Sebagai masyarakat muslim kita merasa prihatin dengan kondisi saudara kita yang kurang beruntung yang menderita kemiskinan dan hidup di bawah garis kemiskinan. Kita juga lebih prihatin pada sebagian masyarakat muslim yang serba berkecukupan, hidup dengan kemewahan, namun belum memiliki kepedulian terhadap kaum lemah, fakir miskin. Bahkan tidak jarang mereka justru menampakkan sikap menutup diri dari kondisi lingkungannya dan tidak memiliki kepedulian sosial terhadap kaum yang lemah.
Fenomena seperti ini sudah saatnya mengundang kepekaaan kita agar secara dini dapat dinormalkan. Hal ini tentu saja dengan mensosialisasikan secara aktif konsep zakat dan sedekah dalam bingkai kajian ilmiah maupun keteladanan langsung. Untuk membangkitkan kesadaran social berupa zakat dan sedekah ini, terlebih daulu saya ingin mengajak untuk menyelami diri kita masing-masing, sebagai introspeksi, apakah kita termasuk muslim yang memiliki kesadaran beragama secara sungguh-sungguh atau belum dan kita termasuk kalangan yang senantiasa mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum ataukah sebaliknya.
Secara fitrah manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang cinta terhadap wanita, harta benda atau kekuasaan serta segala hal yang menjadi perhiasan dunia. Sebagaimana terungkap dalam firman Allah swt:
Artinya: ‘’Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintan kepada apa-apa yang dinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)’’. (Q.S. Ali Imran:14)
Motivasi dasar sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut, tentu saja merangsang manusia untuk dapat memiliki, dengan segala upaya yang bisa ditempuh. Pada kondisi semacam ini, manusia harus diberi penyeimbang agar kecintaan itu tidak membabi buta dan mengakibatkan kerugian pada dirinya. Maka sangat tepat konsep Islam yang menyatakan bahwa semuanya itu tidak lebih merupakan kesenangan duniawi. Sementara kesenangan duniawi hanyalah kesenangan yang serba terbatas, mengandung resiko tanggung jawab dan penuh dengan tipuan belaka. Terbatas dalam arti hanya bisa dinikmati dalam sementara watu, tempat, maupun kesementaraan kondisi. Selebihnya akan musnah tertelan oleh usia manusia itu sendiri. Kesenangan itu juga mengandung resiko karena akan dimintakan pertanggungjawaban, mulai dari cara memperolehnya sampai kepada cara penggunaannya.
Dari ayat tersebut, manusia diarahkan agar tidak menjadikan harta benda sebagai segala-galanya. Jangan sampai menjadikan harta benda sebagai target pencapaian dan tujuan hidup (way of live), bukan menjadikannya sebagai sarana untuk mengabdikan diri kepada Allah swt. Allah swt mengingatkan manusia bahwa sandaran terbaik bagi manusia adalah Allah Yang Maha Bijaksana. Dia-lah tempat kembali bagi semua manusia dan di sisi-Nya-lah tempat kembali yang terbaik, yaitu surga.
Dalam realitasnya, tidak semua orang yang berusaha dan bekerja mendapatkan kemudahan dalam meperoleh harta. Ada yang diberi kemudahan untuk mendapatkannya dan ada pula yang terhalang untuk mendapatkannya. Ada yang kuat dan kaya raya dan ada pula yang miskin, lemah dan tak berdaya. Islam sebagai agama memberikan ajaran sosial bagi pemeluknya. Bagi sementara orang yang berkecukupan dan kaya raya, hendaklah memiliki kepedulian terhadap orang-orang fakir miskin dan orang-orang lemah yang tidak berdaya. Karena kekayaan yang diperolehnya itu adalah atas anugerah Allah swt. Dan atas bantuan yang lainnya. Allah swt telah menetapkan bagi mereka hak tertentu yang berada dalam harta orang-orang yang kaya, suatu bagian yang tetap dan pasti, yang tertuang dalam konsep zakat.
Zakat sebagai suatu keharusan atas umat Islam jika sudah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Sedangkan sedekah sebagai wujud keterpanggilan atas keharusan sosial sebagai makhluk sosial yang di dalam hidupnya tidak bisa lepas dari uluran pihak lain. Allah swt. Berfirman:
Artinya: ‘’Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’’. (QS. At Taubah: 103).
Imam Suyuthi memberikan sebuah penafsiran, bahwa tuthahhirhum (mensucikan) berarti menjadi penyebab kesucian mereka dari kotoran sifat bakhil dan kotoran yang berupa dosa-dosa. Sedangkan watuzakkiihim bihaa (membersihkan dengan zakat), berarti menjadikan baik serta menambah kebajikan dan jumlah harta mereka. Zakat dan sedekah dapat membersihkan diri dari penyakit-penyakit rohani, dan akan memberikan dampak yang baik atas manusia itu sendiri baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun penambahan jumlah harta mereka.
Harta benda yang telah mencapai batas-batas tertentu yang tidak dibayarkan zakatnya, menjadi bercampur dengan ak fakir miskin. Artinya, akan membawa dampak moral yang serius bagi diri yang bersangkutan, lantaran harta benda yang dupergunakannya itu masih belum bersih dan masih bercampur dengan hak-hak mereka. Dengan kata lain, bila harta itu dimakan dan diperlukan untuk keperluannya, berarti ia merampas hak mereka yang masih bercampur dengan hartanya. Allah swt berfirman:
Artinya: ‘’Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian darai apa yang kamu keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji’’.
Ayat tersebut memberikan arahan dan petunjuk kepada kita agar ketika kita berzakat dan berinfak dan bersedekah jangan sampai dipilihkan yang buruk-buruk yang sesungguhnya kita sendiri sudah tidak menyukainya. Tetapi hendaklah kita bisa memberikan yang baik-baik yang kita sendiri juga menyukainya. Karena yang demikianlah yang lebih utama. Perhatikan pula firman Allah swt, dalam ayat berikut ini.
Artinya: ‘’Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya’’.
Hal tersebut penting untuk kita mengerti, karena kecintaan kepada harta benda mengandung bahaya yang besar bagi manusia. Kecintaan tersebut akan mendorong nafsu untuk serakah, bakhil, menghalalkan segala cara, lupa diri dan sifat-sifat tercela lainnya. Sehingga dengan begitu Islam memberikan pengajaran moral berupa zakat dan sedekah, sebagai usaha untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak pada akibat buruk yang menyengsarakan. Di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam surat At Taubah, ayat 34-35, yang artinya: ‘’Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari itu dipanaskan emas dan perak (tersebut) di dalam neraka Jahannam, lalu dengannya dibakar dahi, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’’. (QS. At Taubah: 34-35)
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Thabrani, Nabi saw bersabda:
Artinya: ‘’Orang yang menahan zakat (tidak mau berzakat) pada hari kiamat kelak berada di dalam neraka’’. (HR. Thabrani)
Mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan petunjuk kepada kita, kita menjadi muzakky, gemar berinfak dan bersedekah, sehingga kita selalu dalam keridhaan-Nya bahagia hidup di dunia, utamanya kelak di akhirat, amin.
Penulis: Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Pembantu Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan
Kamis, 02 September 2010
Minggu, 15 Agustus 2010
KEMERDEKAAN DAN NILAI NASIONALISME Oleh: H. Endang Komara
Upacara Bendera 17 Agustus berjalan dengan hidmat, berkumandangnya lagu Indonesia Raya, detik-detik Proklamasi, gelora salam merdeka, derap langkah nasionalisme, renungan jasa para pahlawan, tabur bunga di makam pahlawan, berkobarnya semangat persatuan, panjat pinang, lomba makan kerupuk, perlombaan olah raga, serta berbagai kegiatan dalam mengisi hari kemerdekaan Indonesia yang ke-65.
Makna kemerdekaan adalah terwujudnya mimpi membangun bersama NKRI untuk kesejahteraan rakyat. Menjaga keamanan seluruh warga dalam lindungan sistem hukum yang adil dan kokoh. Bukan personifikasi kekuasaan individual ke dalam sistem seperti terjadi di wilayah yudikatif dan eksekutif, atau rancangan sikut-menyikut di legislatif. Diperlukan keinsyafan massal tentang pentingnya kesadaran bersama dalam mengelola seluruh potensi bangsa.
Makna kemerdekaan dalam kerangka demokrasi masih bisa menerima segala hiruk pikuk persaingan para elit untuk menjadi pengelola negara, namun semua itu dalam kepatuhan terhadap aturan main. Yang lebih penting lagi adalah keseriusan serta keberanian dalam menempuh jalan pembangunan yang akan berdampak luas dan positif bagi bangsa Indonesia. Segala perdebatan harus dilaksanakan dalam semangat persatuan dan pada saatnya harus berhenti, para pihak harus mengerti dan mampu menerima secara legowo. Meskipun dendam dan sakit hati itu adalah sifat manusiawi, namun bila kebenaran sedang membimbing Indonesia Raya, kita patut mendukungnya. Sebaliknya bila kegelapan sedang berkuasa kita juga wajib menempuh langkah nyata untuk meneranginya.
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris ‘’nation’’) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa ‘’kebenaran politik’’ (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu ‘’identitas budaya’’, debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat atau gabungan kedua teori itu.
Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasananya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.
Beberapa bentuk dari nasionalisme
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai bagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang popular berdasarkan pendapat warganya, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagiaan atau semua elemen tersebut. Pertama, nasionalisme kewarganegaraan (nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, kehendak rakyat dan perwakilan politik. Kedua, nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal etnis sebuah masyarakat. Ketiga, nasionalisme romantik (nasionalisme organik/nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis di mana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi (organik) hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung pada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Keempat, nasioalisme budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya sifat keturunan seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Kelima, nasionalisme kenegaraan, ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggraan sebuah ‘nasional state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Keenam, nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.
Berdasarkan penjelasan di atas maka nilai-nilai nasionalisme yang perlu dikembangkan pasca memperingati Kemerdekaannya yang Ke-65 yaitu, pertama menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri. Kedua, menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan sebaik-baiknya. Ketiga, menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya. Keempat, mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Kelima, selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi dan sosial budaya bangsa.
Dirgahayu Republik Indonesia Ke-65, mudah-mudahan Negara tercita ini lebih maju dalam berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya dapat berdiri di atas kaki sendiri dan sejajar dengan bangsa dan negara lain. Semoga!
Penulis: Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Dosen Pascasarjana STKIP Pasundan
Makna kemerdekaan adalah terwujudnya mimpi membangun bersama NKRI untuk kesejahteraan rakyat. Menjaga keamanan seluruh warga dalam lindungan sistem hukum yang adil dan kokoh. Bukan personifikasi kekuasaan individual ke dalam sistem seperti terjadi di wilayah yudikatif dan eksekutif, atau rancangan sikut-menyikut di legislatif. Diperlukan keinsyafan massal tentang pentingnya kesadaran bersama dalam mengelola seluruh potensi bangsa.
Makna kemerdekaan dalam kerangka demokrasi masih bisa menerima segala hiruk pikuk persaingan para elit untuk menjadi pengelola negara, namun semua itu dalam kepatuhan terhadap aturan main. Yang lebih penting lagi adalah keseriusan serta keberanian dalam menempuh jalan pembangunan yang akan berdampak luas dan positif bagi bangsa Indonesia. Segala perdebatan harus dilaksanakan dalam semangat persatuan dan pada saatnya harus berhenti, para pihak harus mengerti dan mampu menerima secara legowo. Meskipun dendam dan sakit hati itu adalah sifat manusiawi, namun bila kebenaran sedang membimbing Indonesia Raya, kita patut mendukungnya. Sebaliknya bila kegelapan sedang berkuasa kita juga wajib menempuh langkah nyata untuk meneranginya.
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris ‘’nation’’) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa ‘’kebenaran politik’’ (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu ‘’identitas budaya’’, debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat atau gabungan kedua teori itu.
Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasananya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.
Beberapa bentuk dari nasionalisme
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai bagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang popular berdasarkan pendapat warganya, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagiaan atau semua elemen tersebut. Pertama, nasionalisme kewarganegaraan (nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, kehendak rakyat dan perwakilan politik. Kedua, nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal etnis sebuah masyarakat. Ketiga, nasionalisme romantik (nasionalisme organik/nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis di mana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi (organik) hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung pada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Keempat, nasioalisme budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya sifat keturunan seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Kelima, nasionalisme kenegaraan, ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggraan sebuah ‘nasional state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Keenam, nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.
Berdasarkan penjelasan di atas maka nilai-nilai nasionalisme yang perlu dikembangkan pasca memperingati Kemerdekaannya yang Ke-65 yaitu, pertama menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri. Kedua, menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan sebaik-baiknya. Ketiga, menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya. Keempat, mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Kelima, selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi dan sosial budaya bangsa.
Dirgahayu Republik Indonesia Ke-65, mudah-mudahan Negara tercita ini lebih maju dalam berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya dapat berdiri di atas kaki sendiri dan sejajar dengan bangsa dan negara lain. Semoga!
Penulis: Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Dosen Pascasarjana STKIP Pasundan
Kamis, 12 Agustus 2010
RAMADHAN MEMBENTUK BERBUDI LUHUR Oleh: H. Endang Komara
Bulan Ramadhan 1431 H. yang tengah kita hadapi bersama merupakan bulan penekan hawa nafsu yakni dengan melakukan ibadah puasa dengan semua ketentuannya merupakan latihan jasmani dan rohani yang menghendaki kesadaran dan ketaatan kaum muslimin; sadar akan hikmat yang terkandung di dalamnya serta taat akan semua ketentuannya meskipun dengan penderitaan/cobaan yang sangat berat.
Sebab kenyataan yang kita jumpai dalam melakukan ibadah puasa banyak penderitaan yang kita rasakan, baik jasmani maupun rohani; penderitaan jasmani yang kita rasakan ialah lemahnya tenaga karena lapar dan haus, yang semua itu dapat menyebabkan kurangnya gairah kerja. Begitu pula rohani kita melaksanakan penderitaan karena terpaksa harus menekan syahwat yang tiba-tiba menyelinap dalam hati disaat berhadapan dengan istri pada saat kita perpuasa, yakni pada waktu siang. Padahal yang demikian adalah tuntutan jiwa yang wajar bagi setiap makhluk hidup serta normal. Akan tetapi penderitaan-penderitaan itu bukanlah beban yang berat manakala seseorang telah benar-benar tumbuh kesadaran serta ketaatannya. Jika sudah demikian keadaan seseorang maka termasuklah ia dalam golongan orang-orang yang bertqwa. Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Albaqarah: 183 yang artinya: ‘’Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertqwa.’’ (Al Baqarah: 183).
Allah swt adalah Maha Bijaksana, sehingga betapapun beratnya suatu kewajiban atas hamba-Nya sudah barang tentu Allah memberikan keringanan atau rukhshah bagi orang-orang tertentu seperti musafir (orang yang sedang bepergian), orang-orang tua yang sudah tidak kuat melakukannya, orang-orang yang sakit dan membahayakan terhadap keselamatan dirinya dan lain-lainnya yang telah ditetapkan oleh syara. Rukhshah itupun berlaku bagi orang-orang yang melakukan puasa, yakni bagi mereka yang tidak sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang dapat membatalkan puasa. Rasulullah bersabda, yang artinya: ‘’Barangsiapa berbuka (makan/minum) padahal itu puasa Ramadhan, karena lupa, maka tiada qadla dan kifarat baginya.’’ Yang demikian menunjukkan bahwa ibadah puasa merupakan ibadah sirri yang hanya Allah-lah yang berhak menilai kebenaran puasa seseorang.
Kesitimewaan lain bagi orang yang berpuasa sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw dari Riawayat Abu Hurairah, yang artinya: ‘’Barangsiapa yang melakukan puasa pada bulan Ramdhan penuh keutamaan bagi mereka yang melakukannya, terutama pahala yang diperoleh. Oleh sebab itu berbahagialah kita saat ini berada di dalam bulan Ramadhan dan mengerjakan puasa. Marilah kita laksanakan kewajiban puasa Ramadhan ini, karena iman dan mengharap ridha Allah semata; kita tingkatkan ibadah, shadaqah dan amal-amal shaleh, agar kita termasuk golongan orang-orang beruntung di dunia dan di akhirat.
Keuntungan pahala seorang hamba yang melakukan ibadah puasa Ramadhan sangat besar, melebihi pahala amal kebajikan yang lain. Dalam hadist Qudsi Allah swt berfirman, yang artinya: ‘’Semua kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipat gandakan pahalanya antara sepuluh sampai tujuh ratus kali kecuali puasa; maka sesungguhnya puasa itu adalah hak-Ku dan Aku akan memberinya pahala menurut kehendak-Ku.’’ Maka lebih dari itu, puasa oleh Rasulullah saw dianggap sebagai perisai yang dapat membentengi seseorang dari api neraka selama puasa itu tidak dirusak dengan perkataan dusta dan menggunjing. Rasulullah saw bersabda yang artinya: ‘’Berapa banyak orang-orang yang berpuasa, akan tetapi tiadalah ia menerima pahala dari puasanya melainkan hanya lapar dan dahaga.’’
Adapun hal-hal yang merusak puasa antara lain Rasulullah saw bersabda yang artinya: ‘’Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan palsu, maka Allah tidak membutuhkan puasanya, yakni meninggalkan makan dan minumnya.’’ Akhirya marilah kita isi bulan Ramadhan ini dengan ibadah dan amal-amal shaleh, sebagai pembuktian iman dan taqwa kepada Allah swt. Semoga dengan iman dan taqwa Allah memberikan pahala sebagai balasan yag dijanjikan kepada para hamba-Nya, baik yang dapat kira rasakan di dunia maupun kelak di akhirat. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al-Ar’raf:96 yag artinya: ‘’ Apabila penduduk kota-kota beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, naka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.’’
Mudah-mudahan pada bulan Ramadhan ini senantiasa kita dapat mempergunakan waktu sebaik mungkin seperti memperbanyak membaca Al Qur’an, shalat tarawih, berzakat baik firah maupun maal, shadaqoh, berbuat kebaikan serta menjaga puasa kita dengan tidak melakukan perkataan yang bukan-bukan, ucapan dusta dan celaan pada kehormatan orang lain. Sehingga akhirnya kita tergolong orang-orang yang mutaqin serta kita diberikan kesempatan pada Ramadhan-Ramadhan berikutnya, Amin ya Robala’lamin.
(Penulis, Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Pembantu Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan)
Sebab kenyataan yang kita jumpai dalam melakukan ibadah puasa banyak penderitaan yang kita rasakan, baik jasmani maupun rohani; penderitaan jasmani yang kita rasakan ialah lemahnya tenaga karena lapar dan haus, yang semua itu dapat menyebabkan kurangnya gairah kerja. Begitu pula rohani kita melaksanakan penderitaan karena terpaksa harus menekan syahwat yang tiba-tiba menyelinap dalam hati disaat berhadapan dengan istri pada saat kita perpuasa, yakni pada waktu siang. Padahal yang demikian adalah tuntutan jiwa yang wajar bagi setiap makhluk hidup serta normal. Akan tetapi penderitaan-penderitaan itu bukanlah beban yang berat manakala seseorang telah benar-benar tumbuh kesadaran serta ketaatannya. Jika sudah demikian keadaan seseorang maka termasuklah ia dalam golongan orang-orang yang bertqwa. Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Albaqarah: 183 yang artinya: ‘’Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertqwa.’’ (Al Baqarah: 183).
Allah swt adalah Maha Bijaksana, sehingga betapapun beratnya suatu kewajiban atas hamba-Nya sudah barang tentu Allah memberikan keringanan atau rukhshah bagi orang-orang tertentu seperti musafir (orang yang sedang bepergian), orang-orang tua yang sudah tidak kuat melakukannya, orang-orang yang sakit dan membahayakan terhadap keselamatan dirinya dan lain-lainnya yang telah ditetapkan oleh syara. Rukhshah itupun berlaku bagi orang-orang yang melakukan puasa, yakni bagi mereka yang tidak sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang dapat membatalkan puasa. Rasulullah bersabda, yang artinya: ‘’Barangsiapa berbuka (makan/minum) padahal itu puasa Ramadhan, karena lupa, maka tiada qadla dan kifarat baginya.’’ Yang demikian menunjukkan bahwa ibadah puasa merupakan ibadah sirri yang hanya Allah-lah yang berhak menilai kebenaran puasa seseorang.
Kesitimewaan lain bagi orang yang berpuasa sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw dari Riawayat Abu Hurairah, yang artinya: ‘’Barangsiapa yang melakukan puasa pada bulan Ramdhan penuh keutamaan bagi mereka yang melakukannya, terutama pahala yang diperoleh. Oleh sebab itu berbahagialah kita saat ini berada di dalam bulan Ramadhan dan mengerjakan puasa. Marilah kita laksanakan kewajiban puasa Ramadhan ini, karena iman dan mengharap ridha Allah semata; kita tingkatkan ibadah, shadaqah dan amal-amal shaleh, agar kita termasuk golongan orang-orang beruntung di dunia dan di akhirat.
Keuntungan pahala seorang hamba yang melakukan ibadah puasa Ramadhan sangat besar, melebihi pahala amal kebajikan yang lain. Dalam hadist Qudsi Allah swt berfirman, yang artinya: ‘’Semua kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipat gandakan pahalanya antara sepuluh sampai tujuh ratus kali kecuali puasa; maka sesungguhnya puasa itu adalah hak-Ku dan Aku akan memberinya pahala menurut kehendak-Ku.’’ Maka lebih dari itu, puasa oleh Rasulullah saw dianggap sebagai perisai yang dapat membentengi seseorang dari api neraka selama puasa itu tidak dirusak dengan perkataan dusta dan menggunjing. Rasulullah saw bersabda yang artinya: ‘’Berapa banyak orang-orang yang berpuasa, akan tetapi tiadalah ia menerima pahala dari puasanya melainkan hanya lapar dan dahaga.’’
Adapun hal-hal yang merusak puasa antara lain Rasulullah saw bersabda yang artinya: ‘’Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan palsu, maka Allah tidak membutuhkan puasanya, yakni meninggalkan makan dan minumnya.’’ Akhirya marilah kita isi bulan Ramadhan ini dengan ibadah dan amal-amal shaleh, sebagai pembuktian iman dan taqwa kepada Allah swt. Semoga dengan iman dan taqwa Allah memberikan pahala sebagai balasan yag dijanjikan kepada para hamba-Nya, baik yang dapat kira rasakan di dunia maupun kelak di akhirat. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al-Ar’raf:96 yag artinya: ‘’ Apabila penduduk kota-kota beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, naka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.’’
Mudah-mudahan pada bulan Ramadhan ini senantiasa kita dapat mempergunakan waktu sebaik mungkin seperti memperbanyak membaca Al Qur’an, shalat tarawih, berzakat baik firah maupun maal, shadaqoh, berbuat kebaikan serta menjaga puasa kita dengan tidak melakukan perkataan yang bukan-bukan, ucapan dusta dan celaan pada kehormatan orang lain. Sehingga akhirnya kita tergolong orang-orang yang mutaqin serta kita diberikan kesempatan pada Ramadhan-Ramadhan berikutnya, Amin ya Robala’lamin.
(Penulis, Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Pembantu Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan)
Jumat, 30 Juli 2010
PEMBELAJARAN AKTIF, KREATIF, EFEKTIF DAN MENYENANGKAN (PAKEM) MERUPAKAN UPAYA PEMBENTUKAN GURU PROFESIONAL Oleh: Endang Komara
ABSTRAK
Guru profesional merupakan guru yang meramu kualitas dan integritasnya. Mereka tidak hanya memberikan pembelajaran bagi peserta didiknya tapi mereka juga menambah pembelajaran bagi mereka sendiri karena zaman terus berubah. Ia harus terus menerus meningkatkan kemampuan serta keterampilannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan merupakan istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Hal ini digunakan untuk menggambarkan pendekatan serupa dalam pembelajaran. Untuk memfasilitasi pembelajaran aktif, guru harus menggunakan berbagai strategi yang aktif dan kontekstual, melaibatkan pembelajaran bersama dan mengakomodasi perbedaan gender dan gaya belajar masing-masing anak. Sumuanya dilakukan guna memaksimalkan kemampuan pembelajaran untuk memahami dan dapat menggunakan informasi baru yang diajarkan. Pembelajaran aktif juga dapat mengangkat tingkat pembelajaran dari keterampilan berpikir tingkat rendah (pengamatan, menghapal dan mengingat infomrasi), pengetahuan akan gagasan umum (yakni tentang apa, di mana dan kapan), hingga keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi (memecahan masalah, analisis, sintesis, evaluasi yakni tentang bagaimana dan mengapa).
PENDAHULUAN
Pendekatan pembelajaran yang dianggap mendukung untuk mengembangkan keterampilan salah satunya melalui Active Learning, alias pembelajaran aktif. Pendekjatan pembelajaran ini sudah dan sedang dikembangkan dan diimplementasikan di berbagai negara maju. Pembel;ajaran aktif adalah sitilah umum yang menggambarkan suatu pendekatan pembelajaran yang secara luas diterima di seluruh dunia sebagai praktik terbaik (best practice). Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa cara belajar terbaik bagi anak – anak adalah dengan melakukan, dengan menggunakan semua inderanya, dan dengan mengekplorasi lingkungannya yang terdiri atas orang, hal, tempat, dan kejadian yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (pembelajaran kontekstual). Mereka belajar dari pengalaman langsung dan konkrit (seperti menulis surat, menanam bunga, mengukur benda) serta berbagai bentuk pengalaman lainnya (seperti membaca buku, melihat gambar atau mendengarkan radio). Keterlibatan aktif dengan benda dan gagasan ini mendorong anak untuk aktif berpikir untuk mendapatkan pengetahuan baru dan memadukannya dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Di Indonesia, istilah PAKEM (singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) sudah lazim digunakan untuk menggambarkan pendekatan serupa dalam pembelajaran. Untuk memfasilitasi pembelajaran aktif, guru harus menggunakan berbagai strategi yang aktif dan kontekstual, melaibatkan pembelajaran bersama dan mengakomodasi perbedaan gender dan gaya belajar masing-masing anak. Sumuanya dilakukan guna memaksimalkan kemampuan pembelajaran untuk memahami dan dapat menggunakan informasi baru yang diajarkan. Pembelajaran aktif juga dapat mengangkat tingkat pembelajaran dari keterampilan berpikir tingkat rendah (pengamatan, menghapal dan mengingat infomrasi), pengetahuan akan gagasan umum (yakni tentang apa, di mana dan kapan), hingga keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi (memecahan masalah, analisis, sintesis, evaluasi yakni tentang bagaimana dan mengapa).
Pembelajaran aktif merujuk pada teknik yang di dalamnya siswa dapat berbuat lebih dari sekedar mendengarkan. Siswa berbuat sesuatu seperti menemukan, memproses dan menerapkan informasi. Pembelajaran aktif itu didasarkan atas dua asumsi. Pertama,bahwa belajar itu secara alami merupakan upaya aktif, dan kedua¸ bahwa setiap siswa itu belajar dengan caranya sendiri dan berbeda dari siswa lainnya.
Dalam menggunakan pendekatan pembelajaran aktif, guru menghadapi beberapa kesulitan terutama bagi guru yang memang tidak terbiasa dengan bentuk pengajaran seperti itu. Kesulitan yang sama juga dihadapi oleh siswa yang belum terbiasa dengan dengan pembelajaran aktif. Berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yang aktif (PAKEM)
1. Think-Pair-Share merupakan kegiatan sederhana di kelas. Guru memberikan waktui kepada siswa untuk memikirkan tentang sebuah topik, berdiskusi dengan teman sebayanya, dan berbagai hasilnya dengan teman lain di kelasnya.
2. Minute Papers ialah kegiatan guru memberikan peluang kepada siswa untuk mensintesiskan pengetahuannya dan menjawab pertanyaan seperti apa hal yang paling penting yang telah dipelajari hari ini? Apa pertanyaan yang belum terjawab? Dan pertanyaan lainnya yang menyangkut kegiatan belajar mengajar yang telah dilaluinya.
3. Writing Activities merupakan peluang bagi siswa untuk berpikir dan memproses informasi yang dimilikinya. Misalnya sebagai tambahan kegiatan Minutes Papers di atas, guru dapat memberikan sebuah pertanyaan yang dari satu siswa diberi waktu untuk secara bebas menuliskan jawabannya. Tentu saja guru juga bias memberikan topic; untuk menjadi bahan yang akan ditulis oleh siswanya.
4. Brainstorming merupakan teknik sederhana lainnya yang dapat melibatkan semua siswa di dalam kelas untuk berdiskusi. Dengan mengetengahkan sebuah topik, guru dapat meminta masukan dari siswanya dan mencatat masukan-masukan itu pada papan tulis.
5. Games merupakan teknik yang biasanya menarik banyak siswa. Bisa termasuk di dalamnya matching, mysterie, group competitions, solving puzzles, dan lain sebagainya.
6. Debates yang ditampilkan di kelas bias menjadi alat yang efektif dalam mendorong siswa untuk berpikir tentang sesuatu dari arah yang berbeda-beda.
7. Group work dapat menjadi peluang bagi setiap siswa untuk berbicara, berbagi pandangan, dan mengembangkan keterampilan untuk berkolaborasi dengan orang lain.
8. Case studies biasanya menggunakan cerita nyata dari kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masyarakat di lingkungan siswa itu sendiri, dalam keluarga, dalam sekolah atau yang terjadi pada seseorang di antara para siswa itu. Hal ini akan memberikan wawasan tentang situasi nyata, langkah yang sebaiknya diambil, dan akibat-akibat yang mungkin terjadi.
9. Concept mapping membantu siswa untuk bisa menciptakan representasi visual dari model, gagasan dan hubungan antara konsep. Mereka menggambarkan dengan menggunakan lingkaran dan garis penghubung, dengan fase yang dapat menghubungkan pada garis-garis tersebut. Kegiatan ini dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.
Guru ebagai pemegang utama kunci utama dalam upaya perbaikan pendidkan, dan karenanya dituntut untuk peka dan mempunyai kemelekan yang memadai terhadap teknologi informasi dan komunikasi agar mampu menciptakan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efisien dan menyenagkan.
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak dan dapat bersosialisasi dengan baik. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism; (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang yang sesuai dengan bidang tugasnya; (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi; (5) memiliki tugas; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan; (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya; dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum.
Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Juga tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugasnya. Guru profsional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan social. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala dan sebagainya.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas professional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteris professional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah yang salah. Satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi ‘’penganggur terhormat’’, dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mepertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). Peningkatan kesejahteraan, agar seorang guru bermartabat dan mampu ‘’membangun’’ manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup agar bisa konsisten dalam profesinya.
PEMBAHASAN
Belajar itu menyenangkan. Tapi, siapa yang menjadi stakeholder proses pembelajaran yang menyenangkan itu? Jawabannya adalah siswa. Siswa harus menjadi arsitek dalam proses belajar mereka sendiri. Kita semua setuju bahwa pembelajaran yang menyenangkan merupakan dambaan dari setiap peserta didik. Karena proses belajar yang menyenangkan bias meningkatkan motivasi belajar yang tinggi bagi siswa guna menghasilkan produk belajar yang berkualitas. Untuk mencapai keberhasilan proses belajar, factor motivasi merupakan kunci utama. Seorang guru harus mengetahui secara pasti mengapa seorang siswa memiliki berbagai macam motif dalam belajar. Ada empat katagori yang perlu diketahui oleh seorang guru yang baik terkait dengan motivasi ‘’mengapa siswa belajar’’, yaitu (1) motivasi intrinsic (siswa belajar karena tertarik dengan tugas-tugas yang diberikan), (2) motivasi instrumental (siswa belajar karena akan menerima konsekuensi: reward atau punishment), (3) motivasi social (siswa belajar karena ide dan gagasannya ingin dihargai), dan (4) motivasi berprestasi (siswa belajar karena ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu melakukan tugas yang diberikan oleh gurunya).
Dalam paradigm pendidikan, tujuan pembelajaran bukan hanya untuk merubah perilaku siswa, tetapi membentuk karakter dan sikap mental professional yang berorientasi pada global mindset. Fokus pembelajarannya adalah pada ‘mempelajari cara belajar’ (learning how to learn) dan bukan hanya semata pada mempeljari substansi mata pelajaran. Sedangkan pendekatan, strategi dan metode pembelajarannya adalah mengacu pad konsep konstruktivisme yang mendorong dan menghargai usaha belajar siswa dengan proses enquiry and discovery learning. Dengan pembelajaran konstruktivisme memungkinkan terjadinya pembelajaran berbasis masalah. Siswa sebagai stakeholder terlibat langsung dengan masalah, dan tertantang untuk belajar menyelesaikan berbagai masalah yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan scenario pembelajaran berbasis masalah ini siswa akan berusaha memberdayakan seluruh potensi akademik dan strategi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah secara individu atau kelompok. Prinsip pembelajaran konstruktivisme yang berorientasi pada masalah dan tantangan akan menghasilkan sikap mental professional yang disebut researchmindedness dalam pola piker siswa sehingga kegiatan pembelajaran selalu menantang dan menyenangkan.
Mengapa PAKEM. Pakem merupakan singkatan dari pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan yang merupakan sebuah model pembelajaran kontekstual yang melibatkan paling sedikit empat prinsip utama dalam proses pembelajarannya. Pertama proses interaksi (siswa berinteraksi secara aktif dengan guru, rekan siswa, multi media, referensi, lingkungan dan sebagainya). Kedua, proses komunikasi (siswa mengkomunikasikan pengalaman belajar mereka dengan guru dan rekan siswa lain melaluio cerita, dialog atau melalui simulasi role play). Ketiga, proses refleksi (siswa memikirkan kembali tentang kebermaknaan apa yang mereka telah pelajari, dan apa yang mereka telah lakukan). Keempat, proses eksplorasi (siswa mengalami langsung dengan melibatkan semua indera mereka melalui pengamatan, percobaan, penyelidikan dan atau wawancara).
Pelaksanaan Pakem harus memperhatikan bakat, minat dan modalitas belajar siswa, dan bukan semata potensi akademiknya. Dalam pendekatan pembelajaran Quantum (Quantum Learning) ada tiga macam modalitas siswa, yaitu modalitas visual, auditorial dan kinestetik. Dengan modalitas visual dimaksudkan bahwa kekuatan belajar siswa terletak pada indera ‘mata’ (membaca teks, grafik atau dengan melihat suatu peristiwa), kekuatan auditorial terletak pada indera ‘pendengaran’ (mendengar dan menyimak penjelasan atau cerita), dan kekuatan kinestetik terletak pada ‘perabaan’ (seperti menunjuk, menyentuh atau melakukan). Jadi dengan mamahami kecenderungan potensi modalitas siswa tersebut, maka seorang guru harus mampu merancang media. Metoda atau materi pembelajaran kontekstual yang relevan dengan kecenderungan potensi atau modalitas belajar siswa.
Peran seorang guru. Agar pelaksanaan Pakem berjalan sebagaimana diharapkan, John B. Biggs and Ross Telfer, dalam bukunya ‘’The Process of Learning”, 1987, edisi kedua menyebutkan paling tidak ada 12 aspek dari sebuah pembelajaran kreatif yang harus dipahami dan dilakukan oleh seorang guru yang baiak dalam proses pembelajaran terhadap siswa, antara lain:
1. Memahami potensi siswa dengan tersembunyi dan mendorongnya untuk berkembang sesuai dengan kecenderungan bakat dan minat mereka.
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar meningkatkan raa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan bantuan jika mereka membutuhkan.
3. Menghargai potensi siswa yang lemah atau lamban dan memperhatikan entuisme terhadap ide serta gagasan mereka.
4. Mendorong siswa untuk terus maju mencapai sukses dalam bidang yang diminati dan penghargaan atas potensi mereka.
5. Mengakui pekerjaan siswa dalam satu bidang untuk memberikan semangat pada pekerjaan lain berikutnya.
6. Menggunakan kemampuan fantasi dalam proses pembelajaran untuk membangun hubungan dengan realias dan kehidupan nyata.
7. Memuji keindahan perbedaan potensi, karakter, bakat dan minat serta modalitas gaya belajar individu siswa.
8. Mendorong dan menghargai keterlibatan individu siswa secara penuh dalam proyek pembelajaran mandiri.
9. Menyatakan kepada siswa bahwa guru merupakan mitra mereka dan perannya sebagai motivator dan fasilitator bagi siswa.
10. Menciptakan suasana belajar yang kondusif dan bebas dari tekanan dan intimidasi dalam usaha meyakinkan minat belajar siswa.
11. Mendorong terjadinya proses pembelajaran interaktif, kolaboratif, inkuiri dan diskaveri agar terbentuk budaya belajar yang bermakna (meaningfull learning) pada siswa.
12. Memberikan tes atau ujian yang bisa mendorong terjadinya umpan balik dan semangat atau gairah pada siswa untuk ingin mempelajari materi lebih dalam.
Selanjutnya bentuk-bentuk pertanyaan yang dapat menggugah terjadinya ‘pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan’ (Pakem), bias diterapkan antara lain dalam salah satu kegiatan belajar kelompok (studi kasus). Menurut Wassermen (1994), pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan pemikiran yang dalam untuk sebuah solusi atau yang bersifat mengundang, bukan instruksi atau memerintah. Misalnya dengan menggunakan kata kerja: menggambarkan, membandingkan, menjelaskan, menguraikan atau menggunakan kata-kata: apa, mengapa atau bagaimana dalam kalimat bertanya. Berikut adalah beberapa contoh bentuk pertanyaan yang bias memberikan respon kreatif terhadap pertanyaan tersebut:
1. Jelaskan bagaimana situasi ini bisa ditangani secara berbeda?
2. Bandingkan situasi ini dengan situasi sekarang!
3. Ceriterakan contoh yang sama dengan pengalaman Anda sendiri!
Para siswa bisa juga diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang nampaknya sesuai dengan semua scenario. Contoh pertanyaan-pertanyaan berikut dapat memprovokasi siswa untuk berpikir tentang kasus yang dibahas antara lain:
1. Apa yang Anda bayangkan sebagai kemungkinan dari akibat tindakan tersebut?
2. Dengan melihat kebelakang, bagaimana Anda menilai diri Anda sendiri?
3. Dengan mengatakan yang sesungguhnya, apa kesimpulan Anda tentang isu penting itu?
Proses pembelajaran akan berlangsung seperti yang diharapkan dalam pelaksanaan konsep Pakem jika peran guru dalam berinteraksi dengan siswanya selalu memberikan motivasi dan memfasilitasinya tanpa mendominasi, memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif, membantu dan mengarahkan siswanya untuk mengembangkan bakat dan minat mereka melalui proses pembelajaran yang terencana. Perlu dicatat bahwa tugas dan tanggung jawab utama para guru dalam paradigma baru pendidikan ‘’bukan membuat siswa belajar’’ tetapi ‘’membuat siswa mau belajar’’, dan juga ‘’bukan mengajarkan mata pelajaran’’ tetapi ‘’mengajarkan cara bagaimana mempelajari mata pelajaran’’. Prinsip pembelajaran yang perlu dilakukan: ‘’Jangan meminta siswa Anda hanya untuk mendengarkan, karena mereka akan lupa. Jangan membuat siswa Anda memperhatikan saja, karena mereka hanya bias mengingat. Tetapi yakinkan siswa Anda untuk melakukannya, pasti mereka akan mengerti’’.
Penilaian Hasil Belajar. Sebuah pertanyaan untuk direningkan. Apakah sebuah ‘’Penilaian Mendorong Pembelajaran?” atau apakah ‘’pembelajaran itu untuk mempersiapkan sebuah tes?’’ atau apakah ‘’Pembelajaran dan Tes” tersebut dilakukan guna mendapatkan pengakuan tentang kompetensi yang diperlukan siswa atau sekolah? Dalam pelaksanaan konsep Pakem penilaian dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa, baik itu keberhasilan dalam proses maupun keberhasilan dalam lulusan (output). Keberhasilan dalam proses dimaksudkan bahwa siswa berpartisipasi aktif, kreatif dan senang selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan keberhasilan lulusan (output) adalah siswa menguasai sejumlah kompetensi dan standar kompetensi dari setiap mata pelajaran yang ditetapkan dalam sebuah kurikulum. Inilah yang disebut efektif dan menyenangkan. Jadi, penilaian harus dilakukan dan diakui secara kumulatif. Penilaian harus mencakup paling sedikit tiga aspek yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan. Ini tentu saja melibatkan professional judgment dengan memperhatikan sifat obyektivitas dan keadilan. Untuk ini, pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP) merupakan pendekatan penilaian alternative yang paling representative untuk menentukan keberhasilan pembelajaran Model Pakem.
Media dan bahan ajar. Media dan Bahan Ajar selalu menjadi menyebab ketidakberhasilan sebuah proses pembelajaran di sekolah. Sebuah harapan selalu menjadi wacana di antara para pendidik/guru kita dalam melaksanakan tugas mengajar di sekolah adalah tidak tersedianya ‘’media pembelajaran dan bahan ajar’’ yang cukup memadai. Jawaban para guru ini cukup masuk akal. Seakan ada korelasi antara ketersediaan ‘’media bahan ajar’’ di sekolah dengan keberhasilan pembelajaran siswa. Kita juga sepakat bahwa salah satu penyebab ketidakberhasilan proses pembelajaran di sekolah adalah kurangnya media dan bahan ajar. Kita yakin bahwa pihak manajemen sekolah sudah menyadarinya. Tetapi sebuah alasan klasik selalu kita dengan bahwa ‘’sekolah tidak punya dana untuk itu’’!.
Dalam pembelajaran Model Pakem, seorang guru mau tuidak mau harus berperan aktif, proaktif dan kreatif untuk mencari dan merancang media/bahan ajar alternatif yang mudah, murah dan sederhana. Tetapi tetap memiliki relevansi dengan tema mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Penggunaan perangkat multimedia seperti ICT sungguh sangat ideal, tetapi tidak semua sekolah mampu mengaksesnya. Tanpa merendahkan sifat dan nilai multimedia elektronik, para guru dapat memilih dan merancang media pembelajaran alternatif dengan menggunakan berbagai sumber lainnya, seperti bahan baku yang murah dan mudah didapat, seperti bahan baku kertas/plastic, tumbuh-tumbuhan, kayu dan sebagainya. Guna memotivasi dan merangsang proses pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.
Dalam merancang sebuah media pembelajaran aspek yang paling penting untuk diperhatikan oleh seorang guru adalah karakteristik dan modalitas gaya belajar individu peserta didik, seperti disebutkan dalam pendekatan ‘’Quantum Learning dan Learning Style Inventory’’. Media yang dirancang harus memiliki daya tarik tersendiri guna merangsang proses pembelajaran yang menyenangkan. Sementara ini media pembelajaran yang relative cukup representative digunakan adalah media elektronik (Computer – Based Learning). Selanjutnya scenario penyajian ‘bahan ajar’ harus dengan system modular dengan mengacu pada pendekatan Bloom Taksonomi. Ini dimaksudkan agar terjadi proses pembelajaran yang terstruktur, dinamis dan fleksibel tanpa harus selalu terikat dengan ruang kelas, waktu dan atau guru.
Pakem merupakan sebuah model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengerjakan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman dengan penekanan kepada belajar sambil bekerja, sementara guru menggunakan berbagai sumber dan alat bantu belajar termasuk pemanfaatan lingkungan supaya pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan efektif. Adapun Pakem dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pembelajaran model konvensional dinilai menjemukan, kurang menarik bagi peserta didik sehingga berakibat kurang optimalnya penguasaan materi pembelajaran bagi peserta didk. Karakteristik Pakem antara lain: (1) pembelajarannya mengaktifkan peserta didik, (2) mendorong kreativitas peserta didik dan guru, (3) pembelajaran efektif, (4) pembelajarannya menyenangkan utamanya bagi peserta didik. Prinsip Pakem dijelaskan oleh Anwar Fuady (2008) antara lain: (1) mengalami: peserta didk terlibat secara aktif, mental maupun emosional, (2) komunikasi: kegiatan pembelajaran memungkinkan terjadinya komunikasi antara guru dan peserta didik, (3) Interaksi: kegiatan pembelajarannya memungkinkan terjadinya interaksi multi arah, dan (4) refleksi: kegiatan pembelajarannya memungkinkan peserta didik memikirkan kembali apa yang telah dilakukan.
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif (Webstar, 1989:45). Jadi profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Artinya suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi memerlukan persiapan melalui pendidikan dan pelatihan secara khusus. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)
Profesi menunjukkan lapangan yang khusus dan mensyaratkan studi dan penguasaan khusus yang mendalam, seperti bidang hukum, militer, keperawatan, kependidikan, dan sebagainya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain (Nana Sudjana dalam Usman, 2005:46). Profesi seseorang yang mendalami hukum adalah ahli hukum, seperti jaksa, hakim dan pengacara. Profesi seseorang yang mendalami keperawatan adalah perawat. Sementara itu, seseorang yang menggeluti dunia pendidikan (mendidik dan mengajar) adalah guru, dan berbagai profesi lainnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu keahlian (skill) dan kewenangan dalam suatu jabatan tertentu yang mensyaratkan kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) tertentu secara khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Profesi biasanya berkaitan dengan mata pencaharian seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan demikian profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna.
Menurut Surya (2005:48) bahwa profesionalisme guru mempunyai makna penting, yaitu: (1) profesionalisme memberikan jaminan perlindungan kepada kesejahteraan masyarakat umum; (2) profesionalisme guru merupakan suatu cara untuk memperbaiki profesi pendidikan yang selama ini dianggap oleh sebagian masyarakat rendah; (3) profesionalisme memberikan kemungkinan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensinya. Kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima sikap, yaitu: (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal; (2) meningkatkan dan memelihara citra profesi;(3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya; (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi; dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Pemerintah melalui Presiden sudah mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Guru sebagai profesi dikembangkan melalui: (1) sistem pendidikan; (2) sistem penjaminan mutu; (3) sistem manajemen; (4) sistem remunerasi; dan (5) sistem pendukung profesi guru. Dengan pengembangan guru sebagai profesi diharapkan mampu: (1) membentuk, membangun, dan mengelola guru yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi di tengah masyarakat; (2) meningkatkan kehidupan guru yang sejahtera; dan (3) meningkatkan mutu pembelajaran yang mampu mendukung terwujudnya lulusan yang kompeten dan terstandar dalam rangka pencapaian visi, misi dan tujuan pendidikan nasional pada masa mendatang. Selain itu juga diharapkan akan mendorong terwujudnya guru yang cerdas, berbudaya, bermartabat, sejahtera, canggih, elok, unggul, dan profesional. Guru masa depan diharapkan semakin konsisten dalam mengedepankan nilai-nilai budaya mutu, keterbukaan, demokratis dan menjunjung akuntabilitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi sehari-hari.
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut: (1) Dalam proses belajar mengajar sangat diperlukan strategi pembelajaran yang sangat baik dan cocok untuk situasi dan kondisi siswa. Strategi yang sangat cook dan menarik peserta didik dalam pembelajaran sekarang ini dikenal dengan nama Pakem (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan); (2) Prinsip Pakem yakni mengalami, komunikasi, interaksi, dan refleksi; (3) Penilaian yang sesuai dengan pembelajaran model Pakem adalah penilaian otentik yang merupakan proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran benar-benar dikuasai dan dicapai; (4) Dengan profesionalisme guru, maka guru masa depan tidak tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, tetapi beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (councelor), dan manajer belajar (learning manager); dan (5) Sikap dan sifat-sifat guru yang baik adalah bersikap adil, percaya dan suka kepada murid-muridnya, sabar dan rela berkorban, memiliki wibawa di hadapan peserta didik, pengembira, bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, bersikap baik terhadap masyarakat, benar-benar menguasai mata pelajaran yang diberikannya, dan berpengetahuan luas.
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, Fuad Abdul. 2009. Model Pembelajaran Inovatif di Era Global: Suatu Kajian Perbandingan di Negara Maju. Dalam Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. I, No. 2 Maret 2009.
http://makalahkumakalahmu.wordpress.com. Pembelajaran Pakem II.
http://id.slivoong.com. Social Sciences.
Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Bandung: Fokusmedia.
Surya, Muhammad. 2005. Membangun Profesionalisme Guru. dalam Makalah Seminar Pendidikan. 6 Mei 2005 di Jakarta.
Usman, Moh. Uzer. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Guru profesional merupakan guru yang meramu kualitas dan integritasnya. Mereka tidak hanya memberikan pembelajaran bagi peserta didiknya tapi mereka juga menambah pembelajaran bagi mereka sendiri karena zaman terus berubah. Ia harus terus menerus meningkatkan kemampuan serta keterampilannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan merupakan istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Hal ini digunakan untuk menggambarkan pendekatan serupa dalam pembelajaran. Untuk memfasilitasi pembelajaran aktif, guru harus menggunakan berbagai strategi yang aktif dan kontekstual, melaibatkan pembelajaran bersama dan mengakomodasi perbedaan gender dan gaya belajar masing-masing anak. Sumuanya dilakukan guna memaksimalkan kemampuan pembelajaran untuk memahami dan dapat menggunakan informasi baru yang diajarkan. Pembelajaran aktif juga dapat mengangkat tingkat pembelajaran dari keterampilan berpikir tingkat rendah (pengamatan, menghapal dan mengingat infomrasi), pengetahuan akan gagasan umum (yakni tentang apa, di mana dan kapan), hingga keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi (memecahan masalah, analisis, sintesis, evaluasi yakni tentang bagaimana dan mengapa).
PENDAHULUAN
Pendekatan pembelajaran yang dianggap mendukung untuk mengembangkan keterampilan salah satunya melalui Active Learning, alias pembelajaran aktif. Pendekjatan pembelajaran ini sudah dan sedang dikembangkan dan diimplementasikan di berbagai negara maju. Pembel;ajaran aktif adalah sitilah umum yang menggambarkan suatu pendekatan pembelajaran yang secara luas diterima di seluruh dunia sebagai praktik terbaik (best practice). Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa cara belajar terbaik bagi anak – anak adalah dengan melakukan, dengan menggunakan semua inderanya, dan dengan mengekplorasi lingkungannya yang terdiri atas orang, hal, tempat, dan kejadian yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (pembelajaran kontekstual). Mereka belajar dari pengalaman langsung dan konkrit (seperti menulis surat, menanam bunga, mengukur benda) serta berbagai bentuk pengalaman lainnya (seperti membaca buku, melihat gambar atau mendengarkan radio). Keterlibatan aktif dengan benda dan gagasan ini mendorong anak untuk aktif berpikir untuk mendapatkan pengetahuan baru dan memadukannya dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Di Indonesia, istilah PAKEM (singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) sudah lazim digunakan untuk menggambarkan pendekatan serupa dalam pembelajaran. Untuk memfasilitasi pembelajaran aktif, guru harus menggunakan berbagai strategi yang aktif dan kontekstual, melaibatkan pembelajaran bersama dan mengakomodasi perbedaan gender dan gaya belajar masing-masing anak. Sumuanya dilakukan guna memaksimalkan kemampuan pembelajaran untuk memahami dan dapat menggunakan informasi baru yang diajarkan. Pembelajaran aktif juga dapat mengangkat tingkat pembelajaran dari keterampilan berpikir tingkat rendah (pengamatan, menghapal dan mengingat infomrasi), pengetahuan akan gagasan umum (yakni tentang apa, di mana dan kapan), hingga keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi (memecahan masalah, analisis, sintesis, evaluasi yakni tentang bagaimana dan mengapa).
Pembelajaran aktif merujuk pada teknik yang di dalamnya siswa dapat berbuat lebih dari sekedar mendengarkan. Siswa berbuat sesuatu seperti menemukan, memproses dan menerapkan informasi. Pembelajaran aktif itu didasarkan atas dua asumsi. Pertama,bahwa belajar itu secara alami merupakan upaya aktif, dan kedua¸ bahwa setiap siswa itu belajar dengan caranya sendiri dan berbeda dari siswa lainnya.
Dalam menggunakan pendekatan pembelajaran aktif, guru menghadapi beberapa kesulitan terutama bagi guru yang memang tidak terbiasa dengan bentuk pengajaran seperti itu. Kesulitan yang sama juga dihadapi oleh siswa yang belum terbiasa dengan dengan pembelajaran aktif. Berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yang aktif (PAKEM)
1. Think-Pair-Share merupakan kegiatan sederhana di kelas. Guru memberikan waktui kepada siswa untuk memikirkan tentang sebuah topik, berdiskusi dengan teman sebayanya, dan berbagai hasilnya dengan teman lain di kelasnya.
2. Minute Papers ialah kegiatan guru memberikan peluang kepada siswa untuk mensintesiskan pengetahuannya dan menjawab pertanyaan seperti apa hal yang paling penting yang telah dipelajari hari ini? Apa pertanyaan yang belum terjawab? Dan pertanyaan lainnya yang menyangkut kegiatan belajar mengajar yang telah dilaluinya.
3. Writing Activities merupakan peluang bagi siswa untuk berpikir dan memproses informasi yang dimilikinya. Misalnya sebagai tambahan kegiatan Minutes Papers di atas, guru dapat memberikan sebuah pertanyaan yang dari satu siswa diberi waktu untuk secara bebas menuliskan jawabannya. Tentu saja guru juga bias memberikan topic; untuk menjadi bahan yang akan ditulis oleh siswanya.
4. Brainstorming merupakan teknik sederhana lainnya yang dapat melibatkan semua siswa di dalam kelas untuk berdiskusi. Dengan mengetengahkan sebuah topik, guru dapat meminta masukan dari siswanya dan mencatat masukan-masukan itu pada papan tulis.
5. Games merupakan teknik yang biasanya menarik banyak siswa. Bisa termasuk di dalamnya matching, mysterie, group competitions, solving puzzles, dan lain sebagainya.
6. Debates yang ditampilkan di kelas bias menjadi alat yang efektif dalam mendorong siswa untuk berpikir tentang sesuatu dari arah yang berbeda-beda.
7. Group work dapat menjadi peluang bagi setiap siswa untuk berbicara, berbagi pandangan, dan mengembangkan keterampilan untuk berkolaborasi dengan orang lain.
8. Case studies biasanya menggunakan cerita nyata dari kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masyarakat di lingkungan siswa itu sendiri, dalam keluarga, dalam sekolah atau yang terjadi pada seseorang di antara para siswa itu. Hal ini akan memberikan wawasan tentang situasi nyata, langkah yang sebaiknya diambil, dan akibat-akibat yang mungkin terjadi.
9. Concept mapping membantu siswa untuk bisa menciptakan representasi visual dari model, gagasan dan hubungan antara konsep. Mereka menggambarkan dengan menggunakan lingkaran dan garis penghubung, dengan fase yang dapat menghubungkan pada garis-garis tersebut. Kegiatan ini dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.
Guru ebagai pemegang utama kunci utama dalam upaya perbaikan pendidkan, dan karenanya dituntut untuk peka dan mempunyai kemelekan yang memadai terhadap teknologi informasi dan komunikasi agar mampu menciptakan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efisien dan menyenagkan.
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak dan dapat bersosialisasi dengan baik. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism; (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang yang sesuai dengan bidang tugasnya; (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi; (5) memiliki tugas; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan; (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya; dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum.
Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Juga tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugasnya. Guru profsional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan social. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala dan sebagainya.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas professional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteris professional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah yang salah. Satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi ‘’penganggur terhormat’’, dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mepertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). Peningkatan kesejahteraan, agar seorang guru bermartabat dan mampu ‘’membangun’’ manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup agar bisa konsisten dalam profesinya.
PEMBAHASAN
Belajar itu menyenangkan. Tapi, siapa yang menjadi stakeholder proses pembelajaran yang menyenangkan itu? Jawabannya adalah siswa. Siswa harus menjadi arsitek dalam proses belajar mereka sendiri. Kita semua setuju bahwa pembelajaran yang menyenangkan merupakan dambaan dari setiap peserta didik. Karena proses belajar yang menyenangkan bias meningkatkan motivasi belajar yang tinggi bagi siswa guna menghasilkan produk belajar yang berkualitas. Untuk mencapai keberhasilan proses belajar, factor motivasi merupakan kunci utama. Seorang guru harus mengetahui secara pasti mengapa seorang siswa memiliki berbagai macam motif dalam belajar. Ada empat katagori yang perlu diketahui oleh seorang guru yang baik terkait dengan motivasi ‘’mengapa siswa belajar’’, yaitu (1) motivasi intrinsic (siswa belajar karena tertarik dengan tugas-tugas yang diberikan), (2) motivasi instrumental (siswa belajar karena akan menerima konsekuensi: reward atau punishment), (3) motivasi social (siswa belajar karena ide dan gagasannya ingin dihargai), dan (4) motivasi berprestasi (siswa belajar karena ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu melakukan tugas yang diberikan oleh gurunya).
Dalam paradigm pendidikan, tujuan pembelajaran bukan hanya untuk merubah perilaku siswa, tetapi membentuk karakter dan sikap mental professional yang berorientasi pada global mindset. Fokus pembelajarannya adalah pada ‘mempelajari cara belajar’ (learning how to learn) dan bukan hanya semata pada mempeljari substansi mata pelajaran. Sedangkan pendekatan, strategi dan metode pembelajarannya adalah mengacu pad konsep konstruktivisme yang mendorong dan menghargai usaha belajar siswa dengan proses enquiry and discovery learning. Dengan pembelajaran konstruktivisme memungkinkan terjadinya pembelajaran berbasis masalah. Siswa sebagai stakeholder terlibat langsung dengan masalah, dan tertantang untuk belajar menyelesaikan berbagai masalah yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan scenario pembelajaran berbasis masalah ini siswa akan berusaha memberdayakan seluruh potensi akademik dan strategi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah secara individu atau kelompok. Prinsip pembelajaran konstruktivisme yang berorientasi pada masalah dan tantangan akan menghasilkan sikap mental professional yang disebut researchmindedness dalam pola piker siswa sehingga kegiatan pembelajaran selalu menantang dan menyenangkan.
Mengapa PAKEM. Pakem merupakan singkatan dari pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan yang merupakan sebuah model pembelajaran kontekstual yang melibatkan paling sedikit empat prinsip utama dalam proses pembelajarannya. Pertama proses interaksi (siswa berinteraksi secara aktif dengan guru, rekan siswa, multi media, referensi, lingkungan dan sebagainya). Kedua, proses komunikasi (siswa mengkomunikasikan pengalaman belajar mereka dengan guru dan rekan siswa lain melaluio cerita, dialog atau melalui simulasi role play). Ketiga, proses refleksi (siswa memikirkan kembali tentang kebermaknaan apa yang mereka telah pelajari, dan apa yang mereka telah lakukan). Keempat, proses eksplorasi (siswa mengalami langsung dengan melibatkan semua indera mereka melalui pengamatan, percobaan, penyelidikan dan atau wawancara).
Pelaksanaan Pakem harus memperhatikan bakat, minat dan modalitas belajar siswa, dan bukan semata potensi akademiknya. Dalam pendekatan pembelajaran Quantum (Quantum Learning) ada tiga macam modalitas siswa, yaitu modalitas visual, auditorial dan kinestetik. Dengan modalitas visual dimaksudkan bahwa kekuatan belajar siswa terletak pada indera ‘mata’ (membaca teks, grafik atau dengan melihat suatu peristiwa), kekuatan auditorial terletak pada indera ‘pendengaran’ (mendengar dan menyimak penjelasan atau cerita), dan kekuatan kinestetik terletak pada ‘perabaan’ (seperti menunjuk, menyentuh atau melakukan). Jadi dengan mamahami kecenderungan potensi modalitas siswa tersebut, maka seorang guru harus mampu merancang media. Metoda atau materi pembelajaran kontekstual yang relevan dengan kecenderungan potensi atau modalitas belajar siswa.
Peran seorang guru. Agar pelaksanaan Pakem berjalan sebagaimana diharapkan, John B. Biggs and Ross Telfer, dalam bukunya ‘’The Process of Learning”, 1987, edisi kedua menyebutkan paling tidak ada 12 aspek dari sebuah pembelajaran kreatif yang harus dipahami dan dilakukan oleh seorang guru yang baiak dalam proses pembelajaran terhadap siswa, antara lain:
1. Memahami potensi siswa dengan tersembunyi dan mendorongnya untuk berkembang sesuai dengan kecenderungan bakat dan minat mereka.
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar meningkatkan raa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan bantuan jika mereka membutuhkan.
3. Menghargai potensi siswa yang lemah atau lamban dan memperhatikan entuisme terhadap ide serta gagasan mereka.
4. Mendorong siswa untuk terus maju mencapai sukses dalam bidang yang diminati dan penghargaan atas potensi mereka.
5. Mengakui pekerjaan siswa dalam satu bidang untuk memberikan semangat pada pekerjaan lain berikutnya.
6. Menggunakan kemampuan fantasi dalam proses pembelajaran untuk membangun hubungan dengan realias dan kehidupan nyata.
7. Memuji keindahan perbedaan potensi, karakter, bakat dan minat serta modalitas gaya belajar individu siswa.
8. Mendorong dan menghargai keterlibatan individu siswa secara penuh dalam proyek pembelajaran mandiri.
9. Menyatakan kepada siswa bahwa guru merupakan mitra mereka dan perannya sebagai motivator dan fasilitator bagi siswa.
10. Menciptakan suasana belajar yang kondusif dan bebas dari tekanan dan intimidasi dalam usaha meyakinkan minat belajar siswa.
11. Mendorong terjadinya proses pembelajaran interaktif, kolaboratif, inkuiri dan diskaveri agar terbentuk budaya belajar yang bermakna (meaningfull learning) pada siswa.
12. Memberikan tes atau ujian yang bisa mendorong terjadinya umpan balik dan semangat atau gairah pada siswa untuk ingin mempelajari materi lebih dalam.
Selanjutnya bentuk-bentuk pertanyaan yang dapat menggugah terjadinya ‘pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan’ (Pakem), bias diterapkan antara lain dalam salah satu kegiatan belajar kelompok (studi kasus). Menurut Wassermen (1994), pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan pemikiran yang dalam untuk sebuah solusi atau yang bersifat mengundang, bukan instruksi atau memerintah. Misalnya dengan menggunakan kata kerja: menggambarkan, membandingkan, menjelaskan, menguraikan atau menggunakan kata-kata: apa, mengapa atau bagaimana dalam kalimat bertanya. Berikut adalah beberapa contoh bentuk pertanyaan yang bias memberikan respon kreatif terhadap pertanyaan tersebut:
1. Jelaskan bagaimana situasi ini bisa ditangani secara berbeda?
2. Bandingkan situasi ini dengan situasi sekarang!
3. Ceriterakan contoh yang sama dengan pengalaman Anda sendiri!
Para siswa bisa juga diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang nampaknya sesuai dengan semua scenario. Contoh pertanyaan-pertanyaan berikut dapat memprovokasi siswa untuk berpikir tentang kasus yang dibahas antara lain:
1. Apa yang Anda bayangkan sebagai kemungkinan dari akibat tindakan tersebut?
2. Dengan melihat kebelakang, bagaimana Anda menilai diri Anda sendiri?
3. Dengan mengatakan yang sesungguhnya, apa kesimpulan Anda tentang isu penting itu?
Proses pembelajaran akan berlangsung seperti yang diharapkan dalam pelaksanaan konsep Pakem jika peran guru dalam berinteraksi dengan siswanya selalu memberikan motivasi dan memfasilitasinya tanpa mendominasi, memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif, membantu dan mengarahkan siswanya untuk mengembangkan bakat dan minat mereka melalui proses pembelajaran yang terencana. Perlu dicatat bahwa tugas dan tanggung jawab utama para guru dalam paradigma baru pendidikan ‘’bukan membuat siswa belajar’’ tetapi ‘’membuat siswa mau belajar’’, dan juga ‘’bukan mengajarkan mata pelajaran’’ tetapi ‘’mengajarkan cara bagaimana mempelajari mata pelajaran’’. Prinsip pembelajaran yang perlu dilakukan: ‘’Jangan meminta siswa Anda hanya untuk mendengarkan, karena mereka akan lupa. Jangan membuat siswa Anda memperhatikan saja, karena mereka hanya bias mengingat. Tetapi yakinkan siswa Anda untuk melakukannya, pasti mereka akan mengerti’’.
Penilaian Hasil Belajar. Sebuah pertanyaan untuk direningkan. Apakah sebuah ‘’Penilaian Mendorong Pembelajaran?” atau apakah ‘’pembelajaran itu untuk mempersiapkan sebuah tes?’’ atau apakah ‘’Pembelajaran dan Tes” tersebut dilakukan guna mendapatkan pengakuan tentang kompetensi yang diperlukan siswa atau sekolah? Dalam pelaksanaan konsep Pakem penilaian dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa, baik itu keberhasilan dalam proses maupun keberhasilan dalam lulusan (output). Keberhasilan dalam proses dimaksudkan bahwa siswa berpartisipasi aktif, kreatif dan senang selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan keberhasilan lulusan (output) adalah siswa menguasai sejumlah kompetensi dan standar kompetensi dari setiap mata pelajaran yang ditetapkan dalam sebuah kurikulum. Inilah yang disebut efektif dan menyenangkan. Jadi, penilaian harus dilakukan dan diakui secara kumulatif. Penilaian harus mencakup paling sedikit tiga aspek yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan. Ini tentu saja melibatkan professional judgment dengan memperhatikan sifat obyektivitas dan keadilan. Untuk ini, pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP) merupakan pendekatan penilaian alternative yang paling representative untuk menentukan keberhasilan pembelajaran Model Pakem.
Media dan bahan ajar. Media dan Bahan Ajar selalu menjadi menyebab ketidakberhasilan sebuah proses pembelajaran di sekolah. Sebuah harapan selalu menjadi wacana di antara para pendidik/guru kita dalam melaksanakan tugas mengajar di sekolah adalah tidak tersedianya ‘’media pembelajaran dan bahan ajar’’ yang cukup memadai. Jawaban para guru ini cukup masuk akal. Seakan ada korelasi antara ketersediaan ‘’media bahan ajar’’ di sekolah dengan keberhasilan pembelajaran siswa. Kita juga sepakat bahwa salah satu penyebab ketidakberhasilan proses pembelajaran di sekolah adalah kurangnya media dan bahan ajar. Kita yakin bahwa pihak manajemen sekolah sudah menyadarinya. Tetapi sebuah alasan klasik selalu kita dengan bahwa ‘’sekolah tidak punya dana untuk itu’’!.
Dalam pembelajaran Model Pakem, seorang guru mau tuidak mau harus berperan aktif, proaktif dan kreatif untuk mencari dan merancang media/bahan ajar alternatif yang mudah, murah dan sederhana. Tetapi tetap memiliki relevansi dengan tema mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Penggunaan perangkat multimedia seperti ICT sungguh sangat ideal, tetapi tidak semua sekolah mampu mengaksesnya. Tanpa merendahkan sifat dan nilai multimedia elektronik, para guru dapat memilih dan merancang media pembelajaran alternatif dengan menggunakan berbagai sumber lainnya, seperti bahan baku yang murah dan mudah didapat, seperti bahan baku kertas/plastic, tumbuh-tumbuhan, kayu dan sebagainya. Guna memotivasi dan merangsang proses pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.
Dalam merancang sebuah media pembelajaran aspek yang paling penting untuk diperhatikan oleh seorang guru adalah karakteristik dan modalitas gaya belajar individu peserta didik, seperti disebutkan dalam pendekatan ‘’Quantum Learning dan Learning Style Inventory’’. Media yang dirancang harus memiliki daya tarik tersendiri guna merangsang proses pembelajaran yang menyenangkan. Sementara ini media pembelajaran yang relative cukup representative digunakan adalah media elektronik (Computer – Based Learning). Selanjutnya scenario penyajian ‘bahan ajar’ harus dengan system modular dengan mengacu pada pendekatan Bloom Taksonomi. Ini dimaksudkan agar terjadi proses pembelajaran yang terstruktur, dinamis dan fleksibel tanpa harus selalu terikat dengan ruang kelas, waktu dan atau guru.
Pakem merupakan sebuah model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengerjakan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman dengan penekanan kepada belajar sambil bekerja, sementara guru menggunakan berbagai sumber dan alat bantu belajar termasuk pemanfaatan lingkungan supaya pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan efektif. Adapun Pakem dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pembelajaran model konvensional dinilai menjemukan, kurang menarik bagi peserta didik sehingga berakibat kurang optimalnya penguasaan materi pembelajaran bagi peserta didk. Karakteristik Pakem antara lain: (1) pembelajarannya mengaktifkan peserta didik, (2) mendorong kreativitas peserta didik dan guru, (3) pembelajaran efektif, (4) pembelajarannya menyenangkan utamanya bagi peserta didik. Prinsip Pakem dijelaskan oleh Anwar Fuady (2008) antara lain: (1) mengalami: peserta didk terlibat secara aktif, mental maupun emosional, (2) komunikasi: kegiatan pembelajaran memungkinkan terjadinya komunikasi antara guru dan peserta didik, (3) Interaksi: kegiatan pembelajarannya memungkinkan terjadinya interaksi multi arah, dan (4) refleksi: kegiatan pembelajarannya memungkinkan peserta didik memikirkan kembali apa yang telah dilakukan.
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif (Webstar, 1989:45). Jadi profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Artinya suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi memerlukan persiapan melalui pendidikan dan pelatihan secara khusus. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)
Profesi menunjukkan lapangan yang khusus dan mensyaratkan studi dan penguasaan khusus yang mendalam, seperti bidang hukum, militer, keperawatan, kependidikan, dan sebagainya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain (Nana Sudjana dalam Usman, 2005:46). Profesi seseorang yang mendalami hukum adalah ahli hukum, seperti jaksa, hakim dan pengacara. Profesi seseorang yang mendalami keperawatan adalah perawat. Sementara itu, seseorang yang menggeluti dunia pendidikan (mendidik dan mengajar) adalah guru, dan berbagai profesi lainnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu keahlian (skill) dan kewenangan dalam suatu jabatan tertentu yang mensyaratkan kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) tertentu secara khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Profesi biasanya berkaitan dengan mata pencaharian seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan demikian profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna.
Menurut Surya (2005:48) bahwa profesionalisme guru mempunyai makna penting, yaitu: (1) profesionalisme memberikan jaminan perlindungan kepada kesejahteraan masyarakat umum; (2) profesionalisme guru merupakan suatu cara untuk memperbaiki profesi pendidikan yang selama ini dianggap oleh sebagian masyarakat rendah; (3) profesionalisme memberikan kemungkinan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensinya. Kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima sikap, yaitu: (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal; (2) meningkatkan dan memelihara citra profesi;(3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya; (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi; dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Pemerintah melalui Presiden sudah mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Guru sebagai profesi dikembangkan melalui: (1) sistem pendidikan; (2) sistem penjaminan mutu; (3) sistem manajemen; (4) sistem remunerasi; dan (5) sistem pendukung profesi guru. Dengan pengembangan guru sebagai profesi diharapkan mampu: (1) membentuk, membangun, dan mengelola guru yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi di tengah masyarakat; (2) meningkatkan kehidupan guru yang sejahtera; dan (3) meningkatkan mutu pembelajaran yang mampu mendukung terwujudnya lulusan yang kompeten dan terstandar dalam rangka pencapaian visi, misi dan tujuan pendidikan nasional pada masa mendatang. Selain itu juga diharapkan akan mendorong terwujudnya guru yang cerdas, berbudaya, bermartabat, sejahtera, canggih, elok, unggul, dan profesional. Guru masa depan diharapkan semakin konsisten dalam mengedepankan nilai-nilai budaya mutu, keterbukaan, demokratis dan menjunjung akuntabilitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi sehari-hari.
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut: (1) Dalam proses belajar mengajar sangat diperlukan strategi pembelajaran yang sangat baik dan cocok untuk situasi dan kondisi siswa. Strategi yang sangat cook dan menarik peserta didik dalam pembelajaran sekarang ini dikenal dengan nama Pakem (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan); (2) Prinsip Pakem yakni mengalami, komunikasi, interaksi, dan refleksi; (3) Penilaian yang sesuai dengan pembelajaran model Pakem adalah penilaian otentik yang merupakan proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran benar-benar dikuasai dan dicapai; (4) Dengan profesionalisme guru, maka guru masa depan tidak tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, tetapi beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (councelor), dan manajer belajar (learning manager); dan (5) Sikap dan sifat-sifat guru yang baik adalah bersikap adil, percaya dan suka kepada murid-muridnya, sabar dan rela berkorban, memiliki wibawa di hadapan peserta didik, pengembira, bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, bersikap baik terhadap masyarakat, benar-benar menguasai mata pelajaran yang diberikannya, dan berpengetahuan luas.
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, Fuad Abdul. 2009. Model Pembelajaran Inovatif di Era Global: Suatu Kajian Perbandingan di Negara Maju. Dalam Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. I, No. 2 Maret 2009.
http://makalahkumakalahmu.wordpress.com. Pembelajaran Pakem II.
http://id.slivoong.com. Social Sciences.
Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Bandung: Fokusmedia.
Surya, Muhammad. 2005. Membangun Profesionalisme Guru. dalam Makalah Seminar Pendidikan. 6 Mei 2005 di Jakarta.
Usman, Moh. Uzer. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
PEMEKARAN DAERAH SEBAGAI SOLUSI PENINGKATAN EKONOMI KERAKYATAN Oleh: H. Endang Komara
Abstrak
Idealnya pemekeran daerah bisa berdampak positif terhadap perkembangan demokrasi, tumbuhnya pusat perekonomian yang baru, pendekatan pelayanan kepada masyarakat, kemudahan membangun serta memelihara sarana dan prasarana, tumbunnya lapangan kerja baru, dan adanya motivasi pengembangan inovasi serta kreativitas daerah.
Tujuan pemekaran sangat mulia. Namun kenyataannya menimbulkan berbagai dampak negatif, misalnya: (1) pemekaran daerah hanya untuk kepentingan segelintir elite atau kelompok masyarakat yang menginginkan jabatan tertentu, misal kepala daerah/wakil gubernur, bupati/wali kota, DPRD, kepala dinas, (2) munculnya primordialisme putra daerah, (3) biaya birokrasi yang meningkat tajam, (4) beberapa hasil pemekaran daerah tidak berdampak positif terhadap pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, dan (5) pemekaran daerah dapat berpotensi mematikan daerah induk di beberapa tempat.
Ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 dan sila keempat Pancasila. Artinya, rakyat harus berpartisipasi penuh secara demokratis dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi dan tidak menyerahkan begitu saja keputusan ekonomi kepada kekuatan atau mekanisme pasar.
Kata Kunci: Pemekaran daerah, kreativitas daerah, ekonomi kerakyatan, dan kekuatan ekonomi rakyat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memunculkan semangat reformasi sistem pemerintahan Republik Indonesia yang awalnya cenderung sentralistik ke arah yang lebih desentralistik. Salah satu perubahan yang sangat strategis adalah adanya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di daerah. Pemberlakuan Undang-Undang baru tersebut memberikan kepada daerah, kekuasaan penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah secara utuh dan bulat, khususnya kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa karakteristik ;egal yang tampaknya perlu dipahami oleh masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah seperti dijelaskan oleh Desi Fernada antara lain:
1) Meletakkan otonomi daerah sebagai wujud pengakuan kedaulatan rakyat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas daerah tertentu dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
2) Daerah otonomi kabupaten dan kota tidak lagi merangkap sebagai wilayah administrasi pusat, sehingga tidak lagi ada perangkapan jabatan kepala daerah dan sekaligus kepala wilayah.
3) Menempatkan seluruah kewenangan pemerintahan pada daerah kabupaten dan kota yang lebvih dekat dengan masyarakat, kecuali kewenangan-kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan propinsi dan kewenangan pusat. Kewenangan propinsi terbatas pada bidang-bidang yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota, atau kewenangan yang belum dapat dilaksanakan oleh daerah/kota. Kewenangan pusat antara lain meliputi bidang strategis, yaitu politikl luar negeri, agama, ekonomi moneter, pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan.
4) Tidak ada hubungan hierarki antara daerah otonom kabupaten dan kota dengan daerah otonom propinsi. Jadi daerah otonom kabupaten/kota bukanlah bawahan daerah otonom propinsi.
5) Kepala daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya kepada daerah wajib mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.
6) Kedudukan kekuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memiliki otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah, dengan kewajiban melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas.
7) Strukur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh bervariasi sesuai dengan potensi dan kenekaragaman daerah. Sedangkan kecamatan dan kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom.
8) Pengawasan oleh pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otominya tanpa campur tangan pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.
Berdasarkan pendapat di atas, Nampak jelas bahwa karakteristik otonomi daerah akan berpengaruh signifikan dengan perekonomian daerah. Karena merupakan ukuran kinerja secara umum dari perekonomian makro (daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral perekonomian, serta tingkat biaya hidup. Indikator kinerja ekonomi makro mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip antara lain: (1) akumulasi tambah merefleksikan produktivitas perekonomian, setidaknya dalam jangka pendek; (2) akumulasi modal mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dalam jangka panjang; (3) kemakmuran suatu daerah mencerminkan kinerja ekonomi di masa lalu dan; (4) kompetisi yang didorong mekanisme pasar akan meningkatkan kinerja ekonomi suatu daerah. Semakin ketat kompetisi pada suatu perekonomian daerah, maka akan semakin kompetitif perusahaan-perusahaan yang akan bersaing secara international dan domestik.
Sistem ekonomi rakyat jika diterapkan dengan sungguh-sungguh akan mampu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi perkembangan individu dan masyarakat Indonesia sesuai bakat dan kemampuan masing-masing. Namun dalam sistem ini, haruslah ada mekanisme yang dapat mengendalikan dan mengatasi akses-akses yang bersumber pada praktik-praktik monopolistik yang mungkin timbul. Di sinilah letak pentingnya pelaksanaan undang-undang tentang persaingan sehat (antipraktik monopoli) dan perlindungan terhadap usaha kecil dan menengah. Tentunya dalam sebuah bingkai kemitraan usaha yang serasi dan produktif.
1.2 Teori dan Metode
1.2.1 Teori yang Digunakan
Terori Struktural-Fungsional menurut Judistira K. Garna bahwa struktur sosial merupakan suatu pola hubungan di dalam setiap satuan sosial yang mapan dan memiliki identitas sendiri, dan fungsi ialah sesuatu hal yang berfungsi atau yang berguna. Jadi dengan demikian sesuatu yang berfungsi itu ialah: (1) sesuatu yang berguna, karena memiliki fungsi tertentu untuk memenuhi keperluan manusia, seperti perladangan dan pemasaran; (2) harus mendatangkan manfaat bagi yang melakukannya, seperti kerja untuk memperoleh uang; (3) dapat memenuhi keperluan individu untuk meneruskan relasi social, atau berkaitan dengan hak dan tanggungjawab dalam melangsungkan tujuan individu dan masyarakatnya; aeperti perkawinan untuk membentuk keluarga baru; (4) memenuhi keperluan masyarakat; seperti agama dan politik; (5) struktur bagi setiap individu guna menempati posisi dan melakukan peranan; seperti partai politik.
Teori struktural fungsional mengamati bentuk struktur dan fungsi dalam suatu masyarakat, sehingga dapat melihat bagaimana suatu masyarakat itu berubah atau mapan melalui setiap unsurnya yang saling berakitan dan dinamik untuk mememnuhi kebutuhan individu dan kelompok. Keluarga merupakan suatu institusi sosial yang telah membuat bentukan kepribadian, yaitu wadah ikatan emosi seseorang dan bentukan emosi sosial, hal itu dimungkinkan karena keluarga itu ialah institusi yang mmbentuk, mendidik, memelihara anak-anak sejak lahir sampai dewasa. Hubungan antara kepribadian dengan kebudayan tampak erat manakala emosi dan kesetiaan dalam keluarga itu adalah timbul dari sifat individu untuk kepentingan diri dan keluarganya, sedangkan diri dan keluarga berada dalam lingkup sistem kekerabatan yang dipolakan oleh kebudayaan suatu masyarakat.
Institusi ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan para individu dalam melakukan kegiatan ekonomi yang kemudian digunakannya melalui system tertentu yang setiap sistem memiliki strukturnya sendiri dan berfungsi bagi kelangsungan institusi ekonomi itu. Adapun institusi politik terbentuk oleh kebutuhan untuk melaksanakan suatu orde dan dengan sejumlah otoritas yanhg dapat menjaga ketenteraman suatu masyarakat; berfungsi karena institusi politik itu adalah suatu sistem yang mem,benarkan bahwa pihak yag diberi kekuasaan, baik melalui undang-undang maupun pewarisan keturunan mengambil tindakan serta menjalankan otoritas yang diterimanya.
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Sepeti dikemukakan oleh H. Noeng Muhadjir dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
1.2.2 Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam menjelaskan Pemekaran Daerah sebagai Solusi Peningkatan Ekonomi Kerakyatan adalah studi literatur melalui pendekatan analisis kritis.
BAB II
ANALISIS
2.1 Analisis Model Struktural Fungsional
Analisis Isu berdasarkan perspektif Teori Struktural-Fungsional
Teori ini mengkaji fungsi perlakuan sosial atau institusi dalam kegiatan-kegiatan yang menyumbang kepada penerusan masyarakat. Masyarakat selalu dianggap seperti tubuh badan manusia yang mempunyai bahagian-bahagian dengan fungsi-fungsi yang tersendiri. Teori fungsionalisme memberi uraian mengenai organisasi sosial dan menerangkan bagaimana sesuatu organisasi dikekalkan. Masyarakat telah diibaratkan sama seperti organisma yang mempunyai bagian-bagian dan setiap bagian masyarakat dikenali sebagai struktur. Seterusnya kajian dilakukan untuk melihat bagaimana struktur masyarakat berfungsi. Menurut teori ini, struktur-struktur sosial akan menentukan kelancaran perjalanan atau keharmonian masyarakat. Brinkerhoff dan White telah merumuskan tiga landasan utama ahli-ahli fungsionalisme yaitu stabiliti, harmoni dan evolusi. Stabiliti merupakan kriteria penilaian utama untuk menentukan sejauh mana sebuah masyarakat dapat dikekalkan. Harmoni menunjukkan bagaimana semua bagian atau struktur-struktur dalam masyarakat bekerjasama untuk mencapai tujuannya. Evolusi pula menggambarkan perubahan-perubahan yang berlaku kepada masyarakat melalui proses adaptasi struktur sosial kepada pembaruan. Maka, tidak dapat dinafikan lagi bahwa guru, pihak sekolah, rekan sebaya dan media massa saling berperan dalam mengatasi masalah remaja. Seperti yang kita maklumi bahwa lahirnya Educational Sociology di Amerika Serikat dikaitkan dengan pendapat Lester Frank Ward yaitu bahwa perbedaan kelas-kelas dalam masyarakat yang menimbulkan perbedaan kaya miskin atau maju dan terbelakang, semuanya bersumber pada ketidak merataan kesempatan, khususnya kesempatan memperoleh pendidikan. Atas dasar itulah ia mengusulkan kepada pemerintah Amerika Serikat untuk menyelenggarakan program wajib belajar. Pandangan Ward itu sangat pragmatis. Dari segi perkembangan teori, sosiologi pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan karya Emile Durkheim (1858-1817), seorang tokoh utama sosiologi Perancis yang gema teorinya tergetar diseluruh dunia sampai sekarang ini. Ia adalah orang yang pertama kali menganjurkan agar dalam mempelajari pendidikan digunakan pendekatan sosiologi. Dalam masa hidupnya ia pernah sekaligus menjabat guru besar dalam dua bidang studi, yaitu sosiologi dan pendidikan (paedagogi). Menurut Durkheim, pendidikan adalah suatu fakta sosial, social fact, dan karenanya menjadi obyek studi sosiologi. Fakta sosial itu mempunyai tiga ciri utama, pertama bahwa ia berada di luar individu, tidak seperti fakta psikologi yang berada dalam individu. Karena itu fakta sosial bersifat ‘langgeng’, dalam arti bahwa ia sudah ada sebelum individu lahir, dan tetap ada meskipun individu tadi meninggal dunia. Bahasa sudah ada sejak kita belum lahir ke dunia dan belum berperan sebagai pemakainya, dan ia akan terus hidup meskipun kita telah tidak ada lagi. Ciri fakta sosial yang kedua adalah memiliki daya paksa terhadap individu untuk melaksanakan dan mentaatinya. Orang merasa wajib untuk menggunakan bahasa tertentu agar ia dapat berkomunikasi dengan orang lain, melaksanakan adata istiadat tertentu atau menjalankan kegiatan keagamaan yang dianutnya. Ketiga adalah bahwa fakta sosial itu tersebar di kalangan warga masyarakat, menjadi milik masyarakat.
Durkheim mengamati bahwa pada waktu seseorang dilahirkan ia tidak mampu berbahasa, belum berpengetahuan, dan belum bisa berbuat apa-apa, juga belum tahu adat kebiasaan. Untuk bisa hidup terus ia harus mempelajari segala sesuatu yang diperlukan untuk itu dari masyarakatnya bersamaan dengan perkembangan fisiknya. Bagi Durkheim, masyarakatlah yang membentuk seseorang menjadi makhluk sosial, a social being’. Sebelumnya ia adalah an ‘asocial being menjadi a social being dinamakannya proses sosialisasi. Selama proses itu berlangsung seseorang diajari segala sesuatu agar mampu dan diterima menjadi warga penuh dalam masyarakatnya. Perlu diketahui bahwa proses sosialisasi itu berlangsung seumur hidup.
Suatu masyarakat hanya dapat ada dan bertahan apabila di kalangan warganya terdapat homogenitas tertentu. Tanpa adanya homogenitas atau keseragaman tertentu itu mustahil akan ada masysrakat. Proses sosialisasi atau pendidikan adalah proses homogenisasi sosial yang diselenggarakan untuk menyiapkan setiap warga suatu masyarakat. Atas dasar itu Emile Durkheim memberi definisi pendidikan sebagai proses mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan tuntutan masyarakat politis secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia akan hidup dan berada. Definisi pendidikan menurut Durkheim antara lain:
Education is the influence by adult generations on those that are not yet ready for socials life. Its object is to arouse and to develop in the child a certain number of physical, intellectual and moral states which are demanded of him by both the political society as a whole and the special milieu for which he is specifically destined.
Pendidikan adalah sarana persiapan untuk hidup bermasyarakat yang disiapkan oleh masyarakat itu sendiri.
Karakteristik lain yang dijumpai dalam sosiologi Durkheim adalah penekanan yang diberikannya pada pembagian kerja (division of labor) dan solidaritas sosial (social solidarity). Makin maju suatu masyarakat makin tajam pembagian kerja di antara warganya, sehingga di masyarakat terdapat spesialis untuk bidang yang sangat khusus. Akan tetapi makin tajam suatu spesialisasi makin banyak diperlukan suatu koordinasi. Tanpa koordinasi yang baik tentu terjadi disorganisasi sosial dan keadaan anomie, dua hal yang amat ditekankan oleh Durkheim. Sejalan dengan meningkatnya pembagian kerja terjadilah perubahan dalam solidaritas sosial, yaitu ikatan emosional antara warga suatu masyarakat. Menurut Emile Durkheim, pada masyarakat yang belum memiliki pembagian kerja, solidaritas sosial itu bersifat mekanis (mechanic solidarity), sedang pada masyarakat yang memiliki pembagian kerja lebih lanjut solidaritas sosial itu didasari oleh adanya rasa saling memerlukan atau saling tergantung. Solidaritas macam ini dinamakan solidaritas organis (organic solidarity).
Dilihat dari pembagian kerja ini pendidikan berfungsi mengheterogenkan fungsi dan peran warga masyarakat. Masyarakat memerlukan suatu heterogenitas tertentu. Apabila tidak ada homogenitas tertentu masyarakat akan tidak ada atau tidak akan ada, maka demikian pula halnya apabila tidak ada heterogenitas tertentu. Spesialisasi mengandung arti seleksi, karena ia menempatkan orang-orang pada posisi tertentu sesuai dengan bakat, minat, dan kesempatan yang tersedia dalam masyarakat. Lebih jauh proses ini juga berarti alokasi dan distribusi sumber daya yang ada dalam masyarakat. Orang mendapat penghargaan, termasuk imbalan materi sesuai dengan peran yang dimainkannya dalam masyarakat. Seleksi berarti alokasi dan distribusi sumber kemakmuran, karena setiap bidang spesialisasi mendapat imbalan yang berbeda. Lebih jauh lagi, peristiwa tersebut dapat melahirkan stratifikasi sosial.
Jadi Emile Durkheim melihat pendidikan sebagai pemegang peran dalam proses sosialisasi atau hemogenisasi, seleksi atau heterogenisasi, dan alokasi serta distribusi peran sosial, yang berakibat jauh pada struktur sosial yaitu pada distribusi peran dalam masyarakat.
Dalam salah satu karyanya Emile Durkheim menekankan pentingnya pendidikan moral yang berlandaskan pada penerapan disiplin di setiap lingkungan pendidikan. Hukuman dan ganjaran dipandangnya sebagai salah satu alat untuk pendidikan disiplin. Pada dasarnya orang harus tahu hal-hal yang disukai atau dikehendaki oleh masyarakat dan hal-hal yang harus dicegah atau dijauhi. Meskipun demikian ia tidak sepakat dengan hukuman badan karena hal itu bertentangan dengan prinsip moralitas modern, dalam arti menyinggung harga diri dan martabat manusia. Di sini guru berperan sebagai wakil bangsa dan negara yang bertugas mengembangkan disiplin. Tanpa disiplin yang baik, sekolah, kelas, dan masyarakat, hanya akan merupakan tempat berkumpulnya kaum brandal yang menyebabkan hidup kacau tanpa aturan. Oleh karena sekolah merupakan jembatan yang mengalihkan kehidupan dalam keluarga yang didominisir oleh corak hidup emosional ke kehidupan masyarakat terutama lapangan kerja yang ditandai hubungan yang bersifat rasional dan lugas dengan disiplin tinggi, maka peran guru dalam menyiapkan warga masyarakat semakin penting. Ilmu pengetahuan memegang peran penting dalam peralihan ini. Durkheim menekankan pentingnya peran pendidikan sains untuk pengembangan rasionalitas dalam berfikir di kalangan anak didik.
Durkheim juga mengamati bahwa pendidikan itu mempunyai corak yang berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lain, dari suatu saat ke saat lain. Pendekatan komparatif dan longitudinal digunakannya dalam menganalisa fakta sosial dalam dunia pendidikan. Meskipun demikian, benang merah yang terentang dalam analisis Durkheim adalah bahwa pendidikan memegang peran dalam menimbulkan dan memelihara tertib sosial dan keseimbangan (social order dan social equilibrium).
Dari uraian di atas nampak bahwa analisis Durkheim memberi penekanan pada pembahasan tahap makro dengan pengkhususan pada peran pendidikan dalam proses sosialisasi, seleksi, distribusi, dan integrasi sosial. Ia melihat bahwa masyarakat memegang posisi dominan dalam pembentukan individu menjadi warga masyarakat. Pendidikan model Durkheim memberi posisi dominan kepada guru sebagai wakil negara, bangsa dan orang dewasa dalam menyiapkan generasi muda yang mampu berperan sebagai warga penuh dalam masyarakatnya. Sebaliknya, ia menempatkan anak didik pada posisi dibentuk. Dengan jalan ini homogenitas dan kelangsungan masyarakat beserta tertib sosial (social order) dipertahankan. Masyarakat yang seimbang yang seluruh warganya mempunyai konsensus akan nilai-nilai (collective consciousness) bersama, adalah masyarakat yang ideal. Pendidikan berfungsi dan peran dalam menciptakan konsensus akan nilai-nilai ini.
2.2 Analisis Model Post-Modernisme
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Seperti dikemukakan oleh Noeng Muhadjir bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretatif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir berpendapat bahwa posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis; logika yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996), logika discovery menurut Muhadjir , atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernis yang ”mengejar” grandtheory dan jabarannya, ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah postpositivistik phenomenologik-interpretif logik dan etik, misalnya berupa model interpretatif Geertz, grounded research, ethnographik-etnometodologik, paradigma naturalistik, interaksionisme simbolik dan model kontruktivist.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansi kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama, temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia, umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer, satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Apakah posmo hanya menyangkut rakayasa sosial? Tidak. Dengan mengkonstruksi paradigma genetik jantan-betina, menjadi paradigma lain, ditemukan DNA. Dengan mendekonstruk sistem desimal menjadi sistem digital berkembang software ilmu komputer. Dekonstruksi paradigma sosial, berkembang berbagai teori para futurolog. Dekonstruksi sosial paling banyak, tetapi nampaknya juga yang paling banyak membuat kesalahan prediksi. Makna poststruktural, postparadigmatik akan menjadi semakin menonjol dalam peran berfikir postmodern. Pada era modern, baik positivist maupun postpositivist, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif (divergen, lateral, holographik, dan lain-lain) pada postpositivistik. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era postposivist menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep postmo dalam filsafat. Istilah postmo sendiri sudah lama dipakai di dunia arsitektur. Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat, setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard . Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa ) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmo, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II (1939-1945), manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan postmo secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmo merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmo cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmo cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmo cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmo menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmo menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar . Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, keenam postmo bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmo menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi. Secara lebih umum, Bauman menetapkan kebudayaan postmo antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman menjelaskan bahwa postmo berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmo adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktek modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmo itu mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmo penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmo dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
3.1 Pemberian otonomi kepada daerah memiliki empat tujuan: (1) Segi politik; mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri ataupun untuk mendukung politik dengan kebijakan nasional dalam rangka pembangunan dan proses demokrasi di lapisan baah; (2) Pengelolaan pemerintahan, meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat; (3) Kemasyarakatan, meningkatkan partisipasi dan menumbuhkan kemandirian masyarakat dengan melakukan usaha pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat makin mandiri dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses penumbuhannya; serta (4) Ekonomi pembangunan, melancarakan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat.
3.2 Pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan salah satu tugas kemanusian yang paling asasi juga yang diperintahkan semua agama yang antikemiskinan dan penindasan dalam segala bentuk. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan ekonomi rakyat itu tidak dapat dilakukan sebatas pemberian subsidi, redistribusi, dan program-program yang bersifat karitatif, melainkan harus paradigmatif, strukturalis (kelembagaan) dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean. 1990. The Transparancy of Evil: Essays on Extreme Phenomena. London: Verso.
Bauman, A.T., 1992. The Role of Rhetorical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Best, Steven & Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern: Interogasi Kritis.Malang: Boyan Publishing.
Borgherts, Donald M. 1996. The Encyclopedia of Philosophy Supplement. New York: Simon & Schuster Macmillan.
Desi, Fernanda. 2002. Signifikasni Struktur, Kultur, Prosedur, dan Figur dalam Reformasi Administrasi Publik Daerah Otonomi. Jurnal Administrasi Publik Nomor 1, Centre for Public Policy and Management Studies Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Parahyangan.
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Geertz, Clifford. 1960. Religion of Java. Glencoe: Free Press.
______________ 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Jameson, Fredric. 1989. Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.
Kleden, Ignas. 2000. Masyarakat dan Negara. Jakarta.
Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A. Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesofa Press.
Muhadjir, Noeng. 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
______________ 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustafa, Hasan. 2004. Perspektif dalam Psikologi Sosial {OnLine}. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/doc (13 Januari 2005)
Nuyen, A.T.,1992. The Role of Rhetorrical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Rosenan, Pauline Morie. 1992. Post Modernism and the Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.
Idealnya pemekeran daerah bisa berdampak positif terhadap perkembangan demokrasi, tumbuhnya pusat perekonomian yang baru, pendekatan pelayanan kepada masyarakat, kemudahan membangun serta memelihara sarana dan prasarana, tumbunnya lapangan kerja baru, dan adanya motivasi pengembangan inovasi serta kreativitas daerah.
Tujuan pemekaran sangat mulia. Namun kenyataannya menimbulkan berbagai dampak negatif, misalnya: (1) pemekaran daerah hanya untuk kepentingan segelintir elite atau kelompok masyarakat yang menginginkan jabatan tertentu, misal kepala daerah/wakil gubernur, bupati/wali kota, DPRD, kepala dinas, (2) munculnya primordialisme putra daerah, (3) biaya birokrasi yang meningkat tajam, (4) beberapa hasil pemekaran daerah tidak berdampak positif terhadap pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, dan (5) pemekaran daerah dapat berpotensi mematikan daerah induk di beberapa tempat.
Ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 dan sila keempat Pancasila. Artinya, rakyat harus berpartisipasi penuh secara demokratis dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi dan tidak menyerahkan begitu saja keputusan ekonomi kepada kekuatan atau mekanisme pasar.
Kata Kunci: Pemekaran daerah, kreativitas daerah, ekonomi kerakyatan, dan kekuatan ekonomi rakyat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memunculkan semangat reformasi sistem pemerintahan Republik Indonesia yang awalnya cenderung sentralistik ke arah yang lebih desentralistik. Salah satu perubahan yang sangat strategis adalah adanya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di daerah. Pemberlakuan Undang-Undang baru tersebut memberikan kepada daerah, kekuasaan penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah secara utuh dan bulat, khususnya kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa karakteristik ;egal yang tampaknya perlu dipahami oleh masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah seperti dijelaskan oleh Desi Fernada antara lain:
1) Meletakkan otonomi daerah sebagai wujud pengakuan kedaulatan rakyat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas daerah tertentu dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
2) Daerah otonomi kabupaten dan kota tidak lagi merangkap sebagai wilayah administrasi pusat, sehingga tidak lagi ada perangkapan jabatan kepala daerah dan sekaligus kepala wilayah.
3) Menempatkan seluruah kewenangan pemerintahan pada daerah kabupaten dan kota yang lebvih dekat dengan masyarakat, kecuali kewenangan-kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan propinsi dan kewenangan pusat. Kewenangan propinsi terbatas pada bidang-bidang yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota, atau kewenangan yang belum dapat dilaksanakan oleh daerah/kota. Kewenangan pusat antara lain meliputi bidang strategis, yaitu politikl luar negeri, agama, ekonomi moneter, pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan.
4) Tidak ada hubungan hierarki antara daerah otonom kabupaten dan kota dengan daerah otonom propinsi. Jadi daerah otonom kabupaten/kota bukanlah bawahan daerah otonom propinsi.
5) Kepala daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya kepada daerah wajib mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.
6) Kedudukan kekuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memiliki otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah, dengan kewajiban melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas.
7) Strukur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh bervariasi sesuai dengan potensi dan kenekaragaman daerah. Sedangkan kecamatan dan kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom.
8) Pengawasan oleh pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otominya tanpa campur tangan pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.
Berdasarkan pendapat di atas, Nampak jelas bahwa karakteristik otonomi daerah akan berpengaruh signifikan dengan perekonomian daerah. Karena merupakan ukuran kinerja secara umum dari perekonomian makro (daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral perekonomian, serta tingkat biaya hidup. Indikator kinerja ekonomi makro mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip antara lain: (1) akumulasi tambah merefleksikan produktivitas perekonomian, setidaknya dalam jangka pendek; (2) akumulasi modal mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dalam jangka panjang; (3) kemakmuran suatu daerah mencerminkan kinerja ekonomi di masa lalu dan; (4) kompetisi yang didorong mekanisme pasar akan meningkatkan kinerja ekonomi suatu daerah. Semakin ketat kompetisi pada suatu perekonomian daerah, maka akan semakin kompetitif perusahaan-perusahaan yang akan bersaing secara international dan domestik.
Sistem ekonomi rakyat jika diterapkan dengan sungguh-sungguh akan mampu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi perkembangan individu dan masyarakat Indonesia sesuai bakat dan kemampuan masing-masing. Namun dalam sistem ini, haruslah ada mekanisme yang dapat mengendalikan dan mengatasi akses-akses yang bersumber pada praktik-praktik monopolistik yang mungkin timbul. Di sinilah letak pentingnya pelaksanaan undang-undang tentang persaingan sehat (antipraktik monopoli) dan perlindungan terhadap usaha kecil dan menengah. Tentunya dalam sebuah bingkai kemitraan usaha yang serasi dan produktif.
1.2 Teori dan Metode
1.2.1 Teori yang Digunakan
Terori Struktural-Fungsional menurut Judistira K. Garna bahwa struktur sosial merupakan suatu pola hubungan di dalam setiap satuan sosial yang mapan dan memiliki identitas sendiri, dan fungsi ialah sesuatu hal yang berfungsi atau yang berguna. Jadi dengan demikian sesuatu yang berfungsi itu ialah: (1) sesuatu yang berguna, karena memiliki fungsi tertentu untuk memenuhi keperluan manusia, seperti perladangan dan pemasaran; (2) harus mendatangkan manfaat bagi yang melakukannya, seperti kerja untuk memperoleh uang; (3) dapat memenuhi keperluan individu untuk meneruskan relasi social, atau berkaitan dengan hak dan tanggungjawab dalam melangsungkan tujuan individu dan masyarakatnya; aeperti perkawinan untuk membentuk keluarga baru; (4) memenuhi keperluan masyarakat; seperti agama dan politik; (5) struktur bagi setiap individu guna menempati posisi dan melakukan peranan; seperti partai politik.
Teori struktural fungsional mengamati bentuk struktur dan fungsi dalam suatu masyarakat, sehingga dapat melihat bagaimana suatu masyarakat itu berubah atau mapan melalui setiap unsurnya yang saling berakitan dan dinamik untuk mememnuhi kebutuhan individu dan kelompok. Keluarga merupakan suatu institusi sosial yang telah membuat bentukan kepribadian, yaitu wadah ikatan emosi seseorang dan bentukan emosi sosial, hal itu dimungkinkan karena keluarga itu ialah institusi yang mmbentuk, mendidik, memelihara anak-anak sejak lahir sampai dewasa. Hubungan antara kepribadian dengan kebudayan tampak erat manakala emosi dan kesetiaan dalam keluarga itu adalah timbul dari sifat individu untuk kepentingan diri dan keluarganya, sedangkan diri dan keluarga berada dalam lingkup sistem kekerabatan yang dipolakan oleh kebudayaan suatu masyarakat.
Institusi ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan para individu dalam melakukan kegiatan ekonomi yang kemudian digunakannya melalui system tertentu yang setiap sistem memiliki strukturnya sendiri dan berfungsi bagi kelangsungan institusi ekonomi itu. Adapun institusi politik terbentuk oleh kebutuhan untuk melaksanakan suatu orde dan dengan sejumlah otoritas yanhg dapat menjaga ketenteraman suatu masyarakat; berfungsi karena institusi politik itu adalah suatu sistem yang mem,benarkan bahwa pihak yag diberi kekuasaan, baik melalui undang-undang maupun pewarisan keturunan mengambil tindakan serta menjalankan otoritas yang diterimanya.
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Sepeti dikemukakan oleh H. Noeng Muhadjir dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
1.2.2 Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam menjelaskan Pemekaran Daerah sebagai Solusi Peningkatan Ekonomi Kerakyatan adalah studi literatur melalui pendekatan analisis kritis.
BAB II
ANALISIS
2.1 Analisis Model Struktural Fungsional
Analisis Isu berdasarkan perspektif Teori Struktural-Fungsional
Teori ini mengkaji fungsi perlakuan sosial atau institusi dalam kegiatan-kegiatan yang menyumbang kepada penerusan masyarakat. Masyarakat selalu dianggap seperti tubuh badan manusia yang mempunyai bahagian-bahagian dengan fungsi-fungsi yang tersendiri. Teori fungsionalisme memberi uraian mengenai organisasi sosial dan menerangkan bagaimana sesuatu organisasi dikekalkan. Masyarakat telah diibaratkan sama seperti organisma yang mempunyai bagian-bagian dan setiap bagian masyarakat dikenali sebagai struktur. Seterusnya kajian dilakukan untuk melihat bagaimana struktur masyarakat berfungsi. Menurut teori ini, struktur-struktur sosial akan menentukan kelancaran perjalanan atau keharmonian masyarakat. Brinkerhoff dan White telah merumuskan tiga landasan utama ahli-ahli fungsionalisme yaitu stabiliti, harmoni dan evolusi. Stabiliti merupakan kriteria penilaian utama untuk menentukan sejauh mana sebuah masyarakat dapat dikekalkan. Harmoni menunjukkan bagaimana semua bagian atau struktur-struktur dalam masyarakat bekerjasama untuk mencapai tujuannya. Evolusi pula menggambarkan perubahan-perubahan yang berlaku kepada masyarakat melalui proses adaptasi struktur sosial kepada pembaruan. Maka, tidak dapat dinafikan lagi bahwa guru, pihak sekolah, rekan sebaya dan media massa saling berperan dalam mengatasi masalah remaja. Seperti yang kita maklumi bahwa lahirnya Educational Sociology di Amerika Serikat dikaitkan dengan pendapat Lester Frank Ward yaitu bahwa perbedaan kelas-kelas dalam masyarakat yang menimbulkan perbedaan kaya miskin atau maju dan terbelakang, semuanya bersumber pada ketidak merataan kesempatan, khususnya kesempatan memperoleh pendidikan. Atas dasar itulah ia mengusulkan kepada pemerintah Amerika Serikat untuk menyelenggarakan program wajib belajar. Pandangan Ward itu sangat pragmatis. Dari segi perkembangan teori, sosiologi pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan karya Emile Durkheim (1858-1817), seorang tokoh utama sosiologi Perancis yang gema teorinya tergetar diseluruh dunia sampai sekarang ini. Ia adalah orang yang pertama kali menganjurkan agar dalam mempelajari pendidikan digunakan pendekatan sosiologi. Dalam masa hidupnya ia pernah sekaligus menjabat guru besar dalam dua bidang studi, yaitu sosiologi dan pendidikan (paedagogi). Menurut Durkheim, pendidikan adalah suatu fakta sosial, social fact, dan karenanya menjadi obyek studi sosiologi. Fakta sosial itu mempunyai tiga ciri utama, pertama bahwa ia berada di luar individu, tidak seperti fakta psikologi yang berada dalam individu. Karena itu fakta sosial bersifat ‘langgeng’, dalam arti bahwa ia sudah ada sebelum individu lahir, dan tetap ada meskipun individu tadi meninggal dunia. Bahasa sudah ada sejak kita belum lahir ke dunia dan belum berperan sebagai pemakainya, dan ia akan terus hidup meskipun kita telah tidak ada lagi. Ciri fakta sosial yang kedua adalah memiliki daya paksa terhadap individu untuk melaksanakan dan mentaatinya. Orang merasa wajib untuk menggunakan bahasa tertentu agar ia dapat berkomunikasi dengan orang lain, melaksanakan adata istiadat tertentu atau menjalankan kegiatan keagamaan yang dianutnya. Ketiga adalah bahwa fakta sosial itu tersebar di kalangan warga masyarakat, menjadi milik masyarakat.
Durkheim mengamati bahwa pada waktu seseorang dilahirkan ia tidak mampu berbahasa, belum berpengetahuan, dan belum bisa berbuat apa-apa, juga belum tahu adat kebiasaan. Untuk bisa hidup terus ia harus mempelajari segala sesuatu yang diperlukan untuk itu dari masyarakatnya bersamaan dengan perkembangan fisiknya. Bagi Durkheim, masyarakatlah yang membentuk seseorang menjadi makhluk sosial, a social being’. Sebelumnya ia adalah an ‘asocial being menjadi a social being dinamakannya proses sosialisasi. Selama proses itu berlangsung seseorang diajari segala sesuatu agar mampu dan diterima menjadi warga penuh dalam masyarakatnya. Perlu diketahui bahwa proses sosialisasi itu berlangsung seumur hidup.
Suatu masyarakat hanya dapat ada dan bertahan apabila di kalangan warganya terdapat homogenitas tertentu. Tanpa adanya homogenitas atau keseragaman tertentu itu mustahil akan ada masysrakat. Proses sosialisasi atau pendidikan adalah proses homogenisasi sosial yang diselenggarakan untuk menyiapkan setiap warga suatu masyarakat. Atas dasar itu Emile Durkheim memberi definisi pendidikan sebagai proses mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan tuntutan masyarakat politis secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia akan hidup dan berada. Definisi pendidikan menurut Durkheim antara lain:
Education is the influence by adult generations on those that are not yet ready for socials life. Its object is to arouse and to develop in the child a certain number of physical, intellectual and moral states which are demanded of him by both the political society as a whole and the special milieu for which he is specifically destined.
Pendidikan adalah sarana persiapan untuk hidup bermasyarakat yang disiapkan oleh masyarakat itu sendiri.
Karakteristik lain yang dijumpai dalam sosiologi Durkheim adalah penekanan yang diberikannya pada pembagian kerja (division of labor) dan solidaritas sosial (social solidarity). Makin maju suatu masyarakat makin tajam pembagian kerja di antara warganya, sehingga di masyarakat terdapat spesialis untuk bidang yang sangat khusus. Akan tetapi makin tajam suatu spesialisasi makin banyak diperlukan suatu koordinasi. Tanpa koordinasi yang baik tentu terjadi disorganisasi sosial dan keadaan anomie, dua hal yang amat ditekankan oleh Durkheim. Sejalan dengan meningkatnya pembagian kerja terjadilah perubahan dalam solidaritas sosial, yaitu ikatan emosional antara warga suatu masyarakat. Menurut Emile Durkheim, pada masyarakat yang belum memiliki pembagian kerja, solidaritas sosial itu bersifat mekanis (mechanic solidarity), sedang pada masyarakat yang memiliki pembagian kerja lebih lanjut solidaritas sosial itu didasari oleh adanya rasa saling memerlukan atau saling tergantung. Solidaritas macam ini dinamakan solidaritas organis (organic solidarity).
Dilihat dari pembagian kerja ini pendidikan berfungsi mengheterogenkan fungsi dan peran warga masyarakat. Masyarakat memerlukan suatu heterogenitas tertentu. Apabila tidak ada homogenitas tertentu masyarakat akan tidak ada atau tidak akan ada, maka demikian pula halnya apabila tidak ada heterogenitas tertentu. Spesialisasi mengandung arti seleksi, karena ia menempatkan orang-orang pada posisi tertentu sesuai dengan bakat, minat, dan kesempatan yang tersedia dalam masyarakat. Lebih jauh proses ini juga berarti alokasi dan distribusi sumber daya yang ada dalam masyarakat. Orang mendapat penghargaan, termasuk imbalan materi sesuai dengan peran yang dimainkannya dalam masyarakat. Seleksi berarti alokasi dan distribusi sumber kemakmuran, karena setiap bidang spesialisasi mendapat imbalan yang berbeda. Lebih jauh lagi, peristiwa tersebut dapat melahirkan stratifikasi sosial.
Jadi Emile Durkheim melihat pendidikan sebagai pemegang peran dalam proses sosialisasi atau hemogenisasi, seleksi atau heterogenisasi, dan alokasi serta distribusi peran sosial, yang berakibat jauh pada struktur sosial yaitu pada distribusi peran dalam masyarakat.
Dalam salah satu karyanya Emile Durkheim menekankan pentingnya pendidikan moral yang berlandaskan pada penerapan disiplin di setiap lingkungan pendidikan. Hukuman dan ganjaran dipandangnya sebagai salah satu alat untuk pendidikan disiplin. Pada dasarnya orang harus tahu hal-hal yang disukai atau dikehendaki oleh masyarakat dan hal-hal yang harus dicegah atau dijauhi. Meskipun demikian ia tidak sepakat dengan hukuman badan karena hal itu bertentangan dengan prinsip moralitas modern, dalam arti menyinggung harga diri dan martabat manusia. Di sini guru berperan sebagai wakil bangsa dan negara yang bertugas mengembangkan disiplin. Tanpa disiplin yang baik, sekolah, kelas, dan masyarakat, hanya akan merupakan tempat berkumpulnya kaum brandal yang menyebabkan hidup kacau tanpa aturan. Oleh karena sekolah merupakan jembatan yang mengalihkan kehidupan dalam keluarga yang didominisir oleh corak hidup emosional ke kehidupan masyarakat terutama lapangan kerja yang ditandai hubungan yang bersifat rasional dan lugas dengan disiplin tinggi, maka peran guru dalam menyiapkan warga masyarakat semakin penting. Ilmu pengetahuan memegang peran penting dalam peralihan ini. Durkheim menekankan pentingnya peran pendidikan sains untuk pengembangan rasionalitas dalam berfikir di kalangan anak didik.
Durkheim juga mengamati bahwa pendidikan itu mempunyai corak yang berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lain, dari suatu saat ke saat lain. Pendekatan komparatif dan longitudinal digunakannya dalam menganalisa fakta sosial dalam dunia pendidikan. Meskipun demikian, benang merah yang terentang dalam analisis Durkheim adalah bahwa pendidikan memegang peran dalam menimbulkan dan memelihara tertib sosial dan keseimbangan (social order dan social equilibrium).
Dari uraian di atas nampak bahwa analisis Durkheim memberi penekanan pada pembahasan tahap makro dengan pengkhususan pada peran pendidikan dalam proses sosialisasi, seleksi, distribusi, dan integrasi sosial. Ia melihat bahwa masyarakat memegang posisi dominan dalam pembentukan individu menjadi warga masyarakat. Pendidikan model Durkheim memberi posisi dominan kepada guru sebagai wakil negara, bangsa dan orang dewasa dalam menyiapkan generasi muda yang mampu berperan sebagai warga penuh dalam masyarakatnya. Sebaliknya, ia menempatkan anak didik pada posisi dibentuk. Dengan jalan ini homogenitas dan kelangsungan masyarakat beserta tertib sosial (social order) dipertahankan. Masyarakat yang seimbang yang seluruh warganya mempunyai konsensus akan nilai-nilai (collective consciousness) bersama, adalah masyarakat yang ideal. Pendidikan berfungsi dan peran dalam menciptakan konsensus akan nilai-nilai ini.
2.2 Analisis Model Post-Modernisme
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Seperti dikemukakan oleh Noeng Muhadjir bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretatif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir berpendapat bahwa posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis; logika yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996), logika discovery menurut Muhadjir , atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernis yang ”mengejar” grandtheory dan jabarannya, ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah postpositivistik phenomenologik-interpretif logik dan etik, misalnya berupa model interpretatif Geertz, grounded research, ethnographik-etnometodologik, paradigma naturalistik, interaksionisme simbolik dan model kontruktivist.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansi kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama, temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia, umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer, satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Apakah posmo hanya menyangkut rakayasa sosial? Tidak. Dengan mengkonstruksi paradigma genetik jantan-betina, menjadi paradigma lain, ditemukan DNA. Dengan mendekonstruk sistem desimal menjadi sistem digital berkembang software ilmu komputer. Dekonstruksi paradigma sosial, berkembang berbagai teori para futurolog. Dekonstruksi sosial paling banyak, tetapi nampaknya juga yang paling banyak membuat kesalahan prediksi. Makna poststruktural, postparadigmatik akan menjadi semakin menonjol dalam peran berfikir postmodern. Pada era modern, baik positivist maupun postpositivist, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif (divergen, lateral, holographik, dan lain-lain) pada postpositivistik. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era postposivist menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep postmo dalam filsafat. Istilah postmo sendiri sudah lama dipakai di dunia arsitektur. Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat, setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard . Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa ) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmo, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II (1939-1945), manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan postmo secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmo merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmo cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmo cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmo cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmo menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmo menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar . Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, keenam postmo bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmo menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi. Secara lebih umum, Bauman menetapkan kebudayaan postmo antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman menjelaskan bahwa postmo berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmo adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktek modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmo itu mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmo penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmo dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
3.1 Pemberian otonomi kepada daerah memiliki empat tujuan: (1) Segi politik; mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri ataupun untuk mendukung politik dengan kebijakan nasional dalam rangka pembangunan dan proses demokrasi di lapisan baah; (2) Pengelolaan pemerintahan, meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat; (3) Kemasyarakatan, meningkatkan partisipasi dan menumbuhkan kemandirian masyarakat dengan melakukan usaha pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat makin mandiri dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses penumbuhannya; serta (4) Ekonomi pembangunan, melancarakan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat.
3.2 Pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan salah satu tugas kemanusian yang paling asasi juga yang diperintahkan semua agama yang antikemiskinan dan penindasan dalam segala bentuk. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan ekonomi rakyat itu tidak dapat dilakukan sebatas pemberian subsidi, redistribusi, dan program-program yang bersifat karitatif, melainkan harus paradigmatif, strukturalis (kelembagaan) dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean. 1990. The Transparancy of Evil: Essays on Extreme Phenomena. London: Verso.
Bauman, A.T., 1992. The Role of Rhetorical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Best, Steven & Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern: Interogasi Kritis.Malang: Boyan Publishing.
Borgherts, Donald M. 1996. The Encyclopedia of Philosophy Supplement. New York: Simon & Schuster Macmillan.
Desi, Fernanda. 2002. Signifikasni Struktur, Kultur, Prosedur, dan Figur dalam Reformasi Administrasi Publik Daerah Otonomi. Jurnal Administrasi Publik Nomor 1, Centre for Public Policy and Management Studies Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Parahyangan.
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Geertz, Clifford. 1960. Religion of Java. Glencoe: Free Press.
______________ 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Jameson, Fredric. 1989. Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.
Kleden, Ignas. 2000. Masyarakat dan Negara. Jakarta.
Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A. Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesofa Press.
Muhadjir, Noeng. 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
______________ 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustafa, Hasan. 2004. Perspektif dalam Psikologi Sosial {OnLine}. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/doc (13 Januari 2005)
Nuyen, A.T.,1992. The Role of Rhetorrical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Rosenan, Pauline Morie. 1992. Post Modernism and the Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.
Kamis, 25 Maret 2010
RULE OF LAW SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA
Abstrak
Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat madani (civil society) adalah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
I. Pendahuluan
Banyak peristiwa pada saat ini yang menjadi dasar perlunya rule of law atau penegakan hukum. Indonesia pada saat ini, mengalami permasalahan yang besar dalam hal; illegal logging atau pencurian kayu dari hasil hutan. Pencurian hasil hutan ini mengakibatkan kerugian negara lebih Rp 100 triliun dalam empat tahun terakhir. Mengapa hal ini terjadi? Lemahnya penegakan hukum menjadi jawabannya. Hutan memang dalam wewenang Departemen Kehutanan, namun luasnya hutan tidak mungkin ditangani departemen ini sendiri, dibutuhkan bantuan kepolisian, bahkan TNI. Pencuri hasil hutan ini juga tidak jera, karena hukuman yang ringan, atau sulitnya mencari bukti. Dalam hal ini peranan kejaksaan, dan lembaga peradilan menjadi sangat penting.
Kasus lainnya yang menunjukkan perlunya penegakan hukum adalah kemauan Pemda DKI dalam rangka membatasi ruang bagi perokok. Peraturan daerah sudah dibuat dan dinyatakan berlaku, namun banyak masyarakat yang mengabaikan. Mengapa demikian? Jawabannya juga lemahnya penegakan hukum, terbatasnya jumlah aparat dan koordinasi aparat hukum, sehingga kantor yang tidak menyediakan ruang untuk merokok atau orang yang merokok di tempat umum tidak dapat ditindak.
Rule of law adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi. Ia lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan meningkatnya peran parlemen dalam penyelenggaraan negara dan sebagai reaksi terhadap negara absolut yang berkembang sebelumnya. Rule of law merupakan konsep tentang common law, di mana segenap lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh kelembagaannya menjunjung tinggi supermasi hokum yang dibangun di atas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law dan bukan rule by the man. Ia lahir mengambil alih dominasi yang dimiliki kaum gereja, ningrat, dan kerajaan, menggeser negara kerajaan dan memunculkan negara konstitusi yang pada gilirannya melahirkan doktrin rule of law.
Paham rule of law di Inggris diletakkan pada hubungan antara hukum dan keadilan, di Amerika diletakkan pada hak-hak asasi manusia, dan di Belanda paham rule of law lahir dari paham kedaulatan negara, melalui paham kedaulatan hukum untuk mengawasi pelaksanaan tugas kekuatan pemerinta
Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan social. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-rpinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaran negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Nordhot (Srijanti et.all, 2008:209), dalam memasuki millenium III, tuntutan masyarakat madani di Indonesia oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar, jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan, dan menghormati hak-hak asasi manusia.
Masyarakat madani timbul disebabkan faktor-faktor berikut. Pertama, adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai) masyarakat dalam segala bidang agar patuh dan taat pada penguasa. Tidak adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat, karena secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam meperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, masyarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh) dibandingkan dengan penguasa (pemerintah). Warga negara tidak memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Sementara, demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya tanpa mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Prasyarat demokrasi ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi. Ketiga, adanya usaha membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. Keadaan ini sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada ruang publik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan akan mampu melakukan transaksi-transaksi politik tanpa adanya kekhawatiran.
II. Pembahasan
1. Rule of Law
Penegakan hukum atau rule of law merupakan suatu doktrin dalam hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara berdasar hukum (konstitusi) dan demokrasi. Kehadiran rule of law boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara absolut (kekuasaan di tangan penguasa) yang telah berkembang sebelumnya. Berdasarkan pengertiannya, Friedman (Srijanti et. all, 2008:108) membedakan rule of law menjadi 2 (dua), yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/materil (ideological sense). Secara formal, rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), hal ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara mempunyai aparat penegak hukum. Sedangkan secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan hokum yang menyangkut ukuran hokum yaitu: baik dan buruk (just and unjust law).
Ada tidaknya penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya hokum saja, akan tetap lebih dari itu, ada tidaknya penegakan hokum ditentukan oleh ada tidaknya keadilan yang dapat dinikmati setiap anggota masyarakat. Rule of law tidak saja hanya memiliki sistem peradilan yang sempurna di atas kertas belaka, akan tetapi ada tidaknya rule of law di dalam suatu negara ditentukan oleh kenyataan, apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil dan baik dari sesame warga negaranya, maupun dari pemerintahannya, sehingga inti dari rule of law adanya jaminan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat/bangsa. Rule of law merupakan suatu legalisme yang mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Fungsi rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia dan juga ‘’keadilan sosial’’, sehingga diatur pada pembukaan UUD 1945, bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan, terutama keadilan sosial.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu:
a. Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3);
b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat1);
c. Segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 1);
d. Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 ayat 1);
e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 ayat 2).
Pelaksanaan rule of law mengandung keinginan untuk terciptanya negara hukum, yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan rule of law harus diartikan secara hakiki (materiil), yaitu dalam arti ‘’pelaksanaan dari just law.’’ Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) sangat erat kaitannya dengan ‘’the enforcement of the rules of law’’ dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.
Berdasarkan pengalaman berbagai negara dan hasil kajian menunjukkan bahwa keberhasilan ‘’the enforcement of the rules of law’’ teragntung pada kepribadian nasional masing-masing. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Rule of law ini juga merupakan legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang di dalamnya terkandung wawasan social, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dana negara, yang dengan demikian memuat nilai-nilai tertentu dan memiliki struktur sosiologisnya sendiri. Legalisme tersebut mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan system peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rule of law telah banyak dihasilkan di negara kita, namun implementasi/penegakannya belum mencapai hasil yang optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan sebagian besar masyarakat.
Hal-hal yang mengemukanuntuk dipertanyakan antara lain adalah bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip rule of law. Proses penegakan hukum di Indonesia dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang terdiri: kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan badan peradilan (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
Fungsi kepolisian adalah memelihara keamanan dalam negeri yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas pokok kepolisian antara lain: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas pokok kepolisian secara rinci antara lain: (1) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; (2) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; (3) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; (4)melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dan gangguan ketertiban dan atau bencana termasuki memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; (5) melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang.
Wewenang kepolisian untuk menjalankan tugasnya antara lain: (1) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; (2) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (3) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; (4) memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat; (5) memberikan izin dan mengawasi kegiatan lainnya; (6) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam.
Kejaksaan Republik Indoensia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan pidana khusus berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaksanaan kekuasaan negara diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung (berkedudukan di ibukota negara), kejaksaaan tinggi (berkedudukan di ibukota provinsi), dan kejaksaan negeri (berkedudukan di ibukota kabupaten). Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: (1) melakukan penuntutan; (2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; (5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaan dikoordinasikan dengan penyidik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Tugas pokok KPK antara lain: (1) berkoordinasi dengan instansi lain yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (2) supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (3) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (4) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; (5) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Adapun wewenang KPK antara lain: (1) melakukan pengawasan, penelitian, penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wenang dengan pemberantasan tindak korupsi; (2) mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan; (3) menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi; (4) meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi; (5) hanya menangani perkara korupsi yang terjadi setelah 27 Dosember 2002. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya tindakan korupsi baru bias dinyatakan melawan hukum jika memenuhi kaidah delik formal; (6) peradilan tindak pidana korupsi tidak bias berjalan dengan landasan hokum UU KPK. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa undang-undang tentang TIPIKOR harus sudah selesai dalam waktu 3 (tiga) tahun (2009). Jika tidak selesai, maka keberadaan pengadilan tipikor harus dinyatakan bubar serta merta dan kewenangannya dikembalikan pada pengadilan umum.
Badan peradilan menurut UU No. 4 dean No. 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah agung bertindak sebagai lembaga penyelenggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta membantu pencari keadilan. Badan peradilan terdiri atas: (1) Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. MA mempunyai wewenang: mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh peradilan; menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan kewenangan lain yang ditentukan undang-undang; (2) Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir untuk: menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutuskan pembubaran partai politik; dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum; (3) Peradilan Tinggi dan Negeri merupakan peradilan umum di tingkat provinsi dan kabupaten. Fungsi kedua peradilan adalah menyelenggarakan peradilan pidana dan perdata di tingkat kabupaten dan tingkat banding di peradilan tinggi. Pasal 57 UU No. 8 Tahun 2004 menetapkan agar peradilan memberikan prioritas peradilan terhadap tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika/psikotropika, pencucian uang dan tindak pidana.
2. Masyarakat Madani
Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini, seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru, yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Tokoh-tokoh seperti Nurcholis Majid, Nurhidayat Wahid, Abdulrahman Wahid, A.S. Hakim, Azyumardi Azra dan lain-lain, banyak mengemukakan tentang tatanan masyarakat madani, setelah istilah dan konsep diperkenalkan oleh Datuk Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia. Namun demikian, mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Membentuk masyarakat madani memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
Masyarakat madani berasal dari bahasa Inggris, civil society. Kata Civil Society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu Civitas dei yang artinya kota Illahi dan Society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini, menurut Madjid; seperti yang dikutip Mahasin (1995), pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, serta sifat-sifat negatif lainnya. Gellner (1995) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud ketika terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kazaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
Sementara itu, Seligman (Mun’im, 1994) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejewantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antar individu, masyarakat dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel (Hikam, 1994) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan monolitik. Secara normative politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat, sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah.
Istilah Madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madany. Kata madany berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hall (1998), yang menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terjewantahkan ke dalam kehidupan social. Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten, memiliki perbandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis.
Menurut Srijanti et. all. (2007) karakteristik masyarakat madani antara lain: (1) diakui semangat pluralism. Artinya pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat diletakkan, sehingga mau tidak mau pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas, yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting adalah sebuah perdaban yang kosmopolit akan tercipta manakala manusia memiliki sikap inklusif, dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, identitas sejati atas parameter otentik agama tetap terjaga; (2) tingginya sikap toleransi. Baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar, dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun, juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup berdampingan, dan saling menghormati satu sama lain; (3) tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan, demokrasi adalah suatu pilihan bersama-sama membangun, dan memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, dan lembaga masyarakat.
Pengembangan masyarakat madani di Indonesia tidak bias dipisahkan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan, adat istiadat, pandangan hidup, kebiasaan, rasa sepenanggungan, cita-cita dan hasrat bersama sebagai warga dan sebagai bangsa, tidak mungkin lepas dari lingkungan serta sejarahnya. Lingkungan dan akar sejarah kita, warga dan bangsa Indonesia, sudah diketahui baik kekurangan maupun kelemahan, juga diketahui keunggulan dan kelebihannya. Di antara keunggulan bangsa Indonesia adalah berhasilnya proses akulturasi, dan inkulturasi yang kritis dan konstruktif. Hidayat Nur Wahid (Srijanti et.all., 2007) mencirikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, secara politik-ekonomi-budaya bersifat mandiri serta memiliki pemerintahan sipil. Sedangkan menurut Hikam, ciri-ciri masyarakat madani adalah: (a) adanya kemandirian yang cukup tinggi di antara individu dan kelompok masyarakat terhadap negara; (b) adanya kebebasan menentukan wacana dan praktik politik di tingkat publik; dan (c) kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi.
Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, ada enam faktor yang harus diperhatikan, yaitu: (1) adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan; (2) tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independen; (3) terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjdai budaya yang lebih modern dan lebih independen; (4) berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam; (5) adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik dan; (6) adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.
III. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Inti rule of law di Indonesia adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan social. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi rakyat Indonesia.
2. Bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan rule of law yaitu melalui proses penegakan hokum yang dilakukan oleh lembaga penegak hokum yang terdiri: kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), badan peradilan (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
3. Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai pengaruh luas dalam proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik dan lembaga kemasyarakatan.
4. Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: (1) adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan; (2) tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independen; (3) terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjdai budaya yang lebih modern dan lebih independen; (4) berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam; (5) adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik dan; (6) adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
ICCE UIN. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
Komara Endang. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Multazam.
Kusnardi, M. dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Manan Bagir. 2005. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: UII Press.
Srijanti, A. Rahman H.I dan Purwanto, S.K. 2007. Etika Berwarga Negara: Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.
Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat madani (civil society) adalah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
I. Pendahuluan
Banyak peristiwa pada saat ini yang menjadi dasar perlunya rule of law atau penegakan hukum. Indonesia pada saat ini, mengalami permasalahan yang besar dalam hal; illegal logging atau pencurian kayu dari hasil hutan. Pencurian hasil hutan ini mengakibatkan kerugian negara lebih Rp 100 triliun dalam empat tahun terakhir. Mengapa hal ini terjadi? Lemahnya penegakan hukum menjadi jawabannya. Hutan memang dalam wewenang Departemen Kehutanan, namun luasnya hutan tidak mungkin ditangani departemen ini sendiri, dibutuhkan bantuan kepolisian, bahkan TNI. Pencuri hasil hutan ini juga tidak jera, karena hukuman yang ringan, atau sulitnya mencari bukti. Dalam hal ini peranan kejaksaan, dan lembaga peradilan menjadi sangat penting.
Kasus lainnya yang menunjukkan perlunya penegakan hukum adalah kemauan Pemda DKI dalam rangka membatasi ruang bagi perokok. Peraturan daerah sudah dibuat dan dinyatakan berlaku, namun banyak masyarakat yang mengabaikan. Mengapa demikian? Jawabannya juga lemahnya penegakan hukum, terbatasnya jumlah aparat dan koordinasi aparat hukum, sehingga kantor yang tidak menyediakan ruang untuk merokok atau orang yang merokok di tempat umum tidak dapat ditindak.
Rule of law adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi. Ia lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan meningkatnya peran parlemen dalam penyelenggaraan negara dan sebagai reaksi terhadap negara absolut yang berkembang sebelumnya. Rule of law merupakan konsep tentang common law, di mana segenap lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh kelembagaannya menjunjung tinggi supermasi hokum yang dibangun di atas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law dan bukan rule by the man. Ia lahir mengambil alih dominasi yang dimiliki kaum gereja, ningrat, dan kerajaan, menggeser negara kerajaan dan memunculkan negara konstitusi yang pada gilirannya melahirkan doktrin rule of law.
Paham rule of law di Inggris diletakkan pada hubungan antara hukum dan keadilan, di Amerika diletakkan pada hak-hak asasi manusia, dan di Belanda paham rule of law lahir dari paham kedaulatan negara, melalui paham kedaulatan hukum untuk mengawasi pelaksanaan tugas kekuatan pemerinta
Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan social. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-rpinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaran negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Nordhot (Srijanti et.all, 2008:209), dalam memasuki millenium III, tuntutan masyarakat madani di Indonesia oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar, jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan, dan menghormati hak-hak asasi manusia.
Masyarakat madani timbul disebabkan faktor-faktor berikut. Pertama, adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai) masyarakat dalam segala bidang agar patuh dan taat pada penguasa. Tidak adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat, karena secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam meperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, masyarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh) dibandingkan dengan penguasa (pemerintah). Warga negara tidak memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Sementara, demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya tanpa mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Prasyarat demokrasi ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi. Ketiga, adanya usaha membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. Keadaan ini sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada ruang publik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan akan mampu melakukan transaksi-transaksi politik tanpa adanya kekhawatiran.
II. Pembahasan
1. Rule of Law
Penegakan hukum atau rule of law merupakan suatu doktrin dalam hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara berdasar hukum (konstitusi) dan demokrasi. Kehadiran rule of law boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara absolut (kekuasaan di tangan penguasa) yang telah berkembang sebelumnya. Berdasarkan pengertiannya, Friedman (Srijanti et. all, 2008:108) membedakan rule of law menjadi 2 (dua), yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/materil (ideological sense). Secara formal, rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), hal ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara mempunyai aparat penegak hukum. Sedangkan secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan hokum yang menyangkut ukuran hokum yaitu: baik dan buruk (just and unjust law).
Ada tidaknya penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya hokum saja, akan tetap lebih dari itu, ada tidaknya penegakan hokum ditentukan oleh ada tidaknya keadilan yang dapat dinikmati setiap anggota masyarakat. Rule of law tidak saja hanya memiliki sistem peradilan yang sempurna di atas kertas belaka, akan tetapi ada tidaknya rule of law di dalam suatu negara ditentukan oleh kenyataan, apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil dan baik dari sesame warga negaranya, maupun dari pemerintahannya, sehingga inti dari rule of law adanya jaminan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat/bangsa. Rule of law merupakan suatu legalisme yang mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Fungsi rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia dan juga ‘’keadilan sosial’’, sehingga diatur pada pembukaan UUD 1945, bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan, terutama keadilan sosial.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu:
a. Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3);
b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat1);
c. Segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 1);
d. Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 ayat 1);
e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 ayat 2).
Pelaksanaan rule of law mengandung keinginan untuk terciptanya negara hukum, yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan rule of law harus diartikan secara hakiki (materiil), yaitu dalam arti ‘’pelaksanaan dari just law.’’ Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) sangat erat kaitannya dengan ‘’the enforcement of the rules of law’’ dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.
Berdasarkan pengalaman berbagai negara dan hasil kajian menunjukkan bahwa keberhasilan ‘’the enforcement of the rules of law’’ teragntung pada kepribadian nasional masing-masing. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Rule of law ini juga merupakan legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang di dalamnya terkandung wawasan social, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dana negara, yang dengan demikian memuat nilai-nilai tertentu dan memiliki struktur sosiologisnya sendiri. Legalisme tersebut mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan system peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rule of law telah banyak dihasilkan di negara kita, namun implementasi/penegakannya belum mencapai hasil yang optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan sebagian besar masyarakat.
Hal-hal yang mengemukanuntuk dipertanyakan antara lain adalah bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip rule of law. Proses penegakan hukum di Indonesia dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang terdiri: kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan badan peradilan (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
Fungsi kepolisian adalah memelihara keamanan dalam negeri yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas pokok kepolisian antara lain: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas pokok kepolisian secara rinci antara lain: (1) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; (2) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; (3) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; (4)melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dan gangguan ketertiban dan atau bencana termasuki memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; (5) melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang.
Wewenang kepolisian untuk menjalankan tugasnya antara lain: (1) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; (2) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (3) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; (4) memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat; (5) memberikan izin dan mengawasi kegiatan lainnya; (6) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam.
Kejaksaan Republik Indoensia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan pidana khusus berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaksanaan kekuasaan negara diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung (berkedudukan di ibukota negara), kejaksaaan tinggi (berkedudukan di ibukota provinsi), dan kejaksaan negeri (berkedudukan di ibukota kabupaten). Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: (1) melakukan penuntutan; (2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; (5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaan dikoordinasikan dengan penyidik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Tugas pokok KPK antara lain: (1) berkoordinasi dengan instansi lain yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (2) supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (3) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (4) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; (5) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Adapun wewenang KPK antara lain: (1) melakukan pengawasan, penelitian, penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wenang dengan pemberantasan tindak korupsi; (2) mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan; (3) menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi; (4) meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi; (5) hanya menangani perkara korupsi yang terjadi setelah 27 Dosember 2002. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya tindakan korupsi baru bias dinyatakan melawan hukum jika memenuhi kaidah delik formal; (6) peradilan tindak pidana korupsi tidak bias berjalan dengan landasan hokum UU KPK. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa undang-undang tentang TIPIKOR harus sudah selesai dalam waktu 3 (tiga) tahun (2009). Jika tidak selesai, maka keberadaan pengadilan tipikor harus dinyatakan bubar serta merta dan kewenangannya dikembalikan pada pengadilan umum.
Badan peradilan menurut UU No. 4 dean No. 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah agung bertindak sebagai lembaga penyelenggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta membantu pencari keadilan. Badan peradilan terdiri atas: (1) Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. MA mempunyai wewenang: mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh peradilan; menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan kewenangan lain yang ditentukan undang-undang; (2) Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir untuk: menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutuskan pembubaran partai politik; dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum; (3) Peradilan Tinggi dan Negeri merupakan peradilan umum di tingkat provinsi dan kabupaten. Fungsi kedua peradilan adalah menyelenggarakan peradilan pidana dan perdata di tingkat kabupaten dan tingkat banding di peradilan tinggi. Pasal 57 UU No. 8 Tahun 2004 menetapkan agar peradilan memberikan prioritas peradilan terhadap tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika/psikotropika, pencucian uang dan tindak pidana.
2. Masyarakat Madani
Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini, seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru, yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Tokoh-tokoh seperti Nurcholis Majid, Nurhidayat Wahid, Abdulrahman Wahid, A.S. Hakim, Azyumardi Azra dan lain-lain, banyak mengemukakan tentang tatanan masyarakat madani, setelah istilah dan konsep diperkenalkan oleh Datuk Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia. Namun demikian, mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Membentuk masyarakat madani memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
Masyarakat madani berasal dari bahasa Inggris, civil society. Kata Civil Society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu Civitas dei yang artinya kota Illahi dan Society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini, menurut Madjid; seperti yang dikutip Mahasin (1995), pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, serta sifat-sifat negatif lainnya. Gellner (1995) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud ketika terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kazaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
Sementara itu, Seligman (Mun’im, 1994) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejewantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antar individu, masyarakat dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel (Hikam, 1994) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan monolitik. Secara normative politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat, sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah.
Istilah Madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madany. Kata madany berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hall (1998), yang menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terjewantahkan ke dalam kehidupan social. Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten, memiliki perbandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis.
Menurut Srijanti et. all. (2007) karakteristik masyarakat madani antara lain: (1) diakui semangat pluralism. Artinya pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat diletakkan, sehingga mau tidak mau pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas, yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting adalah sebuah perdaban yang kosmopolit akan tercipta manakala manusia memiliki sikap inklusif, dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, identitas sejati atas parameter otentik agama tetap terjaga; (2) tingginya sikap toleransi. Baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar, dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun, juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup berdampingan, dan saling menghormati satu sama lain; (3) tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan, demokrasi adalah suatu pilihan bersama-sama membangun, dan memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, dan lembaga masyarakat.
Pengembangan masyarakat madani di Indonesia tidak bias dipisahkan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan, adat istiadat, pandangan hidup, kebiasaan, rasa sepenanggungan, cita-cita dan hasrat bersama sebagai warga dan sebagai bangsa, tidak mungkin lepas dari lingkungan serta sejarahnya. Lingkungan dan akar sejarah kita, warga dan bangsa Indonesia, sudah diketahui baik kekurangan maupun kelemahan, juga diketahui keunggulan dan kelebihannya. Di antara keunggulan bangsa Indonesia adalah berhasilnya proses akulturasi, dan inkulturasi yang kritis dan konstruktif. Hidayat Nur Wahid (Srijanti et.all., 2007) mencirikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, secara politik-ekonomi-budaya bersifat mandiri serta memiliki pemerintahan sipil. Sedangkan menurut Hikam, ciri-ciri masyarakat madani adalah: (a) adanya kemandirian yang cukup tinggi di antara individu dan kelompok masyarakat terhadap negara; (b) adanya kebebasan menentukan wacana dan praktik politik di tingkat publik; dan (c) kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi.
Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, ada enam faktor yang harus diperhatikan, yaitu: (1) adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan; (2) tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independen; (3) terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjdai budaya yang lebih modern dan lebih independen; (4) berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam; (5) adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik dan; (6) adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.
III. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Inti rule of law di Indonesia adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan social. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi rakyat Indonesia.
2. Bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan rule of law yaitu melalui proses penegakan hokum yang dilakukan oleh lembaga penegak hokum yang terdiri: kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), badan peradilan (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
3. Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai pengaruh luas dalam proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik dan lembaga kemasyarakatan.
4. Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: (1) adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan; (2) tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independen; (3) terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjdai budaya yang lebih modern dan lebih independen; (4) berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam; (5) adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik dan; (6) adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
ICCE UIN. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
Komara Endang. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Multazam.
Kusnardi, M. dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Manan Bagir. 2005. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: UII Press.
Srijanti, A. Rahman H.I dan Purwanto, S.K. 2007. Etika Berwarga Negara: Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.
Langganan:
Postingan (Atom)