Jumat, 30 Juli 2010

PEMBELAJARAN AKTIF, KREATIF, EFEKTIF DAN MENYENANGKAN (PAKEM) MERUPAKAN UPAYA PEMBENTUKAN GURU PROFESIONAL Oleh: Endang Komara

ABSTRAK
Guru profesional merupakan guru yang meramu kualitas dan integritasnya. Mereka tidak hanya memberikan pembelajaran bagi peserta didiknya tapi mereka juga menambah pembelajaran bagi mereka sendiri karena zaman terus berubah. Ia harus terus menerus meningkatkan kemampuan serta keterampilannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan merupakan istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Hal ini digunakan untuk menggambarkan pendekatan serupa dalam pembelajaran. Untuk memfasilitasi pembelajaran aktif, guru harus menggunakan berbagai strategi yang aktif dan kontekstual, melaibatkan pembelajaran bersama dan mengakomodasi perbedaan gender dan gaya belajar masing-masing anak. Sumuanya dilakukan guna memaksimalkan kemampuan pembelajaran untuk memahami dan dapat menggunakan informasi baru yang diajarkan. Pembelajaran aktif juga dapat mengangkat tingkat pembelajaran dari keterampilan berpikir tingkat rendah (pengamatan, menghapal dan mengingat infomrasi), pengetahuan akan gagasan umum (yakni tentang apa, di mana dan kapan), hingga keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi (memecahan masalah, analisis, sintesis, evaluasi yakni tentang bagaimana dan mengapa).

PENDAHULUAN
Pendekatan pembelajaran yang dianggap mendukung untuk mengembangkan keterampilan salah satunya melalui Active Learning, alias pembelajaran aktif. Pendekjatan pembelajaran ini sudah dan sedang dikembangkan dan diimplementasikan di berbagai negara maju. Pembel;ajaran aktif adalah sitilah umum yang menggambarkan suatu pendekatan pembelajaran yang secara luas diterima di seluruh dunia sebagai praktik terbaik (best practice). Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa cara belajar terbaik bagi anak – anak adalah dengan melakukan, dengan menggunakan semua inderanya, dan dengan mengekplorasi lingkungannya yang terdiri atas orang, hal, tempat, dan kejadian yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (pembelajaran kontekstual). Mereka belajar dari pengalaman langsung dan konkrit (seperti menulis surat, menanam bunga, mengukur benda) serta berbagai bentuk pengalaman lainnya (seperti membaca buku, melihat gambar atau mendengarkan radio). Keterlibatan aktif dengan benda dan gagasan ini mendorong anak untuk aktif berpikir untuk mendapatkan pengetahuan baru dan memadukannya dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Di Indonesia, istilah PAKEM (singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) sudah lazim digunakan untuk menggambarkan pendekatan serupa dalam pembelajaran. Untuk memfasilitasi pembelajaran aktif, guru harus menggunakan berbagai strategi yang aktif dan kontekstual, melaibatkan pembelajaran bersama dan mengakomodasi perbedaan gender dan gaya belajar masing-masing anak. Sumuanya dilakukan guna memaksimalkan kemampuan pembelajaran untuk memahami dan dapat menggunakan informasi baru yang diajarkan. Pembelajaran aktif juga dapat mengangkat tingkat pembelajaran dari keterampilan berpikir tingkat rendah (pengamatan, menghapal dan mengingat infomrasi), pengetahuan akan gagasan umum (yakni tentang apa, di mana dan kapan), hingga keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi (memecahan masalah, analisis, sintesis, evaluasi yakni tentang bagaimana dan mengapa).
Pembelajaran aktif merujuk pada teknik yang di dalamnya siswa dapat berbuat lebih dari sekedar mendengarkan. Siswa berbuat sesuatu seperti menemukan, memproses dan menerapkan informasi. Pembelajaran aktif itu didasarkan atas dua asumsi. Pertama,bahwa belajar itu secara alami merupakan upaya aktif, dan kedua¸ bahwa setiap siswa itu belajar dengan caranya sendiri dan berbeda dari siswa lainnya.
Dalam menggunakan pendekatan pembelajaran aktif, guru menghadapi beberapa kesulitan terutama bagi guru yang memang tidak terbiasa dengan bentuk pengajaran seperti itu. Kesulitan yang sama juga dihadapi oleh siswa yang belum terbiasa dengan dengan pembelajaran aktif. Berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yang aktif (PAKEM)
1. Think-Pair-Share merupakan kegiatan sederhana di kelas. Guru memberikan waktui kepada siswa untuk memikirkan tentang sebuah topik, berdiskusi dengan teman sebayanya, dan berbagai hasilnya dengan teman lain di kelasnya.
2. Minute Papers ialah kegiatan guru memberikan peluang kepada siswa untuk mensintesiskan pengetahuannya dan menjawab pertanyaan seperti apa hal yang paling penting yang telah dipelajari hari ini? Apa pertanyaan yang belum terjawab? Dan pertanyaan lainnya yang menyangkut kegiatan belajar mengajar yang telah dilaluinya.
3. Writing Activities merupakan peluang bagi siswa untuk berpikir dan memproses informasi yang dimilikinya. Misalnya sebagai tambahan kegiatan Minutes Papers di atas, guru dapat memberikan sebuah pertanyaan yang dari satu siswa diberi waktu untuk secara bebas menuliskan jawabannya. Tentu saja guru juga bias memberikan topic; untuk menjadi bahan yang akan ditulis oleh siswanya.
4. Brainstorming merupakan teknik sederhana lainnya yang dapat melibatkan semua siswa di dalam kelas untuk berdiskusi. Dengan mengetengahkan sebuah topik, guru dapat meminta masukan dari siswanya dan mencatat masukan-masukan itu pada papan tulis.
5. Games merupakan teknik yang biasanya menarik banyak siswa. Bisa termasuk di dalamnya matching, mysterie, group competitions, solving puzzles, dan lain sebagainya.
6. Debates yang ditampilkan di kelas bias menjadi alat yang efektif dalam mendorong siswa untuk berpikir tentang sesuatu dari arah yang berbeda-beda.
7. Group work dapat menjadi peluang bagi setiap siswa untuk berbicara, berbagi pandangan, dan mengembangkan keterampilan untuk berkolaborasi dengan orang lain.
8. Case studies biasanya menggunakan cerita nyata dari kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masyarakat di lingkungan siswa itu sendiri, dalam keluarga, dalam sekolah atau yang terjadi pada seseorang di antara para siswa itu. Hal ini akan memberikan wawasan tentang situasi nyata, langkah yang sebaiknya diambil, dan akibat-akibat yang mungkin terjadi.
9. Concept mapping membantu siswa untuk bisa menciptakan representasi visual dari model, gagasan dan hubungan antara konsep. Mereka menggambarkan dengan menggunakan lingkaran dan garis penghubung, dengan fase yang dapat menghubungkan pada garis-garis tersebut. Kegiatan ini dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.
Guru ebagai pemegang utama kunci utama dalam upaya perbaikan pendidkan, dan karenanya dituntut untuk peka dan mempunyai kemelekan yang memadai terhadap teknologi informasi dan komunikasi agar mampu menciptakan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efisien dan menyenagkan.
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak dan dapat bersosialisasi dengan baik. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism; (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang yang sesuai dengan bidang tugasnya; (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi; (5) memiliki tugas; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan; (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya; dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum.
Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Juga tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugasnya. Guru profsional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan social. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala dan sebagainya.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas professional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteris professional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah yang salah. Satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi ‘’penganggur terhormat’’, dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mepertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). Peningkatan kesejahteraan, agar seorang guru bermartabat dan mampu ‘’membangun’’ manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup agar bisa konsisten dalam profesinya.

PEMBAHASAN
Belajar itu menyenangkan. Tapi, siapa yang menjadi stakeholder proses pembelajaran yang menyenangkan itu? Jawabannya adalah siswa. Siswa harus menjadi arsitek dalam proses belajar mereka sendiri. Kita semua setuju bahwa pembelajaran yang menyenangkan merupakan dambaan dari setiap peserta didik. Karena proses belajar yang menyenangkan bias meningkatkan motivasi belajar yang tinggi bagi siswa guna menghasilkan produk belajar yang berkualitas. Untuk mencapai keberhasilan proses belajar, factor motivasi merupakan kunci utama. Seorang guru harus mengetahui secara pasti mengapa seorang siswa memiliki berbagai macam motif dalam belajar. Ada empat katagori yang perlu diketahui oleh seorang guru yang baik terkait dengan motivasi ‘’mengapa siswa belajar’’, yaitu (1) motivasi intrinsic (siswa belajar karena tertarik dengan tugas-tugas yang diberikan), (2) motivasi instrumental (siswa belajar karena akan menerima konsekuensi: reward atau punishment), (3) motivasi social (siswa belajar karena ide dan gagasannya ingin dihargai), dan (4) motivasi berprestasi (siswa belajar karena ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu melakukan tugas yang diberikan oleh gurunya).
Dalam paradigm pendidikan, tujuan pembelajaran bukan hanya untuk merubah perilaku siswa, tetapi membentuk karakter dan sikap mental professional yang berorientasi pada global mindset. Fokus pembelajarannya adalah pada ‘mempelajari cara belajar’ (learning how to learn) dan bukan hanya semata pada mempeljari substansi mata pelajaran. Sedangkan pendekatan, strategi dan metode pembelajarannya adalah mengacu pad konsep konstruktivisme yang mendorong dan menghargai usaha belajar siswa dengan proses enquiry and discovery learning. Dengan pembelajaran konstruktivisme memungkinkan terjadinya pembelajaran berbasis masalah. Siswa sebagai stakeholder terlibat langsung dengan masalah, dan tertantang untuk belajar menyelesaikan berbagai masalah yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan scenario pembelajaran berbasis masalah ini siswa akan berusaha memberdayakan seluruh potensi akademik dan strategi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah secara individu atau kelompok. Prinsip pembelajaran konstruktivisme yang berorientasi pada masalah dan tantangan akan menghasilkan sikap mental professional yang disebut researchmindedness dalam pola piker siswa sehingga kegiatan pembelajaran selalu menantang dan menyenangkan.
Mengapa PAKEM. Pakem merupakan singkatan dari pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan yang merupakan sebuah model pembelajaran kontekstual yang melibatkan paling sedikit empat prinsip utama dalam proses pembelajarannya. Pertama proses interaksi (siswa berinteraksi secara aktif dengan guru, rekan siswa, multi media, referensi, lingkungan dan sebagainya). Kedua, proses komunikasi (siswa mengkomunikasikan pengalaman belajar mereka dengan guru dan rekan siswa lain melaluio cerita, dialog atau melalui simulasi role play). Ketiga, proses refleksi (siswa memikirkan kembali tentang kebermaknaan apa yang mereka telah pelajari, dan apa yang mereka telah lakukan). Keempat, proses eksplorasi (siswa mengalami langsung dengan melibatkan semua indera mereka melalui pengamatan, percobaan, penyelidikan dan atau wawancara).
Pelaksanaan Pakem harus memperhatikan bakat, minat dan modalitas belajar siswa, dan bukan semata potensi akademiknya. Dalam pendekatan pembelajaran Quantum (Quantum Learning) ada tiga macam modalitas siswa, yaitu modalitas visual, auditorial dan kinestetik. Dengan modalitas visual dimaksudkan bahwa kekuatan belajar siswa terletak pada indera ‘mata’ (membaca teks, grafik atau dengan melihat suatu peristiwa), kekuatan auditorial terletak pada indera ‘pendengaran’ (mendengar dan menyimak penjelasan atau cerita), dan kekuatan kinestetik terletak pada ‘perabaan’ (seperti menunjuk, menyentuh atau melakukan). Jadi dengan mamahami kecenderungan potensi modalitas siswa tersebut, maka seorang guru harus mampu merancang media. Metoda atau materi pembelajaran kontekstual yang relevan dengan kecenderungan potensi atau modalitas belajar siswa.
Peran seorang guru. Agar pelaksanaan Pakem berjalan sebagaimana diharapkan, John B. Biggs and Ross Telfer, dalam bukunya ‘’The Process of Learning”, 1987, edisi kedua menyebutkan paling tidak ada 12 aspek dari sebuah pembelajaran kreatif yang harus dipahami dan dilakukan oleh seorang guru yang baiak dalam proses pembelajaran terhadap siswa, antara lain:
1. Memahami potensi siswa dengan tersembunyi dan mendorongnya untuk berkembang sesuai dengan kecenderungan bakat dan minat mereka.
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar meningkatkan raa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan bantuan jika mereka membutuhkan.
3. Menghargai potensi siswa yang lemah atau lamban dan memperhatikan entuisme terhadap ide serta gagasan mereka.
4. Mendorong siswa untuk terus maju mencapai sukses dalam bidang yang diminati dan penghargaan atas potensi mereka.
5. Mengakui pekerjaan siswa dalam satu bidang untuk memberikan semangat pada pekerjaan lain berikutnya.
6. Menggunakan kemampuan fantasi dalam proses pembelajaran untuk membangun hubungan dengan realias dan kehidupan nyata.
7. Memuji keindahan perbedaan potensi, karakter, bakat dan minat serta modalitas gaya belajar individu siswa.
8. Mendorong dan menghargai keterlibatan individu siswa secara penuh dalam proyek pembelajaran mandiri.
9. Menyatakan kepada siswa bahwa guru merupakan mitra mereka dan perannya sebagai motivator dan fasilitator bagi siswa.
10. Menciptakan suasana belajar yang kondusif dan bebas dari tekanan dan intimidasi dalam usaha meyakinkan minat belajar siswa.
11. Mendorong terjadinya proses pembelajaran interaktif, kolaboratif, inkuiri dan diskaveri agar terbentuk budaya belajar yang bermakna (meaningfull learning) pada siswa.
12. Memberikan tes atau ujian yang bisa mendorong terjadinya umpan balik dan semangat atau gairah pada siswa untuk ingin mempelajari materi lebih dalam.
Selanjutnya bentuk-bentuk pertanyaan yang dapat menggugah terjadinya ‘pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan’ (Pakem), bias diterapkan antara lain dalam salah satu kegiatan belajar kelompok (studi kasus). Menurut Wassermen (1994), pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan pemikiran yang dalam untuk sebuah solusi atau yang bersifat mengundang, bukan instruksi atau memerintah. Misalnya dengan menggunakan kata kerja: menggambarkan, membandingkan, menjelaskan, menguraikan atau menggunakan kata-kata: apa, mengapa atau bagaimana dalam kalimat bertanya. Berikut adalah beberapa contoh bentuk pertanyaan yang bias memberikan respon kreatif terhadap pertanyaan tersebut:
1. Jelaskan bagaimana situasi ini bisa ditangani secara berbeda?
2. Bandingkan situasi ini dengan situasi sekarang!
3. Ceriterakan contoh yang sama dengan pengalaman Anda sendiri!
Para siswa bisa juga diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang nampaknya sesuai dengan semua scenario. Contoh pertanyaan-pertanyaan berikut dapat memprovokasi siswa untuk berpikir tentang kasus yang dibahas antara lain:
1. Apa yang Anda bayangkan sebagai kemungkinan dari akibat tindakan tersebut?
2. Dengan melihat kebelakang, bagaimana Anda menilai diri Anda sendiri?
3. Dengan mengatakan yang sesungguhnya, apa kesimpulan Anda tentang isu penting itu?
Proses pembelajaran akan berlangsung seperti yang diharapkan dalam pelaksanaan konsep Pakem jika peran guru dalam berinteraksi dengan siswanya selalu memberikan motivasi dan memfasilitasinya tanpa mendominasi, memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif, membantu dan mengarahkan siswanya untuk mengembangkan bakat dan minat mereka melalui proses pembelajaran yang terencana. Perlu dicatat bahwa tugas dan tanggung jawab utama para guru dalam paradigma baru pendidikan ‘’bukan membuat siswa belajar’’ tetapi ‘’membuat siswa mau belajar’’, dan juga ‘’bukan mengajarkan mata pelajaran’’ tetapi ‘’mengajarkan cara bagaimana mempelajari mata pelajaran’’. Prinsip pembelajaran yang perlu dilakukan: ‘’Jangan meminta siswa Anda hanya untuk mendengarkan, karena mereka akan lupa. Jangan membuat siswa Anda memperhatikan saja, karena mereka hanya bias mengingat. Tetapi yakinkan siswa Anda untuk melakukannya, pasti mereka akan mengerti’’.
Penilaian Hasil Belajar. Sebuah pertanyaan untuk direningkan. Apakah sebuah ‘’Penilaian Mendorong Pembelajaran?” atau apakah ‘’pembelajaran itu untuk mempersiapkan sebuah tes?’’ atau apakah ‘’Pembelajaran dan Tes” tersebut dilakukan guna mendapatkan pengakuan tentang kompetensi yang diperlukan siswa atau sekolah? Dalam pelaksanaan konsep Pakem penilaian dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa, baik itu keberhasilan dalam proses maupun keberhasilan dalam lulusan (output). Keberhasilan dalam proses dimaksudkan bahwa siswa berpartisipasi aktif, kreatif dan senang selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan keberhasilan lulusan (output) adalah siswa menguasai sejumlah kompetensi dan standar kompetensi dari setiap mata pelajaran yang ditetapkan dalam sebuah kurikulum. Inilah yang disebut efektif dan menyenangkan. Jadi, penilaian harus dilakukan dan diakui secara kumulatif. Penilaian harus mencakup paling sedikit tiga aspek yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan. Ini tentu saja melibatkan professional judgment dengan memperhatikan sifat obyektivitas dan keadilan. Untuk ini, pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP) merupakan pendekatan penilaian alternative yang paling representative untuk menentukan keberhasilan pembelajaran Model Pakem.
Media dan bahan ajar. Media dan Bahan Ajar selalu menjadi menyebab ketidakberhasilan sebuah proses pembelajaran di sekolah. Sebuah harapan selalu menjadi wacana di antara para pendidik/guru kita dalam melaksanakan tugas mengajar di sekolah adalah tidak tersedianya ‘’media pembelajaran dan bahan ajar’’ yang cukup memadai. Jawaban para guru ini cukup masuk akal. Seakan ada korelasi antara ketersediaan ‘’media bahan ajar’’ di sekolah dengan keberhasilan pembelajaran siswa. Kita juga sepakat bahwa salah satu penyebab ketidakberhasilan proses pembelajaran di sekolah adalah kurangnya media dan bahan ajar. Kita yakin bahwa pihak manajemen sekolah sudah menyadarinya. Tetapi sebuah alasan klasik selalu kita dengan bahwa ‘’sekolah tidak punya dana untuk itu’’!.
Dalam pembelajaran Model Pakem, seorang guru mau tuidak mau harus berperan aktif, proaktif dan kreatif untuk mencari dan merancang media/bahan ajar alternatif yang mudah, murah dan sederhana. Tetapi tetap memiliki relevansi dengan tema mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Penggunaan perangkat multimedia seperti ICT sungguh sangat ideal, tetapi tidak semua sekolah mampu mengaksesnya. Tanpa merendahkan sifat dan nilai multimedia elektronik, para guru dapat memilih dan merancang media pembelajaran alternatif dengan menggunakan berbagai sumber lainnya, seperti bahan baku yang murah dan mudah didapat, seperti bahan baku kertas/plastic, tumbuh-tumbuhan, kayu dan sebagainya. Guna memotivasi dan merangsang proses pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.
Dalam merancang sebuah media pembelajaran aspek yang paling penting untuk diperhatikan oleh seorang guru adalah karakteristik dan modalitas gaya belajar individu peserta didik, seperti disebutkan dalam pendekatan ‘’Quantum Learning dan Learning Style Inventory’’. Media yang dirancang harus memiliki daya tarik tersendiri guna merangsang proses pembelajaran yang menyenangkan. Sementara ini media pembelajaran yang relative cukup representative digunakan adalah media elektronik (Computer – Based Learning). Selanjutnya scenario penyajian ‘bahan ajar’ harus dengan system modular dengan mengacu pada pendekatan Bloom Taksonomi. Ini dimaksudkan agar terjadi proses pembelajaran yang terstruktur, dinamis dan fleksibel tanpa harus selalu terikat dengan ruang kelas, waktu dan atau guru.
Pakem merupakan sebuah model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengerjakan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman dengan penekanan kepada belajar sambil bekerja, sementara guru menggunakan berbagai sumber dan alat bantu belajar termasuk pemanfaatan lingkungan supaya pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan efektif. Adapun Pakem dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pembelajaran model konvensional dinilai menjemukan, kurang menarik bagi peserta didik sehingga berakibat kurang optimalnya penguasaan materi pembelajaran bagi peserta didk. Karakteristik Pakem antara lain: (1) pembelajarannya mengaktifkan peserta didik, (2) mendorong kreativitas peserta didik dan guru, (3) pembelajaran efektif, (4) pembelajarannya menyenangkan utamanya bagi peserta didik. Prinsip Pakem dijelaskan oleh Anwar Fuady (2008) antara lain: (1) mengalami: peserta didk terlibat secara aktif, mental maupun emosional, (2) komunikasi: kegiatan pembelajaran memungkinkan terjadinya komunikasi antara guru dan peserta didik, (3) Interaksi: kegiatan pembelajarannya memungkinkan terjadinya interaksi multi arah, dan (4) refleksi: kegiatan pembelajarannya memungkinkan peserta didik memikirkan kembali apa yang telah dilakukan.
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif (Webstar, 1989:45). Jadi profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Artinya suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi memerlukan persiapan melalui pendidikan dan pelatihan secara khusus. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)
Profesi menunjukkan lapangan yang khusus dan mensyaratkan studi dan penguasaan khusus yang mendalam, seperti bidang hukum, militer, keperawatan, kependidikan, dan sebagainya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain (Nana Sudjana dalam Usman, 2005:46). Profesi seseorang yang mendalami hukum adalah ahli hukum, seperti jaksa, hakim dan pengacara. Profesi seseorang yang mendalami keperawatan adalah perawat. Sementara itu, seseorang yang menggeluti dunia pendidikan (mendidik dan mengajar) adalah guru, dan berbagai profesi lainnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu keahlian (skill) dan kewenangan dalam suatu jabatan tertentu yang mensyaratkan kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) tertentu secara khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Profesi biasanya berkaitan dengan mata pencaharian seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan demikian profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna.
Menurut Surya (2005:48) bahwa profesionalisme guru mempunyai makna penting, yaitu: (1) profesionalisme memberikan jaminan perlindungan kepada kesejahteraan masyarakat umum; (2) profesionalisme guru merupakan suatu cara untuk memperbaiki profesi pendidikan yang selama ini dianggap oleh sebagian masyarakat rendah; (3) profesionalisme memberikan kemungkinan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensinya. Kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima sikap, yaitu: (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal; (2) meningkatkan dan memelihara citra profesi;(3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya; (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi; dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Pemerintah melalui Presiden sudah mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Guru sebagai profesi dikembangkan melalui: (1) sistem pendidikan; (2) sistem penjaminan mutu; (3) sistem manajemen; (4) sistem remunerasi; dan (5) sistem pendukung profesi guru. Dengan pengembangan guru sebagai profesi diharapkan mampu: (1) membentuk, membangun, dan mengelola guru yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi di tengah masyarakat; (2) meningkatkan kehidupan guru yang sejahtera; dan (3) meningkatkan mutu pembelajaran yang mampu mendukung terwujudnya lulusan yang kompeten dan terstandar dalam rangka pencapaian visi, misi dan tujuan pendidikan nasional pada masa mendatang. Selain itu juga diharapkan akan mendorong terwujudnya guru yang cerdas, berbudaya, bermartabat, sejahtera, canggih, elok, unggul, dan profesional. Guru masa depan diharapkan semakin konsisten dalam mengedepankan nilai-nilai budaya mutu, keterbukaan, demokratis dan menjunjung akuntabilitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi sehari-hari.

PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut: (1) Dalam proses belajar mengajar sangat diperlukan strategi pembelajaran yang sangat baik dan cocok untuk situasi dan kondisi siswa. Strategi yang sangat cook dan menarik peserta didik dalam pembelajaran sekarang ini dikenal dengan nama Pakem (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan); (2) Prinsip Pakem yakni mengalami, komunikasi, interaksi, dan refleksi; (3) Penilaian yang sesuai dengan pembelajaran model Pakem adalah penilaian otentik yang merupakan proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran benar-benar dikuasai dan dicapai; (4) Dengan profesionalisme guru, maka guru masa depan tidak tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, tetapi beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (councelor), dan manajer belajar (learning manager); dan (5) Sikap dan sifat-sifat guru yang baik adalah bersikap adil, percaya dan suka kepada murid-muridnya, sabar dan rela berkorban, memiliki wibawa di hadapan peserta didik, pengembira, bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, bersikap baik terhadap masyarakat, benar-benar menguasai mata pelajaran yang diberikannya, dan berpengetahuan luas.


DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Fuad Abdul. 2009. Model Pembelajaran Inovatif di Era Global: Suatu Kajian Perbandingan di Negara Maju. Dalam Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. I, No. 2 Maret 2009.
http://makalahkumakalahmu.wordpress.com. Pembelajaran Pakem II.
http://id.slivoong.com. Social Sciences.
Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Bandung: Fokusmedia.
Surya, Muhammad. 2005. Membangun Profesionalisme Guru. dalam Makalah Seminar Pendidikan. 6 Mei 2005 di Jakarta.
Usman, Moh. Uzer. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

PEMEKARAN DAERAH SEBAGAI SOLUSI PENINGKATAN EKONOMI KERAKYATAN Oleh: H. Endang Komara

Abstrak
Idealnya pemekeran daerah bisa berdampak positif terhadap perkembangan demokrasi, tumbuhnya pusat perekonomian yang baru, pendekatan pelayanan kepada masyarakat, kemudahan membangun serta memelihara sarana dan prasarana, tumbunnya lapangan kerja baru, dan adanya motivasi pengembangan inovasi serta kreativitas daerah.
Tujuan pemekaran sangat mulia. Namun kenyataannya menimbulkan berbagai dampak negatif, misalnya: (1) pemekaran daerah hanya untuk kepentingan segelintir elite atau kelompok masyarakat yang menginginkan jabatan tertentu, misal kepala daerah/wakil gubernur, bupati/wali kota, DPRD, kepala dinas, (2) munculnya primordialisme putra daerah, (3) biaya birokrasi yang meningkat tajam, (4) beberapa hasil pemekaran daerah tidak berdampak positif terhadap pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, dan (5) pemekaran daerah dapat berpotensi mematikan daerah induk di beberapa tempat.
Ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 dan sila keempat Pancasila. Artinya, rakyat harus berpartisipasi penuh secara demokratis dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi dan tidak menyerahkan begitu saja keputusan ekonomi kepada kekuatan atau mekanisme pasar.
Kata Kunci: Pemekaran daerah, kreativitas daerah, ekonomi kerakyatan, dan kekuatan ekonomi rakyat.






BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memunculkan semangat reformasi sistem pemerintahan Republik Indonesia yang awalnya cenderung sentralistik ke arah yang lebih desentralistik. Salah satu perubahan yang sangat strategis adalah adanya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di daerah. Pemberlakuan Undang-Undang baru tersebut memberikan kepada daerah, kekuasaan penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah secara utuh dan bulat, khususnya kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa karakteristik ;egal yang tampaknya perlu dipahami oleh masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah seperti dijelaskan oleh Desi Fernada antara lain:
1) Meletakkan otonomi daerah sebagai wujud pengakuan kedaulatan rakyat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas daerah tertentu dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
2) Daerah otonomi kabupaten dan kota tidak lagi merangkap sebagai wilayah administrasi pusat, sehingga tidak lagi ada perangkapan jabatan kepala daerah dan sekaligus kepala wilayah.
3) Menempatkan seluruah kewenangan pemerintahan pada daerah kabupaten dan kota yang lebvih dekat dengan masyarakat, kecuali kewenangan-kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan propinsi dan kewenangan pusat. Kewenangan propinsi terbatas pada bidang-bidang yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota, atau kewenangan yang belum dapat dilaksanakan oleh daerah/kota. Kewenangan pusat antara lain meliputi bidang strategis, yaitu politikl luar negeri, agama, ekonomi moneter, pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan.
4) Tidak ada hubungan hierarki antara daerah otonom kabupaten dan kota dengan daerah otonom propinsi. Jadi daerah otonom kabupaten/kota bukanlah bawahan daerah otonom propinsi.
5) Kepala daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya kepada daerah wajib mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.
6) Kedudukan kekuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memiliki otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah, dengan kewajiban melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas.
7) Strukur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh bervariasi sesuai dengan potensi dan kenekaragaman daerah. Sedangkan kecamatan dan kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom.
8) Pengawasan oleh pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otominya tanpa campur tangan pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.

Berdasarkan pendapat di atas, Nampak jelas bahwa karakteristik otonomi daerah akan berpengaruh signifikan dengan perekonomian daerah. Karena merupakan ukuran kinerja secara umum dari perekonomian makro (daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral perekonomian, serta tingkat biaya hidup. Indikator kinerja ekonomi makro mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip antara lain: (1) akumulasi tambah merefleksikan produktivitas perekonomian, setidaknya dalam jangka pendek; (2) akumulasi modal mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dalam jangka panjang; (3) kemakmuran suatu daerah mencerminkan kinerja ekonomi di masa lalu dan; (4) kompetisi yang didorong mekanisme pasar akan meningkatkan kinerja ekonomi suatu daerah. Semakin ketat kompetisi pada suatu perekonomian daerah, maka akan semakin kompetitif perusahaan-perusahaan yang akan bersaing secara international dan domestik.
Sistem ekonomi rakyat jika diterapkan dengan sungguh-sungguh akan mampu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi perkembangan individu dan masyarakat Indonesia sesuai bakat dan kemampuan masing-masing. Namun dalam sistem ini, haruslah ada mekanisme yang dapat mengendalikan dan mengatasi akses-akses yang bersumber pada praktik-praktik monopolistik yang mungkin timbul. Di sinilah letak pentingnya pelaksanaan undang-undang tentang persaingan sehat (antipraktik monopoli) dan perlindungan terhadap usaha kecil dan menengah. Tentunya dalam sebuah bingkai kemitraan usaha yang serasi dan produktif.
1.2 Teori dan Metode
1.2.1 Teori yang Digunakan
Terori Struktural-Fungsional menurut Judistira K. Garna bahwa struktur sosial merupakan suatu pola hubungan di dalam setiap satuan sosial yang mapan dan memiliki identitas sendiri, dan fungsi ialah sesuatu hal yang berfungsi atau yang berguna. Jadi dengan demikian sesuatu yang berfungsi itu ialah: (1) sesuatu yang berguna, karena memiliki fungsi tertentu untuk memenuhi keperluan manusia, seperti perladangan dan pemasaran; (2) harus mendatangkan manfaat bagi yang melakukannya, seperti kerja untuk memperoleh uang; (3) dapat memenuhi keperluan individu untuk meneruskan relasi social, atau berkaitan dengan hak dan tanggungjawab dalam melangsungkan tujuan individu dan masyarakatnya; aeperti perkawinan untuk membentuk keluarga baru; (4) memenuhi keperluan masyarakat; seperti agama dan politik; (5) struktur bagi setiap individu guna menempati posisi dan melakukan peranan; seperti partai politik.
Teori struktural fungsional mengamati bentuk struktur dan fungsi dalam suatu masyarakat, sehingga dapat melihat bagaimana suatu masyarakat itu berubah atau mapan melalui setiap unsurnya yang saling berakitan dan dinamik untuk mememnuhi kebutuhan individu dan kelompok. Keluarga merupakan suatu institusi sosial yang telah membuat bentukan kepribadian, yaitu wadah ikatan emosi seseorang dan bentukan emosi sosial, hal itu dimungkinkan karena keluarga itu ialah institusi yang mmbentuk, mendidik, memelihara anak-anak sejak lahir sampai dewasa. Hubungan antara kepribadian dengan kebudayan tampak erat manakala emosi dan kesetiaan dalam keluarga itu adalah timbul dari sifat individu untuk kepentingan diri dan keluarganya, sedangkan diri dan keluarga berada dalam lingkup sistem kekerabatan yang dipolakan oleh kebudayaan suatu masyarakat.
Institusi ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan para individu dalam melakukan kegiatan ekonomi yang kemudian digunakannya melalui system tertentu yang setiap sistem memiliki strukturnya sendiri dan berfungsi bagi kelangsungan institusi ekonomi itu. Adapun institusi politik terbentuk oleh kebutuhan untuk melaksanakan suatu orde dan dengan sejumlah otoritas yanhg dapat menjaga ketenteraman suatu masyarakat; berfungsi karena institusi politik itu adalah suatu sistem yang mem,benarkan bahwa pihak yag diberi kekuasaan, baik melalui undang-undang maupun pewarisan keturunan mengambil tindakan serta menjalankan otoritas yang diterimanya.
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Sepeti dikemukakan oleh H. Noeng Muhadjir dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.

1.2.2 Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam menjelaskan Pemekaran Daerah sebagai Solusi Peningkatan Ekonomi Kerakyatan adalah studi literatur melalui pendekatan analisis kritis.

BAB II
ANALISIS

2.1 Analisis Model Struktural Fungsional
Analisis Isu berdasarkan perspektif Teori Struktural-Fungsional
Teori ini mengkaji fungsi perlakuan sosial atau institusi dalam kegiatan-kegiatan yang menyumbang kepada penerusan masyarakat. Masyarakat selalu dianggap seperti tubuh badan manusia yang mempunyai bahagian-bahagian dengan fungsi-fungsi yang tersendiri. Teori fungsionalisme memberi uraian mengenai organisasi sosial dan menerangkan bagaimana sesuatu organisasi dikekalkan. Masyarakat telah diibaratkan sama seperti organisma yang mempunyai bagian-bagian dan setiap bagian masyarakat dikenali sebagai struktur. Seterusnya kajian dilakukan untuk melihat bagaimana struktur masyarakat berfungsi. Menurut teori ini, struktur-struktur sosial akan menentukan kelancaran perjalanan atau keharmonian masyarakat. Brinkerhoff dan White telah merumuskan tiga landasan utama ahli-ahli fungsionalisme yaitu stabiliti, harmoni dan evolusi. Stabiliti merupakan kriteria penilaian utama untuk menentukan sejauh mana sebuah masyarakat dapat dikekalkan. Harmoni menunjukkan bagaimana semua bagian atau struktur-struktur dalam masyarakat bekerjasama untuk mencapai tujuannya. Evolusi pula menggambarkan perubahan-perubahan yang berlaku kepada masyarakat melalui proses adaptasi struktur sosial kepada pembaruan. Maka, tidak dapat dinafikan lagi bahwa guru, pihak sekolah, rekan sebaya dan media massa saling berperan dalam mengatasi masalah remaja. Seperti yang kita maklumi bahwa lahirnya Educational Sociology di Amerika Serikat dikaitkan dengan pendapat Lester Frank Ward yaitu bahwa perbedaan kelas-kelas dalam masyarakat yang menimbulkan perbedaan kaya miskin atau maju dan terbelakang, semuanya bersumber pada ketidak merataan kesempatan, khususnya kesempatan memperoleh pendidikan. Atas dasar itulah ia mengusulkan kepada pemerintah Amerika Serikat untuk menyelenggarakan program wajib belajar. Pandangan Ward itu sangat pragmatis. Dari segi perkembangan teori, sosiologi pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan karya Emile Durkheim (1858-1817), seorang tokoh utama sosiologi Perancis yang gema teorinya tergetar diseluruh dunia sampai sekarang ini. Ia adalah orang yang pertama kali menganjurkan agar dalam mempelajari pendidikan digunakan pendekatan sosiologi. Dalam masa hidupnya ia pernah sekaligus menjabat guru besar dalam dua bidang studi, yaitu sosiologi dan pendidikan (paedagogi). Menurut Durkheim, pendidikan adalah suatu fakta sosial, social fact, dan karenanya menjadi obyek studi sosiologi. Fakta sosial itu mempunyai tiga ciri utama, pertama bahwa ia berada di luar individu, tidak seperti fakta psikologi yang berada dalam individu. Karena itu fakta sosial bersifat ‘langgeng’, dalam arti bahwa ia sudah ada sebelum individu lahir, dan tetap ada meskipun individu tadi meninggal dunia. Bahasa sudah ada sejak kita belum lahir ke dunia dan belum berperan sebagai pemakainya, dan ia akan terus hidup meskipun kita telah tidak ada lagi. Ciri fakta sosial yang kedua adalah memiliki daya paksa terhadap individu untuk melaksanakan dan mentaatinya. Orang merasa wajib untuk menggunakan bahasa tertentu agar ia dapat berkomunikasi dengan orang lain, melaksanakan adata istiadat tertentu atau menjalankan kegiatan keagamaan yang dianutnya. Ketiga adalah bahwa fakta sosial itu tersebar di kalangan warga masyarakat, menjadi milik masyarakat.
Durkheim mengamati bahwa pada waktu seseorang dilahirkan ia tidak mampu berbahasa, belum berpengetahuan, dan belum bisa berbuat apa-apa, juga belum tahu adat kebiasaan. Untuk bisa hidup terus ia harus mempelajari segala sesuatu yang diperlukan untuk itu dari masyarakatnya bersamaan dengan perkembangan fisiknya. Bagi Durkheim, masyarakatlah yang membentuk seseorang menjadi makhluk sosial, a social being’. Sebelumnya ia adalah an ‘asocial being menjadi a social being dinamakannya proses sosialisasi. Selama proses itu berlangsung seseorang diajari segala sesuatu agar mampu dan diterima menjadi warga penuh dalam masyarakatnya. Perlu diketahui bahwa proses sosialisasi itu berlangsung seumur hidup.
Suatu masyarakat hanya dapat ada dan bertahan apabila di kalangan warganya terdapat homogenitas tertentu. Tanpa adanya homogenitas atau keseragaman tertentu itu mustahil akan ada masysrakat. Proses sosialisasi atau pendidikan adalah proses homogenisasi sosial yang diselenggarakan untuk menyiapkan setiap warga suatu masyarakat. Atas dasar itu Emile Durkheim memberi definisi pendidikan sebagai proses mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan tuntutan masyarakat politis secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia akan hidup dan berada. Definisi pendidikan menurut Durkheim antara lain:
Education is the influence by adult generations on those that are not yet ready for socials life. Its object is to arouse and to develop in the child a certain number of physical, intellectual and moral states which are demanded of him by both the political society as a whole and the special milieu for which he is specifically destined.

Pendidikan adalah sarana persiapan untuk hidup bermasyarakat yang disiapkan oleh masyarakat itu sendiri.
Karakteristik lain yang dijumpai dalam sosiologi Durkheim adalah penekanan yang diberikannya pada pembagian kerja (division of labor) dan solidaritas sosial (social solidarity). Makin maju suatu masyarakat makin tajam pembagian kerja di antara warganya, sehingga di masyarakat terdapat spesialis untuk bidang yang sangat khusus. Akan tetapi makin tajam suatu spesialisasi makin banyak diperlukan suatu koordinasi. Tanpa koordinasi yang baik tentu terjadi disorganisasi sosial dan keadaan anomie, dua hal yang amat ditekankan oleh Durkheim. Sejalan dengan meningkatnya pembagian kerja terjadilah perubahan dalam solidaritas sosial, yaitu ikatan emosional antara warga suatu masyarakat. Menurut Emile Durkheim, pada masyarakat yang belum memiliki pembagian kerja, solidaritas sosial itu bersifat mekanis (mechanic solidarity), sedang pada masyarakat yang memiliki pembagian kerja lebih lanjut solidaritas sosial itu didasari oleh adanya rasa saling memerlukan atau saling tergantung. Solidaritas macam ini dinamakan solidaritas organis (organic solidarity).
Dilihat dari pembagian kerja ini pendidikan berfungsi mengheterogenkan fungsi dan peran warga masyarakat. Masyarakat memerlukan suatu heterogenitas tertentu. Apabila tidak ada homogenitas tertentu masyarakat akan tidak ada atau tidak akan ada, maka demikian pula halnya apabila tidak ada heterogenitas tertentu. Spesialisasi mengandung arti seleksi, karena ia menempatkan orang-orang pada posisi tertentu sesuai dengan bakat, minat, dan kesempatan yang tersedia dalam masyarakat. Lebih jauh proses ini juga berarti alokasi dan distribusi sumber daya yang ada dalam masyarakat. Orang mendapat penghargaan, termasuk imbalan materi sesuai dengan peran yang dimainkannya dalam masyarakat. Seleksi berarti alokasi dan distribusi sumber kemakmuran, karena setiap bidang spesialisasi mendapat imbalan yang berbeda. Lebih jauh lagi, peristiwa tersebut dapat melahirkan stratifikasi sosial.
Jadi Emile Durkheim melihat pendidikan sebagai pemegang peran dalam proses sosialisasi atau hemogenisasi, seleksi atau heterogenisasi, dan alokasi serta distribusi peran sosial, yang berakibat jauh pada struktur sosial yaitu pada distribusi peran dalam masyarakat.
Dalam salah satu karyanya Emile Durkheim menekankan pentingnya pendidikan moral yang berlandaskan pada penerapan disiplin di setiap lingkungan pendidikan. Hukuman dan ganjaran dipandangnya sebagai salah satu alat untuk pendidikan disiplin. Pada dasarnya orang harus tahu hal-hal yang disukai atau dikehendaki oleh masyarakat dan hal-hal yang harus dicegah atau dijauhi. Meskipun demikian ia tidak sepakat dengan hukuman badan karena hal itu bertentangan dengan prinsip moralitas modern, dalam arti menyinggung harga diri dan martabat manusia. Di sini guru berperan sebagai wakil bangsa dan negara yang bertugas mengembangkan disiplin. Tanpa disiplin yang baik, sekolah, kelas, dan masyarakat, hanya akan merupakan tempat berkumpulnya kaum brandal yang menyebabkan hidup kacau tanpa aturan. Oleh karena sekolah merupakan jembatan yang mengalihkan kehidupan dalam keluarga yang didominisir oleh corak hidup emosional ke kehidupan masyarakat terutama lapangan kerja yang ditandai hubungan yang bersifat rasional dan lugas dengan disiplin tinggi, maka peran guru dalam menyiapkan warga masyarakat semakin penting. Ilmu pengetahuan memegang peran penting dalam peralihan ini. Durkheim menekankan pentingnya peran pendidikan sains untuk pengembangan rasionalitas dalam berfikir di kalangan anak didik.
Durkheim juga mengamati bahwa pendidikan itu mempunyai corak yang berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lain, dari suatu saat ke saat lain. Pendekatan komparatif dan longitudinal digunakannya dalam menganalisa fakta sosial dalam dunia pendidikan. Meskipun demikian, benang merah yang terentang dalam analisis Durkheim adalah bahwa pendidikan memegang peran dalam menimbulkan dan memelihara tertib sosial dan keseimbangan (social order dan social equilibrium).
Dari uraian di atas nampak bahwa analisis Durkheim memberi penekanan pada pembahasan tahap makro dengan pengkhususan pada peran pendidikan dalam proses sosialisasi, seleksi, distribusi, dan integrasi sosial. Ia melihat bahwa masyarakat memegang posisi dominan dalam pembentukan individu menjadi warga masyarakat. Pendidikan model Durkheim memberi posisi dominan kepada guru sebagai wakil negara, bangsa dan orang dewasa dalam menyiapkan generasi muda yang mampu berperan sebagai warga penuh dalam masyarakatnya. Sebaliknya, ia menempatkan anak didik pada posisi dibentuk. Dengan jalan ini homogenitas dan kelangsungan masyarakat beserta tertib sosial (social order) dipertahankan. Masyarakat yang seimbang yang seluruh warganya mempunyai konsensus akan nilai-nilai (collective consciousness) bersama, adalah masyarakat yang ideal. Pendidikan berfungsi dan peran dalam menciptakan konsensus akan nilai-nilai ini.

2.2 Analisis Model Post-Modernisme
Konsep Posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur; sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang. Seperti dikemukakan oleh Noeng Muhadjir bahwa benang merah pola fikir modern antara lain: yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretatif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat generalisasi dari frekuensi dan variansi, yang interpretif membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran dengan uji validitas, yang interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir berpendapat bahwa posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis; logika yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996), logika discovery menurut Muhadjir , atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernis yang ”mengejar” grandtheory dan jabarannya, ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah postpositivistik phenomenologik-interpretif logik dan etik, misalnya berupa model interpretatif Geertz, grounded research, ethnographik-etnometodologik, paradigma naturalistik, interaksionisme simbolik dan model kontruktivist.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansi kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama, temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia, umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer, satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Apakah posmo hanya menyangkut rakayasa sosial? Tidak. Dengan mengkonstruksi paradigma genetik jantan-betina, menjadi paradigma lain, ditemukan DNA. Dengan mendekonstruk sistem desimal menjadi sistem digital berkembang software ilmu komputer. Dekonstruksi paradigma sosial, berkembang berbagai teori para futurolog. Dekonstruksi sosial paling banyak, tetapi nampaknya juga yang paling banyak membuat kesalahan prediksi. Makna poststruktural, postparadigmatik akan menjadi semakin menonjol dalam peran berfikir postmodern. Pada era modern, baik positivist maupun postpositivist, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif (divergen, lateral, holographik, dan lain-lain) pada postpositivistik. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era postposivist menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep postmo dalam filsafat. Istilah postmo sendiri sudah lama dipakai di dunia arsitektur. Menyaksikan penindasan kolonial di Aljazair tempat dia bekerja sebagai guru filsafat, setelah kembali ke Perancis dan meraih doktor 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dia bergabung pada gerakan Marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Postmodernnya berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian “Auschwitch” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang Postmodernisme yang terbit 1986.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard . Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa ) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmo, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II (1939-1945), manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial-pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat-sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan postmo secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmo merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmo cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmo cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmo cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmo menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmo menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar . Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, keenam postmo bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmo menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi. Secara lebih umum, Bauman menetapkan kebudayaan postmo antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman menjelaskan bahwa postmo berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmo adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktek modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmo itu mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmo penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmo dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
3.1 Pemberian otonomi kepada daerah memiliki empat tujuan: (1) Segi politik; mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri ataupun untuk mendukung politik dengan kebijakan nasional dalam rangka pembangunan dan proses demokrasi di lapisan baah; (2) Pengelolaan pemerintahan, meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat; (3) Kemasyarakatan, meningkatkan partisipasi dan menumbuhkan kemandirian masyarakat dengan melakukan usaha pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat makin mandiri dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses penumbuhannya; serta (4) Ekonomi pembangunan, melancarakan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat.
3.2 Pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan salah satu tugas kemanusian yang paling asasi juga yang diperintahkan semua agama yang antikemiskinan dan penindasan dalam segala bentuk. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan ekonomi rakyat itu tidak dapat dilakukan sebatas pemberian subsidi, redistribusi, dan program-program yang bersifat karitatif, melainkan harus paradigmatif, strukturalis (kelembagaan) dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA


Baudrillard, Jean. 1990. The Transparancy of Evil: Essays on Extreme Phenomena. London: Verso.
Bauman, A.T., 1992. The Role of Rhetorical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Best, Steven & Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern: Interogasi Kritis.Malang: Boyan Publishing.
Borgherts, Donald M. 1996. The Encyclopedia of Philosophy Supplement. New York: Simon & Schuster Macmillan.
Desi, Fernanda. 2002. Signifikasni Struktur, Kultur, Prosedur, dan Figur dalam Reformasi Administrasi Publik Daerah Otonomi. Jurnal Administrasi Publik Nomor 1, Centre for Public Policy and Management Studies Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Parahyangan.
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Geertz, Clifford. 1960. Religion of Java. Glencoe: Free Press.
______________ 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Jameson, Fredric. 1989. Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.
Kleden, Ignas. 2000. Masyarakat dan Negara. Jakarta.
Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: A. Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesofa Press.
Muhadjir, Noeng. 1982. Teori Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
______________ 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustafa, Hasan. 2004. Perspektif dalam Psikologi Sosial {OnLine}. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/doc (13 Januari 2005)
Nuyen, A.T.,1992. The Role of Rhetorrical Devices in Postmodernist Discourse. Philosophy and Rhetoric 25:183-197.
Rosenan, Pauline Morie. 1992. Post Modernism and the Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.