A. Pendahuluan
Kehidupan masa mendatang cenderung semakin kompleks dan penuh tantangan yang lebih terbuka, sehingga sangat dibutuhkan kehadiran setiap insan yang kompeten dan kompetitit. Untuk menghasilkan insan yang kompeten dan kompetitif, sangat diperlukan kehadiran peserta didik (mahasiswa) yang memiliki gaya belajar sesuai dengan era informasi dan era ide. Untuk memfasilitasi peserta didik dapat belajar efektif, diperlukan guru profesional yang mampu menciptakan pembelajaran sebagaimana yang dibutuhkan setiap peserta didik dan pembangunan bangsa. Untuk dapat menghasilkan guru profesional, sangat dibutuhkan sistem rekruitmen guru dan sistem rekruitmen mahasiswa calon guru profesional yang efektif.
Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang telah diamandemen, menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai usaha, termasuk menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang Guru, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 8 tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan, dan berbagai peraturan perundangan lainnya, yang menegaskan peranan strategis guru dan dosen dalam peningkatan mutu pendidikan. Guru merupakan jabatan profesional dan karena itu seorang guru harus disiapkan melalui pendidikan profesi.
Menurut UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Dengan demikian program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan S-1 Kependidikan dan S-1/D-IV Non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru, agar mereka dapat menjadi guru yang profesional sesuai dengan standar nasional pendidikan dan memperoleh sertifikat pendidik. Berdasarkan UU No. 20/2003 Pasal 3, tujuan umum program PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan poptensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan tujuan khusus program PPG seperti yang tercantum dalam Permendiknas No. 8 Tahun 2009 Pasal 2 adalah untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian, melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik serta melakukan penelitian, dan mampu mengembangkan profesionalitas serta berkelanjutan.
B. Pembahasan
Program pendidikan profesi adalah program pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan profesional lulusan sebagai perwujudan dari kemampuan akademik yang diperoleh pada program pendidikan S-1 melalui pengalaman praktik selama setahun di lapangan. Secara umum Tim Universitas Pendidikan Indonesia (2011:4-5) menjelaskan lulusan S-1 diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mampu mengembangkan perilaku yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian mantap, mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab dan motivasi altruistik (selalu ingin berbuat yang terbaik atau bermaslahat bagi orang lain) dalam kehidupan pekerjaan dan dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya.
2. Mampu memanfaatkan Ipteks dalam bidang keahliannya, dan mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi dalam penyelesaian masalah.
3. Menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoretis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah secara prosedural dan kontekstual.
4. Mampun mengambil keputusan strategis berdasarkan analisis informasi dan data, dan memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi. Mampu menggerakkan masyarakat untuk menjadi lebih berdayaguna (community development).
5. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas percapaian hasil kerja organisasi.
6. Memahami karakteristik dan potensi peserta didik dan memfasilitasi perkembangan potensinya yang multi kemampuan dan makna secara berkesinambungan.
7. Menguasai teori, prinsip, dan prosedur dalam merancang program pembelajaran yang mendidik, yang dapat memaksimalkan potensi peserta didik yang multi kemampuan dan multi makna.
8. Menguasai pengetahuan dan keterampilan menyajikan atau mengkomunikasikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik dan mengelola pembelajaran di kelas dengan menggunakan bahasa kelas yang komunikatif baik dalam muatan interpersonal dan transaksional dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komputer disertai pembentukan sikap dan perilakunya yang dapat memfasilitasi perkembangan potensinya yang multi kemampuan dan makna secara berkesinambungan.
9. Menguasai pengetahuan dan keterampilan mengelola perubahan kultur kelas dan sekolah untuk membangun dan mengembangkan proses dan hasil pembelajaran peserta didik yang memiliki multi kemampuan dan makna.
10. Menguasai pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan alat penilian untuk memperbaiki proses dan hasil belajar peserta didik yang membantu perkembangan potensinya yang multi kemampuan dan makna.
11. Menguasai pendekatan dan metode penelitian kelas yang dapat digunakan untuk memperbaiki pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi peserta didik yang multi kemampuan dan multi makna.
Sedangkan program pendidikan profesi adalah program pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan profesional lulusan sebagai perwujudan dari kemampuan akademik yang diperoleh pada program pendidikan S-1 melalui pengalaman kerja praktik selama setahun di lapangan. Secara umum, lulusan dari pendidikan profesi diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Mampu mengembangkan perilaku yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian mantap, mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab dan motivasi altruistik (selalu ingin berbuat yang terbaik atau bermaslahat bagi orang lain) dalam pelayanan profesi dan dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya.
2) Menguasai landasan keilmuan dan keterampilan keahlian profesional yang sejalan dengan bidang ilmu yang diperoleh pada program sarjana sebagai dasar atau landasan keterampilan keahlian khusus dalam profesi yang dibangun.
3) Mampu mengembangkan pelayanan keahlian profesional berkenaan dengan praktik keahlian khusus profesional dengan penguasaan keahlian profesional yang tinggi.
4) Mampu mengembangkan pelayanan perilaku pelayanan profesional berkaitan dengan berkehidupan dan kegiatan pelayanan profesional berkaitan dengan berkehidupan dan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan bidang keilmuan dan substansi profesi sesuai dengan karir profesi yang dipilih, terutama berkenaan dengan etika profesional, riset dalam bidang profesi, dan organisasi profesi.
5) Mampu mengembangkan kehidupan bermasyarakat profesi, berkenaan dengan kaidah-kaidah kerjasama profesional dalam kehidupan masyarakat profesi sesuai dengan karir profesi yang dipilih baik dalam hubungan antara individu, hubungan kolaboratif antar anggota profesi sendiri dan profesi lain dalam membangun dan melaksanakan kerjasama disertai dengan tanggung jawab profesional.
6) Mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan Ipteks untuk menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis organisasi.
7) Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun yang belum baku berdasarkan data dan informasi, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur.
8) Menguasai konsep dan prinsip dasar dalam bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
9) Mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif.
10) Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok.
Lama dan beban studi Pendidikan Profesional Guru adalah meliputi dua tahap, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesi. Pendidikan akademik mempersyaratkan beban studi antara 144-160 SKS, dengan lama studi 8-14 semester. Sedangkan pendidikan profesi ditempuh selama 2 (dua) semester dengan beban studi antara 36-40 SKS.
Alur pikir pengembangan kurikulum Pendidikan Profesional Guru meliputi antara lain:
a. Setiap sub-kompetensi dijabarkan menjadi pengalaman belajar yang memungkinkan tercapainya sub-kompetensi tersebut.
b. Pengalaman belajar harus memfasilitasi:
1) Perolehan pengetahuan dan pemahaman 9acquiring and integrating knowledge), perluasan dan penajaman pemahaman (expanding and refining knowledge) dan penerapan pengetahuan secara bermakna (applying knowledge meaningfully), melalui pengkajian dengan berbagai modus dalam berbagai konteks.
2) Penguasaan keterampilan, baik keterampilan kognitif dan personal-sosial maupun keterampilan psikomotorik, yang diperoleh melalui berbagai bentuk latihan yang disertai balikan (feed back), dan
3) Penumbuhan sikap dan nilai yang berujung pada pembentukan karakter, dibentuk melalui penghayatan secara pasif (vicarious learning) dalam berbagai persitiwa sarat-nilai, dan keterlibatan secara aktif (gut learning) dalam berbagai kegiatan sarat-nilai.
c. Pengembangan materi kurikuler dari setiap pengalaman belajar mencakup rincian kompetensi/sub-kompetensi, bentuk kegiatan belajar, materi, dan asesmen tagihan penguasaannya.
d. Berdasarkan substansi, bentuk dan keterawasannya, kegiatan belajar untuk penguasaan kompetensi/sub-kompetensi yang ditetapkan sebagai sasaran pembentukan, dapat diperkirakan besaran waktu yang diperlukan untuk penguasaan setiap sub-kompetensi, yaitu dengan menggunakan kerangka pikir dua dimensi dalam sistem kredit semester yaitu:
1) Berdasarkan isinya dilakukan pemilahan menjadi pengalaman belajar yang bermuatan (1) teoretik, (2) praktek, dan (3) pengalaman lapangan, serta
2) Berdasarkan keterawasannya dilakukan pemilahan menjadi kegiatan (1) terjadwal, (2) terstruktur, dan (3) mandiri.
e. Berdasarkan substansinya, selanjutnya dilakukan pemilahan yang menghasilkan cikal-bakal mata kuliah, masing-masing disertai dengan besaran waktu yang ditetapkan, sehingga merupakan langkah awal penetapan mata kuliah, yang secara keseluruhannya membangun kurikulum utuh Program Studi S-1 Kependidikan di perguruan tinggi yang bersangkutan.
f. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pemenuhan persyaratan akademik program S-1 pendidikan profesional guru, yang digunakan sebagai dasar untuk penganugerahan ijazah Sarjana Pendidikan, ditetapkan beban studi yang terentang antara 144-160 SKS.
Agar standar kompetensi yang dikemukakan dapat dicapai dengan baik, proses pembelajaran yang diterapkan pada Program S-1 Pendidikan Profesional Guru, diselenmggarakan dengan mengupayakan hal-hal sebagai berikut:
a. Proses pembelajaran yang dimaksudkan untuk memfasilitasi pembentukan perangkat kompetensi lulusan yang telah ditetapkan, dispesiifikasikan dalam 2 (dua) dimensi yang berbeda namun terjalin yaiitu (1) penetapan bentuk kegiatan belajar seperti mengkaji, berlatih, dan menghayati, dan (2) senantiasa mengacu kepada penguasaan kompetensi/sub-kompetensi yang telah ditetapkan.
b. Pembentukan penguasaan kompetensi-kompetensi profesional guru yang merupakan muara dari Program Pendidikan Profesional Guru yang berupa Program Pengalaman Lapangan yang memberi kesempatan kepada lulusan program S-1 Kependidikan untuk menerapkan segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh dari semua mata kuliah ke dalam penyelenggaraan pelayanan pembelajaran yang mendidik. Program Pengalaman Lapangan tersebut dilakukan secara bertahap dan sistematis di bawah bimbingan para dosen pembimbing dan guru pamong. Pada dasarnya, pembentukan penguasaan Kompetensi Profesional Guru tersebut mengandung elemen-elemen sebagai berikut:
1) Latihan berbagai keterampilan teknis (basic skills) dalam pembelajaran.
2) Perencanaan terapan kontekstual berbagai pengetahuan dan keterampilan teknis dalam latar teoretik.
3) Terapan kontekstual berbagai pengetahuan dan keterampilan teknis pembelajaran dalam latar teoretik.
Penguasaan kompetensi akademik sebagaimana dijelaskan di atas, dapat ditagih melalui ujian tertulis baik yang berupa tes pilihan (multiple choice) yang sangat efektif untuk melakukan survai kemampuan akademik yang memiliki serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok calon guru yang berjumlah besar, maupun melalui berbagai asesmen individual untuk menilai kemampuan dan minat serta permasalahan yang dihadapi oleh calon guru serta perorangan. Demi transparansi, sarana uji kompetensi akademik ini dapat dikembangkan secara terpusat dan dimutakhirkan serta divalidasi secara berkala dengan memanfaatkan teknologi yang relevan di bidang asesmen. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi akademik yang dipersyaratkan bagi calon guru, dianugerahi ijazah Sarjana Pendidikan dengan kehususan yang ditempuhnya.
Berbeda dari tagihan penguasaan akademik, penguasaan kemampuan profesional calon guru dapat diverifikasi melalui pengamatan ahli yang dalam pelaksanaannya, juga sering mempersyaratkan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement) misalnya sarana asesmen yang menyerupai Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang merupakan high inference asessment instrument. Sebagaimana diketahui, adaptasi APKG ini telah beredar dalam konteks pendidikan profesional guru di Indonesia, khususnya di Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) sejak awal dekade 1980-an. Yang juga perlu dicatat sebagaimana telah disyaratkan di atas, adalah bahwa asesmen kemampuan profesional guru itu itu tidak cukup jika hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot atau moment opname), melainkan harus melalui pengamatan berulang, karena sasaran asesmen penguasaan kompetensi profesional itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan pada kualitas keseharian (typical behavior) kinerja guru. Ini berarti bahwa, asesmen penguasaan kemampuan profesional itu perlu lebih mengedepankan rekam jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan pembelajaran yang mendidik dalam rentang waktu tertentu. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi profesional guru melalui Program Pendidikan Profesi Guru yang berupa Program Pengalaman yang nantinya diberikan sertifikat guru profesional.
Untuk tahapan pendidikan akademik yang bermuara pada penganugerahan ijazah sarjana pendidikan dengan kehususan tertentu, yang menjadi mahasiswa adalah lulusan yang berasal dari sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), atau lulusan program Diploma, Sarjana Muda, atau class program. Sedangkan yang menjadi mahasiswa Pendidikan Profesi Guru adalah lulusan sarjana pendidikan dan sarjana nonkependidikan yang telah memperoleh dan lulus matrikulasi dan ujian seleksi masuk Pendidikan Profesi Guru.
Sementara itu, seleksi calon mahasiswa program S-1 kependidikan harus ketat dan seksama. Ini dilakukan dengan peetimbangan bahwa mahasiswa calon guru harus memiliki kemampuan akademik yang baik, mempunyai keterampilan berpikir (logis, kreatif, kritis dan intuitif) serta terampil dalam menggunakan berbagai cara atau kiat dalam menyampaikan pikiran dan gagasan. Ini tentu memerlukan cara yang berbeda dari sistem seleksi yang selama ini berlangsung. Seleksi calon mahaiswa pendidikan profesional guru harus mampu memetakan kemampuan dan perilaku awal (entry behavior) yang sekurang-kurangnya mencakup:
(1) Kecakapan akademik yang dinilai dari penguasaan substansi bidang studi berikut keterampilan berpikirnya. Ini dapat diuji antara lain melalui ujian tulis yang terfokus pada penguasaan konten keilmuan dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (analisis, sintesis, evaluatif). Oleh karena itu, alat seleksi untuk menilai kemampuan awal calon mahasiswa program studi ini harus sekurangnya mempertimbangkan tiga aspek, yakni dari sisi konten atau muatan akademik yang diwakili oleh penguasaan bidang literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains serta ilmu sosial yang menekankan pada aspek keterampilan berkomunikasi (social skills), sisi proses (cognitive processes) yang memetakan kemampuan berpikir mulai dari tingkat rendah (lower order thinking) yang termuat dalama tipe pertanyaan yang berkaitan dengan pilihan topik, dan seting yang relevan dengan lingkup yang dihadapi calon mahasiswa ketika mereka memasuki profesinya.
(2) Keterampilan berpikir logis, kritis, kreatif, dan intuitif berikut kiat dalam menyampaikan pikiran dan gagasannya. Ini tentu dapat dilakukan dengan Uji Potensi Akademik dan Uji Kinerja untuk melihat potensi dalam penyajian pikirannya (presentation skills).
(3) Sikap, motivasi altruistik (dorongan untuk berbuat bagi kemaslahatan orang lain) dan perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan akhlak mulia. Ini antara lain, dapat digali melalui wawancara baik terstruktur maupun tidak terstruktur, dan
(4) Kondisi fisik dan mental. Calon mahasiswa program ini harus dipastikan tidak memiliki fisik yang diperkirakan akan menghambat tugas-tugasnya kelak sebagai guru profesional. Begitu pula kesehatan jiwanya dipandang memenuhi persyaratan seorang calon guru.
C. Kesimpulan
1. Lulusan pendidikan profesi guru diharapkan dapat menguasai kompetensi guru secara utuh sehingga mampu menunjukkan kinerja profesional secara efektif. Untuk itu lulusan PPG seyogyanya memiliki kompetensi yang dipersyaratkan, meliputi seperangkat pengetahuan, sikap/nilai, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dikuasai dan diaktualisasikan dalam pelaksanaan tugas profesinya.
2. Sebagai satu keutuhan, kompetensi guru mencakup kompetensi akademik dan profesional. Kompetensi akademik merupakan kompetensi yang ditempuh pada jenjang S-1 me;liputi landasan keilmuan dan pendidikan sedangkan kompetensi profesional merupakan penguasaan kiat pembelajaran yang mendidik yang ditumbuhkembangkan, dikaji, dihayati dan dilatih melalui suatu program yang sistematis dan tersupervisi dalam konteks otentik lapangan. Kompetensi profesional dikembangkan dalam program PPG.
3. Sosok utuh kompetensi profesional mencakup, pertama, kemampuan mengenal peserta didik secara mendalam; kedua, menguasai bidang studi baik secara keilmuan kependidikan, yaitu kemampuan mengemas materi pembelajaran kependidikan maupun didaktik dan metodiknya; ketiga, kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, meliputi merancang, melaksanakan, menilai hasil dan proses pembelajaran, serta memanfaatkan hasil pembelajaran sebagai pemicu perbaikan secara berkelanjutan; dan keempat, mampu mengembangkan kepribadian dan keprofesionalan secara berkelanjutan.
4. Kurikulum Pendidikan Profesi Guru dikelompokkan dalam dua aspek, yakni aspek keilmuan bidang studi (disciplinary content knowledge) dan aspek kependidikan/pembelajaran (pedagogically content knowledge) yang harus dikuasi oleh peserta program pendidikan profesi guru.
5. Program matrikulasi yang harus ditempuh oleh calon peserta PPG bagi lulusan S-1/D-IV non kependidikan dan S-1/D-IV kependidikan serumpun adalah filsafat pendidikan, psikologi perkembangan peserta didik, perencanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, analisis sosial dan nilai dalam pembelajaran, kapita selekta, telaah kurikulum dan buku teks, PTK dalam pembelajaran dan multi media dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Duff, Tony (Ed). Explorations in Teacher Training: Problems and Issues. London: Longman.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan. Jakarta: Dikti Pepdiknas.
Tim Univrsitas Pendidikan Indonesia. 2011. Rambu-Rambu Pengembangan Program dan Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Guru. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sunaryo, Kartadinata. 2010. Re-Desain Pendidikan Profesional Guru. Bandung: UPI Press.
Tom, Alan R. 1997. Redesigning Teacher Education. New Your: State University of New York Press.
Kamis, 15 Maret 2012
Jumat, 09 Maret 2012
PERSPEKTIF PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME Oleh H. ENDANG KOMARA
Wacana multikulturalisme untuk konteks pendidikan di Indonesia mulai mengemuka ketika sistem otoriter-militeristik tumbang dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu timbul konflik antar suku, antar golongan yang menimbulkan anomali di sebagian kalangan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan anggota masyarakat dalam hal berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama dalam aspek kehidupan ipoleksosbudhankamag (Ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan keamanan dan agama).
Secara sederhana pendidikan multikulturalisme dapat didefinisikan sebagai ‘’pendidikan untuk atau keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultur pada lingkungan masyarakat tertentu atau bagaimana memandang terhadap dunia secara keseluruhan’’. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Paulo Freire (2011), pendidikan bukan merupakan ‘’menara gading’’ yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikulturalisme (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Sejalan dengan UUD 1945 pasal 31 (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dalam dimensi lain, pendidikan multikulturalisme seperti dijelaskan oleh Hilliard (1992) merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Kondisi yang demikian semakin mempertanyakan kembali sistem apa yang cocok bagi Indonesia serta sistem apa yang membuat masyarakat bisa hidup damai, rukun, menghargai kebinekaan, jujur, disiplin, santun, taat beribadat sesuai dengan keyakinan masing-masing serta bagaimana cara untuk dapat meminimalisasikan potensi konflik di tengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut Susilo Bambang Yudoyono (2010) ciri-ciri karakter bangsa yang baik antara lain: (1) berakhlak, bermoral dan berbudi pekerti luhur, (2) berjiwa mandiri, (3) memiliki keyakinan diri, (4) bersikap ulet, (5) tegar, (6) tidak mudah menyerah, (7) toleran, (8) semangat (kebangsaan), (9) bersikap optimis, (10) kemampuan berpikir positif dan menghasilkan energi posiitif.
Pendidikan multikulturalisme berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme. Ini terkait dengan perkembangan politik dan sosial. Multikulturalisme adalah salah satu konsep yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai wujud kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikulturalisme bertujuan pendidikan yang bersifat anti rasis yang memperhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga masyarakat. Menurut J.A. Banks (1985) mendeskripsikan pendidikan multikulturalisme dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam fase pendidikan. Fase keempat, perkembangan teori, riset, dan praktek, perhatian pada hubungan antar ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi, jika bukan praktisi dari pendidikan multikulturalisme.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalisme dapat membantu siswa mengerti, menerima, menghargai orang lian yang berbeda suku, budaya dan nilai-nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Sedangkan dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk memegang prinsip-prinsip antara lain: Pertama, harus menawarkan keragaman kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang, baik di perkotaan maupun perdesaan. Kedua, harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah. Ketiga, kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Keempat, pendidikan multikulturalisme harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya, dan agama.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagai direkomendasikan UNESCO pada Oktober 1954 di Jenewa, antara lain: pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan untuk berkomunikasi,dan berbagi, bekerja sama dengan orang lain. Kedua, pendidikan meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas antar pribadi dan masyarakat. Ketiga. pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemampuan untuk berbagi dan memelihara di antara sesamanya.
Pendidikan multikulturalisme sebagai wacana baru dapat diterima tidak hanya melalui pendidikan formal, kehidupan masyarakat, maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Untuk mewujudkan gagasan ini harus didasarkan pada konsep ketaqwaan dan iman, keberadaban, sopan, toleran, mandiri, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan paktik pendidikan. Juga dalam proses pembelajaran menghargai keragaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleran dan sikap terbuka. Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari ancaman dan paksaan. Semoga! ***
Penulis: Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Wakil Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan Cimahi.
Secara sederhana pendidikan multikulturalisme dapat didefinisikan sebagai ‘’pendidikan untuk atau keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultur pada lingkungan masyarakat tertentu atau bagaimana memandang terhadap dunia secara keseluruhan’’. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Paulo Freire (2011), pendidikan bukan merupakan ‘’menara gading’’ yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikulturalisme (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Sejalan dengan UUD 1945 pasal 31 (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dalam dimensi lain, pendidikan multikulturalisme seperti dijelaskan oleh Hilliard (1992) merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Kondisi yang demikian semakin mempertanyakan kembali sistem apa yang cocok bagi Indonesia serta sistem apa yang membuat masyarakat bisa hidup damai, rukun, menghargai kebinekaan, jujur, disiplin, santun, taat beribadat sesuai dengan keyakinan masing-masing serta bagaimana cara untuk dapat meminimalisasikan potensi konflik di tengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut Susilo Bambang Yudoyono (2010) ciri-ciri karakter bangsa yang baik antara lain: (1) berakhlak, bermoral dan berbudi pekerti luhur, (2) berjiwa mandiri, (3) memiliki keyakinan diri, (4) bersikap ulet, (5) tegar, (6) tidak mudah menyerah, (7) toleran, (8) semangat (kebangsaan), (9) bersikap optimis, (10) kemampuan berpikir positif dan menghasilkan energi posiitif.
Pendidikan multikulturalisme berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme. Ini terkait dengan perkembangan politik dan sosial. Multikulturalisme adalah salah satu konsep yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai wujud kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikulturalisme bertujuan pendidikan yang bersifat anti rasis yang memperhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga masyarakat. Menurut J.A. Banks (1985) mendeskripsikan pendidikan multikulturalisme dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam fase pendidikan. Fase keempat, perkembangan teori, riset, dan praktek, perhatian pada hubungan antar ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi, jika bukan praktisi dari pendidikan multikulturalisme.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalisme dapat membantu siswa mengerti, menerima, menghargai orang lian yang berbeda suku, budaya dan nilai-nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Sedangkan dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk memegang prinsip-prinsip antara lain: Pertama, harus menawarkan keragaman kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang, baik di perkotaan maupun perdesaan. Kedua, harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah. Ketiga, kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Keempat, pendidikan multikulturalisme harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya, dan agama.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagai direkomendasikan UNESCO pada Oktober 1954 di Jenewa, antara lain: pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan untuk berkomunikasi,dan berbagi, bekerja sama dengan orang lain. Kedua, pendidikan meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas antar pribadi dan masyarakat. Ketiga. pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemampuan untuk berbagi dan memelihara di antara sesamanya.
Pendidikan multikulturalisme sebagai wacana baru dapat diterima tidak hanya melalui pendidikan formal, kehidupan masyarakat, maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Untuk mewujudkan gagasan ini harus didasarkan pada konsep ketaqwaan dan iman, keberadaban, sopan, toleran, mandiri, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan paktik pendidikan. Juga dalam proses pembelajaran menghargai keragaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleran dan sikap terbuka. Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari ancaman dan paksaan. Semoga! ***
Penulis: Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Wakil Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan Cimahi.
Langganan:
Postingan (Atom)