Jumat, 09 Maret 2012

PERSPEKTIF PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME Oleh H. ENDANG KOMARA

Wacana multikulturalisme untuk konteks pendidikan di Indonesia mulai mengemuka ketika sistem otoriter-militeristik tumbang dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu timbul konflik antar suku, antar golongan yang menimbulkan anomali di sebagian kalangan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan anggota masyarakat dalam hal berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama dalam aspek kehidupan ipoleksosbudhankamag (Ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan keamanan dan agama).
Secara sederhana pendidikan multikulturalisme dapat didefinisikan sebagai ‘’pendidikan untuk atau keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultur pada lingkungan masyarakat tertentu atau bagaimana memandang terhadap dunia secara keseluruhan’’. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Paulo Freire (2011), pendidikan bukan merupakan ‘’menara gading’’ yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikulturalisme (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Sejalan dengan UUD 1945 pasal 31 (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dalam dimensi lain, pendidikan multikulturalisme seperti dijelaskan oleh Hilliard (1992) merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Kondisi yang demikian semakin mempertanyakan kembali sistem apa yang cocok bagi Indonesia serta sistem apa yang membuat masyarakat bisa hidup damai, rukun, menghargai kebinekaan, jujur, disiplin, santun, taat beribadat sesuai dengan keyakinan masing-masing serta bagaimana cara untuk dapat meminimalisasikan potensi konflik di tengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut Susilo Bambang Yudoyono (2010) ciri-ciri karakter bangsa yang baik antara lain: (1) berakhlak, bermoral dan berbudi pekerti luhur, (2) berjiwa mandiri, (3) memiliki keyakinan diri, (4) bersikap ulet, (5) tegar, (6) tidak mudah menyerah, (7) toleran, (8) semangat (kebangsaan), (9) bersikap optimis, (10) kemampuan berpikir positif dan menghasilkan energi posiitif.
Pendidikan multikulturalisme berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme. Ini terkait dengan perkembangan politik dan sosial. Multikulturalisme adalah salah satu konsep yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai wujud kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikulturalisme bertujuan pendidikan yang bersifat anti rasis yang memperhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga masyarakat. Menurut J.A. Banks (1985) mendeskripsikan pendidikan multikulturalisme dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam fase pendidikan. Fase keempat, perkembangan teori, riset, dan praktek, perhatian pada hubungan antar ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi, jika bukan praktisi dari pendidikan multikulturalisme.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalisme dapat membantu siswa mengerti, menerima, menghargai orang lian yang berbeda suku, budaya dan nilai-nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Sedangkan dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk memegang prinsip-prinsip antara lain: Pertama, harus menawarkan keragaman kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang, baik di perkotaan maupun perdesaan. Kedua, harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah. Ketiga, kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Keempat, pendidikan multikulturalisme harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya, dan agama.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagai direkomendasikan UNESCO pada Oktober 1954 di Jenewa, antara lain: pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan untuk berkomunikasi,dan berbagi, bekerja sama dengan orang lain. Kedua, pendidikan meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas antar pribadi dan masyarakat. Ketiga. pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemampuan untuk berbagi dan memelihara di antara sesamanya.
Pendidikan multikulturalisme sebagai wacana baru dapat diterima tidak hanya melalui pendidikan formal, kehidupan masyarakat, maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Untuk mewujudkan gagasan ini harus didasarkan pada konsep ketaqwaan dan iman, keberadaban, sopan, toleran, mandiri, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan paktik pendidikan. Juga dalam proses pembelajaran menghargai keragaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleran dan sikap terbuka. Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari ancaman dan paksaan. Semoga! ***
Penulis: Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Wakil Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan Cimahi.

1 komentar: