Minggu, 11 Mei 2014
FENOMENA KEKERASAN TERHADAP ANAK
ENDANG KOMARA
Guru Besar Sosiologi Pendidikan Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan dan Wakil Ketua Bidang Akademik
Fenomena yang menimpa di Taman Kanak-Kanak (PAUD) Jakarta Internasional School (JIS) menjadi berita hangat yang menghiasi media massa, baik cetak maupun elektronik. Pelecehan seksual tersebut dilakukan terhadap anak-anak di bawah umur. Dan hal ini hendaknya dijadikan pembelajaran dengan membuka mata dan hati pemerintah, guru, orang tua, aparat penegak hukum, dan segenap elemen bangsa lainnya, akan pentingnya perlindungan terhadap anak dari segala bahaya yang mungkin mengancam di manapun anak berada.
Kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kekerasaan secara fisik, seksual, penganiayaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak yaitu penelantaran, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecahan seksual anak.
Pertama, penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
Kedua, kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau mengguncang seorang anak. Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan sindrom guncangan bayi yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan otak, cedera difus aksonal, dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan ubun-ubun, perubahan pada pernapasan dan pupil melebar. Tranmisi racun pada anak melalui ibunya (seperti dengan sindrom alkohol janin) juga dapat dianggap penganiayaan fisik dalam beberapa wilayah yuridiksi.
Ketiga, pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak. Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat kunjungan dokter, dan lain-lain), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi, gangguan stress pasca trauma, kecemasan, penyakit mental lainnya (termasuk gangguan kepribadian) dan gangguan identitas disasosiatif, kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, dan cedera fisik pada anak-anak di antara masalah-masalah lainnya. Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih kanak-kanak. Kebanyakan pelaku pelecahan seksual adalah orang yang kenal dengan keluarga korban mereka, sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu,paman dan sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga, orang asing adalah yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.
Yuridiksi yang berbeda telah mengembangkan definisi mereka sendiri tentang apa yang merupakan pelecehan anak untuk tujuan melepaskan dari keluarganya dan atau penuntutan terhadap suatu tuntutan pidana. Menurut Journal of Child Abuse and Neglect, Penganiayaan terhadap anak adalah ‘’setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk bertindak pada bagian dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik serius atau emosional yang membhayakan, pelecehan seksual atau eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang menyajikan riisiko besar akan bahaya yang serius. Seseorang yang merasa perlu untuk melakukan kekerasan terhadap anak atau mengabaikan anak sekarang dapat disebut pedopath.
Keempat, kekerasaan emosional/psikologis. Dari semua kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehaan emosional adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan, kriitik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan. Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri sendiri (menyalahkan diri sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak berdaya, dan terlalu bersikap pasif.
Akhirnya para orang tua, guru, pemerintah dan para pengambil kebijakan hendaknya melakukan optimalisasi dalam perlindungan anak dari segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat dari kekerasan dan diskriminasi. Sehingga anak-anak Indonesia kelak akan tumbuh menjadi generasi yang dapat dibanggakan oleh keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. *** Semoga ***.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
setuju Prof.. saatnya meningkatkan perlindungan anak dan memperlakukan anak sesuai hak-saknya.
BalasHapus