Sabtu, 26 Juli 2014
KKNI DAN KEMANDIRIAN BANGSA
ENDANG KOMARA
Guru Besar Sosiologi Pendidikan Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan dan Sekretaris Korpri Kopertis Wilayah IV
Terbitnya Perpres No. 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dimaksudkan agar ada kesetaraan antara kompetensi yang dibentuk selama perkuliahan dengan kualifikasi yang dibutuhkan pada setiap jenjang pada KKNI. Dengan demikian terjadi kesesuaian antara kompetensi dengan kualifikasi. Hal tersebut juga berdampak pada kurikulum pengelolaannya di setiap program studi. Kurikulum yang pada awalnya mengacu pada pencapaian kompetensi menjadi mengacu pada pencapaian pembelajaran (learning outcomes).
Perumusan capaian pembelajaran seharusnya dimulai dari capaian pembelajaran universitas yang bersifat umum yang mewadahi mata kuliah (capaian pembelajaran perkuliahan) umum yang diselenggarakan oleh universitas, sebagai ciri khas universitas. Capaian pembelajaran program studi (Program Learning Outcomes) sebaiknya mengacu pada pencapaian pembelajaran universitas agar dapat dicapai visi yang telah ditetapkan.
Capaian pembelajaran program studi selain bersandar pada hasil tracer study dan need analysis dari stakeholder, juga harus mengacu pada deskriptor jenjang (level) yang ditetapkan pada Perpres No. 8 Tahun 2012. Jenjang kualifikasi KKNI pada ayat (1) terdiri atas: jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam jabatan operator; jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis; jenjang 7 sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan dalam jabatan ahli.
Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 5 penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan dengan jenjang kualifikasi pada KKNI terdiri atas: lulusan pendidikan dasar setara jenjang 1; lulusan pendidikan menengah paling rendah setara dengan jenjang2; lulusan Diploma 1 paling rendah setara dengan jenjang3; lulusan Diploma 2 paling rendah setara dengan jenjang 4; lulusan Diploma 3 paling rendah setara dengan jenjang 5; lulusan Diploma 4 atau Sarjana Terapan dan Sarjana paling rendah setara dengan jenjang 6; lulusan Magister terapan dan Magister paling rendah setara dengan jenjang 8; lulusan Doktor Terapan dan Doktor setara dengan jenjang 9; lulusan pendidikan profesi setara dengan jenjang 7 atau 8; lulusan pendidikan spesialis setara dengan jenjang 8 atau 9.
Garis besar pengembangan kurikulum pada waktu mengikuti Workshop KKNI Pendidikan IPS tanggal 9 Maret 2013 di Universitas Negeri Jakarta meliputi: Pertama, profil lulusan adalah jawaban atas pertanyaan lulusan seperti apa yang akan dihasilkan oleh program studi kita setelah menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikannya (outcomes). Rumusan profil disarankan menuliskan peran profesional dan serangkaian kompetensi (learning outcomes) yang harus dimiliki lulusan untuk menjalankan peran tersebut secara profesional, akuntabel, dan berakhlak mulia. Kedua, Program Learning Outcomes (PLO) mengacu pada deskriptor jenjang 5 untuk program diploma 3, jenjang 6 dan 7 untuk program sarjana, jenjang 8 untuk program magister dan jenjang 9 untuk program doktoral yang dirumuskan KKNI. Secara spesifik menunjukkan pemenuhan atas kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja. Lebih baik jika memperhatikan hasil tracer study dan need analysis. PLO disebut juga sebagai Kompetensi Utama (KU). Ketiga, Course Learning Outcomes (CLO) atau Intended Learning Outcomes (ILO) atau Module Learning Outcomes (MLO) mengacu pada setiap PLO yang memberikan jabaran spesifik tingkat kognitif, psikomotorik dan atau afektif serta content knowledge yang dapat diamati dan diukur selama proses pembelajaran. CLO disebut juga sebagai Kompetensi Khusus (KK). Keempat, Konsep kunci (key Concept) digunakan untuk merumuskan bentuk aktivitas pembelajaran (pedagogical content knowledge) yang diperlukan untuk mencapai Learning Outcomes (capaian pembelajaran) pada setiap CLO. Diletakkan pada kolom pengalaman belajar dalam Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RKPPS). Kelima, Kata kunci (Key Concept) digunakan untuk merumuskan ketuntasan penguasaan kompetensi (mastery level). Sebagai petunjukan untuk memilih bentuk penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan karakter kompetensi yang ingin dicapai.
Kemandirian bangsa adalah adanya kesadaran dalam diri bangsa untuk bisa mendisiplinkan diri, mengurus, mengelola bangsa dengan cara dan tenaga sendiri, tidak tergantung pada bangsa lain. Menurut Ma’arif (2010), bahwa kemandirian bangsa memiliki lima komponen, yaitu: inisiatif, bebas, progresif, ulet dan kemantapan. Dalam faktor inisiatif, kemandirian mengandung arti kemampuan dan kemauan untuk berfikir dan bertindak secara original dan kreatif. Sedangkan arti bebas dalam kemandirian yaitu perilaku/tindakan yang dilakukan atas kehendak sendiri bukan karena pihak lain dan tidak tergantung pada pihak lain. Progresif dan ulet ditunjukkan dengan adanya usaha untuk meraih prestasi dan mengelola potensi dengan kemampuan sendiri tanpa campur tangan pihak asing. Itulah kemandirian yang diharapkan, mencakup kemampuan pribadi bangsa, kemampuan mengendalikan bangsa sendiri, mengelola alam sendiri, membiayai bangsa dengan hasil alam sendiri tanpa campur tangan pihak lain.
Komponen kemandirian yang lainnya yaitu adanya perencanaan, konsisten dengan tujuan, yakin bisa untuk mewujudkannya, serta mengetahui aset yang hendak dikelola. Maka dengan adanya perencanaan dari pemangku kebijakan, serta konsisten untuk mewujudkannya, kita yakin bangsa ini bisa mandiri. Dengan kemandirian bangsa ini diharapkan kesejahtraannya bisa diwujudkan secara merata untuk semua warga.
Untuk menumbuhkan kemandirian dan kreativitas bangsa, fondasi utama adalah kemauan dan kemampuan yang sinergis antara elemen massa dan pemerintah. Dibutuhkan pemahaman pembinaan dan pengarahan, serta pembiasaan agar bangsa yang besar ini mempunyai kualitas dalam menyongsong masa depan yang lebih baik, yaitu: Pertama, untuk menyiapkan generasi mandiri diperlukan orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan yang tinggi, untuk membina generasi mandiri menjadi generasi yang kuat sehingga kemandirian bangsa bisa diwujudkan. Kedua, dalam membentuk kemandirian bangsa diperlukan pribadi bangsa yang terbebas dari mental ketergantungan, dalam arti bangsa mempunyai rasa aman dan yakin bahwa bangsa ini bisa mandiri dan berjaya. Ketiga, hal tersebut selain karena generasi muda masih berada dalam puncak produktivitasnya, juga karena generasi muda adalah komponen bangsa yang paling strategis posisinya dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai di tengah-tengah derasnya liberalisasi informasi era globalisasi. Maka harapan kemandirian bangsa datang dari kaum muda dan akan dicoba mewujudkan oleh kaum muda pula. *** Semoga ***..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar