perilaku, cara berpikir, dan perubahan yang diakibatkan oleh intervensi pendatang. Misalnya sebelum adanya daerah industri kehidupan masyarakat bersifat monoton bertani, akan tetapi setelah hadirnya struktur masyarakat industri kehidupan masyarakat menjadi bervariasi, ada yang menyewakan rumah, menjadi buruh pabrik dan berdagang. Selain itu, dalam struktur masyarakat agraris nilai sosial gotong royong yang sangat kuat telah berubah. Dalam masyarakat industri menjadi individualistis, baik dalam hal bercocok tanam, aktivitas tolong menolong maupun kerja bakti. Karena kebutuhan masyarakat industri sangat kompleks dan hanya dapat diselesaikan dengan pembagian tugas.
Sejalan dengan pembangunan di wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi) menyebabkan Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat mendapatkan pengaruh dari pembangunan wilayah tersebut, karena lahan-lahan yang ada di JABOTABEK untuk perkembangan industri semakin terbatas, sedangkan di Kabupaten Purwakarta relative masih tersedia, sehingga kawasan industri berkembang di Kabupaten ini walaupun dengan resiko mengorbankan lahan pertanian, terutama yang berada di Wilayah Industri campaka. Pergeseran lahan pertanian menjadi lahan industri merupakan tindak lanjut dari adanya Surat Keputusan Gubernus Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 593/SK 629-Bappeda/90, tentang Pemanfaatan Lahan Kawasan Industri di Jawa Barat tertanggal 16 Mei 1990. Menurut SK tersebut bahwa Wilayah Campaka dialokasikan untuk kegiatan industri, baik industri kecil maupun aneka industri. Bappeda Kabupaten Purwakarta mengalokasikan lahan seluas 159 Ha, yang berada di Desa Cikumpay dan Campaka dengan jenis industri pakaian jadi (garment), percetakan dan elektronik. Alasan Wilayah Campaka digunakan untuk kawasan industri disebabkan wilayah ini morfologinya datar, dan lahan pertaniannya non teknis atau sawah tadah hujan.
Akibat pergeseran penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri mengakibatkan menyempitnya lapangan pekerjaan di bidang pertanian dan memberi peluang tersedianya lapangan kerja di bidang industri, tetapi nampaknya masyarakat yang berada di wilayah industri Campaka belum siap terhadap peluang dan tantangan yang terjadi, sehingga banyak petani atau masyarakat mencari lapangan kerja di luar industri seperti menjadi pedagang atau menjadi buruh bangunan, akibatnya banyak pendatang dari luar wilayah industri Campaka yang lebih siap sebagai tenaga kerja industri dengan menggeser tenaga kerja lokal. Adanya pergeseran penggunaan lahan pertanian ke lahan industri sebenarnya harus diantisipasi sebelumnya oleh masyarakat di wilayah ini dengan tujuan agar pergeseran yang terjadi tidak menyebabkan kualitas hidup menjadi menurun melainkan sebagai suatu peluang dan tantangan yang harus dapat meningkatkan kualitas hidup di wilayah industri Campaka.
Perubahan social yang terjadi di Indonesia sebagai akibat proses pembangunan nasional yang menekankan pada bidang ekonomi dengan anggapan bahwa bidang lainnya akan seiring maju dan berkembang. Sektor industri menjadi cukup mononjol yang banyak menyita perhatian masyarakat, karena industrialisasi secara histories merupakan masa kondisi ekonomi yang banyak menguntungkan ekonomi nasional. Banyak Negara di dunia, yang menunjukkan kemajuan bangsanya ditandai dengan majunya industri di Negara itu. Seperti istilah yang sekarang muncul ‘Negara Industri maju’, di Asia dikenal NIC (New Industrial Countries) seperti Jepang, hongkong, Singapura dan Korea atau sebutan orang Barat lima Negara ‘Macan Asia’.
Berbeda dengan negara industri, yaitu negara agraris yang menjadi sumber utama bermatapencaharian sebagian besar penduduk di bidang pertanian. Ciri masyarakatnya terbelakang, kurang maju, atau sedang berkembang, tradisional, pendapatan perkapita masih rendah, jumlah penduduk banyak, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan. Rendahnya produktivitas pada masyarakat agraris dibandingkan dengan masyarakat industri, memicu seluruh anggota negara berusaha memacu kondisi masyarakatnya kea rah masyarakat yang berfokus pada industri.
Perubahan dari kondisi masyarakat agraris yang subsistem kea rah industri yang modern, transformasi sosial budayanya tidaklah secara otomatis akan menjamin keberhasilan pembangunan di Indonesia. Itulah sebabnya proses industrialisasi diupayakan berjalan secara efektif tanpa mengorbankan pembangunan lainnya, menurut Habibie (1995:11) proses industrialisasi perlu mempertimbangkan empat hal berikut:
1. Dilakukan seiring dengan pembangunan sumber daya manusia, dan didukung oleh teknologi yang semakin meningkat.
2. Dikembangkan seiring dengan pola pengembangan potensi wilaah secara merata di seluruh tanah air.
3. Diselaraskan dengan nilai budaya dan tingkat perkembangan masyarakat, dan
4. Dalam upaya mengolah dan meningkatkan nilai tambah sumber daya alam melalui proses industrialisasi, harus diperhatikan sisi keselarasan dan keterkaitan dengan kelestarian lingkungan demi kesinambungan pembangunan nasional.
Inti ungkapan tersebut menunjukkan bahwa industrrialisasi bermakna yang merujuk pada hakekat pembangunan nasional yaitu pada pembangunana sumber daya manusia secara optimal. Manusia yang berkualitas akan mampu menguasai teknologi sebagai alat peningkatan pemerataan dan keseimbangan pembangunan, sehingga industrialisasi dianggap sebagai motor modernisasi masyarakat, yang bisa menciptakan keserasian dan kesinambungan pembangunan nasional.
Keseimbangan dan keselarasan dalam pembangunan merupakan sesuatu hal yang dilematik. Munculnya dilema ketidakserasian antara akselarasi pembangunan fisik dan budaya yang tidak selamanya sejalan. Pembangunan ekonomi dapat meningkatkan kebutuhan materi maupun fisik, namun seringkali tidak diimbangi dengan peningkatan kesadaran moral, etika dan norma sosial. Pembangunan bidang non materi yang menyangkut pengembangan sosial psikologis, termasuk pendidikan amatlah sulit. Kesulitannya berkenaan dengan proses perubahan pada diri manusia dan masyarakat yang unik dalam pendeteksiannya.
Bahkan Lapiere (1946:170) menekankan bahwa dalam perubahan social, keseimbangan (equilibrium) dan ketidakseimbangan (disequilibrium) bersifat dinamis. Artinya, ketika suatu komponen sistem social tertinggal dan komponen sosial lainnya, maka masyarakat selalu bergerak kea rah keseimbangan. Tetapi keseimbangan telah tercipta ketidakseimbangan batru terjadi lagi, sehingga transisi menuju keseimbangan baru berlangsung lagi. Dengan demikian, selalu berlangsung pergantian antara keseimbangan dengan ketidakseimbangan, dengan itu tahap transisi selalu muncul.
Pendekatan proses juga digunakan oleh Germani (1981:109) bahwa transformasi sosial adalah proses yang melibatkan tiga basis modifikasi struktur socsial, yaitu: (1) tipe tindakan sosial, dari tindakan preskriptif ke tindakan efektif; (2) penerimaan terhadap perubahan; dan (3) spesialisasi pelembagaan dari diferensiasi kelembagaan yang rendah ke pelembagaan yang tinggi.
Industrialisasi pada dasarnya merupakan transformasi sosial budaya di satu pihak dapat mengandung arti proses perubahan struktur sosial, sedangkan di pihak lain mengandung makna proses perubahan atau pembaharuan nilai. Juga industrialisasi merupakan transformasi proses peminggiran otot dengan buah karya otak yang kemudian menghasilkan berbagai perubahan yang mengagumkan yang secara fisik melahirkan mesin-mesin.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalahnya adalah: ‘’Bagaimana Transformasi Sosial Budaya Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri di Wilayah Industri Campaka Purwakarta’’. Sedangkan batasan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan nilai yang dapat menunjang dan menghambat terhadap pembangunan dalam proses industrialisasi.
2. Bagaimana sikap sebagai penggerak utama dalam proses transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri.
3. Bagaimana motif berprestasi, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu dan orientasi kerja masyarakat agraris ke masyarakat industri.
C. Maksud dan Tujuan
Penelitian ini bermaksud untuk mempelajari, memahami, menerangkan, menganalisis dan menginterpretasikan transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri Campaka. Adapun tujuan penelitian untuk memahami, melakukan interpretasi dan melakukan analisis terhadap hal-hal berikut:
a. Perubahan nilai yang dapat menunjang dan menghambat terhadap pembangunan dalam proses industrialisasi.
b. Sikap sebagai penggerak utama dalam proses transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri.
c. Motif berprestasi, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu dan orientasi kerja masyarakat agraris ke masyarakat industri,
Dari hasil pemahaman, interpretasi dan analisis tersebut, penelitian ini ditujukan juga untuk mengembangkan konsep ‘’transformasi sosial budaya’’, terutama mengenai ‘’perubahan nilai yang dapat menunjang ataupun menghambat terhadap pembangunan’’, ‘’sikap sebagai penggerak utama dalam proses transformasi sosial budaya’’ serta ‘’dorongan berprestasi, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu, orientasi kerja’’ dalam masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah Industri Campaka.
D. Hipotesis Kerja
a. Perubahan nilai akan menunjang pembangunan bila telah disesuaikan dan diharmonisasikan dengan budaya setempat, sedangkan nilai yang menghambat pembangunan akan berubah dan hilang dengan sendirinya; dan nilai yang secara definitive menghambat pembangunan harus dihapuskan.
b. Sikap dan tingkah laku rasional sebagai penggerak utama dalam proses transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri.
c. Motif berprestasi yang bertujuan untuk mencapai sesuatu secara maksimal, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu dan orientasi kerja merupakan nilai-nilai yang terdapat pada masyarakat industri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perubahan Nilai Sosial Budaya Masyarakat
Pengumpulan data primer melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan transformasi social budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di Wilayah Industri Campaka. Kuesioner yang dibentuk dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: (1) analisis kuantitatif mempergunakan analytic hierarchy process, berdasarkan lima orang responden yang terpilih secara purposive sampling yang disumsikan mewakili baik pihak pemerintah maupun pihak industri; dan (2) analisis kualitatif berdasarkan wawancara dengan karyawan pabrik, tokoh formal dan informal, serta dengan petani dan masyarakat yang relevan dengan penelitian yang dilakukan untuk mendukung hasil analisis kuantitatif.
Pengolahan data dengan mempergunakan analytic hierarchy process (AHP) untuk mengetahui faktro-faktor penting terjadinya transformasi social budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah campaka ditampilkan dalam pembobotan terhadap tujuan (goal) dengan mempergunakan Expert Choice berdasarkan algoritma AHP yaitu dengan menyebarkan kuesioner perbandingan berpasangan. Berdasarkan hierarki awal berkaitan dengan terjadinya transformasi sosial budaya pada kerangka pemkiran diperoleh pembobotan factor penting perubahan sosial budaya, modernisasi dan ketergantungan industri.
Berdasarkan hasil pembobotan yang telah dilakukan terlihat bahwa factor penting terjadinya transformasi social budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah industri Campaka diketahui berdasarkan bobot tertingginya adalah perubahan social (bobot=0.426), yang diikuti factor ketergantungan industrialisasi (bobot=0.361), dan factor penting terakhir adalah modernisasi (bobot=0.213). Pembobotan ini menunjukkan bahwa semakin besar hasil bobotnya memberi pengertian semakin besar pula tingkat kepentingannya (pengaruhnya) terhadap terjadinya proses transformasi sosial budaya. Hasil pengolahan dan pembahasan selanjutnya disusun berdasarkan hasil pembobotan AHP tersebut yang diawali dengan perubahan sosial, ketergantungan industri, dan modernisasi masyarakat di wilayah Campaka berikut ini.
Perubahan sosial yang menjadi faktor paling penting terjadinya transformasi sosial budaya agraris ke masyarakat industri di wilayah Campaka berdasarkan sub-sub faktor yang telah dibentuk yaitu determinan struktural; proses dan mekanisme; serta arah dan perubahan dengan kriteria-kriteria dan hasil pembobotannya sebagai berikut: Perubahan sosial (0.426), determinan struktural (0.295), proses dan mekanisme (0.433), arah dan perubahan (0.272); perubahan populasi (0.461), dislokasi (0.359), mekanisme percepatan (0.178), pergerakan social (0.152), konflik politik (0.209), akomodasi (0.354), aktivitas pengusaha (0.106), perubahan struktural (0.344), pengaruh kebijakan (0.165) dan konsekwensi (0.491).
Hasil pembobotan terbesar yang merupakan faktor yang penting terjadinya perubahan sosial masyarakat Campaka merupakan bagian dari proses dan mekanisme (bobot=0.433). Hal ini menunjukkan bahwa proses dan mekanisme dalam perubahan sosial dapat ditinjau sebagai proses interaksi sosial yang terjadi dalam diri manusia. Proses yang menyangkut perubahan aspek kognitif manusia yang termotivasi oleh lingkungan sosialnya. Pendapat Kurt Lewis yang diperluas oleh Schein (1964:362-378) bahwa perubahan sosial itu tidak lain merupakan rangkaian proses kognitif yang terdiri dari proses unfreezing, changing, dan refreezing. Proses psikologi ini tidak lain merupakan proses keseimbangan kognitif, indiividu dimotivasi untuk berubah (unfreezing) kemudian berkembang oleh respon baru (changing) sehingga terintegrasi dan terjadi kestabilan (refreezing) pada individu itu sendiri.
Teori kontemporer perubahan sosial terjadi tergeneralisasikan dengan tujuan untuk menjelaskan proses perubahan lebih jauh pada masa lalu dan sekarang Hermann Strasser dan Susan C. Randall (1981:16) mengidentifikasikan atribut-atribut atas perubahan ini yaitu: ‘’derajat perubahan’’, rentang waktu, arah rata-rata perubahan, dan jumlah kekerasan yang terlibat. Semua teori perubahan mengandung tiga unsure utama yaitu determinasi struktural, proses dan mekanisme, serta arah dan perubahan akan tetap berhubungan satu sama lainnya, sehingga perubahan sosial merupakan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan pemikiran manusianya.
Pada proses dan mekanisme terdapat kriteria terpenting dalam akomodasi (bobot=0.354) yang menunjukkan bahwa proses dan mekanisme pada perubahan social masyarakat Campaka disebabkan oleh akomodasi menjadi wilayah industri di daerah ini. Masyarakat Campaka yang sebelumnya memiliki tatanan sosial budaya agraris ditransformasikan ke dalam pengejaran-pengejaran ekonomi, sama halnya dengan akomodasi keyakinan dengan kebutuhan sosial tertentu, baik kebutuhan praktis sehari-hari dari strata tertentu maupun kebutuhan insitusional yang seolah mengharuskan terjadinya penyesuaian dengan kerangka sosial yang ada.
B. Ketergantungan Industrialisasi
Ketergantungan industrialisasi sebagai faktor penting kedua (bobot=0.361) terjadinya transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah Campaka terdapat tiga komponen utama, yaitu: (1) modal asing; (2) pemerintah lokal di negara-negara setelit; dan (3) kaum borjuisnya. Adapun kriteria-kriteria berdasarkan ketiga komponen tersebut akan dipergunakan (1) perkembangan kaum borjuis; (2) kebebasan berdagang; (3) perkembangan pasar dunia; (40 keseragaman cara produksi; dan (5) kesamaan kehidupan.
Berikut ini hasil pembobotan model hierarki ketergantungan industrialisasi beserta hasil pembobotan akumulasi dengan mempergunakan AHP sebagai berikut: Ketergantungan industrialisasi (0.361), investor (0.214), peran pemerintah (0.462) dan industriawan (0.324); perkembangan kaum borjuis (0.244), kebebasan berdagang (0.188), perkembangan pasar dunia (0.102), keseragaman cara produksi (0.258) dan kesamaan kehidupan (0.208)
Hasil pembobotan akumulatif terbesar yang merupakan factor penting dalam ketergantungan industrialisasi pada masyarakat Campaka ditentukan oleh peran pemerintah setempat (bobot=0.462). Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah daerah terutama pemerintah Kabupaten Purwakarta yang sangat menentukan terjadinya tranformasi social budaya dalam kaitannya dengan ketergantungan industrialisasi terutama masyarakat Campaka.
Pemerintah daerah akan tergntung pada pemerintah pusat yang berkembang secara mandiri, sehingga perkembangan perekonomian pusat sedang bergerak maju, akan berdampak pada perekonomian pemerintah daerahnya yang dapat ikut bergerak maju. Tetapi, bila pemerintah pusat sedang mengalami kesulitan, dapat dipastikan pula bahwa pemerintah daerah akan mengalami kesulitan. Ketergantungan ekonomi pemerintah daerah pada pemerintah pusat menurut Theotonio Dos santos (dalam Frank, 1984:xvi) menyatakan bahwa: Dengan dependensi dimaksudkan suatu kedaan di mana perkembangan ekonomi negara-negara tertentu tergantung kepada perkembangan dan perluasan ekonomi dari negara-negara lain yang lebih dominant. Hubungan interdependensia antara dua atau lebih suatu sistem perekonomian, dan antara sistem-sistem ini dengan perdagangan dunia, berubah menjadi dependensi kalau beberapa negara yang lebih dominan bisa berkembang dan bermandiri, sedang negara-negara lainnya (yang dependen) hanya bisa melakukan ini sebagai dari perluasan ekonomi dari negara-negara dominant, yang bisa berakibat positif atau negatif pada perkembangan jangka pendek ekonomi negara-negara tersebut.
Kondisi ini menunjukkan dengan jelas bahwa pemerintah daerah yang mendukung secara langsung dengan pemerintah pusat dapat berkembang ekonominya, tapi perkembangan itu hanya merupakan bayangan atau sertaan dari perkembangan ekonomi pemerintah pusat. Karena itu, pemerintah daerah yang tidak bisa menabung, perkembangan ekonominya sangat ditentukan oleh perkambangan ekonomi pemerintah pusat.Perbisch menganjurkan upaya pemerintah daerah menetapkan kebijakan terhadap daerahnya dengan melakukan industrialisasi.
Baran (dalam Horison, 1996:50) menyatakan bahwa ‘’para ahli ilmu social borjuis telah memberikan bantuan ideologi bagi eksploitasi yang kejam terhadap dunia ketiga yang menuntut pandangannya inheren dan kapitalisme’’. Tidak seperti Lenin (1973:20) yang mempertimbangkannya menjadi kepentingan-kepentingan kapitalisme untuk tetap mempertahankan keterbelakangan dari dunia ketiga sebagai daerah terbelakang yang tidak dapat dihindari yang menyebabkan dunia Barat dengan bahan baku penting dan juga kesempatan untuk memperoleh surplus ekonomi.
C. Modernisasi Campaka
Modernisasi sebagai faktor penting ketiga (bobot=0.213) terjadinya transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah Campaka berhubungan langsung dengan komponen-komponen utama yaitu: (1) atribut sejarah, (2) proses transisi, dan (3) kebijakan pembangunan. Ketiga komponen utama ini akan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berkaitan dengan (a) globalisasi, (b) struktur ekonomi, (c) politik ideologi, (d) budaya nasional, (e) manusia dan masyarakat, (f) ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (g) informasi. Semua komponen penting ini akan berdampak langsung terhadap masyarakat Campaka, terutama perubahan dalam hal kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu dan orientasi terhadap prestasi. Berikut ini akan dipaparkan model hirarki modernisasi beserta hasil pembobotan akumulasi dengan mempergunakan AHP.
Hasil pembobotan akumulatif terbesar yang merupakan faktor penting dalam modernisasi pada masyarakat Campaka ditentukan oleh atribut sejarah setempat (bobot= 0.376). Hal ini menunjukkan bahwa atribut sejarah terutama sosial, budaya dan tradisi masyarakat Campaka sangat menentukan kecepatan terjadinya transformasi sosial budaya dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat Campaka.
Hasil pembobotan akumulasi model hirarki modernisasi sebagai berikut: Modernisasi (0.213), atribut sejarah (0.376), proses transisi (0.320), kebijakan pembangunan 90.304); globalisasi (0.172), struktur ekonomi (0.082), politik ideologi (0.132), budaya nasional (0.156), manusia dan masyarakat (0.156), ilmu pengetahuan dan teknologi (0.141), informasi (0.159), disiplin (0.408), penghargaan terhadap waktu 0.350) dan orientasi terhadap prestasi (0.242).
Teori sosiologi klasik dalam konsep modernitas memiliki hubungan yang erat dengan pengertian dan kepentingan dari transformasi social yang terjadi di Eropa pada pertengahan abad 19 yaitu seperti efek-efek dari industrialisasi, urbanisasi dan demokrasi politik padamasyarakat perdesaan dan masyarakat otokrat. Istilah ‘’modernitas’’ ini digunakan untuk dapat melingkupi perubahan-perubahan ini pada saat terjadi dengan cara membandingkan modern dengan tradisional.
Pembangunan ekonomi adalah suatu aspek dari serangkaian perubahan masyarakat yang dialami oleh wilayah baru. Modernisasi merupakan suatu konsep yang berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi, yang menunjukkan bahwa perubahan besar yang terjadi di suatu wilayah baru: (1) dalam bidang politik sewaktu sistem-sistem kewibawaan suku dan desa yang sederhana digantikan dengan sistem-sistem pemilihan umum, kepartaian, perwakilan dan birokrasi pegawai negeri; (2) dalam bidang pendidikan, masyarakat berusaha mengurangi kebutahurufan dan meningkatkan keterampilan yang membawa hasil-hasil ekonomi; (3) dalam bidang religi, sistem-sistem kepercayaan sekuler mulai menggantikan agama-agama tradisionalitas; (4) dalam lingkungan keluarga, unit-unit hubungan kekeluargaan yang meluas menghilang; (5) dalam lingkungan stratifikasi ketika mobilitas geografis dan sosial cenderung untuk merenggangkan sistem-sistem hierarki yang sudah pasti dan turun-temurun (Weiner, 1994:71).
Industrialisasi dengan teknologinya akan membawa perubahan yang besar di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam hal ini, yang perlu diketahui bahwa cepat atau lambatnya proses industrialisasi tergantung pada faktor-faktor ekonomi, politik, social dan budaya yang berlaku (Alfian, 1986:40). Hal ini membuktikan bahwa modernisasi akan berkaitan dnegan atribut sejarah yang dimiliki oleh wilayah Campaka.
Ditinjau dari sudut pandang budaya, industrialisasi diprediksikan akan menimbulkan perubahan nilai-nilai dan pola gaya hidup masyarakat. Perubahan nilai-nilai tersebut perlu diperhatikan, karena dalam hal ini mudah terjadi pengertian-pengertian yang keliru tentang nilai-nilai yang akan berubah. Untuk itu perlu dibedakan nilai-nilai tersebut ke dalam dua kelompok yaitu: (1) nilai-nilai dasar yang dianggap ideal dan hakiki oleh masyarakat Indonesia sebagai perekat persatuan dan kesatuan sebagai suatu bangsa; (2) nilai-nilai instrumental yang berguna dalam mendorong untuk berprestasi atau produktif dalam berbagai jenis pekerjaan.
Bahkan Rokeach (1973:3) mengemukakan lima asumsi dasar tentang hakekat nilai yang dimiliki oleh manusia, yaitu: (1) nilai yang dimiliki seorang individu manusia relative sedikit; (2) setiap orang memiliki nilai yang sama dengan tingkatan yang berbeda; (3) nilai terorganisasikan ke dalam tatanan nilai; (4) sumber nilai manusia bisa ditelusuri dari budaya, masyarakat dan pranatanya, dan kepirbadian dan; (5) konsekuensi dari nilai manusia dimanifestasikan dalam hamper seluruh fenomena.
Berdasarkan hasil pembobotan secara kumulatif diperoleh bahwa masyarakat Campaka memiliki factor penting dalam proses modernisasi di wilayahnya, yaitu masalah kedisiplinan dengan bobot=0.408. Kondisi kedisiplinan masyarakat Campaka yang masih dalam proses transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri ini, dimungkinkan Karena masih adanya sikap konservatif dalam sosial budaya masyarakat Campaka yang memiliki mata pencahariannya dari pertanian (agraris). Kehidupan tradisional masyarakat yang masih cukup kental, seperti misalnya gotong royong, masih dimiliki oleh masyarakat setempat. Namun kehidupan tradisional ini memiliki dampak dalam tingkat kedisiplinan penduduk setempat yang bekerja di perusahaan industri, yang diikuti bobot kepentingan berikutnya yaitu penghargaan terhadap waktu dan orientasi terhadap prestasi. Sesuai dengan hal tersebut. Rokeach (1973:329) mengungkapkan bahwa: …’’lasting change in values, attitudes, and behavior can be effected by self-confrontation…’’. Perubahan nilai sikap dan perilaku dapat dipengaruhi oleh konfrontasi nilai.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Transformasi yang terjadi di Campaka dari masyarakat agraris ke masyarakat industri menunjukkan adanya ambivalensi, di mana dalam ambivalensi ini cenderung dapat menimbulkan konflik baik bersifat eksternal maupun internal dalam kehidupan masyarakat.
2. Mashi terdapat paradok antara tuntutan etos kerja di dalam industri dan yang masih dianut masyarakat dalam nilai sosial budaya masyarakat agraris di dalam dunia industri lebih menghargai disiplin seperti efisiensi waktu, rajin, tekun, tertib, teraatur dan cermat.
3. Peningkatan motivasi berprestasi merupakan prasyarat di dalam penyesuaian anggota masyarakat dalam memasuki profesi baru di bidang industri.
4. Perubahan nilai sosial budaya masyarakat antara lain tampak dari hubungan sosial dalam keluarga dan di kalangan anggota masyarakat menjadi renggang di mana terdapat kecenderungan bahwa nilai-nilai yang dianut mengikuti perkembangan dalam struktur masyarakat kota.
B. Saran
1. Untuk menghindari terjadinya ambivalensi yang mengarah pada konflik, baik internal maupun eksternal, masyarakat perlu diberikan informasi tentang perlunya kerjasama di antara mereka dalaam berbagai forum pertemuan, seperti pengajian rutin, arisan antar warga, dan kegiatan yang dilakukan bersama, seperti Jum’at bersih, posyandu dan olah raga masal.
2. Pemupukan etos kerja perlu dilakukan dengan cara: menjaga kepuasan kerja di lingkungan industri melalui pemberian upah kerja yang sesuai dengan standar Upah Minimum Kabupaten (UMK), peningkatan kesejahteraan pegawai, dan kejelasan dalam jenjang karier; serta membangun persaingan secra sehat melalui pemberian kesempatan yang sama bagi setiap pegawai, penghargaan sesuai prestasi yang dicapai, dan kejelasan dalam peningkatan jabatan.
3. Pendidikan perlu membiasakan anggota masyarakat sejak dini agar dapat memikul tanggung jawab pribadi, berusaha melakukan sesuatu dengan cara yang baru dan kreatif, serta terampil dalam mengambil keputusan dan mengambil risiko sehingga dapat meningkatkan motivasi berprestasi sebagai bekal untuk bekerja di sektor industri.
4. Untuk mengatasi hubungan sosial dalam keluarga dan di kalangan anggota masyarakat menjadi renggang perlu ditanamkan sejak dini nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga juga diberi informasi yang tepat tentang kehidupan masyarakat kota sebenarnya dalam memanfaatkan media informasi berupa koran masuk desa dan ceramah dalam kegiatan keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Frank, Andre Gunder. 1984. Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi. Indonesia: Pustaka Pulsar.
Germani, Gino. 1981, The Sociology of Modernization Studies. On Its Historical and Theoretical Aspects with Special Regard to the Latin America Case. London: Transaction Books.
Habibie, B.J. 1995. Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Pembangunan Bangsa, Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia. Jakarta: CIDES.
Harrison, David. 1996. Sosiologi Modernisasi dan Pembangunan, The Sociology of Modernization and Development. Terjemahan BKU Sosiologi- Antropologi Pascasarjana Unpad.
Rafei, Moch E. 2000. Laporan Tahunan Camat Campaka tahun 2000. Purwakarta: Kantor Kecamatan Campaka.
Rokeach, Milton. 1973. Beliefs, Attitudes, and Values: A Theory of Organization and Change. San Francisco: Jossey-Bass., Inc. Publishers.
Saaty, Thomas L. 1988. Decission Making: The Analytic Hierarchy Process. USA. University of Pittsburgh.
Saaty, Thomas L. and Vargas, Luis G. 1994. Decission Making in Economic, Poliitical, Social and Technological Environments: The Analytic Hierarchy Process. USA: University of Pittsburgh.
Weiner, Myron. 1966. Modernization the Dynamics of Growth. America: Voice of Amerika Forum Lectures.
Socio-cultural transformation at the industrial area of Campaka is marked by society structure changed from agriculture to industry. This research objective is to analyze values changes which can support and pursue development. Attitude as especial activator of socio-cultural transformation. Besides, also society achievement motive, discipline, appreciation of time, and work orientation.
Research method is combination of qualitative and quantitative approach which emphasize to qualitative approach. Consideration that this research focus is description of process and conduct meaning interpretation. This research is conducted at six countryside which consist of industrial and agrarian community. Case study at community unit, and expression change of value, attitude, achievement motive, discipline, appreciation of time and work orientation, representing fundamental research strategy. Data collected through depth interview, participant observation, usage of document. Quantitative data collected by using questionaire.
The result is if values change support development hence will be accomodated and harmonized with local culture; while if values change pursue development will change and lose by it self; and if change definitely pursue development hence the value will be abolished. Then if rational attitude and behavior support the socio-cultural change in society hence will become especial activator in transformation process from agrarian to industrial society. Also if the society socio-culturally transformed from agrarian to industrial society hence achievement motive, discipline, appreciation to time and work orientation will become values embraced by the society.
Key Words: Case study, Industrial are, socio cultural, transformation, agriculture, and industrial society.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transformasi sosial budaya di wilayah industri dicirikan dengan terjadinya perubahan struktur masyarakat agraris menjadi masyarakat yang berstruktur industri. Hal ini berimplikasi pada perubahan bentuk atau wujud mata pencaharian, pola hidup, perilaku, cara berpikir, dan perubahan yang diakibatkan oleh intervensi pendatang. Misalnya sebelum adanya daerah industri kehidupan masyarakat bersifat monoton bertani, akan tetapi setelah hadirnya struktur masyarakat industri kehidupan masyarakat menjadi bervariasi, ada yang menyewakan rumah, menjadi buruh pabrik dan berdagang. Selain itu, dalam struktur masyarakat agraris nilai sosial gotong royong yang sangat kuat telah berubah. Dalam masyarakat industri menjadi individualistis, baik dalam hal bercocok tanam, aktivitas tolong menolong maupun kerja bakti. Karena kebutuhan masyarakat industri sangat kompleks dan hanya dapat diselesaikan dengan pembagian tugas.
Sejalan dengan pembangunan di wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi) menyebabkan Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat mendapatkan pengaruh dari pembangunan wilayah tersebut, karena lahan-lahan yang ada di JABOTABEK untuk perkembangan industri semakin terbatas, sedangkan di Kabupaten Purwakarta relative masih tersedia, sehingga kawasan industri berkembang di Kabupaten ini walaupun dengan resiko mengorbankan lahan pertanian, terutama yang berada di Wilayah Industri campaka. Pergeseran lahan pertanian menjadi lahan industri merupakan tindak lanjut dari adanya Surat Keputusan Gubernus Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 593/SK 629-Bappeda/90, tentang Pemanfaatan Lahan Kawasan Industri di Jawa Barat tertanggal 16 Mei 1990. Menurut SK tersebut bahwa Wilayah Campaka dialokasikan untuk kegiatan industri, baik industri kecil maupun aneka industri. Bappeda Kabupaten Purwakarta mengalokasikan lahan seluas 159 Ha, yang berada di Desa Cikumpay dan Campaka dengan jenis industri pakaian jadi (garment), percetakan dan elektronik. Alasan Wilayah Campaka digunakan untuk kawasan industri disebabkan wilayah ini morfologinya datar, dan lahan pertaniannya non teknis atau sawah tadah hujan.
Akibat pergeseran penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri mengakibatkan menyempitnya lapangan pekerjaan di bidang pertanian dan memberi peluang tersedianya lapangan kerja di bidang industri, tetapi nampaknya masyarakat yang berada di wilayah industri Campaka belum siap terhadap peluang dan tantangan yang terjadi, sehingga banyak petani atau masyarakat mencari lapangan kerja di luar industri seperti menjadi pedagang atau menjadi buruh bangunan, akibatnya banyak pendatang dari luar wilayah industri Campaka yang lebih siap sebagai tenaga kerja industri dengan menggeser tenaga kerja lokal. Adanya pergeseran penggunaan lahan pertanian ke lahan industri sebenarnya harus diantisipasi sebelumnya oleh masyarakat di wilayah ini dengan tujuan agar pergeseran yang terjadi tidak menyebabkan kualitas hidup menjadi menurun melainkan sebagai suatu peluang dan tantangan yang harus dapat meningkatkan kualitas hidup di wilayah industri Campaka.
Perubahan social yang terjadi di Indonesia sebagai akibat proses pembangunan nasional yang menekankan pada bidang ekonomi dengan anggapan bahwa bidang lainnya akan seiring maju dan berkembang. Sektor industri menjadi cukup mononjol yang banyak menyita perhatian masyarakat, karena industrialisasi secara histories merupakan masa kondisi ekonomi yang banyak menguntungkan ekonomi nasional. Banyak Negara di dunia, yang menunjukkan kemajuan bangsanya ditandai dengan majunya industri di Negara itu. Seperti istilah yang sekarang muncul ‘Negara Industri maju’, di Asia dikenal NIC (New Industrial Countries) seperti Jepang, hongkong, Singapura dan Korea atau sebutan orang Barat lima Negara ‘Macan Asia’.
Berbeda dengan negara industri, yaitu negara agraris yang menjadi sumber utama bermatapencaharian sebagian besar penduduk di bidang pertanian. Ciri masyarakatnya terbelakang, kurang maju, atau sedang berkembang, tradisional, pendapatan perkapita masih rendah, jumlah penduduk banyak, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan. Rendahnya produktivitas pada masyarakat agraris dibandingkan dengan masyarakat industri, memicu seluruh anggota negara berusaha memacu kondisi masyarakatnya kea rah masyarakat yang berfokus pada industri.
Perubahan dari kondisi masyarakat agraris yang subsistem kea rah industri yang modern, transformasi sosial budayanya tidaklah secara otomatis akan menjamin keberhasilan pembangunan di Indonesia. Itulah sebabnya proses industrialisasi diupayakan berjalan secara efektif tanpa mengorbankan pembangunan lainnya, menurut Habibie (1995:11) proses industrialisasi perlu mempertimbangkan empat hal berikut:
1. Dilakukan seiring dengan pembangunan sumber daya manusia, dan didukung oleh teknologi yang semakin meningkat.
2. Dikembangkan seiring dengan pola pengembangan potensi wilaah secara merata di seluruh tanah air.
3. Diselaraskan dengan nilai budaya dan tingkat perkembangan masyarakat, dan
4. Dalam upaya mengolah dan meningkatkan nilai tambah sumber daya alam melalui proses industrialisasi, harus diperhatikan sisi keselarasan dan keterkaitan dengan kelestarian lingkungan demi kesinambungan pembangunan nasional.
Inti ungkapan tersebut menunjukkan bahwa industrrialisasi bermakna yang merujuk pada hakekat pembangunan nasional yaitu pada pembangunana sumber daya manusia secara optimal. Manusia yang berkualitas akan mampu menguasai teknologi sebagai alat peningkatan pemerataan dan keseimbangan pembangunan, sehingga industrialisasi dianggap sebagai motor modernisasi masyarakat, yang bisa menciptakan keserasian dan kesinambungan pembangunan nasional.
Keseimbangan dan keselarasan dalam pembangunan merupakan sesuatu hal yang dilematik. Munculnya dilema ketidakserasian antara akselarasi pembangunan fisik dan budaya yang tidak selamanya sejalan. Pembangunan ekonomi dapat meningkatkan kebutuhan materi maupun fisik, namun seringkali tidak diimbangi dengan peningkatan kesadaran moral, etika dan norma sosial. Pembangunan bidang non materi yang menyangkut pengembangan sosial psikologis, termasuk pendidikan amatlah sulit. Kesulitannya berkenaan dengan proses perubahan pada diri manusia dan masyarakat yang unik dalam pendeteksiannya.
Bahkan Lapiere (1946:170) menekankan bahwa dalam perubahan social, keseimbangan (equilibrium) dan ketidakseimbangan (disequilibrium) bersifat dinamis. Artinya, ketika suatu komponen sistem social tertinggal dan komponen sosial lainnya, maka masyarakat selalu bergerak kea rah keseimbangan. Tetapi keseimbangan telah tercipta ketidakseimbangan batru terjadi lagi, sehingga transisi menuju keseimbangan baru berlangsung lagi. Dengan demikian, selalu berlangsung pergantian antara keseimbangan dengan ketidakseimbangan, dengan itu tahap transisi selalu muncul.
Pendekatan proses juga digunakan oleh Germani (1981:109) bahwa transformasi sosial adalah proses yang melibatkan tiga basis modifikasi struktur socsial, yaitu: (1) tipe tindakan sosial, dari tindakan preskriptif ke tindakan efektif; (2) penerimaan terhadap perubahan; dan (3) spesialisasi pelembagaan dari diferensiasi kelembagaan yang rendah ke pelembagaan yang tinggi.
Industrialisasi pada dasarnya merupakan transformasi sosial budaya di satu pihak dapat mengandung arti proses perubahan struktur sosial, sedangkan di pihak lain mengandung makna proses perubahan atau pembaharuan nilai. Juga industrialisasi merupakan transformasi proses peminggiran otot dengan buah karya otak yang kemudian menghasilkan berbagai perubahan yang mengagumkan yang secara fisik melahirkan mesin-mesin.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalahnya adalah: ‘’Bagaimana Transformasi Sosial Budaya Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri di Wilayah Industri Campaka Purwakarta’’. Sedangkan batasan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan nilai yang dapat menunjang dan menghambat terhadap pembangunan dalam proses industrialisasi.
2. Bagaimana sikap sebagai penggerak utama dalam proses transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri.
3. Bagaimana motif berprestasi, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu dan orientasi kerja masyarakat agraris ke masyarakat industri.
C. Maksud dan Tujuan
Penelitian ini bermaksud untuk mempelajari, memahami, menerangkan, menganalisis dan menginterpretasikan transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri Campaka. Adapun tujuan penelitian untuk memahami, melakukan interpretasi dan melakukan analisis terhadap hal-hal berikut:
a. Perubahan nilai yang dapat menunjang dan menghambat terhadap pembangunan dalam proses industrialisasi.
b. Sikap sebagai penggerak utama dalam proses transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri.
c. Motif berprestasi, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu dan orientasi kerja masyarakat agraris ke masyarakat industri,
Dari hasil pemahaman, interpretasi dan analisis tersebut, penelitian ini ditujukan juga untuk mengembangkan konsep ‘’transformasi sosial budaya’’, terutama mengenai ‘’perubahan nilai yang dapat menunjang ataupun menghambat terhadap pembangunan’’, ‘’sikap sebagai penggerak utama dalam proses transformasi sosial budaya’’ serta ‘’dorongan berprestasi, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu, orientasi kerja’’ dalam masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah Industri Campaka.
D. Hipotesis Kerja
a. Perubahan nilai akan menunjang pembangunan bila telah disesuaikan dan diharmonisasikan dengan budaya setempat, sedangkan nilai yang menghambat pembangunan akan berubah dan hilang dengan sendirinya; dan nilai yang secara definitive menghambat pembangunan harus dihapuskan.
b. Sikap dan tingkah laku rasional sebagai penggerak utama dalam proses transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri.
c. Motif berprestasi yang bertujuan untuk mencapai sesuatu secara maksimal, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu dan orientasi kerja merupakan nilai-nilai yang terdapat pada masyarakat industri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perubahan Nilai Sosial Budaya Masyarakat
Pengumpulan data primer melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan transformasi social budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di Wilayah Industri Campaka. Kuesioner yang dibentuk dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: (1) analisis kuantitatif mempergunakan analytic hierarchy process, berdasarkan lima orang responden yang terpilih secara purposive sampling yang disumsikan mewakili baik pihak pemerintah maupun pihak industri; dan (2) analisis kualitatif berdasarkan wawancara dengan karyawan pabrik, tokoh formal dan informal, serta dengan petani dan masyarakat yang relevan dengan penelitian yang dilakukan untuk mendukung hasil analisis kuantitatif.
Pengolahan data dengan mempergunakan analytic hierarchy process (AHP) untuk mengetahui faktro-faktor penting terjadinya transformasi social budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah campaka ditampilkan dalam pembobotan terhadap tujuan (goal) dengan mempergunakan Expert Choice berdasarkan algoritma AHP yaitu dengan menyebarkan kuesioner perbandingan berpasangan. Berdasarkan hierarki awal berkaitan dengan terjadinya transformasi sosial budaya pada kerangka pemkiran diperoleh pembobotan factor penting perubahan sosial budaya, modernisasi dan ketergantungan industri.
Berdasarkan hasil pembobotan yang telah dilakukan terlihat bahwa factor penting terjadinya transformasi social budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah industri Campaka diketahui berdasarkan bobot tertingginya adalah perubahan social (bobot=0.426), yang diikuti factor ketergantungan industrialisasi (bobot=0.361), dan factor penting terakhir adalah modernisasi (bobot=0.213). Pembobotan ini menunjukkan bahwa semakin besar hasil bobotnya memberi pengertian semakin besar pula tingkat kepentingannya (pengaruhnya) terhadap terjadinya proses transformasi sosial budaya. Hasil pengolahan dan pembahasan selanjutnya disusun berdasarkan hasil pembobotan AHP tersebut yang diawali dengan perubahan sosial, ketergantungan industri, dan modernisasi masyarakat di wilayah Campaka berikut ini.
Perubahan sosial yang menjadi faktor paling penting terjadinya transformasi sosial budaya agraris ke masyarakat industri di wilayah Campaka berdasarkan sub-sub faktor yang telah dibentuk yaitu determinan struktural; proses dan mekanisme; serta arah dan perubahan dengan kriteria-kriteria dan hasil pembobotannya sebagai berikut: Perubahan sosial (0.426), determinan struktural (0.295), proses dan mekanisme (0.433), arah dan perubahan (0.272); perubahan populasi (0.461), dislokasi (0.359), mekanisme percepatan (0.178), pergerakan social (0.152), konflik politik (0.209), akomodasi (0.354), aktivitas pengusaha (0.106), perubahan struktural (0.344), pengaruh kebijakan (0.165) dan konsekwensi (0.491).
Hasil pembobotan terbesar yang merupakan faktor yang penting terjadinya perubahan sosial masyarakat Campaka merupakan bagian dari proses dan mekanisme (bobot=0.433). Hal ini menunjukkan bahwa proses dan mekanisme dalam perubahan sosial dapat ditinjau sebagai proses interaksi sosial yang terjadi dalam diri manusia. Proses yang menyangkut perubahan aspek kognitif manusia yang termotivasi oleh lingkungan sosialnya. Pendapat Kurt Lewis yang diperluas oleh Schein (1964:362-378) bahwa perubahan sosial itu tidak lain merupakan rangkaian proses kognitif yang terdiri dari proses unfreezing, changing, dan refreezing. Proses psikologi ini tidak lain merupakan proses keseimbangan kognitif, indiividu dimotivasi untuk berubah (unfreezing) kemudian berkembang oleh respon baru (changing) sehingga terintegrasi dan terjadi kestabilan (refreezing) pada individu itu sendiri.
Teori kontemporer perubahan sosial terjadi tergeneralisasikan dengan tujuan untuk menjelaskan proses perubahan lebih jauh pada masa lalu dan sekarang Hermann Strasser dan Susan C. Randall (1981:16) mengidentifikasikan atribut-atribut atas perubahan ini yaitu: ‘’derajat perubahan’’, rentang waktu, arah rata-rata perubahan, dan jumlah kekerasan yang terlibat. Semua teori perubahan mengandung tiga unsure utama yaitu determinasi struktural, proses dan mekanisme, serta arah dan perubahan akan tetap berhubungan satu sama lainnya, sehingga perubahan sosial merupakan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan pemikiran manusianya.
Pada proses dan mekanisme terdapat kriteria terpenting dalam akomodasi (bobot=0.354) yang menunjukkan bahwa proses dan mekanisme pada perubahan social masyarakat Campaka disebabkan oleh akomodasi menjadi wilayah industri di daerah ini. Masyarakat Campaka yang sebelumnya memiliki tatanan sosial budaya agraris ditransformasikan ke dalam pengejaran-pengejaran ekonomi, sama halnya dengan akomodasi keyakinan dengan kebutuhan sosial tertentu, baik kebutuhan praktis sehari-hari dari strata tertentu maupun kebutuhan insitusional yang seolah mengharuskan terjadinya penyesuaian dengan kerangka sosial yang ada.
B. Ketergantungan Industrialisasi
Ketergantungan industrialisasi sebagai faktor penting kedua (bobot=0.361) terjadinya transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah Campaka terdapat tiga komponen utama, yaitu: (1) modal asing; (2) pemerintah lokal di negara-negara setelit; dan (3) kaum borjuisnya. Adapun kriteria-kriteria berdasarkan ketiga komponen tersebut akan dipergunakan (1) perkembangan kaum borjuis; (2) kebebasan berdagang; (3) perkembangan pasar dunia; (40 keseragaman cara produksi; dan (5) kesamaan kehidupan.
Berikut ini hasil pembobotan model hierarki ketergantungan industrialisasi beserta hasil pembobotan akumulasi dengan mempergunakan AHP sebagai berikut: Ketergantungan industrialisasi (0.361), investor (0.214), peran pemerintah (0.462) dan industriawan (0.324); perkembangan kaum borjuis (0.244), kebebasan berdagang (0.188), perkembangan pasar dunia (0.102), keseragaman cara produksi (0.258) dan kesamaan kehidupan (0.208)
Hasil pembobotan akumulatif terbesar yang merupakan factor penting dalam ketergantungan industrialisasi pada masyarakat Campaka ditentukan oleh peran pemerintah setempat (bobot=0.462). Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah daerah terutama pemerintah Kabupaten Purwakarta yang sangat menentukan terjadinya tranformasi social budaya dalam kaitannya dengan ketergantungan industrialisasi terutama masyarakat Campaka.
Pemerintah daerah akan tergntung pada pemerintah pusat yang berkembang secara mandiri, sehingga perkembangan perekonomian pusat sedang bergerak maju, akan berdampak pada perekonomian pemerintah daerahnya yang dapat ikut bergerak maju. Tetapi, bila pemerintah pusat sedang mengalami kesulitan, dapat dipastikan pula bahwa pemerintah daerah akan mengalami kesulitan. Ketergantungan ekonomi pemerintah daerah pada pemerintah pusat menurut Theotonio Dos santos (dalam Frank, 1984:xvi) menyatakan bahwa: Dengan dependensi dimaksudkan suatu kedaan di mana perkembangan ekonomi negara-negara tertentu tergantung kepada perkembangan dan perluasan ekonomi dari negara-negara lain yang lebih dominant. Hubungan interdependensia antara dua atau lebih suatu sistem perekonomian, dan antara sistem-sistem ini dengan perdagangan dunia, berubah menjadi dependensi kalau beberapa negara yang lebih dominan bisa berkembang dan bermandiri, sedang negara-negara lainnya (yang dependen) hanya bisa melakukan ini sebagai dari perluasan ekonomi dari negara-negara dominant, yang bisa berakibat positif atau negatif pada perkembangan jangka pendek ekonomi negara-negara tersebut.
Kondisi ini menunjukkan dengan jelas bahwa pemerintah daerah yang mendukung secara langsung dengan pemerintah pusat dapat berkembang ekonominya, tapi perkembangan itu hanya merupakan bayangan atau sertaan dari perkembangan ekonomi pemerintah pusat. Karena itu, pemerintah daerah yang tidak bisa menabung, perkembangan ekonominya sangat ditentukan oleh perkambangan ekonomi pemerintah pusat.Perbisch menganjurkan upaya pemerintah daerah menetapkan kebijakan terhadap daerahnya dengan melakukan industrialisasi.
Baran (dalam Horison, 1996:50) menyatakan bahwa ‘’para ahli ilmu social borjuis telah memberikan bantuan ideologi bagi eksploitasi yang kejam terhadap dunia ketiga yang menuntut pandangannya inheren dan kapitalisme’’. Tidak seperti Lenin (1973:20) yang mempertimbangkannya menjadi kepentingan-kepentingan kapitalisme untuk tetap mempertahankan keterbelakangan dari dunia ketiga sebagai daerah terbelakang yang tidak dapat dihindari yang menyebabkan dunia Barat dengan bahan baku penting dan juga kesempatan untuk memperoleh surplus ekonomi.
C. Modernisasi Campaka
Modernisasi sebagai faktor penting ketiga (bobot=0.213) terjadinya transformasi sosial budaya masyarakat agraris ke masyarakat industri di wilayah Campaka berhubungan langsung dengan komponen-komponen utama yaitu: (1) atribut sejarah, (2) proses transisi, dan (3) kebijakan pembangunan. Ketiga komponen utama ini akan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berkaitan dengan (a) globalisasi, (b) struktur ekonomi, (c) politik ideologi, (d) budaya nasional, (e) manusia dan masyarakat, (f) ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (g) informasi. Semua komponen penting ini akan berdampak langsung terhadap masyarakat Campaka, terutama perubahan dalam hal kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu dan orientasi terhadap prestasi. Berikut ini akan dipaparkan model hirarki modernisasi beserta hasil pembobotan akumulasi dengan mempergunakan AHP.
Hasil pembobotan akumulatif terbesar yang merupakan faktor penting dalam modernisasi pada masyarakat Campaka ditentukan oleh atribut sejarah setempat (bobot= 0.376). Hal ini menunjukkan bahwa atribut sejarah terutama sosial, budaya dan tradisi masyarakat Campaka sangat menentukan kecepatan terjadinya transformasi sosial budaya dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat Campaka.
Hasil pembobotan akumulasi model hirarki modernisasi sebagai berikut: Modernisasi (0.213), atribut sejarah (0.376), proses transisi (0.320), kebijakan pembangunan 90.304); globalisasi (0.172), struktur ekonomi (0.082), politik ideologi (0.132), budaya nasional (0.156), manusia dan masyarakat (0.156), ilmu pengetahuan dan teknologi (0.141), informasi (0.159), disiplin (0.408), penghargaan terhadap waktu 0.350) dan orientasi terhadap prestasi (0.242).
Teori sosiologi klasik dalam konsep modernitas memiliki hubungan yang erat dengan pengertian dan kepentingan dari transformasi social yang terjadi di Eropa pada pertengahan abad 19 yaitu seperti efek-efek dari industrialisasi, urbanisasi dan demokrasi politik padamasyarakat perdesaan dan masyarakat otokrat. Istilah ‘’modernitas’’ ini digunakan untuk dapat melingkupi perubahan-perubahan ini pada saat terjadi dengan cara membandingkan modern dengan tradisional.
Pembangunan ekonomi adalah suatu aspek dari serangkaian perubahan masyarakat yang dialami oleh wilayah baru. Modernisasi merupakan suatu konsep yang berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi, yang menunjukkan bahwa perubahan besar yang terjadi di suatu wilayah baru: (1) dalam bidang politik sewaktu sistem-sistem kewibawaan suku dan desa yang sederhana digantikan dengan sistem-sistem pemilihan umum, kepartaian, perwakilan dan birokrasi pegawai negeri; (2) dalam bidang pendidikan, masyarakat berusaha mengurangi kebutahurufan dan meningkatkan keterampilan yang membawa hasil-hasil ekonomi; (3) dalam bidang religi, sistem-sistem kepercayaan sekuler mulai menggantikan agama-agama tradisionalitas; (4) dalam lingkungan keluarga, unit-unit hubungan kekeluargaan yang meluas menghilang; (5) dalam lingkungan stratifikasi ketika mobilitas geografis dan sosial cenderung untuk merenggangkan sistem-sistem hierarki yang sudah pasti dan turun-temurun (Weiner, 1994:71).
Industrialisasi dengan teknologinya akan membawa perubahan yang besar di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam hal ini, yang perlu diketahui bahwa cepat atau lambatnya proses industrialisasi tergantung pada faktor-faktor ekonomi, politik, social dan budaya yang berlaku (Alfian, 1986:40). Hal ini membuktikan bahwa modernisasi akan berkaitan dnegan atribut sejarah yang dimiliki oleh wilayah Campaka.
Ditinjau dari sudut pandang budaya, industrialisasi diprediksikan akan menimbulkan perubahan nilai-nilai dan pola gaya hidup masyarakat. Perubahan nilai-nilai tersebut perlu diperhatikan, karena dalam hal ini mudah terjadi pengertian-pengertian yang keliru tentang nilai-nilai yang akan berubah. Untuk itu perlu dibedakan nilai-nilai tersebut ke dalam dua kelompok yaitu: (1) nilai-nilai dasar yang dianggap ideal dan hakiki oleh masyarakat Indonesia sebagai perekat persatuan dan kesatuan sebagai suatu bangsa; (2) nilai-nilai instrumental yang berguna dalam mendorong untuk berprestasi atau produktif dalam berbagai jenis pekerjaan.
Bahkan Rokeach (1973:3) mengemukakan lima asumsi dasar tentang hakekat nilai yang dimiliki oleh manusia, yaitu: (1) nilai yang dimiliki seorang individu manusia relative sedikit; (2) setiap orang memiliki nilai yang sama dengan tingkatan yang berbeda; (3) nilai terorganisasikan ke dalam tatanan nilai; (4) sumber nilai manusia bisa ditelusuri dari budaya, masyarakat dan pranatanya, dan kepirbadian dan; (5) konsekuensi dari nilai manusia dimanifestasikan dalam hamper seluruh fenomena.
Berdasarkan hasil pembobotan secara kumulatif diperoleh bahwa masyarakat Campaka memiliki factor penting dalam proses modernisasi di wilayahnya, yaitu masalah kedisiplinan dengan bobot=0.408. Kondisi kedisiplinan masyarakat Campaka yang masih dalam proses transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri ini, dimungkinkan Karena masih adanya sikap konservatif dalam sosial budaya masyarakat Campaka yang memiliki mata pencahariannya dari pertanian (agraris). Kehidupan tradisional masyarakat yang masih cukup kental, seperti misalnya gotong royong, masih dimiliki oleh masyarakat setempat. Namun kehidupan tradisional ini memiliki dampak dalam tingkat kedisiplinan penduduk setempat yang bekerja di perusahaan industri, yang diikuti bobot kepentingan berikutnya yaitu penghargaan terhadap waktu dan orientasi terhadap prestasi. Sesuai dengan hal tersebut. Rokeach (1973:329) mengungkapkan bahwa: …’’lasting change in values, attitudes, and behavior can be effected by self-confrontation…’’. Perubahan nilai sikap dan perilaku dapat dipengaruhi oleh konfrontasi nilai.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Transformasi yang terjadi di Campaka dari masyarakat agraris ke masyarakat industri menunjukkan adanya ambivalensi, di mana dalam ambivalensi ini cenderung dapat menimbulkan konflik baik bersifat eksternal maupun internal dalam kehidupan masyarakat.
2. Mashi terdapat paradok antara tuntutan etos kerja di dalam industri dan yang masih dianut masyarakat dalam nilai sosial budaya masyarakat agraris di dalam dunia industri lebih menghargai disiplin seperti efisiensi waktu, rajin, tekun, tertib, teraatur dan cermat.
3. Peningkatan motivasi berprestasi merupakan prasyarat di dalam penyesuaian anggota masyarakat dalam memasuki profesi baru di bidang industri.
4. Perubahan nilai sosial budaya masyarakat antara lain tampak dari hubungan sosial dalam keluarga dan di kalangan anggota masyarakat menjadi renggang di mana terdapat kecenderungan bahwa nilai-nilai yang dianut mengikuti perkembangan dalam struktur masyarakat kota.
B. Saran
1. Untuk menghindari terjadinya ambivalensi yang mengarah pada konflik, baik internal maupun eksternal, masyarakat perlu diberikan informasi tentang perlunya kerjasama di antara mereka dalaam berbagai forum pertemuan, seperti pengajian rutin, arisan antar warga, dan kegiatan yang dilakukan bersama, seperti Jum’at bersih, posyandu dan olah raga masal.
2. Pemupukan etos kerja perlu dilakukan dengan cara: menjaga kepuasan kerja di lingkungan industri melalui pemberian upah kerja yang sesuai dengan standar Upah Minimum Kabupaten (UMK), peningkatan kesejahteraan pegawai, dan kejelasan dalam jenjang karier; serta membangun persaingan secra sehat melalui pemberian kesempatan yang sama bagi setiap pegawai, penghargaan sesuai prestasi yang dicapai, dan kejelasan dalam peningkatan jabatan.
3. Pendidikan perlu membiasakan anggota masyarakat sejak dini agar dapat memikul tanggung jawab pribadi, berusaha melakukan sesuatu dengan cara yang baru dan kreatif, serta terampil dalam mengambil keputusan dan mengambil risiko sehingga dapat meningkatkan motivasi berprestasi sebagai bekal untuk bekerja di sektor industri.
4. Untuk mengatasi hubungan sosial dalam keluarga dan di kalangan anggota masyarakat menjadi renggang perlu ditanamkan sejak dini nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga juga diberi informasi yang tepat tentang kehidupan masyarakat kota sebenarnya dalam memanfaatkan media informasi berupa koran masuk desa dan ceramah dalam kegiatan keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Frank, Andre Gunder. 1984. Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi. Indonesia: Pustaka Pulsar.
Germani, Gino. 1981, The Sociology of Modernization Studies. On Its Historical and Theoretical Aspects with Special Regard to the Latin America Case. London: Transaction Books.
Habibie, B.J. 1995. Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Pembangunan Bangsa, Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia. Jakarta: CIDES.
Harrison, David. 1996. Sosiologi Modernisasi dan Pembangunan, The Sociology of Modernization and Development. Terjemahan BKU Sosiologi- Antropologi Pascasarjana Unpad.
Rafei, Moch E. 2000. Laporan Tahunan Camat Campaka tahun 2000. Purwakarta: Kantor Kecamatan Campaka.
Rokeach, Milton. 1973. Beliefs, Attitudes, and Values: A Theory of Organization and Change. San Francisco: Jossey-Bass., Inc. Publishers.
Saaty, Thomas L. 1988. Decission Making: The Analytic Hierarchy Process. USA. University of Pittsburgh.
Saaty, Thomas L. and Vargas, Luis G. 1994. Decission Making in Economic, Poliitical, Social and Technological Environments: The Analytic Hierarchy Process. USA: University of Pittsburgh.
Weiner, Myron. 1966. Modernization the Dynamics of Growth. America: Voice of Amerika Forum Lectures.
Langganan:
Postingan (Atom)