Sebagai masyarakat muslim kita merasa prihatin dengan kondisi saudara kita yang kurang beruntung yang menderita kemiskinan dan hidup di bawah garis kemiskinan. Kita juga lebih prihatin pada sebagian masyarakat muslim yang serba berkecukupan, hidup dengan kemewahan, namun belum memiliki kepedulian terhadap kaum lemah, fakir miskin. Bahkan tidak jarang mereka justru menampakkan sikap menutup diri dari kondisi lingkungannya dan tidak memiliki kepedulian sosial terhadap kaum yang lemah.
Fenomena seperti ini sudah saatnya mengundang kepekaaan kita agar secara dini dapat dinormalkan. Hal ini tentu saja dengan mensosialisasikan secara aktif konsep zakat dan sedekah dalam bingkai kajian ilmiah maupun keteladanan langsung. Untuk membangkitkan kesadaran social berupa zakat dan sedekah ini, terlebih daulu saya ingin mengajak untuk menyelami diri kita masing-masing, sebagai introspeksi, apakah kita termasuk muslim yang memiliki kesadaran beragama secara sungguh-sungguh atau belum dan kita termasuk kalangan yang senantiasa mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum ataukah sebaliknya.
Secara fitrah manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang cinta terhadap wanita, harta benda atau kekuasaan serta segala hal yang menjadi perhiasan dunia. Sebagaimana terungkap dalam firman Allah swt:
Artinya: ‘’Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintan kepada apa-apa yang dinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)’’. (Q.S. Ali Imran:14)
Motivasi dasar sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut, tentu saja merangsang manusia untuk dapat memiliki, dengan segala upaya yang bisa ditempuh. Pada kondisi semacam ini, manusia harus diberi penyeimbang agar kecintaan itu tidak membabi buta dan mengakibatkan kerugian pada dirinya. Maka sangat tepat konsep Islam yang menyatakan bahwa semuanya itu tidak lebih merupakan kesenangan duniawi. Sementara kesenangan duniawi hanyalah kesenangan yang serba terbatas, mengandung resiko tanggung jawab dan penuh dengan tipuan belaka. Terbatas dalam arti hanya bisa dinikmati dalam sementara watu, tempat, maupun kesementaraan kondisi. Selebihnya akan musnah tertelan oleh usia manusia itu sendiri. Kesenangan itu juga mengandung resiko karena akan dimintakan pertanggungjawaban, mulai dari cara memperolehnya sampai kepada cara penggunaannya.
Dari ayat tersebut, manusia diarahkan agar tidak menjadikan harta benda sebagai segala-galanya. Jangan sampai menjadikan harta benda sebagai target pencapaian dan tujuan hidup (way of live), bukan menjadikannya sebagai sarana untuk mengabdikan diri kepada Allah swt. Allah swt mengingatkan manusia bahwa sandaran terbaik bagi manusia adalah Allah Yang Maha Bijaksana. Dia-lah tempat kembali bagi semua manusia dan di sisi-Nya-lah tempat kembali yang terbaik, yaitu surga.
Dalam realitasnya, tidak semua orang yang berusaha dan bekerja mendapatkan kemudahan dalam meperoleh harta. Ada yang diberi kemudahan untuk mendapatkannya dan ada pula yang terhalang untuk mendapatkannya. Ada yang kuat dan kaya raya dan ada pula yang miskin, lemah dan tak berdaya. Islam sebagai agama memberikan ajaran sosial bagi pemeluknya. Bagi sementara orang yang berkecukupan dan kaya raya, hendaklah memiliki kepedulian terhadap orang-orang fakir miskin dan orang-orang lemah yang tidak berdaya. Karena kekayaan yang diperolehnya itu adalah atas anugerah Allah swt. Dan atas bantuan yang lainnya. Allah swt telah menetapkan bagi mereka hak tertentu yang berada dalam harta orang-orang yang kaya, suatu bagian yang tetap dan pasti, yang tertuang dalam konsep zakat.
Zakat sebagai suatu keharusan atas umat Islam jika sudah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Sedangkan sedekah sebagai wujud keterpanggilan atas keharusan sosial sebagai makhluk sosial yang di dalam hidupnya tidak bisa lepas dari uluran pihak lain. Allah swt. Berfirman:
Artinya: ‘’Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’’. (QS. At Taubah: 103).
Imam Suyuthi memberikan sebuah penafsiran, bahwa tuthahhirhum (mensucikan) berarti menjadi penyebab kesucian mereka dari kotoran sifat bakhil dan kotoran yang berupa dosa-dosa. Sedangkan watuzakkiihim bihaa (membersihkan dengan zakat), berarti menjadikan baik serta menambah kebajikan dan jumlah harta mereka. Zakat dan sedekah dapat membersihkan diri dari penyakit-penyakit rohani, dan akan memberikan dampak yang baik atas manusia itu sendiri baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun penambahan jumlah harta mereka.
Harta benda yang telah mencapai batas-batas tertentu yang tidak dibayarkan zakatnya, menjadi bercampur dengan ak fakir miskin. Artinya, akan membawa dampak moral yang serius bagi diri yang bersangkutan, lantaran harta benda yang dupergunakannya itu masih belum bersih dan masih bercampur dengan hak-hak mereka. Dengan kata lain, bila harta itu dimakan dan diperlukan untuk keperluannya, berarti ia merampas hak mereka yang masih bercampur dengan hartanya. Allah swt berfirman:
Artinya: ‘’Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian darai apa yang kamu keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji’’.
Ayat tersebut memberikan arahan dan petunjuk kepada kita agar ketika kita berzakat dan berinfak dan bersedekah jangan sampai dipilihkan yang buruk-buruk yang sesungguhnya kita sendiri sudah tidak menyukainya. Tetapi hendaklah kita bisa memberikan yang baik-baik yang kita sendiri juga menyukainya. Karena yang demikianlah yang lebih utama. Perhatikan pula firman Allah swt, dalam ayat berikut ini.
Artinya: ‘’Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya’’.
Hal tersebut penting untuk kita mengerti, karena kecintaan kepada harta benda mengandung bahaya yang besar bagi manusia. Kecintaan tersebut akan mendorong nafsu untuk serakah, bakhil, menghalalkan segala cara, lupa diri dan sifat-sifat tercela lainnya. Sehingga dengan begitu Islam memberikan pengajaran moral berupa zakat dan sedekah, sebagai usaha untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak pada akibat buruk yang menyengsarakan. Di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam surat At Taubah, ayat 34-35, yang artinya: ‘’Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari itu dipanaskan emas dan perak (tersebut) di dalam neraka Jahannam, lalu dengannya dibakar dahi, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’’. (QS. At Taubah: 34-35)
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Thabrani, Nabi saw bersabda:
Artinya: ‘’Orang yang menahan zakat (tidak mau berzakat) pada hari kiamat kelak berada di dalam neraka’’. (HR. Thabrani)
Mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan petunjuk kepada kita, kita menjadi muzakky, gemar berinfak dan bersedekah, sehingga kita selalu dalam keridhaan-Nya bahagia hidup di dunia, utamanya kelak di akhirat, amin.
Penulis: Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Pembantu Ketua Bidang Akademik di STKIP Pasundan
Kamis, 02 September 2010
Langganan:
Postingan (Atom)