Minggu, 16 Maret 2014
STRATEGI PERGURUAN TINGGI DALAM MEWUJUDKAN ENTREPRENEURIAL CAMPUS
Oleh: Prof. Dr. Endang Komara, M.Si
Disampaikan di Kampus UITM pada tangal 1 April 2014
Abstract
Attempts to infuse the soul and spirit of entrepreneurship in higher education can be done by various methods and strategies that make students interested in entrepreneurship. There are at least six ways to improve entrepreneurship for students echo that is the establishment of central campus entrepreneurship, entrepreneurship priority, the development of student entrepreneurship program, independent entrepreneurial programs for students, the program increased competence and productivity of labor for students, and the provision of venture capital programs for students.
Keywords: college strategy, realizing entrepreneurial campus.
Abstrak
Usaha-usaha untuk menanamkan jiwa dan semangat kewirausahaan di perguruan tinggi dapat dilakukan dengan berbagai metode dan strategi yang membuat mahasiswa tertarik untuk berwirausaha. Sedikitnya ada enam cara dalam meningkatkan gema kewirausahaan bagi mahasiswa yaitu pendirian pusat kewirausahaan kampus, entrepreneurship priority, pengembangan program mahasiswa wirausaha, program wirausaha mandiri untuk mahasiswa, program peningkatan kompetensi tenaga kerja dan produktivitas bagi mahasiswa, dan program pemberian modal usaha untuk mahasiswa.
Kata kunci:strategi perguruan tinggi, mewujudkan entrepreneur kampus.
I. Pendahuluan
Peran entrepreneur dalam menentukan kemajuan suatu negara telah dibuktikan oleh beberapa negara maju seperti Amerika, Jepang, plus tetangga terdekat kita yaitu Singapura dan Malaysia. Di Amerika sampai saat ini sudah lebih dari 12 persen penduduknya menjadi entrepreneur, dalam setiap 11 detik lahir entrepreneur baru dan data menunjukkan 1 dari 12 orang Amerika terlibat langsung dalam kegiatan entrepreneur. Itulah yang menjadikan Amerika sebagai negara adi kuasa dan super power. Selanjutnya Jepang lebih dari 10 persen penduduknya sebagai wirausaha dan lebih dari 240 perusahaan Jepang skala kecil , menengah dan besar bercokol di bumi kita. Padahal Jepang mempunyai luas wilayah yang sangat kecil dan sumber daya alam yang kurang mendukung (kurang subur) namun dengan semangat dan jiwa entrepreneurship-nya menjadikan Jepang sebagai negara terkaya di Asia.
Mengintip sedikit jumlah penguasa tetangga terdekat yang satu rumpun dengan kita yaitu Singapura dan Malaysia, fakta menyebutkan lebih dari 7,2 persen pengusaha Singapura dan lebih dari 3 persen pengusaha Malaysia yang menjadikan pertumbuhan berbagai bidang terutama pertumbuhan ekonomi semakin jauh meninggalkan kita. Indonesia hanya memiliki 0,18 persen pengusaha alias kurang dari 1 persen dari jumlah penduduk kita saat ini, yaitu 243 juta. Padahal untuk membangun ekonomi bangsa, menjadi bangsa yang maju, menurut salah seorang sosiolog yaitu David McClelland, sedikitnya dibutuhkan minimal 2 persen wirausaha dari populasi penduduknya, atau dibutuhkan sekitar 4,8 jjuta wirausaha di Indonesia saat ini. Begitupun menurut Ciputra setidiknya dibutuhkan minimal 2 persen pengusaha untuk menjadikan bangsa ini bangkit dari keterpurukan.
Penting seperti kita mencontoh salah satu perguruan tinggi di Amerika yaitu MIT (Massachusette InstituteTechnology) dimana dalam kurun waktu tahun 1980-1996 di tengah pengangguran terdidik yang semakin meluas dan kondisi ekonomi, sosial politik yang kurang stabil, MIT merubah arah kebijakan perguruan tingginya dari High Learning Institute and Research menjadi Entrepreneurial University. Meskipun banyak pro kontra terhadap kebijakan tersebut namun selama kurun waktu di atas 16 tahun MIT mampu membuktikan lahirnya 4.000 perusahaan dari tangan alumninya dengan menyedot 1,1 juta tenaga kerja dan omset sebesar 232 miliar dolar pertahun. Sungguh prestasi yang sangat spektakuler sehingga merubah kondisi mereka menjadi negara super power. Kebijakan inilah yang selanjutnya ditiru dan diikuti oleh banyak perguruan tinggi sukses di dunia.
II. Pembahasan
A. Usaha Peningkatan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
Berkaca dari kesuksesan negara maju seperti Amerika dan eropa yang hampir seluruh perguruan tingginya menyisipkan materi entrepreneurship dihampir setiap mata kuliahnya, negara-negara di Asia seperti Jepang, Singapura dan Malaysia juga menerapkan materi-materi entrepreneurship minimal di dua semester. Itulah yang menjadikan negara-negara tetangga kita tersebut menjadi negara maju dan melakukan lompatan panjang dalam meningkatkan pembangunan negaranya.
Di Indonesia, usaha-usaha untuk menanamkan jiwa dan semangat kewirausahaan di perguruan tinggi terus di galakan dan ditingkatkan, tentunya dengan berbagai metode dan strategi yang membuat mahasiswa tertarik untuk berwirausaha. Menurut Heri Kuswara (2012), sedikitnya ada enam usaha atau cara dalam meningkatkan gema kewirausahaan bagi mahasiswa, antara lain:
1. Pendirian Pusat Kewirausahaan Kampus.
2. Entrepreneurship Priority.
3. Pengembangan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW)
4. Program Wirausaha Mandiri Untuk Mahasiswa.
5. Program Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan Produktivitas bagi Mahasiswa.
6. Program Pemberian Modal Usaha Untuk Mahasiswa.
Selanjutnya McClelland (1998:25-28) menyatakan bahwa, ada tiga sifat baku yang ada dalam setiap diri manusia, yaitu: need of power, need of affilitiation, dan need of achievement. Ketiga sifat baku tersebut merefleksikan karakteristik kewirausahaan sebagai berikut:
1. Adanya keinginan untuk berprestasi.
2. Adanya keinginan untuk bertanggung jawab.
3. Mempunyai preferensi kepada resiko-resiko menengah.
4. Mempunyai persepsi pada kemungkinan berhasil.
5. Memperhitungkan umpan balik dan apa yang mereka kerjakan.
6. Mempunyai aktivitas enerjik.
7. Berorientasi masa depan.
8. Mempunyai keterampilan dalam pengorganisasian, dan
9. Sikap menomorduakan uang.
Karakteristik tersebut, McCelland menyebut sebagai virus mental yang mendorong seseorang berfikir dan berbuat untuk melakukan sesuatu. Seorang pewirausaha memiliki sikap dan kepribadian sebagai berikut: rasa percaya diri, mandiri dalam mencari penghasilan dan keuntungan melalui aktivitasnya, berusaha secara terus-menerus berusaha untuk menemukan peluang-peluang usaha yang menguntungkan, bekerja keras serta tekun dalam menghasilkan sesuatu, selalu mencoba cara kerja yang tepat dan efisien, berkomunikasi dan berinteraksi dengan pelanggan untuk kemajuan usahanya, menghadapi hidup dengan terencana, jujur, hemat diri, disiplin, mencintai dan melindungi kegiatan usahanya, meningkatkan kapasitas diri sendiri dan usahanya dengan memanfaatkan dan memotivasi orang lain untuk memajukan usahanya, bersinergi lingkungan dengan hubungan saling menguntungkan, membuat jaringan untuk mengembangkan usahanya.
Sementara itu, Timmon dalam Kurtako dan Hotgetts (2000:17), bahwa kewirausahaan merupakan kemampuan membuat dan membangun visi dari sesuatu yang seolah-olah tidak sesuai, tidak kreatif, perhatian, prakarsa, dan analisisnya terhadap perkembangan sesuatu (situasi). Pendapat lain mengatakan bahwa kewirausahaan adalah suatu penciptaan nilai tambah dengan memperhitungkan resiko dari suatu peluang usaha dan memobilisasi sumber-sumber daya dengan kemampuan manajemen untuk mencapai tujuan (Kao, 1999; Yusri, 2005:23). Lebih lanjut ditegaskan bahwa kewirausahaan berkaitan dengan seluruh aktivitas manusia yang bersifat eksternal daripada kegiatan sosial. Oleh sebab itu, setiap orang yang memiliki keberanian wirausaha. Wirausahaan selalu mencari perubahan dengan melihat perubahan itu sebagai norma, sesuatu yang sehat, menanggapi dan memanfaatkan perubahan itu sebagai peluang (Ziglar, 1986; Drucker, 1998:55). Kini istilah kewirausahaan berkembang dan dipakai secara meluas dalam berbagai bidang pekerjaan, seperti: pertanian, perekayasaan, kedokteran, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya (Hisrich dan Peters, 1992).
Selanjutnya Kao (1995:55) memandang entrepreneur sebagai seorang motivator atau creator dalam penciptaan dan pemanfaatan peluang bisnis. Entrepreneur merupakan manajer yang kegiatannya tidak hanya berfikir untung-rugi bagi dirinya tetapi juga berusaha untuk memikirkan pengabdian dan mewujudkan dekatnya kepada masyarakat dan negara untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat atas kemampuannya sendiri, memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga semakin membaik, memperluas kesempatan kerja bagi rakyat banyak, berupaya mengakhiri ketergantungannya kepada pihak luar dan orang lain (Dariyatmo, 2007:34).
Selanjutnya Meredith (1998:76) secara spesifik melihat entrepreneur sebagai orang yang berhasil menikmati pekerjaan, dan berdedikasi penuh terhadap apa yang mereka lakukan, mengubah pekerjaan berat menjadi pekerjaan menggairahkan, menarik dan memberi kekuasaan. Lebih lanjut Meredith menambahkan bahwa wirausahaan adalah orang yang memiliki kemampuan melihat dan mengevaluasi peluang bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil keuntungan darinya dan mengambil tindakan secara tepat untuk meraih kesuksesan.
Karakteristik kewirausahaan merupakan potensi diri yang dimiliki seseorang berupa sikap mental yang dapat dikembangkan melalui pendidikan. Kao (1999:34), Meretith (1998) dan Inkeles (1995) mengemukakan bahwa manusia wirausaha memiliki entrepreneurial spirit tinggi, seperti: bermoral tinggi, optimistik, proaktif, kerja keras, kegigihan dan keuletan, kesungguhan, percaya diri, tekad bulat, achievement-oriented, bertanggung jawab, bersemangat (bergairah) dan humoris, berani memikul resiko, jujur-adil, motivasi dan jiwa bersaing tinggi, keorsinilan, keteladanan, task-and product-oriented, dan lainnya.
Selanjutnya Sumahamijaya (2000:19) mengemukakan bahwa kewirausahaan memiliki sifat-sifat: kemandirian, keutamaan, keteladanan dan semangat bersumber dari kekuatan sendiri, dan seseorang pendekar kemajuan baik kekaryaan pemerintahan, maupun dalam kegiatan apa saja di luar pemerintahan dalam artipositif yang menjadi pangkal keberhasilan seseorang. Demikian juga Sumanto (2002:21) bahwa kewirausahaan memiliki nilai keberanian, keutamaan dan kepercayaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan masalah hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri. Sedangkan Musselman dkk, (1997) mengatakan bahwa perilaku seorang pewirausaha tampak pada karakteristik seperti; strong desire to be independent, willingness to assume risks, ability learn from experience, self motivation, competive spirit, orientation to hard-work, self-confidence, achievement drive, highly energy level, assertiveness, belief self.
B. Strategi Perguruan Tinggi Mewujudkan Entrepreneurial Kampus
Perguruan tinggi sebagai salah satu pusat pembinaan dan pengembangan kewirausahaan ditetapkan melalui hasil pertemuan wilayah Asia dan Pasifik ‘’APEC’’ di Seatle sebagaimana salah satu agenda kesepakatan bahwa untuk membantu mempercepat pertumbuhan perekonomian di wilayah Asia dan Pasifik secara luas dan merata, perlu ada kerjasama ‘’tripartie’’ antara ‘’Government-Business-Universities’’, Sanusi (2005:77). Salah satu sasarannya adalah memajukan kewirausahaan. Sebagai implementasi dari ketiga lembaga tersebut secara fungsional mempunyai peranan yang bersifat komplementer dalam pembinaan dan pengembangan kewirausahaan masyarakat kampus dalam hal ini peranan perguruan tinggi dalam memotivasi lulusan sarjananya menjadi seorang wirausahawan muda sangat penting dalam menumbuhkan jumlah wirausahawan. Dengan meningkatnya wirausahawan dari kalangan sarjana akan mengurangi pertambahan jumlah pengangguran bahkan menambah jumlah lapangan pekerjaan.
Tugas perguruan tinggi yang termaktub dalam ‘’Tridharma’’ perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat merupakan jalur paling strategik dalam pembinaan dan pengembangan nilai-nilai kewirausahaan yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Melalui jalur pendidikan sasaran utamanya adalah menanamkan nilai-nilai kepribadian dan wawasan kewirausahaan kepada para mahasiswa melalui proses pembelajaran. Jalur penelitian merupakan jalur pengembangan inovasi kewirausahaan yang bermanfaat dalam peningkatan kualitas dan perluasan wilayah jangkauan kewirausahaan. Inovasi dalam kewirausahaan merupakan jiwa dari keberhasilan berwirausaha, karena inovasi merupakan proses nilai tambah dari waktu ke waktu sehingga memungkinkan suatu usaha akan selalu tampil berbeda baik dalam bentuk maupun kualitas dengan usaha lainnya. Pengabdian kepada masyarakat sebagai jalur pembinaan dan pengembangan kewirausahaan berimplikasi pada partisipasi langsung pihak perguruan tinggi melalui berbagai bentuk program pembinaan dan pengembangan kewirausahaan yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
Perguruan tinggi bertanggung jawab dalam mendidik dan memberikan kemampuan dalam melihat peluang bisnis serta mengelola bisnis tersebut serta memberikan motivasi untuk mempunyai keberanian menghadapi resiko bisnis. Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi para srjananya menjadi young enetrepreneurs merupakan bagian dari salah satu faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan.
Peranan perguruan tinggi dalam menyediakan suatu wadah yang memberikan kesempatan melalui usaha sejak masa kuliah diberikan sangatlah penting bisa pada saat masa kuliah berjalan, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana peranan perguruan tinggi dalam hal memotivasi mahasiswanya untuk bergabung dalam wadah tersebut. Karena tanpa memberikan gambaran secara jelas apa saja manfaat berwirausaha, maka besar kemungkinan para mahasiswa tida ada yang termotivasi untuk memperdalam keterampilan berbisnisnya.
Oleh karena itu, pihak perguruan tinggi juga perlu mengetahui faktor yang dominan memotivasi mahasiswa dalam berwirausaha. Hasil penelitian Yuliana (2012) menjelaskan, bahwa ada tiga faktor yang paling dominan dalam memotivasi sarjana menjadi wirausahawan yaitu faktor kesempatan, kebebasan dan kepuasan hidup. Ketiga faktor itulah yang membuat mereka menjadi wirausahawan.
Proses penyampaian ini harus sering dilakukan sehingga mahasiswa semakin termotivasi untuk memulai bersirausaha. Sebab banyak mahasiswa merasa takut menghadapi risiko bisnis yang, mungkin muncul yang membuat mereka membatalkan rencana bisnis sejak dini. Motivasi yang semakin besar, ada pada mahasiswa menyebabkan wadah yang disiapkan oleh pihak perguruan tinggi tidak sia-sia, melainkan akan melahirkan wirausahawan muda yang handal. Dengan semakin banyaknya mahasiswa memulai usaha sejak masa kuliah, maka besar kemungkinan setelah lulus akan melanjutkan usaha yang sudah dirintisnya. Sehingga semakin berkurangnya jumlah pengangguran di negeri kita, akan tetapi sebaliknya semakin bertambahnya jumlah lapangan pekerjaan yang dibuka. Selain motivasi mahasiswa juga perlu dibekali keterampilan agar mampu bersaing sehingga mampu bertahan dan tidak mudah putus asa apabila terjadi kegagalan.
Menurut Hopson dan Scaly (1990:56-61) mencatat empat macam keterampilan pemberdayaan diri sebagai keterampilan hidup (life skills), pertama keterampilan untuk hidup dan berkembang secara umum. Keterampilan ini meliputi:
1. Keterampilan membaca, menulis, dan berhitung.
2. Keterampilan mencari informasi dan sumber informasi.
3. Keterampilan berfikir secara proaktif dan memecahkan masalah secara konstruktif.
4. Keterampilan mengenal potensi kreatif dan mengembangkannya.
5. Keterampilan mengelola dan memanfaatkan waktu secara efektif dan optimal dengan membuat komitmen dan prioritas kekinian.
6. Keterampilan mengidentifikasi minat, nilai-nilai dan keyakinan pribadi.
7. Keterampilan menetapkan dan mencapai tujuan.
8. Keterampilan membuat persediaan antisipasi untuk menangkal masa-masa krisis dan transisi.
9. Keterampilan membangun konsepsi diri secara positif dengan mempertimbangkan kekuatan diri kekuatan orang lain.
10. Keterampilan membuat keputusan.
11. Keterampilan manajemen stress (gangguan jiwa) dan emosi negatif lainnya (rendah diri, marah, bohong, takut, cemas, dan lain-lain), dan
12. Keterampilan memelihara kebugaran mental dan fisik.
Kedua, keterampilan membangun relasi Aku-Engkau yang dibedakan atas lima keterampilan, yaitu:
1. Keterampilan berkomunikasi secara efektif, baik verbal-nonverbal, maupun secara face-to face, atau melalui media lain, seperti surat, telpon, untuk menjalin relasi dan kerjasama dengan orang lain baik untuk mencari pekerjaan, mendirikan usaha, maupun silaturahmi sebagai makhluk sosial. Komunikasi merupakan jiwa kehidupan.
2. Keterampilan membangun hubungan, memelihara dan mengakhiri hubungan.
3. Keterampilan memberi dan mendapatkan bantuan. Memberi dapat membangkitkan rasa percaya diri dan meminta bantuan kepada orang lain untuk bekerja sama adalah memberdayakan.
4. Keterampilan memenij konflik. Konflik merupakan bagian integral dari kehidupan berkarya dan tidak sedikit menimbulkan depresi yang destruktif. Namun konflik dapat diatasi melalui brain-storming dengan mengkomunikasikan secara jelas dan terbuka kepada pihak lain, dan
5. Keterampilan memberi dan menerima imbalan dengan perasaan utuh. Pikirkan diri anda seperti orang lain memikirkan diri anda. Dalam arti pihak pemberi dan penerima keduanya merasa puas.
Ketiga, keterampilan membangun relasi Aku-Orang lain, meliputi sebagai berikut:
1. Keterampilan bersikap tegas dengan tetap berada dalam koridor menghormati hak-hak dan martabat orang lain.
2. Keterampilan mengetahui cara kerja yang bersinergi dengan masyarakat dan sistem sosial yang ada dengan strategi memanfaatkan peluang untuk meraih sukses tanpa mengganggu hak-hak orang lain.
3. Keterampilan melakukan kerja sama dalam kelompok dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat. Kehidupan bekerja sama bilateral dan multilateral (human organizational) merupakan karaktersitik kehidupan manusia modern. Orang yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain sulit akan berhasil.
4. Keterampilan mengekspresikan perasaan konstruktif (tidak priori, tenggang rasa, familiar, tidak sombong, lugas dan sebagainya) sehingga orang lain dapat menilai positif.
5. Keterampilan bernegosiasi, berkompromi, dan membuat kontrak komitmen untuk mengatasi perbedaan kepentingan. Kontrak komitmen yang jelas dimana ekspektasi dibagi, batas keterikatan diklarifikasi hubungan antar manusia.
6. Keterampilan membangun power dalam sistem sosial yang ada melalui pemberdayaan.
Keempat, keterampilan membangun relasi dalam situasi tertentu yang meliputi sebagai berikut:
1. Dalam dunia pendidikan, keterampilan mencari pilihan life skills untuk dipelajari dengan menemukan peluang dan informasi yang relevan.
2. Dalam dunia kerja, keterampilan mencari untuk menemukan opsi profesi yang terbuka, mendapatkan suatu pekerjaan, memelihara pekerjaan yang ada, beralih profesi, dan mengatasi unemployment dengan membangun keterampilan tertentu untuk mengubah profesi sebagai karir, hidup, keterampilan memelihara keberlangsungan profesi agar tetap menjadi karir hidup yang memberi jaminan kesejahteraan secara psikis dan material.
3. Di rumah, keterampilan memilih suatu gaya hidup tertentu dan memeliharanya agar secara konsisten tetap langgeng sampai hari tua sebagai pola hidup keluarga, keterampilan hidup bersama secara rukun teraktualisasi pada cara menegur, menyapa, mengambil keputusan, berkompromi, memecahkan masalah, penguatan gizi, bernegosiasi dalam keluarga dan orang lain, dan sebagainya, dan
4. Di masyarakat, keterampilan membangun kontrak sosial agar diterima sebagai anggota masyarakat (adaptasi kultur, tradisi, adat-istiadat), keterampilan mengubah pola pikir konstruktif (orientasi ke masa depan, rasional, adil, jujur, teladan, terbuka, familiar, sederhana, santun, membebaskan diri dari iri, dengki, kepedulian sosial) dan keterampilan memanfaatkan dan membudidayakan potensi sumber daya yang ada di masyarakat sebagai peluang berwirausaha bagi generasi muda yang dipersiapkan melalui pendidikan dan pelatihan.
Strategi yang dapat diimplementasikan oleh perguruan tinggi dalam menumbuhkan geliat entrepreneurship di perguruan tinggi, yaitu:
1. Menyusun Kurikulum. Dalam merumuskan sistem atau metode pembelajaran dan pelatihan kewirausahaan perguruan tinggi harus dengan sungguh-sungguh mendesain mata kuliah atau materi kewirausahaan untuk mahasiswanya, dimulai dari pembuatan silabus, satuan acara pengajaran (SAP), slide presentasi, modul teori, modul praktikum atau praktek, pembuatan buku panduan, dan lain-lain. Rumusan itu tentunya harus dikerjakan oleh sebuah tim yang benar-benar expert dan experience di berbagai bidang keilmuan. Yang kurang diperhatikan oleh perguruan tinggi dalam merumuskan kurikulum ini adalah tidak/kurangnya mengikutsertakan akademisi non ekonomi dan praktisi/pelaku usaha serta motivator entrepreneurship di dalam team menyusun, sehingga mata kuliah/materi yang diberikan tidak/kurang berkualitas. Hal ini penting dilakukan mengingat kolaborasi antara akademisi, praktisi dan motivator akan menghasilkan konsep dan gagasan kewirausahaan yang tepat dan sesuai untuk mahasiswa dari berbagai disiplin keilmuan. Menyusun kurikulum entrepreneurship, tidak serta merta menjadikan entrepreneurship sebagai mata kuliah tersendiri, namun bisa saja muatan entrepreneurship ini dimasukkan ke dalam sebagian/seluruh mata kuliah.
2. Peningkatan SDM Dosen. Setidaknya perguruan tinggi harus mempersiapkan SDM dosen yang mampu ‘’5M’’ sebagai berikut: (1) mampu memberikan paradigma baru tentang pentingnya kewirausahaan; (2) mampu merubah/mengarahkan mindset mahasiswa menjadi seorang yang berjiwa entrepreneurship; (3) mampu menginspirasi dan memotivasi mahasiswa menjadi SDM yang mandiri; (4) mampu memberikan contoh karya nyata kewirausahaan (barang/jasa) dan menyuguhkan success story; (5) mampu menghasilkan SDM mahasiswa/alumni menjadi seorang intrapreneur atau entrepreneur sukses. Program peningkatan SDM dosen ini dapat melalui berbagai cara di antaranya melalui ‘’5P’’, sebagai berikut (1) Program Short course entrepreneurship (program pelatihan kewirausahaan untuk dosen), (2) Program seminar/workshop/lokakarya entrepreneurship, (3) program pemagangan dosen di dunia usaha, (4) program sarasehan dengan mitra usaha/dunia usaha (5) program pembinaan/pendampingan dosen baru.
3. Membentuk Entrepreneurship Center (baik institusi kampus ataupun berupa organisasi kemahasiswaan)
4. Kerjasama dengan Dunia Usaha. Hal ini penting dilakukjan oleh perguruan tinggi dalam rangka tiga tujuan, yaitu; (1) meningkatkan kualitas SDM dosen dan mahasiswa, (2) membuka peluang magang usaha bagi dosen dan mahasiswa, (3) membuka peluang kerjasama usaha khususnya untuk mahasiswa/alumni. Dengan program kerjasama ini diharapkan mahasiswa terutama dapat menganalisa dan mengamati bentuk usaha nyata sehingga mempunyai gambaran ketika kelak berwirausaha.
5. Membentuk Unit Usaha untuk mahasiswa. Salah satu kesungguhan perguruan tinggi dalam mewujudkan mahasiswanya untuk menjadi seorang entrepreneurship adalah perlu membentuk beberapa unit usaha bagi dosen dan mahasiswa, apapun jenis usahanya tentu harus sesuai dengan kesepakatan antara mahasiswa dengan institusi kampus. Unit-unit usaha yang dibentuk ini dapat dijadikan sebagai salah satu pengalaman berharga bagi mahasiswa sebelum terjun membuka usaha secara mandiri.
6. Kerjasama dengan Institusi Keuangan (perbankan/non perbankan). Untuk mewujudkan mahasiswa/alumninya sebagai seorang entrepreneur, perguruan tinggi berkewajiban memberikan kemudahan bagi mahasiswanya dalam membuka usaha, salah satunya adalah dengan cara menjadi fasilitator dan mediator antara mahasiswa dengan dunia keuangan (perbankan/non perbankan) dalam hal kemudahan kredit usaha bagi mahasiswa. Kerjasama ini dapat menjadi trigger bagi mahasiswa untuk menjadi entrepreneur muda. Tidak sedikit dari mahasiswa berkeinginan untuk berwirausaha namun kendala dengan modal (dana). Kerjasama inilah yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi.
7. Entrepreneurship Award. Salah satu pemicu meningkatnya semangat kewirausahaan dari mahasiswa adalah dilaksanakannya secara rutin perlombaan/kejuaraan kewirausahaan. Perlombaan kewirausahaan mahasiswa dengan memberikan award bagi mahasiswa juga dapat menjadi salah satu langkah perguruan tinggi dalam meningkatkan minat wirausaha mahasiswa. Perlombaan ini dapat berupa bussines plan atau entrepreneurship expo.
Beberapa Strategi Perguruan Tinggi Mewujudkan Entrepreneurial kampus di atas apabila diimplementasikan dengan serius dan sungguh-sungguh maka akan banyak lahir entrepreneur-entrepreneur sukses negeri ini yang mampu meningkatkan ekonomi kerakyatan dan pergerakan pasar lokal sehingga tercipta peluang pekerjaan bagi generasi muda yang pada akhirnya mampu menjadi bangsa mandiri yang tidak banyak tergantung pada negara asing.
III. Kesimpulan
A. Perguruan tinggi sebagai salah satu mediator dan fasilitator terdepan dalam membangun generasi muda bangsa mempunyai kewajiban dalam mengajarkan, mendidik, melatih dan meotivasi mahasiswanya sehingga generasi cerdas yang mandiri, kreatif, inovatif dan mampu menciptakan berbagai peluang pekerjaan (usaha). Untuk itu sebuah keharusan bagi setiap perguruan tinggi segera merubah arah kebijakan perguruan tingginya dari High Learning University and Research University menjadi Entrepreneurial University atau menyeimbangkan kedua arah kebijakan tersebut sehingga arah kebijakan keduanya tercapai baik yang bersifat High Learning University and Research University maupun yang bersifat Entreprineurial University. Dengan paradigm change tersebut pada akhirnya akan melahirkan entrepreneur-entrepreneur muda sukses layaknya ‘’pahlawan-pahlawan muda’’ yang mampu membangkitkan bangsa ini dari berbagai keterpurukan.
B. Untuk melahirkan entrepreneur-entrepreneur muda sukses tersebut diperlukan kesungguhan dan keseriusan dari perguruan tinggi dalam mengemban misi entrepreneurial campus. Program-program kewirausahaan perlu dijalankan oleh berbagai perguruan tinggi khususnya di Indonesia, patut kiranya dijadikan sebagai teladan dalam memulai memfokuskan perguruan tinggi dalam melahirkan entrepreneur-entrepreneur muda sukses.
C. Pembinaan dan pengembangan sikap mental kewirausahaan di lingkungan masyarakat kampus melalui program pengembangan kewirausahaan untuk menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan pada para mahasiswa dan juga staf pengajar diharapkan menjadi wahana pengintegrasian secara sinergi antara penguasaan sains dan teknologi dengan jiwa kewirausahaan. Selain itu diharapkan pula hasil-hasil penelitian dan pengembangan tidak hanya bernilai akademis saja, namun mempunyai nilai tambah bagi kemandirian perekonomian bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Dariyatmo. 2007. Peranan Wiraswasta sebagai Unsur ketahanan Nasional: Sistem Pendidikan dan Pengembangan Kewiraswastaan Indonesia. Jakarta.
Drucker. P.E. 1994. Innovation and Entrepreneurship: Practice and Principles. New York: Harper Business.
Hopson B. & Scaly M. 1990. Life-Skills Teaching. New York: McGraw-Hill.
Inkeles. P. & Smith D.H. 1995. Becoming Modern: Individual Change in Six Developed Countries. Maaschustt: Harvard University Press.
McClelland. 1998. The Achievement Motive. New York: Publishing.
Kao. J.J. 1999. The Entrepreneur. New Jersey: Englewood Clifft-Prentice-Hall.
Kurtako. D.F & Hodgettt. R.M. 2000. Entrepreneurship: A Canteporary Approach. San Fransisco: The Dryden Press.
Kuswara Heri. 2012. Mewujudkan Entrepreneurial Campus adalah sebuah Keharusan. Tersedia: www.dikti.go.id (diakses 23 Februari 2014).
Meredith. G.G. dkk. 1998. Kewirausahaan: Teori dan Praktek. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Mussieman. V.A. & Jackson. LK. 1997. Introduction to Modern Business. New Jersey: Prentice-Hall.
Sanusi, A. 2005. Pendidikan Alternatif Menyentuh Atas Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan. Program Pascasarjana UPI Bandung.
Sumahamijaya, S. 2000. Membina Sikap Mental Wirausaha. Jakarta: Gunung Agung.
Yuliana Lia. 2012`. Peranan Perguruan Tinggi Dalam Mengembangkan Sikap Mental Kewirausahaan Mahasiswa. Tersedia: www.uny.ac.id (diakses 23 Februari 2014).
Yusri. 2005. Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan Pada Siswa STM. Disertasi, PPS-UPI: Tidak Diterbitkan.
Ziglar, z. 1998. Top Performance. New York: Berkeley Books.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar