Kamis, 25 Maret 2010

RULE OF LAW SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA

Abstrak
Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat madani (civil society) adalah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.

I. Pendahuluan
Banyak peristiwa pada saat ini yang menjadi dasar perlunya rule of law atau penegakan hukum. Indonesia pada saat ini, mengalami permasalahan yang besar dalam hal; illegal logging atau pencurian kayu dari hasil hutan. Pencurian hasil hutan ini mengakibatkan kerugian negara lebih Rp 100 triliun dalam empat tahun terakhir. Mengapa hal ini terjadi? Lemahnya penegakan hukum menjadi jawabannya. Hutan memang dalam wewenang Departemen Kehutanan, namun luasnya hutan tidak mungkin ditangani departemen ini sendiri, dibutuhkan bantuan kepolisian, bahkan TNI. Pencuri hasil hutan ini juga tidak jera, karena hukuman yang ringan, atau sulitnya mencari bukti. Dalam hal ini peranan kejaksaan, dan lembaga peradilan menjadi sangat penting.
Kasus lainnya yang menunjukkan perlunya penegakan hukum adalah kemauan Pemda DKI dalam rangka membatasi ruang bagi perokok. Peraturan daerah sudah dibuat dan dinyatakan berlaku, namun banyak masyarakat yang mengabaikan. Mengapa demikian? Jawabannya juga lemahnya penegakan hukum, terbatasnya jumlah aparat dan koordinasi aparat hukum, sehingga kantor yang tidak menyediakan ruang untuk merokok atau orang yang merokok di tempat umum tidak dapat ditindak.
Rule of law adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi. Ia lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan meningkatnya peran parlemen dalam penyelenggaraan negara dan sebagai reaksi terhadap negara absolut yang berkembang sebelumnya. Rule of law merupakan konsep tentang common law, di mana segenap lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh kelembagaannya menjunjung tinggi supermasi hokum yang dibangun di atas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law dan bukan rule by the man. Ia lahir mengambil alih dominasi yang dimiliki kaum gereja, ningrat, dan kerajaan, menggeser negara kerajaan dan memunculkan negara konstitusi yang pada gilirannya melahirkan doktrin rule of law.
Paham rule of law di Inggris diletakkan pada hubungan antara hukum dan keadilan, di Amerika diletakkan pada hak-hak asasi manusia, dan di Belanda paham rule of law lahir dari paham kedaulatan negara, melalui paham kedaulatan hukum untuk mengawasi pelaksanaan tugas kekuatan pemerinta
Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan social. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-rpinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaran negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Nordhot (Srijanti et.all, 2008:209), dalam memasuki millenium III, tuntutan masyarakat madani di Indonesia oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar, jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan, dan menghormati hak-hak asasi manusia.
Masyarakat madani timbul disebabkan faktor-faktor berikut. Pertama, adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai) masyarakat dalam segala bidang agar patuh dan taat pada penguasa. Tidak adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat, karena secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam meperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, masyarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh) dibandingkan dengan penguasa (pemerintah). Warga negara tidak memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Sementara, demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya tanpa mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Prasyarat demokrasi ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi. Ketiga, adanya usaha membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. Keadaan ini sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada ruang publik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan akan mampu melakukan transaksi-transaksi politik tanpa adanya kekhawatiran.

II. Pembahasan
1. Rule of Law
Penegakan hukum atau rule of law merupakan suatu doktrin dalam hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara berdasar hukum (konstitusi) dan demokrasi. Kehadiran rule of law boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara absolut (kekuasaan di tangan penguasa) yang telah berkembang sebelumnya. Berdasarkan pengertiannya, Friedman (Srijanti et. all, 2008:108) membedakan rule of law menjadi 2 (dua), yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/materil (ideological sense). Secara formal, rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), hal ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara mempunyai aparat penegak hukum. Sedangkan secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan hokum yang menyangkut ukuran hokum yaitu: baik dan buruk (just and unjust law).
Ada tidaknya penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya hokum saja, akan tetap lebih dari itu, ada tidaknya penegakan hokum ditentukan oleh ada tidaknya keadilan yang dapat dinikmati setiap anggota masyarakat. Rule of law tidak saja hanya memiliki sistem peradilan yang sempurna di atas kertas belaka, akan tetapi ada tidaknya rule of law di dalam suatu negara ditentukan oleh kenyataan, apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil dan baik dari sesame warga negaranya, maupun dari pemerintahannya, sehingga inti dari rule of law adanya jaminan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat/bangsa. Rule of law merupakan suatu legalisme yang mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Fungsi rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia dan juga ‘’keadilan sosial’’, sehingga diatur pada pembukaan UUD 1945, bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan, terutama keadilan sosial.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu:
a. Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3);
b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat1);
c. Segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 1);
d. Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 ayat 1);
e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 ayat 2).

Pelaksanaan rule of law mengandung keinginan untuk terciptanya negara hukum, yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan rule of law harus diartikan secara hakiki (materiil), yaitu dalam arti ‘’pelaksanaan dari just law.’’ Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) sangat erat kaitannya dengan ‘’the enforcement of the rules of law’’ dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.
Berdasarkan pengalaman berbagai negara dan hasil kajian menunjukkan bahwa keberhasilan ‘’the enforcement of the rules of law’’ teragntung pada kepribadian nasional masing-masing. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Rule of law ini juga merupakan legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang di dalamnya terkandung wawasan social, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dana negara, yang dengan demikian memuat nilai-nilai tertentu dan memiliki struktur sosiologisnya sendiri. Legalisme tersebut mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan system peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rule of law telah banyak dihasilkan di negara kita, namun implementasi/penegakannya belum mencapai hasil yang optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan sebagian besar masyarakat.
Hal-hal yang mengemukanuntuk dipertanyakan antara lain adalah bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip rule of law. Proses penegakan hukum di Indonesia dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang terdiri: kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan badan peradilan (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
Fungsi kepolisian adalah memelihara keamanan dalam negeri yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas pokok kepolisian antara lain: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas pokok kepolisian secara rinci antara lain: (1) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; (2) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; (3) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; (4)melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dan gangguan ketertiban dan atau bencana termasuki memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; (5) melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang.
Wewenang kepolisian untuk menjalankan tugasnya antara lain: (1) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; (2) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (3) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; (4) memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat; (5) memberikan izin dan mengawasi kegiatan lainnya; (6) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam.
Kejaksaan Republik Indoensia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan pidana khusus berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaksanaan kekuasaan negara diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung (berkedudukan di ibukota negara), kejaksaaan tinggi (berkedudukan di ibukota provinsi), dan kejaksaan negeri (berkedudukan di ibukota kabupaten). Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: (1) melakukan penuntutan; (2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; (5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaan dikoordinasikan dengan penyidik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Tugas pokok KPK antara lain: (1) berkoordinasi dengan instansi lain yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (2) supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (3) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (4) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; (5) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Adapun wewenang KPK antara lain: (1) melakukan pengawasan, penelitian, penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wenang dengan pemberantasan tindak korupsi; (2) mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan; (3) menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi; (4) meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi; (5) hanya menangani perkara korupsi yang terjadi setelah 27 Dosember 2002. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya tindakan korupsi baru bias dinyatakan melawan hukum jika memenuhi kaidah delik formal; (6) peradilan tindak pidana korupsi tidak bias berjalan dengan landasan hokum UU KPK. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa undang-undang tentang TIPIKOR harus sudah selesai dalam waktu 3 (tiga) tahun (2009). Jika tidak selesai, maka keberadaan pengadilan tipikor harus dinyatakan bubar serta merta dan kewenangannya dikembalikan pada pengadilan umum.
Badan peradilan menurut UU No. 4 dean No. 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah agung bertindak sebagai lembaga penyelenggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta membantu pencari keadilan. Badan peradilan terdiri atas: (1) Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. MA mempunyai wewenang: mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh peradilan; menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan kewenangan lain yang ditentukan undang-undang; (2) Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir untuk: menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutuskan pembubaran partai politik; dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum; (3) Peradilan Tinggi dan Negeri merupakan peradilan umum di tingkat provinsi dan kabupaten. Fungsi kedua peradilan adalah menyelenggarakan peradilan pidana dan perdata di tingkat kabupaten dan tingkat banding di peradilan tinggi. Pasal 57 UU No. 8 Tahun 2004 menetapkan agar peradilan memberikan prioritas peradilan terhadap tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika/psikotropika, pencucian uang dan tindak pidana.

2. Masyarakat Madani
Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini, seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru, yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Tokoh-tokoh seperti Nurcholis Majid, Nurhidayat Wahid, Abdulrahman Wahid, A.S. Hakim, Azyumardi Azra dan lain-lain, banyak mengemukakan tentang tatanan masyarakat madani, setelah istilah dan konsep diperkenalkan oleh Datuk Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia. Namun demikian, mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Membentuk masyarakat madani memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
Masyarakat madani berasal dari bahasa Inggris, civil society. Kata Civil Society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu Civitas dei yang artinya kota Illahi dan Society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini, menurut Madjid; seperti yang dikutip Mahasin (1995), pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, serta sifat-sifat negatif lainnya. Gellner (1995) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud ketika terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kazaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
Sementara itu, Seligman (Mun’im, 1994) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejewantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antar individu, masyarakat dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel (Hikam, 1994) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan monolitik. Secara normative politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat, sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah.
Istilah Madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madany. Kata madany berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hall (1998), yang menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terjewantahkan ke dalam kehidupan social. Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten, memiliki perbandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis.
Menurut Srijanti et. all. (2007) karakteristik masyarakat madani antara lain: (1) diakui semangat pluralism. Artinya pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat diletakkan, sehingga mau tidak mau pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas, yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting adalah sebuah perdaban yang kosmopolit akan tercipta manakala manusia memiliki sikap inklusif, dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, identitas sejati atas parameter otentik agama tetap terjaga; (2) tingginya sikap toleransi. Baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar, dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun, juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup berdampingan, dan saling menghormati satu sama lain; (3) tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan, demokrasi adalah suatu pilihan bersama-sama membangun, dan memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, dan lembaga masyarakat.
Pengembangan masyarakat madani di Indonesia tidak bias dipisahkan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan, adat istiadat, pandangan hidup, kebiasaan, rasa sepenanggungan, cita-cita dan hasrat bersama sebagai warga dan sebagai bangsa, tidak mungkin lepas dari lingkungan serta sejarahnya. Lingkungan dan akar sejarah kita, warga dan bangsa Indonesia, sudah diketahui baik kekurangan maupun kelemahan, juga diketahui keunggulan dan kelebihannya. Di antara keunggulan bangsa Indonesia adalah berhasilnya proses akulturasi, dan inkulturasi yang kritis dan konstruktif. Hidayat Nur Wahid (Srijanti et.all., 2007) mencirikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, secara politik-ekonomi-budaya bersifat mandiri serta memiliki pemerintahan sipil. Sedangkan menurut Hikam, ciri-ciri masyarakat madani adalah: (a) adanya kemandirian yang cukup tinggi di antara individu dan kelompok masyarakat terhadap negara; (b) adanya kebebasan menentukan wacana dan praktik politik di tingkat publik; dan (c) kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi.
Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, ada enam faktor yang harus diperhatikan, yaitu: (1) adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan; (2) tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independen; (3) terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjdai budaya yang lebih modern dan lebih independen; (4) berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam; (5) adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik dan; (6) adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.

III. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Inti rule of law di Indonesia adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan social. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi rakyat Indonesia.
2. Bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan rule of law yaitu melalui proses penegakan hokum yang dilakukan oleh lembaga penegak hokum yang terdiri: kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), badan peradilan (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
3. Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai pengaruh luas dalam proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik dan lembaga kemasyarakatan.
4. Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: (1) adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan; (2) tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki komitmen untuk independen; (3) terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjdai budaya yang lebih modern dan lebih independen; (4) berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam; (5) adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik dan; (6) adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.










DAFTAR PUSTAKA


ICCE UIN. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.

Komara Endang. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Multazam.

Kusnardi, M. dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Manan Bagir. 2005. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: UII Press.

Srijanti, A. Rahman H.I dan Purwanto, S.K. 2007. Etika Berwarga Negara: Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.