Guru merupakan contoh (patten) bagi para peserta didik, maka tampilan guru sangat
berpengaruh terhadap kelanjutan pembelajaran peserta didiknya. Guru dapat
menyajikan proses pembelajaran yang menarik, memberi motivasi dan
menginspirasi, diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman guru yang senantiasa
diperbaharui dengan berbagai masukan positif yang didapat dari berbagai sumber
belajar. Pengetahuan dan pengalaman dapat diperoleh dari buku, mass media,
kegiatan seminar maupun melalui pelatihan pendidikan. Dalam proses belajarnya
guru dituntut menghasilkan karya dan inovasi yang dapat mencerahkan untuk
diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga dapat menumbuhkan semua potensi
peserta didik dan mereka bukan sekadar bisa meraih, tapi bisa melampaui
cita-citanya. Guru bukan hanya seorang pengajar, tetapi lebih dari itu guru
merupakan pendidik. Sebagai pendidik, guru harus memiliki berbagai kemampuan
sebagai kompetensi yang harus dimiliki sebagai pendidikan profesional. Baik
kompetensi pedadogik, kepribadian, sosial maupun profesional.
Pada Upacara Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 25
November 2015, Dr Anies Baswedan mengajak seluruh guru untuk menjadi guru
pembelajar, guru yang selalu hadir sebagai pendidik dan pemimpin bagi anak
didiknya. Guru yang hadir mengirimkan pesan harapan, guru yang makin menjadi
contoh tentang ketangguhan, optimisme dan keceriaan. Guru merupakan pembelajar,
maka saat guru melupakan kebiasaannya ini maka reduplah sebuah proses
pendidikan. Guru harus terus belajar dan selalu belajar untuk meningkatkan
kualitas dirinya.
Pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan, secara bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan
profesionalisme guru. Dengan demikian guru dapat memelihara, meningkatkan dan
memperluas pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan proses
pembelajaran secara profesional. Pembelajaran yang berkualitas diharapkan mampu
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik. Guru pembelajar
adalah guru yang selalu hadir sebagai pendidik dan pemimpin bagi anak didiknya,
guru yang selalu hadir mengirimkan pesan harapan, guru yang makin menjadi
contoh tentang ketangguhan, optimisme dan keceriaan. Guru pembelajar adalah
guru yang menjadikan siswa belajar; atau dengan kata lain ‘’membelajarkan
peserta didik’’. Seperti halnya guru pengajar, guru pembelajar juga menyiapkan
rencana penyampaian bahan ajar kepada peserta didik. Guru pembelajar adalah
guru yang ideal yang terus belajar dan mengembangkan (upgrade) diri di setiap saat dimanapun. Guru terus belajar
mengembangkan diri bukan untuk pemerintah atau kepala sekolah, tapi memang
sejatinya setiap pendidik atau guru adalah pembelajar. Hanya dari guru yang
terus belajar dan berkarya akan muncul generasi sepanjang hayat yang
terus-menerus berkontribusi pada masyarakat dan lingkungannya.
Menurut Hosnan
(2016), ada lima macam guru pembelajar yaitu, pertama guru pembelajar kreatif, yakni guru yang memiliki kemampuan
untuk menyelesaikan masalah yang memberi kesempatan kepada individu untuk
menciptakan ide-ide asli atau adaptif fungsi kegunaannya secara penuh untuk berkembang. Kedua, guru pembelajar produktif yakni
guru yang dapat menciptakan suatu kegiatan yang menghasilkan sesuatu atau produk,
berupa hal yang baru yang didapat dari membaca,
benda, tulisan, dan hal baik lainnya. Ketiga,
guru pembelajar inovatif, yakni guru
dengan memberikan hasil kerja yang baik yang dapat diperoleh dengan menggali
sumber informasi baru atau menciptakan sesuatu yang dapat memberikan
perkembangan bagi dunia pendidikan dalam jumlah optimal melalui pelaksanaan
kerja yang efektif dan efisien. Keempat,
guru pembelajar berkarakter, yakni seorang guru yang memiliki sifat tidak mudah
goyah, teguh dan mempunyai ketangguhan dalam ilmu pengetahuan yang terus
bertahan dalam kerasnya kehidupan di masyarakat. Kelima, guru pembelajar yang harmoni, yakni guru yang dapat
membangun dan membentuk keselarasan dengan orang lain yang mempunyai karakter.
Pendidikan karakter tidaklah muncul begitu saja, tidak
pula hadir sekadar merespons kondisi moral anak bangsa yang cenderung
berorientasi material ketimbang nilai. Tetapi akar pendidikan karakter telah
ada seiring dengan terbangunnya peradaban dan perkembangan psikologi manusia
itu sendiri. Dewantara (1977) secara psikologis menjelaskan hubungan antara
jiwa atau kebatinan dan watak atau karakter manusia. Karakter merupakan paduan
dari semua tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang
khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Kekhususan tanda
tersebut tergantung dari tenaga yang ditimbulkan oleh jiwa (kebatinan), di mana
jiwa manusia itu terbentuk dari gabungan antara angan-angan, rasa dan kemauan
(cipta, rasa, dan karsa).
Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa yang harus
dibangun melalui proses pembelajaran mencakup 18 karakter, yaitu religius,
jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan tanggung jawab. Hasan dkk (2010) menambahkan bahwa dalam
pengembangan karakter dan budaya sekolah, nilai-nilai tersebut dapat ditambah
atau dikurangi tergantung dari kebutuhan masyarakat yang dilayani di sekolah
dan hakikat materi Standar Kompetensi (KD) dan Kompetensi Dasar (KD) dan materi
bahasan suatu mata pelajaran. Meskipun demikian, ada lima nilai yang diharapkan
menjadi nilai minimal yang dikembangkan di setiap sekolah yaitu: nyaman, jujur,
cerdas, tangguh dan kerja keras.
Ada beberapa alasan mengapa perlunya pendidikan
karakter diimplementasikan dalam konteks
pendidikan. Pertama, dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan
menjadi semakin kompleks merupakan tantangan baru bagi negara-negara berkembang
seperti Indonesia memasuki milenium
ketiga sekarang ini. Persinggungan budaya lokal dan nasional akan menghadapi dilema
yang amat besar jika pengaruh budaya asing tidak segera disaring melalui
gerakan peduli budaya. Kepedulian terhadap budaya sendiri akan memperkuat
pemahaman tentang nilai-nilai kelokalan yang dapat menyaring hadirnya pengaruh
budaya asing yang dapat membawa dampak terhadap dangkalnya pemahaman kita
terhadap nilai-nilai keindonesiaan secara menyeluruh. Kedua, adanya kenyataan bahwa telah terjadi penyempitan makna
pendidikan dilihat dari pespektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah
diarahkan untuk membentuk pribadi yang cerdas individual semata dan mengabaikan
aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan
karakter bangsa yang merupakan identitas kolektif, dan bukan pribadi. Tujuan
pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa,
berakhlak mulia, mandiri, kreatif, supaya menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab, Ketiga,
pendidikan yang diselenggarakan saat ini masih didominasi oleh berbagai dogma,
dalil-dalil, atau ajaran yang diperoleh dari Barat. Padahal secara kultural,
pendidikan yang diselenggarakan harus tergali dari nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia sendiri. Berbagai pemikiran Ki Hajar Dewantara yang telah tertuang dalam
berbagai referensi seharusnya dapat dikaji kembali agar dapat dirumuskan dan
diimplementasikan.
Melalui guru pembelajar dan pengembangan pendidikan
karakter diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik yang memiliki sikap
dan perilaku hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan
bangsa serta hubungannya dengan alam sekitar. *** Semoga ***.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar