Senin, 08 Oktober 2012
PERAN KARYA TULIS ILMIAH DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME DOSEN Oleh: Prof. Dr. H. Endang Komara, Drs., M.Si
A. Abstrak
Karya tulis ilmiah merupakan suatu tulisan yang membahas suatu masalah. Pembahasan itu dilakukan berdasarkan penyelidikan, pengamatan, pengumpulan data yang didapat dari suatu penelitian, baik penelitian lapangan, tes laboratorium ataupun kajian pustaka. Maka dalam memaparkan dan menganalisis datanya harus bedasarkan pemikiran ilmiah. Pemikiran ilmiah, adalah pemikiran yang logis dan empiris. Logis artinya masuk akal, sedangkan empiris adalah dibahas secara mendalam, berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan atau dapat dibuktikan.
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
B. Pendahuluan
Pemikiran ilmiah dalam lingkup keilmuan, terdiri dari dua tingkatan yaitu, tingkat abstrak dan tingkatan empiris. Pemikiran ilmiah tingkat abstrak berkaitan dengan penalaran. Pada tingkat ini, pemikirannya bebas tetapi sedikit terkait dengan waktu atau ruang. Sedangkan pemikiran empiris berkaitan dengan pengamaan, maka pemikiran empiris ini sangat terikat dengan waktu dan ruang. Boleh jadi pemikiran ini dilakukan dan waktu dan ruang tertentu.
Dalam proses pemikiran ilmiah seseorang selalu memulai dengan apa yang disebut pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah menurut Djuroto dan Bambang Suprijadi (2003:13), ’’merupakan gabungan dari dua pendekatan yaitu pendekatan induktif dan pendekatan deduktif’’. Pemahaman terhadap pendekatan induktif dan deduktif ini perlu dilakukan secara bersama, karena hasil yang dicapai dari kedua pendekatan itu berbeda.
Pendekatan induktif adalah pengalaman atau pengamatan seseorang pada tingkat empiris, menghasilkan konsep, memodifikasi model hipotesis menjadi teori, dan bermuara di tingkat abstrak. Pendekatan deduktif merupakan titik tolak penalaran serta perenungan di tingkat abstrak, yang menghasilkan pengukuran konsep serta pengujian hipotesis.
Karya tulis ilmiah merupakan serangkaian kegiatan penulisan berdasarkan hasil penelitian, yang sistematis berdasar pada metode ilmiah, untuk mendapatkan jawaban secara ilmiah terhadap permasalahan yang muncul sebelumnya. Banyak cara untuk menemukan jawaban dari penelitian tersebut. Untuk memperjelas jawaban ilmiah terhadap permasalahan atau pertanyaan yang ada dalam penelitian, penulisan karya ilmiah harus menggali khasanah pustaka, guna melengkapi teori-teori atau konsep-konsep yang relevan dengan permasalahan yang ingin dijawabnya. Untuk itu penulisan karya ilmiah harus rajin dan teliti dalam hal membaca dan mencatat konsep-konsep serta teori-teori yang mendukung karya tulis ilmiahnya.
Dalam memberikan jawaban terhadap permasalahan yang timbul pada suatu penelitian, penulisan karya ilmiah harus bisa dibuktikan melalui dua cara. Pertama, jawaban itu merupakan jawaban final terhadap permasalahan penelitian. Kedua, jawaban tersebut harus menjadi jawaban yang paling benar, meskipun masih akan dibuktikan lagi pada tahap lainnya. Jawaban pertama merupakan konklusi yang nantinya sangat diperlukan sebagai suatu thesis. Sedangkan jawaban kedua, merupakan konklusi sementara yang nantinya diperlukan sebagai hipotesis. Meskipun jawaban-jawaban penelitian tersebut sudah didapatkan, penulisan karya ilmiah masih harus dibuktikan, apakah jawaban-jawaban tersebut memang bisa dirasakan kebenarannya. Untuk itu diperlukan sumber-sumber informasi lainnya yang mendukung jawaban yang telah didapatkan. Jawaban permasalahan yang ada pada penelitian, bisa mendukung dan bisa juga menolak hipotesis yang ada. Jika jawaban itu mendukung hipotesis maka bisa dikatakan hipotesis diterima, tetapi jika jawabannya tidak mendukung hipotesis, maka disebut hipotesis dalam penelitian ini ditolak.
Profesionalisme guru/dosen merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, dosen yang profesional adalah orang yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas baik pendidikan- pengajaran, penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yangf demokratis dan bertanggung jawab.
Suatu pekerjaan profesional menurut Moh. Ali (Kunandar, 2007:470) memerlukan persyaratan khusus yakni: (1) menuntut adanya keterampilan berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam; (2) menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya; (3) menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai; (4) adanya kepekaan terhadap dampak kemasyaratakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya; (5) memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan. Selain persyarataan di atas, Usman (2005:12) menambahkan, yaitu (1) memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; (2) memiliki klien/objek layanan yang tetap, seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya; (3) diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.
Menurut Surya (2005), guru yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Selain itu, juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru yang profesional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab priobadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirnya, mengelola dirinya, mengendalikan dirinya, dan menghargai serta mengembangkan dirinya. Tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahlkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggugn jawab spiritual dan morak diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk beragama yang perilakunya senatiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dan moral.
C. Pembahasan
1. Penulisan Karya Ilmiah
Pada dasarnya semua ilmu ataupun teknologi yang ada di dunia ini, perlu diteliti, ditingkatkan dan dikembangkan fungsi dan perannya untuk melahirkan perubahan. Karena yang kekal di dunia ini hanya satu, yaitu perubahan. Perubahan yang posisitif melahirkan kemajuan dan kemajuan inilah yang dituntut oleh ilmu pengetahuan. Tanpa kemajuan, kehidupan di dunia tidak ada artinya sama sekali.
Salah satu cara untuk mencapai kemajuan adalah dengan melakukan pengamatan, pengkajian, dan penelitian dari sumber-sumber ilmu tersebut yang dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah. Salah satu tugas para ilmuwan (scientists) atau para pandit (scholars) adalah memaparkan hasil kajian, pengamatan atau penelitiannya kepada masyarakat luas.
Penulisan karya tulis ilmiah diharapkan dapat membantu pada cendekiawan untuk menemukan sesuatu yang baru, guna menunjang peningkatan taraf kehidupan masyarakat secara luas. Pada lingkungan perguruan tinggi karya ilmiah berupa ’’skripsi’’ digunakan untuk meraih gelar sarjana (S1), thesis untuk master (S2) dan disertasi untuk gelar doktor (S3). Sedangkan bagi pejabat fungsional, karya tulis ilmiah merupakan persyaratan untuk mendapatkan angka kredit bagi kenaikan jabatannya.
Sebenarnya kegunaan penulisan karya ilmiah bukan hanya sekadar untuk mendapatkan gelar atau memperoleh angka kredit point untuk kenaikan jabatan, tetapi tujuan utama dibuatnya karya tulis ilmiah adalah untuk mendokumentasikan hasil-hasil penelitian yang berhasil mendapatkan atau membuktikan kebenaran ilmiah. Mungkin yang tidak sama adalah gradasi kebenaran ilmiah yang ingin atau berhasil dicapai oleh seseorang. Bagi seorang peneliti profesional, keuntungan yang paling besar dan berharga dari semua karyanya adalah jika ia menemukan kebenaran ilmiah yang kemudian dibukukan.
Menurut Djuroto dan Bambang Suprijadi (2003:19) bahwa penemuan kebenaran ilmiah yang kemudian dibukukan dalam karya tulis ilmiah itu bertujuan untuk:: (1) pengakuan scientifik objective untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dengan pemaparan teori-teori baru yang sahih serta terandalkan, (2) pengakuan practical objective guna membantu pemecahan problema praktisi yang mendesak.
Judul dalam suatu karya tulis ilmiah adalah ciri atau identitas yang menjiwai seluruh karya tulis ilmiah. Judul pada hakikatnya merupakan gambaran konseptual dari kerangka kerja suatu karya tulis ilmiah. Itu sebabnya, dalam penulisan karya tulis ilmiah tidak bisa memaparkan begitu saja dari apa yang akan ditulis, tetapi harus runtut mengikuti kerangka kerja (framework) dari konsep yang akan dipaparkannya.
Judul merupakan kalimat yang terdiri dari kata-kata yang jelas, tidak kabur, singkat, tidak bertele-tele. Pemilihan kata-kata untuk judul sebaiknya saling terkait atau runtut, menggunakan kalimat yang tidak puitis apalagi sampai sensasional. Menurut Sutisno Hadi (1980), judul mempunyai dua fungsi pokok dalam penulisan karya ilmiah. Bagi pembaca, judul menunjukkan hakikat dari objek penelitian yang dilakukan sebelumnya. Sedangkan bagi penulisnya, judul merupakan patokan dalam menyusun tulisannya.
Memilih judul untuk suatu karya tulis ilmiah tidak bebas membuat judul pada penulisan artikel. Judul karya tulis ilmiah harus disesuaikan dengan topik bahasan yang sudah ditentukan sebelumnya. Jelasnya pada penulisan ilmiah tidak bisa langsung menulis baru menentukan judulnya. Ini karena penulisan karya tulis ilmiah terkait dengan kegiatan ilmiah, sementara kegiatan ilmiah sudah dibuat desainnya terlebih dahulu, di mana judul termasuk di dalamnya.
Pemilihan judul karya tulis ilmiah, harus mencerminkan isi karya tulis ilmiah yang akan dibuat. Judul karya tulis ilmiah yang bagus adalah yang dapat menggambarkan tentang apa yang akan dikupas dalam penelitiannya. Usahakan dengan hanya membaca judul saja, orang atau masyarakat sudah mengerti topik apa sesungguhnya, yang akan dibahas dalam karya tulis ilmiah tersebut.
Pada penulisan karya tulis ilmiah yang disajikan berkala, masih ada satu judul pelengkap yang disebut running title. Running title biasanya dicantumkan pada sisi atas sebelah kanan halaman judul. Panjang running title tidak lebih dari 50 huruf atau 50 karakter pada tulisan komputer. Pada karya tulis ilmiah tentang biologi hindari penggunaan nama daerah makhluk untuk judul serta nama latin untuk running title, karena tidak bermanfaat.
Seperti halnya artikel, judul karya tulis ilmiah sebaiknya tidak terlalu panjang dan jangan juga terlalu pendek. Jika judul terlalu panjang, orang yang membacanya akan kesulitan memahami apa sebenarnya yang ada dalam karya tulis ilmiah tersebut. Itu sebabnya judul yang panjang menjadi tidak menarik. Judul karya tulis ilmiah sebaiknya terdiri dari 8 sampai 12 kata yang merupakan hubungan dua variabel atau lebih. Kata-kata yang dipilih untuk judul sebaiknya mengambil istilah-istilah ilmiah atau menggambarkan konsep-konsepnya, yang mencerminkan keseluruhan dari isi karya tulis. Itu sebabnya judul karya tulis ilmiah jangan terlalu panjang. Dan jika kata-kata yang terpilih untuk kalimat judul masih terlalu panjang, gunakan anak judul. Anak judul ini berfungsi untuk membatasi pengertian masalah dalam penelitian, serta memudahkan pemahaman secara cepat. Dalam lingkup karya tulis ilmiah, anak judul disebut juga sebagai subjudul, yang menempatkannya berada di bawah judul utama dengan dibatasi garis tipis.
Pada prinsipnya semua karya tulis ilmiah itu sama yaitu hasil dari suatu kegiatan ilmiah. Yang membedakan hanyalah materi, susunan, tujuan serta panjang pendeknya karya tulis ilmiah tersebut. Untuk membedakan jenis atau macam karya tulis ilmiah dipakai beberapa sebutan, seperti laporan praktikum, naskah berkala, leporan hasil studi lapangan, textbook, hand out, paper, pra skripsi, skripsi, thesis dan disertasi.
Penentuan jenis atau macam karya ilmiah biasanya disesuikan dengan peruntukan karya ilmiah tersebut. Secara garis besar, karya ilmiah diklasifikasikan menjadi dua yaitu karya ilmiah pendidikan dan karya ilmiah penelitian. Karya ilmiah pendidikan digunakan sebagai sebagai tugas untuk meresume pelajaran serta sebagai persyaratan mencapai suatu gelar pendidikan. Karya ilmiah pendidikan terdiri dari:
a. Paper (karya tulis)
Paper atau lebih populer dengan sebutan karya tulis, adalah karya ilmiah berisi ringkasan atau resume dari suatu mata kuliah tertentu atau ringkasan dari suatu ceramah, yang diberikan oleh dosen kepada mahasiswanya. Tujuan pembuatan paper ini adalah melatih mahasiswa untuk mengambil intisari dari mata kuliah atau beramah yang diajarkan. Karena baru tahap untuk latihan, materi tulisannya juga masih sederhana, yaitu hanya berupa catatan poin-poin yang dianggap penting dari mata kuliah atau ceramah tersebut, kemudian dirangkai dalam susunan kalimat menjadi suatu karya tulis agar mudah dimengerti dan dipahami.
b. Pra skripsi
Pra skripsi adalah karya tulis ilmiah pendidikan yang digunakan sebagai persyaratan mendapatkan gelar sarjana muda. Karya tulis ini disyaratkan bagi mahasiswa pada jenjang akademi atau setingkat diploma 3 (D-3). Materi tulisannya sudah menggunakan kaidah ilmiah, yaitu berdasarkan hasil penelitian atau survey. Format tulisannya terdiri dari Bab I Pendahuluan (latar belakang pemikiran, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian), Bab II Gambaran Umum (menceritakan keadaan lokasi penelitian yang dikaitkan dengan permasalahan penelitian), Bab III Deskripsi Data (memaparkan data yang diperoleh dari lokasi penelitian), Bab IV Analisis (pembahasan data untuk menjawab masalah penelitian), Bab V Penutup (kesimpulan penelitian dan saran).
c. Skripsi
Skripsi adalah karya tulis ilmiah pendidikan yang diperuntukkan sebagai persyaratan mahasiswa mendapatkan gelar sarjana (S-1). Istilah skripsi berasal dari kalimat deskripsi (descriptionI), yang berarti memberikan gambaran tentang suatu masalah yang dibahas dengan memaparkan data serta pustaka untuk menghasilkan kesimpulan. Pembahasan dalam skripsi harus dilakukan mengikuti alur pemikiran ilmiah yang logis dan empiris. Logis (masuk akal), sedangkan empiris (mendalam). Logis dan empiris artinya, pembahasannya harus masuk akal dan mendalam, dengan pembuktian berupa data yang diperoleh dari penelitian lapangan.
d. Thesis
Thesis adalah suatu karya ilmiah pendidikan yang diperuntukkannya sebagai salah satu persyaratan bagi mahasiswa pascasarjana untuk mendapat gelar magister (S-2). Sebenarnya secara teoretis pembuatan skripsi sama dengan thesis, yaitu bersumber dari data dan pustaka. Data diperoleh dari lapangan berupa hasil penelitian, sedangkan pustaka didapat dari literatur di perpustakaan.
Istilah thesis berasal dari kata sinthesa (sinthation) . Kalau skripsi bertujuan mendeskripsikan ilmu, maka thesis bertujuan mensinthesakan ilmu yang diperoleh dari perguruan tinggi, guna memperluas khazanah ilmu yang didapatkan dari bangku kuliah. Perluasan khazanah itu terutama berupa temuan-temuan baru hasil dari suatu penelitian.
e. Disertasi
Disertasi (Dissertation) adalah suatu karya tulis ilmiah yang mempunyai sumber utama berupa penyelidikan laboratorium, atau penelitian lapangan. Jadi disertasi harus menghasilkan satu temuan baru, baik dari ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Di kalangan perguruan tinggi, karya tulis ilmiah disertasi merupakan tugas akhir yang dibebankan kepada seorang mahasiswa untuk meraih gelar doktor. Itu sebabnya ada istilah seorang yang bergelar doktor, harus menemukan sesuatu yang dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan.
Karya Ilmiah Panduan terdiri dari, pertama, Panduan Pelajaran atau sering juga disebut textbook merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah. Bedanya, panduan pelajaran bukan merupakan hasil penelitian, tetapi ringkasan dari pelajaran atau mata kuliah. Namanya saja panduan, tujuan utamanya untuk memberikan panduan (guidance) kepada mahasiswa, dosen atau masyarakat umum yang berminat membuat suatu karya tulis ilmiah, misalnya buku panduan penulisan skripsi, panduan membuat laporan praktek kerja (magang) dan panduan membuat laporan kuliah kerja lapangan dan sebagainya.
Kedua, Buku pegangan (handbook) adalah bentuk karya tulis ilmiah yang bertujuan memberikan petunjuk cara mengoperasionalkan sesuatu barang yang sudah ada. Misalnya buku pegangan mengoperasionalisasikan pengisian data penelitian dalam komputer, petunjuk penggunaan peralatan laboratorium, petunjuk pembuatan pertanyaan (kuesioner) dan sebagainya.
Ketiga, Buku pelajaran (diktat) termasuk kelompok karya tulis ilmiah. Hanya saja dibuatnya bukan berdasarkan hasil penelitian, tetapi materi pelajaran atau mata kuliah dari suatu ilmu. Diktat biasanya dibuat oleh guru, dosen atau guru besar untuk mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkannya. Bisa jadi seorang guru, dosen atau guru besar membuat buku pelajaran atau diktat yang tidak diajarkannya sendiri, namun demikian penulis buku tersebut harus benar-benar menguasai ilmu dari pelajaran atau mata kuliah yang ditulisnya itu
Karya ilmiah referensi terdiri dari, pertama Kamus yang berisi kumpulan kata-kata yang mengandung arti yang sama atau terjemahan kata dari dua bahasa atau lebih. Misalnya kamus bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Sunda dan sebagainya. Isinya memuat penjelasan lebih detail lagi dari suatu kata. Kedua, Ensiklopedi adalah buku yang berisi berbagai keterangan atau uraian ringkas tentang cerita-cerita, ilmu pengetahuan yang disusun menurut abjad atau menurut lingkungan ilmu. Misalnya ensiklopedi Ilmu Sosial, ensiklopedi satwa Indonesia, ensiklopedi raja-raja di Jawa dan sebagainya.
Karya Ilmiah Penelitian terdiri dari makalah seminar, laporan hasil penelitian dan jurnal penelitian. Makalah seminar terdiri dari naskah seminar dan naskah bersambung. Naskah seminar adalah karya ilmiah berisis uraian dari topik yang membahas suatu permasalahan yang akan disampaikan dalam forum seminar. Naskah ini bisa berdasarkan hasil penelitian atau pemikiran murni dari penulisnya dalam membahas dan memecahkan permasalahan yang dijadikan topik atau dibicarakan dalam seminar. Naskah bersambung sebatas masih mendasarkan ciri-ciri penulisan ilmiah, bisa disebut karya tulis ilmiah. Misalnya hasil penelitian yang ditulis secara bersambung, di mana antara tulisan pertama dengan tulisan selanjutnya masih saling terkait. Dua tulisan atau lebih yang mempunyai pokok bahasan sama dan diterbitkan dalam satu penerbitan, merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah. Penerbitan karya tulisan bersama ini sering disebut dengan jurnal karya ilmiah.
Laporan hasil penelian, biasanya dilakukan oleh para penulis pemula atau peneliti senior/profesional, dimana materinya berasal dari kegiatan-kegiatan percobaan, observasi, pelaksanaan kerja, dan sebagainya. Misalnya Laporan Praktikum Biologi, Laporan Kuliah Kerja Lapangan dan sebagainya.
Jurnal penelitian adalah buku yang berisi karya ilmiah terdiri dari hasil penelitian dan resensi buku. Penerbitan jurnal penelitian ini harus teratur (kontinyu) dan mendapatkan nomor dari perpustakaan nasional berupa ISSN (International Standard Serial Number).
2. Profesionalisme Dosen
Dalam Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen pasal 3 ayat (1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian ayat (2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana ddimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Menurut Anwar Arifin (2007:129) bahwa: Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Sementara itu, perwujudan unjuk kerja profesional guru/dosen ditunjang dengan jiwa profesionalisme yaitu sikap mental yang senantiasa mendorong untuk mewujudkan diri sebagai guru profesional. Kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima unjuk kerja sebagai berikut: (a) Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal; meningkatkan dan memelihara citra profesi; (3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilan; (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi; dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Keefektifan profesional guru/dosen dapat diwujudkan melalui pemberdayaan potensi dan prestasinya. Seorang guru/dosen hendaknya memiliki kompetensi yang mantap. Kompetensi tersebut berada dalam diri pribadinya yang bersumber dari kualitas kepribadian, pendidikan dan pengalamannya. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi intelektual, fisik, pribadi, sosial dan spiritual.
Menurut Prof. Dr. Moh. Surya (2005) bahwa profesionalisme guru mempunyai makna penting, yaitu: (1) profesionalisme memberikan jaminan perlindungan kepada masyarakat umum; (2) profesionalisme guru merupakan suatu cara untuk memperbaiki profesi pendidikan yang selama ini dianggap oleh sebagian masyarakat rendah; (3) profesionalisme memberikan kemungkinan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensinya. Kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima sikap, yakni: (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, (2) meningkatkan dan memelihara citra profesi, (3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya, (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi, dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
(a) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
(b) Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
(c) Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
(d) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
(e) Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
(f) Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
(g) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
(h) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalama melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
(i) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
D. Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Karya tulis ilmiah suatu tulisan yang membahas suatu masalah. Pembahasan dilakukan berdasarkan penyelidikan, pengamatan, pengumpulan data yang didapat dari suatu penelitian, baik penelitian lapangan, tes laboratorium ataupun kajian pustaka. Dalam memaparkan dan menganalisis datanya harus berdasarkan pemikiran ilmiah, yakni pemikiran yang logis dan empiris.
2. Semua karya tulis ilmiah pada prinsipnya sama yaitu hasil dari suatu kegiatan ilmiah. Yang membedakannya hanyalah materi, susunan, tujuan serta panjang pendeknya karya tulis ilmiah tersebut. Untuk membedakan jenis atau macam karya tulis ilmiah dipakai beberapa sebutan, seperti laporan praktikum, naskah berkala, laporan hasil studi lapangan, textbook, hand out, paper, pra skripsi, skripsi, thesis dan disertasi.
3. Guru sebagai profesi dikembangkan melalui: (1) sistem pendidikan, (2) sistem penjaminan mutu, (3) sistem manajemen, (4) sistem remunerasi, dan (5) sistem pendukung profesi guru.
4. Pengembangan guru sebagai profesi diharapkan mampu: (1) membentuk, membangun dan mengelola guru yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi di tengah masyarakat, (2) meningkatkan kehidupan guru yang sejahtera, dan (3) meningkatkan mutu pembelajaran yang mampu mendukung terwujudnya lulusan yang kompeten dan terstandar dalam kerangka pencapaian visi, misi dan tujuan pendidikan nasional pada masa mendatang. Selain itu juga diharapkan akan mendorong terwujudnya guru yang cerdas, berbudaya, bermartabat, sejahtera, canggih, elok, unggul, dan profesional. Guru masa depan diharapkan semakin konsisten dalam mengedepankan nilai-nilai budaya mutu, keterbukaan, demokratis, dan menjunjung akuntabilitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 2007. Profil Baru Guru dan Dosen Indonesia.Jakarta: Pustaka Indonesia.
Djuroto, Totok dan Bambang Suprijadi. 2003. Menulis Artikel & Karya Ilmiah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Komara, Endang. 2007. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Multazam.
Kunandar. 2007. Guru Profesional: Impelementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Pusdiklat Depdiknas. 2008. Teknik Penulisan Karya Ilmiah Hasil Penelitian. [Online]. Tersedia: http://pusdiklat depdiknas. Net [15 Maret 2008]
Surya, Muhammad. 2005. Membangun Profesionalisme Guru. Makalah Seminar Pendidikan. 6 Mei 2005 di Jakarta.
Zainuri. 2007, 5 Pebruari. Jalan Keluar Untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru. [Online]. Tersedia:http://Zainuri.Wordpress.Com.
Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori – Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Senin, 23 Juli 2012
RAMADHAN MEMBENTUK BUDI LUHUR
Oleh H. ENDANG KOMARA
Guru Besar Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan dan Wakil Ketua YPLP PT PGRI Provinsi Jawa Barat
Saat ini umat Islam sedang melaksanakan Ibadah Syaum pada bulan suci Ramadhan 1433 H yang merupakan bulan penekan hawa nafsu. Ibadah syaum dengan semua ketentuannya merupakan latihan jasmani dan rohani yang menghendaki kesadaran dan ketaatan kaum muslimin; sadar akan hikmat yang terkandung di dalamnya serta taat akan semua ketentuannya meskipun dengan penderitaan yang sangat.
Sebab kenyataan yang kita jumpai dalam melakukan ibadah syaum banyak penderitaan yang kita rasakan, baik jasmani maupun rohani; penderitaan jasmani yang kita rasakan ialah lemahnya tenaga karena lapar dan haus, yang kesemua itu dapat menyebabkan kurangnya gairah kerja. Begitu pula rohani kita melaksanakan penderitaan karena terpaksa harus menekan syahwat yang tiba-tiba menyelinap dalam hati di saat berhadapan dengan istri pada saat kita berpuasa, yakni pada waktu siang.
Padahal yang demikian adalah tuntunan jiwa yang wajar bagi setiap makhluk yang hidup serta normal. Akan tetapi penderitaan-penderitaan itu bukanlah beban yang berat manakala seseorang telah benar-benar tumbuh kesadaran serta ketaatannya. Jika sudah demikian keadaan seseorang maka masuklah ia dalam golongan orang-orang bertaqwa. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Baqarah:183, ‘’Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.’’
Allah Swt adalah Maha Bijaksana, sehingga betapapun beratnya suatu keawajiban atas hamba-Nya sudah barang tentu Allah memberikan keringanan/rukhshah bagi orang-orang tertentu seperti musafir, orang-orang tua yang sudah tidak kuat melakukannya, orang-orang yang sakit dan membabayakan terhadap keselamatan dirinya dan lain-lainnya yang telah ditetapkan oleh syar’a.
Rukhshah itupun berlaku bagi orang-orang yang melakukan puasa, yakni bagi mereka yang tidak sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang dapat membatalkan puasa. Rasulullah Saw bersabda: ‘’Barangsiapa berbuka (makan/minum) padahal itu puasa Ramadhan, karena lupa, maka tiada qadla dan kifarat baginya.’’ Keistimewaan lain bagi orang-orang yang berpuasa sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw, dari Riwayat Abu Hurairah: ‘’Barangsiapa yang melakukan puasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ridla Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.’’
Jelaslah bahwa puasa Ramadhan penuh keutamaan bagi mereka yang melakukannya, terutama pahala yang diperoleh. Oleh sebab itu berbahagialah kita yang saat ini berada di bulan Ramadlan dan dapat mengerjakan puasa.
Adapun perbuatan-perbuatan sunnah yang dapat menyempurnakan ibadah puasa menurut Dr. H. Miftah Faridl (2007), yaitu, pertama, melaksanakan makan sahur, Rasulullah Saw. bersabda: ‘’Bersahur itu berkah, maka janganlah kamu tinggalkan walau seorang di antara kamu itu akan mereguk air. Karena Allah dan para malaikat-Nya akan mengucapkan shalawat pada orang-orang yang bersahur.’’ (HR. Ahmad). Kedua, mempercepat berbuka apabila telah tiba waktunya, Rasulullah Saw. bersabda, ‘’Selalulah manusia itu dalam kebajikan selama mereka menyegerakan berbuka.’’ (HR Bukahari dan Muslim). Ketiga, memperbanyak membaca Al-Qur’an. Allah telah memilih bulan suci Ramadhan untuk menurunkan petunjuk dan nikmat yang besar yang tidak ada tandingannya, yaitu Al-Qur ‘an. Oleh karena itu dianjurkan untuk dibaca, ditelaah, dipelajari dan ditafakuri dengan baik, terutama pada bulan Ramadhan.
Keempat, memperbanyak sedekah, Rasulullah Saw. bersabda, ‘’Sedekah yang paling utama adalah sedekah yang dikeluarkan pada bulam Ramadhan.’’ (HR Tirmidzi). Kelima, shalat malam, Rasulullah Saw. bersabda, ‘’Barangsiapa berpuasa di siang harinya (puasa Ramadhan) dan mendirikan shalat malam (qiyamul lail) di malam harinya karena iman dan mengharap ridha Allah, niscaya bersihlah ia dari dosanya seperti ia di waktu dilahirkan oleh ibunya.’’ (HR Ibnu Khuzaimah). Keenam, melakukan I’tikaf, yakni tinggal di suatu tempat yaitu masjid untuk melakukan ibadah. Ibadah ini terutama dianjurkan untuk dilakukan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam suatu hadist dinyatakan, ‘’Nabi Saw. biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian sesudah wafatnya istri-istrinya beri’tikaf.’’ (HR Muttafaq ‘alaih). Ketujuh, memperbanyak doa kepada Allah, berdoa adalah ibadah yang khas yang menghubungkan hati dan pikiran manusia kepada Tuhannya, yang mungkin dilakukan di awal, sewaktu, atau sesudah suatu keinginan ataupun usaha dilaksanakan dan ini sangat baik sekali bila dilakukan di tempat yang suci, di rumah Allah, yaitu masjid. Allah Swt. berfirman, ‘’Dan Tuhanmu berfirman, ‘’Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina-dina.’’ (al-Mu’min:60). Kedelapan, banyak berdzikir kepada Allah. Zikrullah (zikir kepada Allah) adalah termasuk ibadah yang diperintahkan Allah di mana pun kita berada, terutama di Baitullah (masjid). Sebagaimana firman Allah, ‘’... Dan sebutlah (nama) Tuhanmu banyak-banyak, dan bertasbihlah (memuji-Nya) pada waktu petang dan pagi hari.’’ (Ali Imran:41).
Kesembilan, carilah malam itu. Nabi Muhammad Saw pernah diperintahkan oleh Allah umat-umat terdahulu. Beliau sedih karena umur mereka panjang-panjang dibanding umatnya. Bahkan, ada riwayat menyatakan seorang yang saleh dari Bani Israil berumur lebih dari seribu tahun. Sepanjang hidupnmya dia pergunakan untuk jihad di jalan Allah dan taat beribadah di malam harinya. Kalau umur umat Muhammad sekitar 60-70 tahun, maka tidak bisa dibandingkan amalnya dengan umat terdahulu. Padahal umat Islam adalah khairul ummah (umat terbaik). Allah menjawab keprihatinan Rasulullah Saw. dengan menurunkan malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Yaitu, suatu malam yang nilainya sama dengan seribu bulan (Surat al-Qadar ayat 3) atau 83 tahun lebih empat bulan, atau sebanyak 29.500 hari. Andaikan umat Islam mendapatkan malam tersebut selama 15 tahun saja tentu mereka sudah bisa menyaingi amal umat terdahulu.
Untuk mendapatkan malam istimewa tersebut, bisa dilakukan dengan cara beribadah sepanjang malam dalam satu bulan tersebut. Karena, satu hari dalam bulan tersebut ada malam yang sangat mulia. Namun, kalaulah kita tidak kuat beribadah sepanjang satu bulan, Rasulullah Saw. menyatakan lebih detail bahwa di bulan Ramadhan, Lailatul Qadar tersebut jatuh di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Mudah-mudahan kita bisa meningkatkan kualitas syaum Ramdhan tahun ini dengan disempurnakan dengan berbagai perbuatan sunat, baik di lakukan pada siang hari maupun malam hari. Juga mudah-mudahan Allah Swt mempertemukan kembali dengan Ramadhan-Ramdhan berikurnya, amin ***
CURRICULUM VITAE
Nama Lengkap : Prof. Dr. H. Endang Komara, Drs., M.Si
Tempat dan Tgl Lahir : Purwakarta, 19 Juli 1964
Pekerjaan : Dosen PNS Kopertis Wilayah IV Dpk pada STKIP
Pasundan Cimahi
Jabatan Fungsional : Guru Besar Sosiologi Pendidikan
Pangkat/Golongan : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan Terakhir : S3 UNPAD, lulus 2003
Alamat Rumah : Jl. Solontongan II/3 RT. 01 RW. 06 Kel. Turangga
Kecamatan lengkong Kota Bandung 40264
Email: endang_komara@yahoo.co.id
www.endangkomarasblog.blogspot.com.
Publikasi Ilmiah : JPIPS UPI, Historia UPI, Jurnal Mahkamah
Konstitusi, Tridharma Kopertis IV, Jurnal Pendidikan fakultas Tar- biyah UIN Sunan Gunung Djati, Suara Daerah dan HU Pikiran Rakyat.
Bandung,22 Juli 2012
Penulis,
Prof. Dr. H. Endang Komara,Drs., M.Si
Senin, 30 April 2012
PERAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DALAM PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INTERAKTIF
Oleh: Prof. Dr. Endang Komara, M.Si
A. Abstrak
Pembangunan karakter bangsa secara fungsional memiliki tiga fungsi utama yaitu pertama, fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, kedua fungsi perbaikan dan penguatan, dan ketiga fungsi penyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Dengan demikian model pembelajaraan merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
B. Pendahuluan
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (Republik Indonesia, 2010:1) situasi dan kondisi karakter bangsa yang memprihatinkan tersebut, mendorong pemerintah untuk mengambil inisiatif untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa dijadikan arus utama pembangunan nasional. Hal itu mengandung arti bahwa setiap upaya pembangunan harus selalu diarahkan untuk memberi dampak positif terhadap pengembangan karakter. Mengenai hal tersebut secara konstitusional sesungguhnya sudah tercermin dari misi pembangunan nasional yang memposisikan pendidikana karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007), yaitu ‘’… terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks.’’
Oleh karena itu pembangunan karakter bangsa memiliki cakupan dan tingkat urgensi yang sangat luas dan bersifat multidimensional. Ditegaskan dalam Kebijakan tersebut sangat luas karena memang secara substantif dan operasional terkait dengan ‘’… pengembangan seluruh aspek potensi-potensi keunggulan bangsa dan bersifat multidimensional karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang hingga saat ini sedang dalam proses ‘’menjadi’’. Dalam hal ini dapat juga disebutkan bahwa (1) karakter merupakan hal yang sangat esensial dan berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa; (2) karakter berperan sebagai ‘’kemudi’’ dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing; (3) karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Selanjutnya ditegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa harus difokuskan pada ‘’… tiga tataran besar, yaitu (1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat.’’
Di dalam Kebijakan Nasional tersebut (2010:4) pembangunan karakter bangsa secara fungsional memiliki tiga fungsi utama sebagai berikut: (a) fungsi pembentukan dan pengembangan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila; (b) fungsi perbaikan dan penguatan, memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, saatuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera; dan (c) fungsi penyaring, pembangunan karakter bangsa berfungsi memilih budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Demikian ditegaskan bahwa ‘’… ketiga fungsi tersebut dilakukan melalui (1) Pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi Negara, (2) Pengukuhan nilai dan norma konstitusional UUD 45, (3) Penguatan komitmen kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (4) Penguatan nilai-nilai keberagaman sesuai dengan konsepsi Bhineka Tunggal Ika, serta (5) Penguatan keunggulan dan daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam konteks global.’’
Sedangkan yang menjadi tujuan (Kebijakan Nasional, 2010:5) pembangunan karakter bangsa adalah ‘’… untuk membina dan mengembangkan karaakter warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakaat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.’’ Untuk itu maka Pembangunan Karakter Bangsa disikapi dan diperlakukan sebagai suatu gerakan nasional yang harus menjadi komitmen seluruh komponen bangsa dengan tema ‘’… membangun generasi Indonesia yang jujur, cerdas, tangguh, dan peduli.’’
Melihat sifat komprehensif dan kompleksitas dari pembangunan karakter bangsa tersebut telah ditetapkan yang menjadi lingkup sasaran pembangunan karakter bangsa menurut Kebijakan Nasional (2010:5-6) mencakup ranah sebagai berikut: (1) lingkup keluarga yang ‘’… merupakan wahana pembelajaran dan pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua dan orang dewasa lain dalam keluarga terhadap anak sebagai anggota keluarga sehingga diharapkan dapat terwujud keluarga berkarakter mulia yang tercermin dalam perilaku keseharian.’’, (2) lingkup satuan pendidikan yang ‘’… merupakan wahana pembinaan dan pengembangan karakter yang dilakukan dengan menggunakan pendekataan terintegrasi dalam semua pelajaran, (b) pengembangan budaya satuan pendidikan, (c) pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekastrakurikuler, serta (d) pembiasaan perilaku dalam kehidupan lingkungan satuan pendidikan. Pembangunan karakter melalui satuan pendidikan dilakukan mulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi.’’, (3) lingkup pemerintahan yang ‘’… merupakan wahana pembangunan karakter bangsa melalui keteladanan penyelenggara negara, elite pemerintah, dan elite politik. Unsur pemerintahan merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter bangsa karena aparat negara sebagai penyelenggara pemerintahan merupakan pengambil dan pelaksana kebijakan yang ikut menentukan berhasilnya pembangunan karakter pada tataran informal, formal, dan nonformal.’’ Pemerintahlah yang mengeluarkan berbagai kebijakan, (4) lingkup masyarakat sipil yang ‘’… merupakan wahana pembinaan dan pengembangan karakter melalui keteladanan tokoh dan pemimpin masyarakat serta berbagai kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi sosial kemasyarakatan sehingga nilai-nilai karakter dapat diinternalisasi menjadi perilaku dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.’’, (5) lingkup masyarakat politik yang ‘’… merupakan wahana yang melibatkan warga negara dalam penyaluran aspirasi dalam politik. Masyarakat politik merupakan suara representatif dari segenap elite politik dan simpatisannya. Masyarakat politik memiliki nilai strategis dalam pembangunan karakter bangsa karena semua partai politik memiliki dasar yang mengarah pada terwujudnya upaya demokratisasi yang bermartabat.’’, (6) lingkup dunia usaha dan industrialisasi yang ‘’… merupakan wahana interaksi para pelaku sektor riil yang menopang bidang perekonomian nasional. Kemandirian perekonomian nasional sangat bergantung pada kekuatan karakter para pelaku usaha dan industri yang di antaranya dicerminkan oleh menguatnya daya saing, meningkatnya lapangan kerja, dan kebanggaan terhadap produk bangsa sendiri.’’, dan (7) lingkup media massa yang ‘’… merupakan sebuah fungsi dan sistem yang memberi pengaruh sangat signifikan terhadap publik, khususnya terkait dengan pembentukan nilai-nilai kehidupan, sikap, perilaku, dan kepribadian atau jati diri bangsa. Media massa, baik elektronik maupun cetak memiliki fungsi edukatif atau pun nonedukatif bergantung dari muatan pesan informasi yang disampaikannya.’’.
Para dosen perguruan tinggi, instruktur atau widyaiswara lembaga pendidikan dan latihan, tutor sistem belajar jarak jauh, dan para guru perlu mengembangkan model pembelajaran interaktif di berbagai jenis dan jenjang pendidikan agar dapat meningkatkan kadar proses dan hasil belajar peserta didik. Dengan demikian proses pembelajaran akan semakin efisien dan efektif. Betapa banyak orang yang menguasai suatu bidang pengetahuan namun sulit mengajarkannya padahal mereka ingin mengajar. Betapa banyak orang yang dipaksa oleh keadaan untuk mengajar padahal mereka tidak mempunyai keterampilan mengajar. Betapa banyak orang yang senang mengajar namun tidak menguasai keterampilan mengajar. Betapa banyak pula orang yang sudah terampil mengajar namun masih ingin meningkatkan keterampilannya.
Sebagaimana ditegaskan oleh para teoretisi belajar seperti Crow and Crow (1963), Gagne (1965), dan Hilgard and Brower (1966) dalam Knowles (1990), inti proses belajar adalah perubahan pada diri individu dalam aspek-aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan sebagai produk dan interaksinya dengan lingkungannya. Atau pendapat lain seperti Kolb (1986), belajar adalah proses membangun pengetahuan melalui transformasi pengalaman. Dengan kata lain proses belajar dapat dikatakan berhasil bila dalam diri individu terbentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan atau kebiasaan baru yang secara kualitatif lebih baik dari sebelumnya. Proses belajar dapat terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan belajar secara mandiri atau sengaja dirancang. Orang yang belajar mandiri secara individual dikenal sebagai otodidak; sedangkan orang yang belajar karena dirancang dikenal sebagai pembelajar formal. Proses belajar sebagian besar terjadi karena memang sengaja dirancang. Proses tersebut pada dasarnya merupakan sistem dan prosedur penataan situasi dan lingkungan belajar agar memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem dan prosedur inilah yang dikenal sebagai proses pembelajaran.
Proses pembelajaran yang baik adalah proses pembelajaran yang memungkinkan para pembelajar aktif melibatkan diri dalam keseluruhan proses baik secara mental maupun secara fisik. Model proses ini dikenal sebagai pembelajaran interaktif yang memiliki karakteristik umum sebagai berikut: (1) adanya variasi kegiatan klasikal, kelompok dan perorangan; (2) keterlibatan mental (pikiran, perasaan) siswa yang tinggi; (3) dosen, instruktur, tutor dan guru lebih berperan sebagai fasilitator belajar, narasumber dan manajer kelas yang demokratis; (4) menerapkan pola komunikasi banyak arah; (5) suasana kelas yang fleksibel, demokratis, menantang dan tetap terkendali oleh tujuan; (6) potensial dapat menghasilkan dampak instruksional dan dampak pengiring lebih efektif; dan (7) dapat digunakan di dalam dan atau di luar kelas atau ruangan.
Model-model pembelajaraan interaktif sebagaimana diuraikan oleh Prof. Dr. Atwi Suparman, M.Sc (1997:xi-xii) sebagai berikut: (1) model berbagi informasi yang tujuannya menitikberatkan pada proses komunikasi dan diskusi melalui interaksi argumentatif yang sarat penalaran. Termasuk ke dalam rumpun ini model orientasi, model sidang umum, model seminar, model konferensi kerja, model simposium, model forum dan model panel; (2) model belajar melalui pengalaman yang tujuannya menitikberatkan pada proses pelibatan dalam situasi yang memberi implikasi perubahan perilaku yang sarat nilai dan sikap social. Termasuk ke dalam rumpun ini model simulasi, model bermain peran, model sajian situasi, model kelompok aplikasi, model sajian konflik, model sindikat dan model kelompok T; dan (3) model pemecahan masalah yang tujuannya menitikberatkan pada proses pengkajian dan pemecahan masalah melalui interaksi dialogis dalam situasi yang sarat penalaran induktif. Termasuk ke dalam model ini model curah pendapat, model riuh bicara, model diskusi bebas, model kelompok okupasi, model kelompok silang, model tutorial, model studi kasus, dan model lokakarya.
Setiap model memiliki keunggulan dan kelemahan. Karena itu kehandalan setiap model amat tergantung pada kesesuaian model dengan tujuan belajar. Untuk itu perlu memperhatikan beberapa Tips sebagai berikut: (a) kenali karakteristik peserta didik dengan baik (perilaku awal, gaya belajar dan kebutuhan), (b) kuasai pokok dan rinciaan materi (substansi) yang akan diajarkan; (c) kuasai model yang akan digunakan; (d) persiapkan sarana penunjang yang diperlukan; (e) kuasai keterampilan dasar mengajar yang relevan (bertanya, memberi penguatan, menjelaskan, serta mengajar kelompok kecil dan perorangan); dan (f) bersiaplah untuk bertindak demokratis dengan moto ‘’Tut Wuri Handayani.’’
C. Pembahasan
1. Peran Pendidikan Karakter Bangsa
Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, satuan pendidikan dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam olah hati (spiritual anda emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik ( physical and kinesthetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
Oleh karena itu Kementerian Pendidikan Nasional menyusun Desain Induk Pendidikan Karakter, yang merupakan kerangka paradigmatik implementasi pembangunan karakter bangsa melalui sistem pendidikan. Secara keseluruhan pendidikan karakter dalam Disain Induk Pendidikan Karakter yang dijelaskan oleh Kemdiknas (2010:11-12) sebagai berikut:
a. Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan seperangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan: (1) filosofis – agama - Pancasila, UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya; (2) pertimbangan teoretis-teori tentang otak (brain theories), psikologis (cognitive development theories, learning theories, theories of personality), pendidikan (theories of instruction, educational management, curriculum theories), nilai dan moral (axiology, moral development theories), dan sosial-kultural (shool culture, civic culture); dan (3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktek terbaik (best practices) dari antara tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesantren, kelompok kulturan dan lain-lain.
b. Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar (learning experiences) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukana karakter dalam diri individu peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar (learning experiences) yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur (structured learning experiences). Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna peran guru sebagai sosok anutan (role model) sangat penting dan menentukan. Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistent-life situation), dan penguatan (reinforcement) yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara sistemik, holistik dan dinamis.
c. Dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan, bukan hanya sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan, komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum dan hak azasi manusia, serta pemuda dan olah raga.
d. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen program untuk perbaikan berkelanjutan yang sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk menditeksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik.
Pada tataran mikro, pendidikan karakter menurut Kemdiknas (2010:13-14) dapat ditata sebagai berikut:
a. Secara mikro pengembangan nilai atau karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan (school culture); kegiatan ko-kurikuler dan atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan dalam masyarakat.
b. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pengembangan nilai atau karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach). Khusus untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap maka pengembangan nilai atau karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi atau metode pendidikan nilai (value/character educationI). Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai atau karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effectsI). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai atau karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurtutant effects) berkembang nilai atau karakter dalam diri peserta didik.
c. Dalam lingkungan satuan pendidikan dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural satuan pendidikan memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga satuan pendidikan lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di satuan pendidikan yang mencerminkan perwujudan nilai atau karakter.
d. Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja., Pecinta Alam dan lain-lain, perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai atau karakter.
e. Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua atau wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.
Rencana Menteri Pendidikan Nasional periode 2010-2015 mengusung rencana yang dinamakan pendidikan budaya dan karakter sebagai suatu keniscayaan bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Pokok-Pokok Bahasan Materi yang diutarakan sebagai berikut:
a. Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
1) Budaya = Keseluruhan sistem berpikir, nilai, norma, moral dan keyakinan (belief) yang dihasilkan masyarakat.
2) Karakter = Watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan (virtues). Proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang.
b. Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ‘Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.’
2) UUD 1945 dan UU SISDIKNAS memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa.
c. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
1) Pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik, ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
2) Perbaikan memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
3) Penyaring untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
d. Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
1) Mengembangkan potensi kalbu/nurani/efektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yanag terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan bertanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
4) Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity)
e. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa terdiri dari:
1) Agama: Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Kehidupan individu, masyarakat dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya.
2) Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila.
3) Budaya: Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu.
4) Tujuan Pendidikan Nasional: Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur.
Akhirnya maka pendidikan budaya dan karakter bangsa bagi pendidik, guru atau dosen sebagai orang yang diberi wewenang secara kompeten di dalam mengembangkan pendidikan ini menoleh kembali kepada rencana pengembangan baik RPP maupun pelaksanaan pembelajaran seperti yang pernah dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pengembangan KTSP ini, berpedoman pada prinsip-prinsip yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Endang Sumantri (Dasim Budimansyah dan Kokom Komalasari (2011:10) sebagai berikut:
a) Berpusat pada potensi pengembangan kebutuhan dan kepentingan peserta didik serta lingkungannya.
b) Beragam dan terpadu.
c) Tanggap terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
e) Menyeluruh dan berkesinambungan.
f) Belajar sepanjang hayat.
g) Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah.
2. Model-Model Pembelajaran Interaktif
Model pembelajaran menurut Joyce & Weil (Sapriya Ed, 2008:59) adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaraan di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisen untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa model pembelajaran merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Model pembelajaran umumnya disusun berdasarkan prinsip-prinsip atau teori pengetahuan. Sebagaimana dikemukakan Joyce & Weil (1980) bahwa prinsip-prinsip pendidikan, teori-teori psikologis, sosiologis, psikiatri, analisis sistem, ataupun teori-teori lain mendasari penyusunan model pembelajaran.
Untuk memahami lebih dalam tentang model-model pembelajaran, dapat ditelaah dari ciri-ciri yang melekat pada model pembelajaran tersebut. Menurut Susilana dkk (2006) ciri-ciri model pembelajaran sebagai berikut:
a. Berdasarkan pada teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.
b. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu. Misalnya model berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berfikir induktif.
c. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas. Misalnya model Synctic dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang.
d. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1) urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax), (2) adanya prinsip-prinsip reaksi, (3) sistem sosial, dan (4) sistem pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.
e. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi: (1) dampak pembelajaran (instructional effects), yaitu hasil belajar yang dapat diukur, dan (2) dampak pengiring (nurturant effects), yakni hasil belajar jangka panjang.
f. Membuat persiapan mengajar (instructional design) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.
Pembelajaran dapat dikatakan interaktif jika para pembelajar atau siswa terlibat secara aktif dan positif baik mental maupun fisik dalam keseluruhan proses kegiatan pembelajaran. Suparman (1997) mengemukakan karakteristik pembelajaran interaktif sebagai berikut:
1) Terdapat variasi kegiatan, baik klasikal, kelompok maupun perorangan.
2) Keterlibatan mental (pikiran dan perasaan) siswa yang tinggi.
3) Guru berperan sebagai fasilitator belajar, nara sumber (resource person), manajer kelas yang demokratis.
4) Menetapkan pola komunikasi yang banyak arah.
5) Suasana kelas yang fleksibel, demokratis, menantang dan tetap terkendali oleh tujuan yang telah ditetapkan.
6) Potensi dapat menghasilkan dampak pembelajaran (instructional effects) dan dampak pengiring (nurturant effects).
7) Dapat digunakan di dalam dan atau di luar kelas atau ruangan.
Selanjutnya Suparman (1997) membagi model-model pembelajaran efektif ke dalam 3 (tiga) bagian antara lain: Rumpun pertama disebut Model Berbagi Informasi dengan tujuan menitikberatkan pada proses informasi dan diskusi melalui interaksi argumentatif yang sarat penalaran. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah:
(1) Model Orientasi;
(2) Model Sidang Utama;
(3) Model Seminar;
(4) Model Konferensi Kerja;
(5) Model Simposium;
(6) Model Forum;
(7) Model Panel.
Rumpun kedua disebut Model Belajar Melalui Pengalaman yang
bertujuan menitikberatkan pada proses pelibatan dalam situasi yang memberi implikasi perubahan perilaku yang sarat nilai dan sikap sosial. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah:
(1) Model Simulasi;
(2) Model bermain Peran;
(3) Model sajian Situasi;
(4) Model kelompok Aplikasi;
(5) Model Sajian Konflik;
(6) Model Sindikat;
(7) Model Kelompok T.
Rumpun ketiga disebut Model Pemecahan Masalah yang tujuannya menitikberatkan pada proses pengkajian dan pemecahan masalah melalui interaksi dialogis dalam situasi yang sarat penalaran induktif. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah:
(1) Model Curah Pendapat;
(2) Model Riuh Bicara;
(3) Model Diskusi Bebas;
(4) Model kelompok Okupasi;
(5) Model Kelompok Silang;
(6) Model Tutorial;
(7) Model Studi Kasus;
(8) Model Lokakarya
Model kelompok Orientasi adalah suatu model pembelajaran melalui pengenalan program dan lingkungan belajar. Adapun yang dimaksud dengan program ini meliputi tujuan dan strategi pencapaiannya, sedangkan lingkungan belajar meliputi sarana belajar, nara sumber, sarana pendukung, dan termasuk tata tertib yang harus ditaati. Model pembelajaran ini bertujuan untuk menjelaskan tujuan yang akan dicapai program dan stategi pembelajaran yang dibutuhkan. Menjelaskan tujuan yang akan dicapai dalam suatu kegiatan pembelajaran akan membantu siswa dalam proses belajarnya. Keunggulan model ini antara lain mempersiapkan siswa agar mengikuti pembelajaran dengan baik, dan dapat menciptakan interaksi sosial di kalangan peserta didik, karena model ini dilakukan secara berkelompok.
Model Sidang Umum merupakan model pembelajaran yang menunjukkan suatu bentuk prosedural pengorganisasian interaksi belajar mengajar yang melibatkan pengajar dan peserta didik. Model ini merupakan bentuk tiruan Sidang Umum sehingga dapat disebut dengan Sidang Umum berskala pedagogis kelas. Model ini berpangkal pada pertama, prinsip belajar kognitif, dimana proses belajar dicapai melalui proses asimilasi yakni menghubungkan pikiran dengan informasi dari luar (objek), proses akomodasi yang mengolah informasi dalam pikiran, memberi respons, dan mengulangi secara berdaur. Dengan prinsip ini pikiran siswa akan terlatih atau terbiasa untuk menangkap dan mengolah informasi dan merumuskan kesimpulan. Kedua prinsip komunikasi interpersonal, di mana siswa dilatih untuk memiliki pengalaman dalam menyampaikan dan menerima informasi agar saling mengerti dan memahami informasi tersebut. Ketiga, prinsip pendidikan nilai (value education), dimana siswa dilatih untuk memperoleh pengalaman dalam menghayati nilai-nilai demokratis dan saling menghargai pendapat siswa.
Model seminar merupakan model pembelajaran dimana terdapat sekelompok orang (siswa, guru, pakar), memiliki pengalaman dan pengetaahuan mendalam, dan saling belajar dan berbagi pengalaman. Model ini bertujuan agar siswa mampu berperan serta sebagai ahli dalam suatu bidang ilmu dan mampu berbagi pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya dengan sesama siswa lainnya.
Model Konferensi Kerja merupakan model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam pertemuan besar dalam rangka merencanakan kegiatan, mendapatkan fakta, dan memecahkan masalah-masalah organisasi. Prinsip yang mendasari model ini adalah belajar langsung menghayati pertemuan agar siswa berpartisipasi aktif, pembentukan sikap saling menghormati, kerjasama dan tanggung jawab.
Model Simposium merupakan model pembelajaran yang memerankan siswa sebagai pakar dalam berbagai bidang untuk berlatih memecahkan suatu topik yang problematik. Dalam model ini siswa dikondisikan untuk mencoba berbagi ide mengenai suatu visi masing-masing. Melalui model ini dapat mengasah kemampuan berpikir siswa, menumbuhkan sikap terbuka dan tanggap terhadap sumber informasi dan cara pandang orang lain. Sikap-sikap tersebut merepresentasikan kemampuan berpikir kritis.
Model Forum mendasarkan diri pada prinsip berpikir kritis dan kreatif yang dikembangkan melalui proses diskusi yang demokratis dan toleran. Tujuan model ini adalah agar siswa dapat memberikan tanggapan atau pendapat yang beragam mengenai suatu permasalahan. Siswa dilatih berpikir divergen atau menyebar dengan cara meninjau atau memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Model Diskusi Panel merupakan model pembelajaran yang digunakan dalam mengorganisasikan interaksi belajar mengajar dalam konteks pembahasan masalah kontroversial di lingkungannya. Model ini dapat dilakukan dalam bentuk nyata atau dalam bentuk simulasi tergantung pada hakekat masalah yang dibahas dalam pembelajaran. Model pembelajaran ini merupakan medium untuk melatih siswa sebagai warga negara untuk berpikir kritis dan sikap toleran terhadap masalah konroversial baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Model Simulasi merupakan model pembelajaran yang menekankan peniruan pekerjaan yang menuntut kemampuan tertentu dari siswa sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dalam kegiatan pembelajaran. Model ini bertujuan untuk memberi kesempatan berlatih bagi siswa untuk menguasai keterampilan tertentu melalui situasi buatan (artificial situation) sehingga siswa terbebas daari resiko pekerjaan berbahaya. Keterampilan yang dilatih pada hakekatnya berkenaan dengan kemampuan mengambil keputusan (decision making) dalam situasi kehidupan nyata.
Model Bermain Peran sangat mirip dengan model pembelajaran simualsi. Sebagaimana ditegaskan oleh Robert Gilstrap (Ramat, 2008) bahwa model bermain peran merupakan bagian dari simulasi. Jadi model bermain peran intinya adalah simulai atau tiruan dari perilaku yang diperankan. Model ini bertujuan untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk berlatih menumbuhkan kesadaran dan kepekaan sosial serta sikap positif, juga menentukan alternatif pemecahan masalah. Jadi dengan model bermain peran ini diharapkan siswa mampu memahami dan menghayati berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Model Sajian Situasi merupakan model pembelajaran yang menggunakan simulasi sebagai pemicu belajar. Adapun materi yang disajikan bukan konsep yang abstrak secara verbal tetapi situasi yang dibuat mencerminkan suatu konsep (Winataputra, 1997). Melalui model ini siswa dikondisikan untuk dapat menangkap konsep melalui proses analisis situasi yang disimulasikan. Model sajian situasi bertujuan agar siswa dapat melakukan kajian atau diskusi melalui analisis perilaku seseorang atau kelompok dalam suatu situasi yang disimulasikan, sehingga siswa dapat berpikir induktif dan deduktif secara interaktif, dan dapat memahami konsep secara lebih mudah dan bertahan lama karena terkait dengan dunia realitas dalam kehidupnya.
Model Kelompok Aplikasi merupakan salah satu model pembelajaran keterampilan melalui penerapan dalam situasi nyata. Model pembelajaran ini berdasar pada prinsip bahwa ‘’belajar dapat bermakna apabila peserta didik dapat mengalaminya secara langsung dalam situasi nyata’’. Dalam penerapan model ini melibatkan siswa pada kejadian yang dibenarkannya, seperti polisi kecil, dokter kecil dan sebagainya. Model ini bertujuan untuk melatih keterampilan siswa agar dapat menggali atau mencari informasi, mendiskusikannya dengan sesama siswa, meneliti kebenarannya, serta menyajikan informasi dalam laporan ilmiah. Melalui model ini juga dapat mengembangkan sikap bertanggungjawab atas proses belajarnya sendiri.
Model Kelompok Sindikat merupakan model pembelajaran dimana siswa diminta untuk mencari suatu informasi yang belum jelas sumber dan tempatnya. Setelah informasi ditemukan kemudian didiskusikan, diteliti kebenarannya, lalu diinformasikan. Model ini bertujuan untuk melatih keterampilan siswa agar dapat menggali atau mencari informasi, mendiskusikannya dengan sesama siswa, meneliti kebenarannya, serta menyajikan informasi dalam laporan ilmiah. Melalui model ini juga dapat mengembangkan sikap bertanggung jawab atas proses belajarnya sendiri.
Model kelompok T diadopsi dari dunia psikologi dan manajemen dimana tujuan organisasi akan dapat dicapai jika tercipta sinergi tim yang mapan. Dalam model ini, sekelompok orang ditempatkan dalam suatu situasi tertentu, sedemikian rupa, sehingga setiap orang dalam kelompok itu merasakan adanya suatu kesatuan yang utuh dengan anggota lain dalam kelompoknya. Model pembelajaran ini sangat dipengaruhi oleh teori belajar humanistik yang sangat memberi perhatian pada pengembangan potensi manusia untuk menjadi manusia yang utuh atau memanusiakan manusia.
Model Curah Pendapat merupakan nodel pembelajaran untuk mencari dan menemukan pemecahan masalah (problem solving). Model ini bertujuan untuk melatih siswa mengekspresikan gagasan baru menurut daya imajinasinya, dan untuk melatih daya kreativitas berpikir siswa. Prinsip belajar yang digunakan sebagai landasan dalam penerapan model curah pendapat ini bahwa identifikasi gagasan secara kolektif akan lebih produktif dibandingkan bila dilakukan secara individual.
Model Riuh Bicara adalah model pembelajaran dimana siswa secara berkelompok membahas satu isu atau masalah dalam waktu yang singkat. Dalam satu terdapat beberapa kelompok yang dalam waktu yang sama membahas masalah yang sama pula sehingga menimbulkan gaung diskusi yang diibaratkan sama dengan gaung lebah. Karenanya dengan model ini dikenal dengan buzz group atau riuh bicara. Tujuan model ini adalah siswa dapat memantapkan pemahaman terhadap topik yang sedang dibahas karena mereka diberi kesempatan untuk membahas dalam kelompok kecil. Disamping itu, siswa dapat meningkatkan kemampuan menerapkan konsep dan pengetahuan baru, mensintesakan ide-ide baru, bahkan menilai atau mengevaluasi. Secara emosional-sosial, melalui model ini siswa belajar dalam kondisi yang santai, bebas dari tekanan, percaya diri, serta memandang penting masalah yang dibahas.
Model Kelompok Diskusi Bebas merupakan model pembelajaran dimana siswa diberi kesempatan untuk menentukan topik dan arah diskusi. Melalui model ini diharapkan siswa mampu mengembangkan nilai dan sikap melalui diskusi ide-ide baru. Model inipun sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan berpikir divergent yakni kemampuan berpikir yang tidak hanya terpaku pada satu kemungkinan melainkan memikirkan berbagai kemampuan dalam memecahkan suatu masalah yang dibahas dalam pembelajaran.
Model Kelompok Okupasi merupakan model pembelajaran yang menggunakan proses berbagi pengalaman dalam bidang pekerjaan yang sama. Tujuan model pembelajaran ini adalah melatih keterampilan memecahkan masalah melalui proses berbagi pengalaman dalam bidang pekerjaan yang sama. Di samping itu, melalui model ini dapat membantu siswa untuk memperkaya pengalaman dengan menyerap pengalaman orang lain.
Model Diskusi Kelompok Silang, model pembelajaran ini sesungguhnya adalah diskusi secara umum, dimana terdapat beberapa orang membicarakan suatu masalah untuk dipecahkan bersama. Pada umumnya, kelemahan diskusi adalah ada anggota yang aktif namun ada pula yang cenderung diam atau pasif atau tidak turut serta mengemukakan pendapatnya dalam kegiatan diskusi tersebut. Oleh karena melalui model diskusi kelompok silang ini setiap anggota bergantian secara terus menerus untuk berperan serta dalam kegiatan diskusi. Dengan begitu, akan dihasilkan berbagai alternatif pemecahan masalah yang lebih banyak ketimbang hanya dihasilkan oleh beberapa orang saja.
Model Pembelajaran Tutorial merupakan model pembelajaran yang menitikberatkan pada pemberian bimbingan dan bantuan belajar oleh guru ataupun sesama siswa. Bimbingan dan bantuan diberikan agar siswa dapat saling memberi stimulus dan saling mamacu intensitas belajar. Dengan demikian akan terwujud suasana kelas yang lebih dinamis dan demokratis. Gartner sebagaimana dikutip oleh Winataputa (1997) melakukan penelitian tentang model tutorial ’’each one teach one’’ di Yonkers New York dan menemukan hasil yakni adanya perubahan sikap dari pemalu menjadi sikap komunikatif dan peningkatan hasil akademik yang naik, dan juga berkembangnya aneka pola interaksi belajar.
Model Studi Kasus merupakan model pembelajaran dimana guru memberikan deskripsi suatu situasi yang mengharuskan pelaku-pelaku dalam situasi tersebut mengambil keputusan tertentu untuk memecahkan suatu masalah. Model ini umumnya disajikan dalam bentuk cerita dengan komponen utama yaitu aktor, kejadiaan atau situasi, permasalahan, dan informasi yang melatarbelakangi permasalahan tersebut. Model pembelajaran ini bertujuan untuk membelajarkan siswa melalui pengalaman dengan menggunakan contoh kasus atau kejadian/situasi sehingga diharapkan siswa dapat: (a) mengembangkan dan mempertajam kemampuan analisis, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan; (2) mempunyai pemahaman tentang berbagai sistem nilai, persepsi dan sikap yang berkaitan dengan kejadian/kasus/situasi tertentu; (3) menunjukkan kepada siswa bahwa peranan dan pengaruh berbagai nilai dan persepsi terhadap pengambilan keputusan; dan (4) mencapai sinergi kelompok dalam memecahkan suatu masalah.
Model Pembelajaran Lokakarya merupakan wahana yang produktif untuk melatih keterampilan siswa antara penalaran dan penerapan, keterampilan sosial, dan psikomotorik. Atas dasar itu model lokakarya merupakan forum siswa atau peserta didik untuk belajar mengaplikasikan atau menerapkan segala sesuatu yang telah dipelajari secara teoretik sehingga menghasilkan sesuatu yang nyata. Model ini bermanfaat bagi siswa dan guru yakni memacu siswa dan guru untuk berpikir praktis dan realistik; memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama sesama siswa untuk dapat menghasilkan suatu karya bersama.
D. Kesimpulan
1. Pengembangan KTSP berpedoman pada prinsip-prinsip antara lain: a) berpusat pada potensi pengembangan kebutuhan dan kepentingan peserta didik serta lingkungannya; b) beragam dan terpadu; c) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; d) relevan dengan kebutuhan kehidupan; e) menyeluruh dan berkesinambungan; f) belajar sepanjang hayat; dan g) seimbang antara kepentingan nasional dan daerah.
2. Fungsi Pendidikan Budaya dan karakter Bangsa adalah pengembangan, perbaikan dan penyaring budaya bangsa sendiri dan bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
3. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa meliputi agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional yang perlu dikembangkan oleh pendidik, guru atau dosen, baik dalam rencana pembelajaran maupun pelaksanaan pembelajaran. Akhirnya akan dapat membangun generasi Indonesia yang jujur, cerdas, tangguh dan peduli terhadap lingkungan serta sesama.
4. Strategi beajar mengajar dapat dikelompokkan menjadi: a) segi pengalaman guru; b) pengorganisasian guru dalam pelaksanaan pembelajaran; c) segi pengorganisasian siswa; d) pola penyajian materi; dan e) proses pengolahan pesan.
5. Model pembelajaran interaktif terdiri dari model berbagi informasi, model belajar melalui pengalaman dan model pemecahan masalah. Yang akhirnya akan tercipta proses pembelajaran yang baik yakni proses pembelajaran yang memungkinkan para pembelajar aktif melibatkan diri dalam keseluruhan proses baik secara mental maupun secara fisik.
DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah, Dasim dan Kokom Komalasari. 2011. Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sapriya (Ed) 2008. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan UPI.
Suparman, Atwi. 1997. Model-Model Pembelajaran Interaktif. Jakarta: STIA-LAN Press.
Republik Indonesia. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemko Kesejahteraan Rakyat.
Kamis, 15 Maret 2012
REVITALISASI PENDIDIKAN GURU DI INDONESIA Oleh H. ENDANG KOMARA Disampaikan di Universiti Teknologi Mara 40450 Shah Alam Selangor Malaysia, Sabtu 17
A. Pendahuluan
Kehidupan masa mendatang cenderung semakin kompleks dan penuh tantangan yang lebih terbuka, sehingga sangat dibutuhkan kehadiran setiap insan yang kompeten dan kompetitit. Untuk menghasilkan insan yang kompeten dan kompetitif, sangat diperlukan kehadiran peserta didik (mahasiswa) yang memiliki gaya belajar sesuai dengan era informasi dan era ide. Untuk memfasilitasi peserta didik dapat belajar efektif, diperlukan guru profesional yang mampu menciptakan pembelajaran sebagaimana yang dibutuhkan setiap peserta didik dan pembangunan bangsa. Untuk dapat menghasilkan guru profesional, sangat dibutuhkan sistem rekruitmen guru dan sistem rekruitmen mahasiswa calon guru profesional yang efektif.
Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang telah diamandemen, menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai usaha, termasuk menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang Guru, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 8 tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan, dan berbagai peraturan perundangan lainnya, yang menegaskan peranan strategis guru dan dosen dalam peningkatan mutu pendidikan. Guru merupakan jabatan profesional dan karena itu seorang guru harus disiapkan melalui pendidikan profesi.
Menurut UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Dengan demikian program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan S-1 Kependidikan dan S-1/D-IV Non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru, agar mereka dapat menjadi guru yang profesional sesuai dengan standar nasional pendidikan dan memperoleh sertifikat pendidik. Berdasarkan UU No. 20/2003 Pasal 3, tujuan umum program PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan poptensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan tujuan khusus program PPG seperti yang tercantum dalam Permendiknas No. 8 Tahun 2009 Pasal 2 adalah untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian, melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik serta melakukan penelitian, dan mampu mengembangkan profesionalitas serta berkelanjutan.
B. Pembahasan
Program pendidikan profesi adalah program pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan profesional lulusan sebagai perwujudan dari kemampuan akademik yang diperoleh pada program pendidikan S-1 melalui pengalaman praktik selama setahun di lapangan. Secara umum Tim Universitas Pendidikan Indonesia (2011:4-5) menjelaskan lulusan S-1 diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mampu mengembangkan perilaku yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian mantap, mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab dan motivasi altruistik (selalu ingin berbuat yang terbaik atau bermaslahat bagi orang lain) dalam kehidupan pekerjaan dan dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya.
2. Mampu memanfaatkan Ipteks dalam bidang keahliannya, dan mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi dalam penyelesaian masalah.
3. Menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoretis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah secara prosedural dan kontekstual.
4. Mampun mengambil keputusan strategis berdasarkan analisis informasi dan data, dan memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi. Mampu menggerakkan masyarakat untuk menjadi lebih berdayaguna (community development).
5. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas percapaian hasil kerja organisasi.
6. Memahami karakteristik dan potensi peserta didik dan memfasilitasi perkembangan potensinya yang multi kemampuan dan makna secara berkesinambungan.
7. Menguasai teori, prinsip, dan prosedur dalam merancang program pembelajaran yang mendidik, yang dapat memaksimalkan potensi peserta didik yang multi kemampuan dan multi makna.
8. Menguasai pengetahuan dan keterampilan menyajikan atau mengkomunikasikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik dan mengelola pembelajaran di kelas dengan menggunakan bahasa kelas yang komunikatif baik dalam muatan interpersonal dan transaksional dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komputer disertai pembentukan sikap dan perilakunya yang dapat memfasilitasi perkembangan potensinya yang multi kemampuan dan makna secara berkesinambungan.
9. Menguasai pengetahuan dan keterampilan mengelola perubahan kultur kelas dan sekolah untuk membangun dan mengembangkan proses dan hasil pembelajaran peserta didik yang memiliki multi kemampuan dan makna.
10. Menguasai pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan alat penilian untuk memperbaiki proses dan hasil belajar peserta didik yang membantu perkembangan potensinya yang multi kemampuan dan makna.
11. Menguasai pendekatan dan metode penelitian kelas yang dapat digunakan untuk memperbaiki pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi peserta didik yang multi kemampuan dan multi makna.
Sedangkan program pendidikan profesi adalah program pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan profesional lulusan sebagai perwujudan dari kemampuan akademik yang diperoleh pada program pendidikan S-1 melalui pengalaman kerja praktik selama setahun di lapangan. Secara umum, lulusan dari pendidikan profesi diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Mampu mengembangkan perilaku yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian mantap, mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab dan motivasi altruistik (selalu ingin berbuat yang terbaik atau bermaslahat bagi orang lain) dalam pelayanan profesi dan dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya.
2) Menguasai landasan keilmuan dan keterampilan keahlian profesional yang sejalan dengan bidang ilmu yang diperoleh pada program sarjana sebagai dasar atau landasan keterampilan keahlian khusus dalam profesi yang dibangun.
3) Mampu mengembangkan pelayanan keahlian profesional berkenaan dengan praktik keahlian khusus profesional dengan penguasaan keahlian profesional yang tinggi.
4) Mampu mengembangkan pelayanan perilaku pelayanan profesional berkaitan dengan berkehidupan dan kegiatan pelayanan profesional berkaitan dengan berkehidupan dan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan bidang keilmuan dan substansi profesi sesuai dengan karir profesi yang dipilih, terutama berkenaan dengan etika profesional, riset dalam bidang profesi, dan organisasi profesi.
5) Mampu mengembangkan kehidupan bermasyarakat profesi, berkenaan dengan kaidah-kaidah kerjasama profesional dalam kehidupan masyarakat profesi sesuai dengan karir profesi yang dipilih baik dalam hubungan antara individu, hubungan kolaboratif antar anggota profesi sendiri dan profesi lain dalam membangun dan melaksanakan kerjasama disertai dengan tanggung jawab profesional.
6) Mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan Ipteks untuk menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis organisasi.
7) Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun yang belum baku berdasarkan data dan informasi, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur.
8) Menguasai konsep dan prinsip dasar dalam bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
9) Mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif.
10) Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok.
Lama dan beban studi Pendidikan Profesional Guru adalah meliputi dua tahap, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesi. Pendidikan akademik mempersyaratkan beban studi antara 144-160 SKS, dengan lama studi 8-14 semester. Sedangkan pendidikan profesi ditempuh selama 2 (dua) semester dengan beban studi antara 36-40 SKS.
Alur pikir pengembangan kurikulum Pendidikan Profesional Guru meliputi antara lain:
a. Setiap sub-kompetensi dijabarkan menjadi pengalaman belajar yang memungkinkan tercapainya sub-kompetensi tersebut.
b. Pengalaman belajar harus memfasilitasi:
1) Perolehan pengetahuan dan pemahaman 9acquiring and integrating knowledge), perluasan dan penajaman pemahaman (expanding and refining knowledge) dan penerapan pengetahuan secara bermakna (applying knowledge meaningfully), melalui pengkajian dengan berbagai modus dalam berbagai konteks.
2) Penguasaan keterampilan, baik keterampilan kognitif dan personal-sosial maupun keterampilan psikomotorik, yang diperoleh melalui berbagai bentuk latihan yang disertai balikan (feed back), dan
3) Penumbuhan sikap dan nilai yang berujung pada pembentukan karakter, dibentuk melalui penghayatan secara pasif (vicarious learning) dalam berbagai persitiwa sarat-nilai, dan keterlibatan secara aktif (gut learning) dalam berbagai kegiatan sarat-nilai.
c. Pengembangan materi kurikuler dari setiap pengalaman belajar mencakup rincian kompetensi/sub-kompetensi, bentuk kegiatan belajar, materi, dan asesmen tagihan penguasaannya.
d. Berdasarkan substansi, bentuk dan keterawasannya, kegiatan belajar untuk penguasaan kompetensi/sub-kompetensi yang ditetapkan sebagai sasaran pembentukan, dapat diperkirakan besaran waktu yang diperlukan untuk penguasaan setiap sub-kompetensi, yaitu dengan menggunakan kerangka pikir dua dimensi dalam sistem kredit semester yaitu:
1) Berdasarkan isinya dilakukan pemilahan menjadi pengalaman belajar yang bermuatan (1) teoretik, (2) praktek, dan (3) pengalaman lapangan, serta
2) Berdasarkan keterawasannya dilakukan pemilahan menjadi kegiatan (1) terjadwal, (2) terstruktur, dan (3) mandiri.
e. Berdasarkan substansinya, selanjutnya dilakukan pemilahan yang menghasilkan cikal-bakal mata kuliah, masing-masing disertai dengan besaran waktu yang ditetapkan, sehingga merupakan langkah awal penetapan mata kuliah, yang secara keseluruhannya membangun kurikulum utuh Program Studi S-1 Kependidikan di perguruan tinggi yang bersangkutan.
f. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pemenuhan persyaratan akademik program S-1 pendidikan profesional guru, yang digunakan sebagai dasar untuk penganugerahan ijazah Sarjana Pendidikan, ditetapkan beban studi yang terentang antara 144-160 SKS.
Agar standar kompetensi yang dikemukakan dapat dicapai dengan baik, proses pembelajaran yang diterapkan pada Program S-1 Pendidikan Profesional Guru, diselenmggarakan dengan mengupayakan hal-hal sebagai berikut:
a. Proses pembelajaran yang dimaksudkan untuk memfasilitasi pembentukan perangkat kompetensi lulusan yang telah ditetapkan, dispesiifikasikan dalam 2 (dua) dimensi yang berbeda namun terjalin yaiitu (1) penetapan bentuk kegiatan belajar seperti mengkaji, berlatih, dan menghayati, dan (2) senantiasa mengacu kepada penguasaan kompetensi/sub-kompetensi yang telah ditetapkan.
b. Pembentukan penguasaan kompetensi-kompetensi profesional guru yang merupakan muara dari Program Pendidikan Profesional Guru yang berupa Program Pengalaman Lapangan yang memberi kesempatan kepada lulusan program S-1 Kependidikan untuk menerapkan segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh dari semua mata kuliah ke dalam penyelenggaraan pelayanan pembelajaran yang mendidik. Program Pengalaman Lapangan tersebut dilakukan secara bertahap dan sistematis di bawah bimbingan para dosen pembimbing dan guru pamong. Pada dasarnya, pembentukan penguasaan Kompetensi Profesional Guru tersebut mengandung elemen-elemen sebagai berikut:
1) Latihan berbagai keterampilan teknis (basic skills) dalam pembelajaran.
2) Perencanaan terapan kontekstual berbagai pengetahuan dan keterampilan teknis dalam latar teoretik.
3) Terapan kontekstual berbagai pengetahuan dan keterampilan teknis pembelajaran dalam latar teoretik.
Penguasaan kompetensi akademik sebagaimana dijelaskan di atas, dapat ditagih melalui ujian tertulis baik yang berupa tes pilihan (multiple choice) yang sangat efektif untuk melakukan survai kemampuan akademik yang memiliki serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok calon guru yang berjumlah besar, maupun melalui berbagai asesmen individual untuk menilai kemampuan dan minat serta permasalahan yang dihadapi oleh calon guru serta perorangan. Demi transparansi, sarana uji kompetensi akademik ini dapat dikembangkan secara terpusat dan dimutakhirkan serta divalidasi secara berkala dengan memanfaatkan teknologi yang relevan di bidang asesmen. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi akademik yang dipersyaratkan bagi calon guru, dianugerahi ijazah Sarjana Pendidikan dengan kehususan yang ditempuhnya.
Berbeda dari tagihan penguasaan akademik, penguasaan kemampuan profesional calon guru dapat diverifikasi melalui pengamatan ahli yang dalam pelaksanaannya, juga sering mempersyaratkan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement) misalnya sarana asesmen yang menyerupai Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang merupakan high inference asessment instrument. Sebagaimana diketahui, adaptasi APKG ini telah beredar dalam konteks pendidikan profesional guru di Indonesia, khususnya di Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) sejak awal dekade 1980-an. Yang juga perlu dicatat sebagaimana telah disyaratkan di atas, adalah bahwa asesmen kemampuan profesional guru itu itu tidak cukup jika hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot atau moment opname), melainkan harus melalui pengamatan berulang, karena sasaran asesmen penguasaan kompetensi profesional itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan pada kualitas keseharian (typical behavior) kinerja guru. Ini berarti bahwa, asesmen penguasaan kemampuan profesional itu perlu lebih mengedepankan rekam jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan pembelajaran yang mendidik dalam rentang waktu tertentu. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi profesional guru melalui Program Pendidikan Profesi Guru yang berupa Program Pengalaman yang nantinya diberikan sertifikat guru profesional.
Untuk tahapan pendidikan akademik yang bermuara pada penganugerahan ijazah sarjana pendidikan dengan kehususan tertentu, yang menjadi mahasiswa adalah lulusan yang berasal dari sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), atau lulusan program Diploma, Sarjana Muda, atau class program. Sedangkan yang menjadi mahasiswa Pendidikan Profesi Guru adalah lulusan sarjana pendidikan dan sarjana nonkependidikan yang telah memperoleh dan lulus matrikulasi dan ujian seleksi masuk Pendidikan Profesi Guru.
Sementara itu, seleksi calon mahasiswa program S-1 kependidikan harus ketat dan seksama. Ini dilakukan dengan peetimbangan bahwa mahasiswa calon guru harus memiliki kemampuan akademik yang baik, mempunyai keterampilan berpikir (logis, kreatif, kritis dan intuitif) serta terampil dalam menggunakan berbagai cara atau kiat dalam menyampaikan pikiran dan gagasan. Ini tentu memerlukan cara yang berbeda dari sistem seleksi yang selama ini berlangsung. Seleksi calon mahaiswa pendidikan profesional guru harus mampu memetakan kemampuan dan perilaku awal (entry behavior) yang sekurang-kurangnya mencakup:
(1) Kecakapan akademik yang dinilai dari penguasaan substansi bidang studi berikut keterampilan berpikirnya. Ini dapat diuji antara lain melalui ujian tulis yang terfokus pada penguasaan konten keilmuan dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (analisis, sintesis, evaluatif). Oleh karena itu, alat seleksi untuk menilai kemampuan awal calon mahasiswa program studi ini harus sekurangnya mempertimbangkan tiga aspek, yakni dari sisi konten atau muatan akademik yang diwakili oleh penguasaan bidang literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains serta ilmu sosial yang menekankan pada aspek keterampilan berkomunikasi (social skills), sisi proses (cognitive processes) yang memetakan kemampuan berpikir mulai dari tingkat rendah (lower order thinking) yang termuat dalama tipe pertanyaan yang berkaitan dengan pilihan topik, dan seting yang relevan dengan lingkup yang dihadapi calon mahasiswa ketika mereka memasuki profesinya.
(2) Keterampilan berpikir logis, kritis, kreatif, dan intuitif berikut kiat dalam menyampaikan pikiran dan gagasannya. Ini tentu dapat dilakukan dengan Uji Potensi Akademik dan Uji Kinerja untuk melihat potensi dalam penyajian pikirannya (presentation skills).
(3) Sikap, motivasi altruistik (dorongan untuk berbuat bagi kemaslahatan orang lain) dan perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan akhlak mulia. Ini antara lain, dapat digali melalui wawancara baik terstruktur maupun tidak terstruktur, dan
(4) Kondisi fisik dan mental. Calon mahasiswa program ini harus dipastikan tidak memiliki fisik yang diperkirakan akan menghambat tugas-tugasnya kelak sebagai guru profesional. Begitu pula kesehatan jiwanya dipandang memenuhi persyaratan seorang calon guru.
C. Kesimpulan
1. Lulusan pendidikan profesi guru diharapkan dapat menguasai kompetensi guru secara utuh sehingga mampu menunjukkan kinerja profesional secara efektif. Untuk itu lulusan PPG seyogyanya memiliki kompetensi yang dipersyaratkan, meliputi seperangkat pengetahuan, sikap/nilai, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dikuasai dan diaktualisasikan dalam pelaksanaan tugas profesinya.
2. Sebagai satu keutuhan, kompetensi guru mencakup kompetensi akademik dan profesional. Kompetensi akademik merupakan kompetensi yang ditempuh pada jenjang S-1 me;liputi landasan keilmuan dan pendidikan sedangkan kompetensi profesional merupakan penguasaan kiat pembelajaran yang mendidik yang ditumbuhkembangkan, dikaji, dihayati dan dilatih melalui suatu program yang sistematis dan tersupervisi dalam konteks otentik lapangan. Kompetensi profesional dikembangkan dalam program PPG.
3. Sosok utuh kompetensi profesional mencakup, pertama, kemampuan mengenal peserta didik secara mendalam; kedua, menguasai bidang studi baik secara keilmuan kependidikan, yaitu kemampuan mengemas materi pembelajaran kependidikan maupun didaktik dan metodiknya; ketiga, kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, meliputi merancang, melaksanakan, menilai hasil dan proses pembelajaran, serta memanfaatkan hasil pembelajaran sebagai pemicu perbaikan secara berkelanjutan; dan keempat, mampu mengembangkan kepribadian dan keprofesionalan secara berkelanjutan.
4. Kurikulum Pendidikan Profesi Guru dikelompokkan dalam dua aspek, yakni aspek keilmuan bidang studi (disciplinary content knowledge) dan aspek kependidikan/pembelajaran (pedagogically content knowledge) yang harus dikuasi oleh peserta program pendidikan profesi guru.
5. Program matrikulasi yang harus ditempuh oleh calon peserta PPG bagi lulusan S-1/D-IV non kependidikan dan S-1/D-IV kependidikan serumpun adalah filsafat pendidikan, psikologi perkembangan peserta didik, perencanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, analisis sosial dan nilai dalam pembelajaran, kapita selekta, telaah kurikulum dan buku teks, PTK dalam pembelajaran dan multi media dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Duff, Tony (Ed). Explorations in Teacher Training: Problems and Issues. London: Longman.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan. Jakarta: Dikti Pepdiknas.
Tim Univrsitas Pendidikan Indonesia. 2011. Rambu-Rambu Pengembangan Program dan Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Guru. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sunaryo, Kartadinata. 2010. Re-Desain Pendidikan Profesional Guru. Bandung: UPI Press.
Tom, Alan R. 1997. Redesigning Teacher Education. New Your: State University of New York Press.
Kehidupan masa mendatang cenderung semakin kompleks dan penuh tantangan yang lebih terbuka, sehingga sangat dibutuhkan kehadiran setiap insan yang kompeten dan kompetitit. Untuk menghasilkan insan yang kompeten dan kompetitif, sangat diperlukan kehadiran peserta didik (mahasiswa) yang memiliki gaya belajar sesuai dengan era informasi dan era ide. Untuk memfasilitasi peserta didik dapat belajar efektif, diperlukan guru profesional yang mampu menciptakan pembelajaran sebagaimana yang dibutuhkan setiap peserta didik dan pembangunan bangsa. Untuk dapat menghasilkan guru profesional, sangat dibutuhkan sistem rekruitmen guru dan sistem rekruitmen mahasiswa calon guru profesional yang efektif.
Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang telah diamandemen, menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai usaha, termasuk menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang Guru, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 8 tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan, dan berbagai peraturan perundangan lainnya, yang menegaskan peranan strategis guru dan dosen dalam peningkatan mutu pendidikan. Guru merupakan jabatan profesional dan karena itu seorang guru harus disiapkan melalui pendidikan profesi.
Menurut UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Dengan demikian program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan S-1 Kependidikan dan S-1/D-IV Non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru, agar mereka dapat menjadi guru yang profesional sesuai dengan standar nasional pendidikan dan memperoleh sertifikat pendidik. Berdasarkan UU No. 20/2003 Pasal 3, tujuan umum program PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan poptensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan tujuan khusus program PPG seperti yang tercantum dalam Permendiknas No. 8 Tahun 2009 Pasal 2 adalah untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian, melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik serta melakukan penelitian, dan mampu mengembangkan profesionalitas serta berkelanjutan.
B. Pembahasan
Program pendidikan profesi adalah program pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan profesional lulusan sebagai perwujudan dari kemampuan akademik yang diperoleh pada program pendidikan S-1 melalui pengalaman praktik selama setahun di lapangan. Secara umum Tim Universitas Pendidikan Indonesia (2011:4-5) menjelaskan lulusan S-1 diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mampu mengembangkan perilaku yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian mantap, mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab dan motivasi altruistik (selalu ingin berbuat yang terbaik atau bermaslahat bagi orang lain) dalam kehidupan pekerjaan dan dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya.
2. Mampu memanfaatkan Ipteks dalam bidang keahliannya, dan mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi dalam penyelesaian masalah.
3. Menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoretis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah secara prosedural dan kontekstual.
4. Mampun mengambil keputusan strategis berdasarkan analisis informasi dan data, dan memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi. Mampu menggerakkan masyarakat untuk menjadi lebih berdayaguna (community development).
5. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas percapaian hasil kerja organisasi.
6. Memahami karakteristik dan potensi peserta didik dan memfasilitasi perkembangan potensinya yang multi kemampuan dan makna secara berkesinambungan.
7. Menguasai teori, prinsip, dan prosedur dalam merancang program pembelajaran yang mendidik, yang dapat memaksimalkan potensi peserta didik yang multi kemampuan dan multi makna.
8. Menguasai pengetahuan dan keterampilan menyajikan atau mengkomunikasikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik dan mengelola pembelajaran di kelas dengan menggunakan bahasa kelas yang komunikatif baik dalam muatan interpersonal dan transaksional dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komputer disertai pembentukan sikap dan perilakunya yang dapat memfasilitasi perkembangan potensinya yang multi kemampuan dan makna secara berkesinambungan.
9. Menguasai pengetahuan dan keterampilan mengelola perubahan kultur kelas dan sekolah untuk membangun dan mengembangkan proses dan hasil pembelajaran peserta didik yang memiliki multi kemampuan dan makna.
10. Menguasai pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan alat penilian untuk memperbaiki proses dan hasil belajar peserta didik yang membantu perkembangan potensinya yang multi kemampuan dan makna.
11. Menguasai pendekatan dan metode penelitian kelas yang dapat digunakan untuk memperbaiki pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi peserta didik yang multi kemampuan dan multi makna.
Sedangkan program pendidikan profesi adalah program pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan profesional lulusan sebagai perwujudan dari kemampuan akademik yang diperoleh pada program pendidikan S-1 melalui pengalaman kerja praktik selama setahun di lapangan. Secara umum, lulusan dari pendidikan profesi diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Mampu mengembangkan perilaku yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian mantap, mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab dan motivasi altruistik (selalu ingin berbuat yang terbaik atau bermaslahat bagi orang lain) dalam pelayanan profesi dan dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya.
2) Menguasai landasan keilmuan dan keterampilan keahlian profesional yang sejalan dengan bidang ilmu yang diperoleh pada program sarjana sebagai dasar atau landasan keterampilan keahlian khusus dalam profesi yang dibangun.
3) Mampu mengembangkan pelayanan keahlian profesional berkenaan dengan praktik keahlian khusus profesional dengan penguasaan keahlian profesional yang tinggi.
4) Mampu mengembangkan pelayanan perilaku pelayanan profesional berkaitan dengan berkehidupan dan kegiatan pelayanan profesional berkaitan dengan berkehidupan dan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan bidang keilmuan dan substansi profesi sesuai dengan karir profesi yang dipilih, terutama berkenaan dengan etika profesional, riset dalam bidang profesi, dan organisasi profesi.
5) Mampu mengembangkan kehidupan bermasyarakat profesi, berkenaan dengan kaidah-kaidah kerjasama profesional dalam kehidupan masyarakat profesi sesuai dengan karir profesi yang dipilih baik dalam hubungan antara individu, hubungan kolaboratif antar anggota profesi sendiri dan profesi lain dalam membangun dan melaksanakan kerjasama disertai dengan tanggung jawab profesional.
6) Mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan Ipteks untuk menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis organisasi.
7) Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun yang belum baku berdasarkan data dan informasi, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur.
8) Menguasai konsep dan prinsip dasar dalam bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
9) Mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif.
10) Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok.
Lama dan beban studi Pendidikan Profesional Guru adalah meliputi dua tahap, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesi. Pendidikan akademik mempersyaratkan beban studi antara 144-160 SKS, dengan lama studi 8-14 semester. Sedangkan pendidikan profesi ditempuh selama 2 (dua) semester dengan beban studi antara 36-40 SKS.
Alur pikir pengembangan kurikulum Pendidikan Profesional Guru meliputi antara lain:
a. Setiap sub-kompetensi dijabarkan menjadi pengalaman belajar yang memungkinkan tercapainya sub-kompetensi tersebut.
b. Pengalaman belajar harus memfasilitasi:
1) Perolehan pengetahuan dan pemahaman 9acquiring and integrating knowledge), perluasan dan penajaman pemahaman (expanding and refining knowledge) dan penerapan pengetahuan secara bermakna (applying knowledge meaningfully), melalui pengkajian dengan berbagai modus dalam berbagai konteks.
2) Penguasaan keterampilan, baik keterampilan kognitif dan personal-sosial maupun keterampilan psikomotorik, yang diperoleh melalui berbagai bentuk latihan yang disertai balikan (feed back), dan
3) Penumbuhan sikap dan nilai yang berujung pada pembentukan karakter, dibentuk melalui penghayatan secara pasif (vicarious learning) dalam berbagai persitiwa sarat-nilai, dan keterlibatan secara aktif (gut learning) dalam berbagai kegiatan sarat-nilai.
c. Pengembangan materi kurikuler dari setiap pengalaman belajar mencakup rincian kompetensi/sub-kompetensi, bentuk kegiatan belajar, materi, dan asesmen tagihan penguasaannya.
d. Berdasarkan substansi, bentuk dan keterawasannya, kegiatan belajar untuk penguasaan kompetensi/sub-kompetensi yang ditetapkan sebagai sasaran pembentukan, dapat diperkirakan besaran waktu yang diperlukan untuk penguasaan setiap sub-kompetensi, yaitu dengan menggunakan kerangka pikir dua dimensi dalam sistem kredit semester yaitu:
1) Berdasarkan isinya dilakukan pemilahan menjadi pengalaman belajar yang bermuatan (1) teoretik, (2) praktek, dan (3) pengalaman lapangan, serta
2) Berdasarkan keterawasannya dilakukan pemilahan menjadi kegiatan (1) terjadwal, (2) terstruktur, dan (3) mandiri.
e. Berdasarkan substansinya, selanjutnya dilakukan pemilahan yang menghasilkan cikal-bakal mata kuliah, masing-masing disertai dengan besaran waktu yang ditetapkan, sehingga merupakan langkah awal penetapan mata kuliah, yang secara keseluruhannya membangun kurikulum utuh Program Studi S-1 Kependidikan di perguruan tinggi yang bersangkutan.
f. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pemenuhan persyaratan akademik program S-1 pendidikan profesional guru, yang digunakan sebagai dasar untuk penganugerahan ijazah Sarjana Pendidikan, ditetapkan beban studi yang terentang antara 144-160 SKS.
Agar standar kompetensi yang dikemukakan dapat dicapai dengan baik, proses pembelajaran yang diterapkan pada Program S-1 Pendidikan Profesional Guru, diselenmggarakan dengan mengupayakan hal-hal sebagai berikut:
a. Proses pembelajaran yang dimaksudkan untuk memfasilitasi pembentukan perangkat kompetensi lulusan yang telah ditetapkan, dispesiifikasikan dalam 2 (dua) dimensi yang berbeda namun terjalin yaiitu (1) penetapan bentuk kegiatan belajar seperti mengkaji, berlatih, dan menghayati, dan (2) senantiasa mengacu kepada penguasaan kompetensi/sub-kompetensi yang telah ditetapkan.
b. Pembentukan penguasaan kompetensi-kompetensi profesional guru yang merupakan muara dari Program Pendidikan Profesional Guru yang berupa Program Pengalaman Lapangan yang memberi kesempatan kepada lulusan program S-1 Kependidikan untuk menerapkan segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh dari semua mata kuliah ke dalam penyelenggaraan pelayanan pembelajaran yang mendidik. Program Pengalaman Lapangan tersebut dilakukan secara bertahap dan sistematis di bawah bimbingan para dosen pembimbing dan guru pamong. Pada dasarnya, pembentukan penguasaan Kompetensi Profesional Guru tersebut mengandung elemen-elemen sebagai berikut:
1) Latihan berbagai keterampilan teknis (basic skills) dalam pembelajaran.
2) Perencanaan terapan kontekstual berbagai pengetahuan dan keterampilan teknis dalam latar teoretik.
3) Terapan kontekstual berbagai pengetahuan dan keterampilan teknis pembelajaran dalam latar teoretik.
Penguasaan kompetensi akademik sebagaimana dijelaskan di atas, dapat ditagih melalui ujian tertulis baik yang berupa tes pilihan (multiple choice) yang sangat efektif untuk melakukan survai kemampuan akademik yang memiliki serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok calon guru yang berjumlah besar, maupun melalui berbagai asesmen individual untuk menilai kemampuan dan minat serta permasalahan yang dihadapi oleh calon guru serta perorangan. Demi transparansi, sarana uji kompetensi akademik ini dapat dikembangkan secara terpusat dan dimutakhirkan serta divalidasi secara berkala dengan memanfaatkan teknologi yang relevan di bidang asesmen. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi akademik yang dipersyaratkan bagi calon guru, dianugerahi ijazah Sarjana Pendidikan dengan kehususan yang ditempuhnya.
Berbeda dari tagihan penguasaan akademik, penguasaan kemampuan profesional calon guru dapat diverifikasi melalui pengamatan ahli yang dalam pelaksanaannya, juga sering mempersyaratkan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement) misalnya sarana asesmen yang menyerupai Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang merupakan high inference asessment instrument. Sebagaimana diketahui, adaptasi APKG ini telah beredar dalam konteks pendidikan profesional guru di Indonesia, khususnya di Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) sejak awal dekade 1980-an. Yang juga perlu dicatat sebagaimana telah disyaratkan di atas, adalah bahwa asesmen kemampuan profesional guru itu itu tidak cukup jika hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot atau moment opname), melainkan harus melalui pengamatan berulang, karena sasaran asesmen penguasaan kompetensi profesional itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan pada kualitas keseharian (typical behavior) kinerja guru. Ini berarti bahwa, asesmen penguasaan kemampuan profesional itu perlu lebih mengedepankan rekam jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan pembelajaran yang mendidik dalam rentang waktu tertentu. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi profesional guru melalui Program Pendidikan Profesi Guru yang berupa Program Pengalaman yang nantinya diberikan sertifikat guru profesional.
Untuk tahapan pendidikan akademik yang bermuara pada penganugerahan ijazah sarjana pendidikan dengan kehususan tertentu, yang menjadi mahasiswa adalah lulusan yang berasal dari sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), atau lulusan program Diploma, Sarjana Muda, atau class program. Sedangkan yang menjadi mahasiswa Pendidikan Profesi Guru adalah lulusan sarjana pendidikan dan sarjana nonkependidikan yang telah memperoleh dan lulus matrikulasi dan ujian seleksi masuk Pendidikan Profesi Guru.
Sementara itu, seleksi calon mahasiswa program S-1 kependidikan harus ketat dan seksama. Ini dilakukan dengan peetimbangan bahwa mahasiswa calon guru harus memiliki kemampuan akademik yang baik, mempunyai keterampilan berpikir (logis, kreatif, kritis dan intuitif) serta terampil dalam menggunakan berbagai cara atau kiat dalam menyampaikan pikiran dan gagasan. Ini tentu memerlukan cara yang berbeda dari sistem seleksi yang selama ini berlangsung. Seleksi calon mahaiswa pendidikan profesional guru harus mampu memetakan kemampuan dan perilaku awal (entry behavior) yang sekurang-kurangnya mencakup:
(1) Kecakapan akademik yang dinilai dari penguasaan substansi bidang studi berikut keterampilan berpikirnya. Ini dapat diuji antara lain melalui ujian tulis yang terfokus pada penguasaan konten keilmuan dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (analisis, sintesis, evaluatif). Oleh karena itu, alat seleksi untuk menilai kemampuan awal calon mahasiswa program studi ini harus sekurangnya mempertimbangkan tiga aspek, yakni dari sisi konten atau muatan akademik yang diwakili oleh penguasaan bidang literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains serta ilmu sosial yang menekankan pada aspek keterampilan berkomunikasi (social skills), sisi proses (cognitive processes) yang memetakan kemampuan berpikir mulai dari tingkat rendah (lower order thinking) yang termuat dalama tipe pertanyaan yang berkaitan dengan pilihan topik, dan seting yang relevan dengan lingkup yang dihadapi calon mahasiswa ketika mereka memasuki profesinya.
(2) Keterampilan berpikir logis, kritis, kreatif, dan intuitif berikut kiat dalam menyampaikan pikiran dan gagasannya. Ini tentu dapat dilakukan dengan Uji Potensi Akademik dan Uji Kinerja untuk melihat potensi dalam penyajian pikirannya (presentation skills).
(3) Sikap, motivasi altruistik (dorongan untuk berbuat bagi kemaslahatan orang lain) dan perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan akhlak mulia. Ini antara lain, dapat digali melalui wawancara baik terstruktur maupun tidak terstruktur, dan
(4) Kondisi fisik dan mental. Calon mahasiswa program ini harus dipastikan tidak memiliki fisik yang diperkirakan akan menghambat tugas-tugasnya kelak sebagai guru profesional. Begitu pula kesehatan jiwanya dipandang memenuhi persyaratan seorang calon guru.
C. Kesimpulan
1. Lulusan pendidikan profesi guru diharapkan dapat menguasai kompetensi guru secara utuh sehingga mampu menunjukkan kinerja profesional secara efektif. Untuk itu lulusan PPG seyogyanya memiliki kompetensi yang dipersyaratkan, meliputi seperangkat pengetahuan, sikap/nilai, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dikuasai dan diaktualisasikan dalam pelaksanaan tugas profesinya.
2. Sebagai satu keutuhan, kompetensi guru mencakup kompetensi akademik dan profesional. Kompetensi akademik merupakan kompetensi yang ditempuh pada jenjang S-1 me;liputi landasan keilmuan dan pendidikan sedangkan kompetensi profesional merupakan penguasaan kiat pembelajaran yang mendidik yang ditumbuhkembangkan, dikaji, dihayati dan dilatih melalui suatu program yang sistematis dan tersupervisi dalam konteks otentik lapangan. Kompetensi profesional dikembangkan dalam program PPG.
3. Sosok utuh kompetensi profesional mencakup, pertama, kemampuan mengenal peserta didik secara mendalam; kedua, menguasai bidang studi baik secara keilmuan kependidikan, yaitu kemampuan mengemas materi pembelajaran kependidikan maupun didaktik dan metodiknya; ketiga, kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, meliputi merancang, melaksanakan, menilai hasil dan proses pembelajaran, serta memanfaatkan hasil pembelajaran sebagai pemicu perbaikan secara berkelanjutan; dan keempat, mampu mengembangkan kepribadian dan keprofesionalan secara berkelanjutan.
4. Kurikulum Pendidikan Profesi Guru dikelompokkan dalam dua aspek, yakni aspek keilmuan bidang studi (disciplinary content knowledge) dan aspek kependidikan/pembelajaran (pedagogically content knowledge) yang harus dikuasi oleh peserta program pendidikan profesi guru.
5. Program matrikulasi yang harus ditempuh oleh calon peserta PPG bagi lulusan S-1/D-IV non kependidikan dan S-1/D-IV kependidikan serumpun adalah filsafat pendidikan, psikologi perkembangan peserta didik, perencanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, analisis sosial dan nilai dalam pembelajaran, kapita selekta, telaah kurikulum dan buku teks, PTK dalam pembelajaran dan multi media dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Duff, Tony (Ed). Explorations in Teacher Training: Problems and Issues. London: Longman.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan. Jakarta: Dikti Pepdiknas.
Tim Univrsitas Pendidikan Indonesia. 2011. Rambu-Rambu Pengembangan Program dan Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Guru. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sunaryo, Kartadinata. 2010. Re-Desain Pendidikan Profesional Guru. Bandung: UPI Press.
Tom, Alan R. 1997. Redesigning Teacher Education. New Your: State University of New York Press.
Jumat, 09 Maret 2012
PERSPEKTIF PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME Oleh H. ENDANG KOMARA
Wacana multikulturalisme untuk konteks pendidikan di Indonesia mulai mengemuka ketika sistem otoriter-militeristik tumbang dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu timbul konflik antar suku, antar golongan yang menimbulkan anomali di sebagian kalangan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan anggota masyarakat dalam hal berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama dalam aspek kehidupan ipoleksosbudhankamag (Ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan keamanan dan agama).
Secara sederhana pendidikan multikulturalisme dapat didefinisikan sebagai ‘’pendidikan untuk atau keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultur pada lingkungan masyarakat tertentu atau bagaimana memandang terhadap dunia secara keseluruhan’’. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Paulo Freire (2011), pendidikan bukan merupakan ‘’menara gading’’ yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikulturalisme (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Sejalan dengan UUD 1945 pasal 31 (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dalam dimensi lain, pendidikan multikulturalisme seperti dijelaskan oleh Hilliard (1992) merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Kondisi yang demikian semakin mempertanyakan kembali sistem apa yang cocok bagi Indonesia serta sistem apa yang membuat masyarakat bisa hidup damai, rukun, menghargai kebinekaan, jujur, disiplin, santun, taat beribadat sesuai dengan keyakinan masing-masing serta bagaimana cara untuk dapat meminimalisasikan potensi konflik di tengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut Susilo Bambang Yudoyono (2010) ciri-ciri karakter bangsa yang baik antara lain: (1) berakhlak, bermoral dan berbudi pekerti luhur, (2) berjiwa mandiri, (3) memiliki keyakinan diri, (4) bersikap ulet, (5) tegar, (6) tidak mudah menyerah, (7) toleran, (8) semangat (kebangsaan), (9) bersikap optimis, (10) kemampuan berpikir positif dan menghasilkan energi posiitif.
Pendidikan multikulturalisme berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme. Ini terkait dengan perkembangan politik dan sosial. Multikulturalisme adalah salah satu konsep yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai wujud kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikulturalisme bertujuan pendidikan yang bersifat anti rasis yang memperhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga masyarakat. Menurut J.A. Banks (1985) mendeskripsikan pendidikan multikulturalisme dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam fase pendidikan. Fase keempat, perkembangan teori, riset, dan praktek, perhatian pada hubungan antar ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi, jika bukan praktisi dari pendidikan multikulturalisme.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalisme dapat membantu siswa mengerti, menerima, menghargai orang lian yang berbeda suku, budaya dan nilai-nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Sedangkan dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk memegang prinsip-prinsip antara lain: Pertama, harus menawarkan keragaman kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang, baik di perkotaan maupun perdesaan. Kedua, harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah. Ketiga, kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Keempat, pendidikan multikulturalisme harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya, dan agama.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagai direkomendasikan UNESCO pada Oktober 1954 di Jenewa, antara lain: pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan untuk berkomunikasi,dan berbagi, bekerja sama dengan orang lain. Kedua, pendidikan meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas antar pribadi dan masyarakat. Ketiga. pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemampuan untuk berbagi dan memelihara di antara sesamanya.
Pendidikan multikulturalisme sebagai wacana baru dapat diterima tidak hanya melalui pendidikan formal, kehidupan masyarakat, maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Untuk mewujudkan gagasan ini harus didasarkan pada konsep ketaqwaan dan iman, keberadaban, sopan, toleran, mandiri, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan paktik pendidikan. Juga dalam proses pembelajaran menghargai keragaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleran dan sikap terbuka. Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari ancaman dan paksaan. Semoga! ***
Penulis: Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Wakil Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan Cimahi.
Secara sederhana pendidikan multikulturalisme dapat didefinisikan sebagai ‘’pendidikan untuk atau keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultur pada lingkungan masyarakat tertentu atau bagaimana memandang terhadap dunia secara keseluruhan’’. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Paulo Freire (2011), pendidikan bukan merupakan ‘’menara gading’’ yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikulturalisme (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Sejalan dengan UUD 1945 pasal 31 (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dalam dimensi lain, pendidikan multikulturalisme seperti dijelaskan oleh Hilliard (1992) merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Kondisi yang demikian semakin mempertanyakan kembali sistem apa yang cocok bagi Indonesia serta sistem apa yang membuat masyarakat bisa hidup damai, rukun, menghargai kebinekaan, jujur, disiplin, santun, taat beribadat sesuai dengan keyakinan masing-masing serta bagaimana cara untuk dapat meminimalisasikan potensi konflik di tengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut Susilo Bambang Yudoyono (2010) ciri-ciri karakter bangsa yang baik antara lain: (1) berakhlak, bermoral dan berbudi pekerti luhur, (2) berjiwa mandiri, (3) memiliki keyakinan diri, (4) bersikap ulet, (5) tegar, (6) tidak mudah menyerah, (7) toleran, (8) semangat (kebangsaan), (9) bersikap optimis, (10) kemampuan berpikir positif dan menghasilkan energi posiitif.
Pendidikan multikulturalisme berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme. Ini terkait dengan perkembangan politik dan sosial. Multikulturalisme adalah salah satu konsep yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai wujud kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikulturalisme bertujuan pendidikan yang bersifat anti rasis yang memperhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga masyarakat. Menurut J.A. Banks (1985) mendeskripsikan pendidikan multikulturalisme dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam fase pendidikan. Fase keempat, perkembangan teori, riset, dan praktek, perhatian pada hubungan antar ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi, jika bukan praktisi dari pendidikan multikulturalisme.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalisme dapat membantu siswa mengerti, menerima, menghargai orang lian yang berbeda suku, budaya dan nilai-nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Sedangkan dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk memegang prinsip-prinsip antara lain: Pertama, harus menawarkan keragaman kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang, baik di perkotaan maupun perdesaan. Kedua, harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah. Ketiga, kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Keempat, pendidikan multikulturalisme harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya, dan agama.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagai direkomendasikan UNESCO pada Oktober 1954 di Jenewa, antara lain: pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan untuk berkomunikasi,dan berbagi, bekerja sama dengan orang lain. Kedua, pendidikan meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas antar pribadi dan masyarakat. Ketiga. pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemampuan untuk berbagi dan memelihara di antara sesamanya.
Pendidikan multikulturalisme sebagai wacana baru dapat diterima tidak hanya melalui pendidikan formal, kehidupan masyarakat, maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Untuk mewujudkan gagasan ini harus didasarkan pada konsep ketaqwaan dan iman, keberadaban, sopan, toleran, mandiri, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan paktik pendidikan. Juga dalam proses pembelajaran menghargai keragaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleran dan sikap terbuka. Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari ancaman dan paksaan. Semoga! ***
Penulis: Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Wakil Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan Cimahi.
Langganan:
Postingan (Atom)