Sabtu, 19 September 2009

PERSPEKTIF SOSIAL DAN BUDAYA PAPUA Oleh: Endang Komara

Abstrak
Perspektif sosial dan budaya merupakan proses perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan pola pikir, gagasan dan ide-ide manusia mengakibatkan terjadinya perbedaan dengan keadaan sebelumnya dengan keadaan yang sedang dihadapi seperti perubahan struktur, fungsi budaya baik dalam wujud penambahan unsur baru atau pengurangan dan penghilangan unsur lama bisa dalam manifestasi kemunduran (regress) dan bisa juga kemajuan (progress).
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani dan Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik diantaranya dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya maru, Mandacan, Biak, Ami, Sentani dan lain-lain. Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat penduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Kata Kunci: kemajuan pola pikir, ide-ide manusia, kemunduran, kemajuan, kelompok asli Papua dan patrilinea.

I. Pendahuluan
Berbicara mengenai sistem sosial, terkandung sistem nilai sosial budaya. Koentjaraningrat (1974:25)1 menganggap nilai sosial budaya sebagai faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau sekelompok orang di masyarakat. Sistem nilai budaya terdiri dari konsep-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya.
Semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan, akan berkisar dalam lingkup masalah kehidupan (hakekat hidup), kerja, waktu, alam atau lingkungan hidup dan hubungan dengan sesama manusia. Sedangkan mengikuti klasifikasi Alisyahbana (1981:22)2, berusaha memilah-milah berbagai macam nilai budaya menjadi enam kelompok: Nilai teori, nilai ekonomi, nilai solidaritas, nilai agama, nilai seni dan nilai kuasa. Pertama nilai teori mendasari perbuatan seseorang atau sekeklompok orang yang bekerja terutama atas pertimbangan-pertimbangan rasional. Nilai ini dilawankan dengan nilai agama, yaitu nilai budaya yang mendasari perbuatan-perbuatan atas pertimbangan kepercayaan bahwa ‘’sesuatu’’ itu benar. Kedua nilai ekonomi yaitu pertimbangan utama yang mendasari perbuatan dengan ada tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya, dilawankan dengan nilai seni, yakni nilai budaya yang mempengaruhi tindakan seseorang atau sekelompok orang terutama atas pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari pertimbangan material. Ketiga nilai solidaritas, apabila perbuatan seseorang didasarkan atas pertimbangan bahwa teman atau tetangganya juga berbuat demikian tanpa menghiraukan akibat perbuatan itu terhadap dirinya sendiri. Nilai ini dilawankan dengan nilai kuasa, yaitu budaya yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang terutama atas pertimbangan baik-buruk untuk kepentingan diri atau kelompoksendiri..
Keenam jenis nilai tersebut, timbul dari aktivitas budi manusia, yaitu: (1) nilai teori atau ilmu yang merupakan identitas tiap benda atau peristiwa, terutama berkait erat dengan aspek penalaran (reasoning) ilmu dan teknologi; (2) nilai ekonomi, yang mencari dan member makna bagaimana kegunaan segala sesuatu, berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara efektif dan efisien berdasarkan kalkulasi dan pertanggung jawaban; (3) nilai agama, yang melihat segala sesuatu sebagai penjelmaan kekudusan, dikonsentrasikan pada nilai-nilai dasar bagi kemajuan kehidupan di dunia dan akhirat; (4) nilai seni, yang menjelmakan keindahan atau keekspresifan; (5) nilai kekuasaan, yang merupakan proses vertikal dari organisasi sosial yang terutama terjelma dalam hubungan politik, ditandai oleh pengambilan keputusan; dan (6) nilai solidaritas sosial, yang merupakan poros horizontal dari organisasi, terjelma dalam cinta dan kasih sayang, namun lebih berorientasi kepada kepoercayaan diri sendiri.
Di dalam suatu masyarakat, seseorang mungkin mendasarkan perbuatannya terutama atas satu atau beberapa gabungan nilai budaya, sementara orang lain mendasarkan perbuatan atas nilai lainnya, sehingga sangat sulit ditarik suatu benang pemisah yang tegas nilai mana yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Meskipun demikian, kiranya dapat diterima bahwa nilai budaya yang dominan pada masyarakat tradisional adalah nilai solidaritas, nilai agama, dan nilai seni, sedangkan pada masyarakat maju (modern) nilai budaya yang dominan adalah nilai teori, nilai ekonomis dan nilai kuasa. Nilai-nilai tersebut tidaklah tetap begitu saja dari satu generasi ke generasi berikutnya, melainkan berubah sejalan dengan kemajuan itu sendiri. Satu atau dua nilai budaya yang lain mengalami pemudaran.
Mengacu pada perbedaan tofografi dan adat istiadat, penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, masing-masing: 1) penduduka daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum rumah di atas tiang (rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkat ikan; 2) Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa danau dan lebah serta kaki gunung. Umunya mereka bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan; 3) Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan beternak secara sederhana.
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani dan Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik diantaranya dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya maru, Mandacan, Biak, Ami, Sentani dan lain-lain. Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat penduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah masyarakat yang sangat unik, misalnya seperti yang ditujukan oleh budaya suku Komoro di Kabupaten Mimika, yang membuat gendering dengan menggunakan darah. Suku Dani di kabupaten Jayawijaya yang gemar melakukan perang-perangan, yang dalam bahasa Dani disebut Win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan dijadikan festival budaya Lembah Baliem. Ada juga rumah tradisional Honai, yang di dalamnya terdapat mummy yang diawetkan dengan ramuan tradisional. Terdapat tiga mummy di Wamena; Mummy Aikima berusia 350 tahun, Mummy Jiwika 300 tahun, dan Mummy Pumo berusia 250 tahun.
Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari setelah hari kematian seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari. Budaya Suku Asmat mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing; (1) melambangkan kehadiran roh nenek moyang; (2) untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia; (3) sebagai suatu lambing kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan benada-benda lain; (4) sebagai lambing keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang. Budaya Suku Imeko di Kabupaten Sorong Selatan menampilkan tarian adat Imeko dengan budaya suku Maybrat dengan tarian adat memperingati hari tertentu seperti panen tebu, memasuki rumah baru dan lainnya.
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama di sana dapat dijadikan contoh bagi daerah lain, mayoritas penduduknya beraga Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua, jumlah orang dengan agama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak misionaris yang melakukan misi keagamaan di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka memainkan peran penting dalam membantu masyarakat, baik melalui sekolah misionaris, balai pengobatan maupun pendidikan langsung dalam bidang pertanian, pengajaran bahasa Indonesia maupun pengetahuan praktis lainnya. Misionaris juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau oleh penerbangan reguler.

II. Pembahasan
1. Kajian Teoretis
Manusi pada hakikatnya mempunyai kecenderungan yang sangat kuat untuk hidup terartur guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Hal ini seperti diungkapkan oleh Soerjono Soekanto (1992:43-44) yang mencakup: (1) sandang, pangan dan papan; (2) keselamatan jiwa dan harta benda; (3) kehormatan atau harga diri; (4) kesempatan untuk mengembangkan kemampuan diri; dan (5) kasih sayang.
Adapun Maslow dalam bukunya ‘’Motivation and Personality’’ menjabarkan tingkat kebutuhan dasar manusia dalam delapan tahapan dari tingkat dasar sampai tingkat puncak kebutuhan yang dikenal dengan piramida kebutuhan manusia. Kedelapan tahap pencapaian kebutuhan manusia tersebut meliputi: (1) kebutuhan fisiologis (physiological needs), yaitu kebutuhan keamanan, ketentraman, dan jauh dari bahaya; (2) kebutuhan pemilikan dan cinta (belongingness and love needs), yaitu kebutuhan afiliasi dengan orang lain, diterima sebagai anggota, dan menjadi pemiliknya; (3) kebutuhan harga diri (esteem needs), yaitu kebutuhan kemajuan, kewenangan, mendapat pengesahan, dan pengakuan orang lain; (4) kebutuhan pengetahuan (cognitive needs), yaitu kebutuhan pengetahuan, pemahaman, rasa ingin tahu, dan eksplorasi; (5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs), yaitu kebutuhan untuk mendapatkan jati diri dan mewujudkan potensi diri; dan (6) kebutuhan transenden (needs for transcendence), yaitu kebutuhan untuk keberartian dalam eksistensi diri.
Sementara dalam aspek yang lebih luas, manusia hidup terbagi dalam tiga matra dunia, yaitu matra dunia kebendaan (materi), matra dunia sosial dan matra dunia spiritual. Berdasarkan itu pula, maka kebutuhan dasar manusia menjadi berbeda. Manusia dengan dunia keberaannya, ia berada di lingkungan fisik, atau sering disebut lingkungan saja. Sasarannya, ia memenuhi kebutuhan materi, seperti sandang, pangan, dan papan. Manusia dalam dunia sosial, ia berada di lingkungan sosial, dengan sesama manusia, dengan sosial-kulturan, untuk memenuhi kebutuhan sosialnya sebagai anggota masyarakat. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan manusia lainnya, seperti keinginan untuk menjadi satu dengan sesame alam sekitarnya. Manusia dengan dunia spiritualnya, ia berusaha memenuhi kebutuhan spiritualnya, sangat pribadi dan merupakan urusan diri sendiri.
Untuk suatu kehidupan yang serasi, maka manusia harus berada dalam keseimbangan dengan ketiga matra dunia tersebut. Apa yang terjadi saat ke tiga matra dunia tersebut tidak serasi? Sebut saja sebagai akibat dari perubahan sosial budaya dari buah perkembangan modernitas? Ketimpangan inilah yang melahirkan timbulnya kemiskinan dalam arti yang lebih luas. Perubahan yang cepat yang terjadi dalam lingkungan manusia sendiri tanpa diimbangio dengan keserasian rasa, rasio, dan religi akan membawa kehidupan manusia tergelincir dari angger-angger, pakem dan kodrati jati dirinya. Dalam kondisi demikian, maka tiada bedanya keberadaan manusia yang sejak mula sudah dikonstruksikan sebagai khalifah fil ardl (khalifah di dunia) dengan makhluk-makhluk Allah yang lain. Dengan lain kata, bahwa keberadaan manusia sudah bukan lagi manusia, karena tidak lagi mengenal batas-batas matra fitra dirinya.
Dalam konteks yang lebih mapan muncul kesadaran baru tentang masalah nilai dan penghayatan terhadap dimensi transsendental serta kesadaran tentang perlunya peninjauan (dekonstruksi) dan penataan kembali (rearrangement) tatanan nilai (value order) masyarakat berikut tata nilai sosial. Seperti diungkapkan oleh Syamsul Arifin (1998:8)3 bahwa pemisahan aspek transsendental dari aspek profanitas disebabkan karena adanya pencitraan yang stereotipikal dari sebagian ahli sehingga pendekatan normatif tidak menjadi rujukan dalam menata perubahan sosial budaya, hukum normative tidak lebih sebagai wujud dari kontak sosial.
Memang harus disadari dari sudut pandang sejarah Barat, agama dan sains dalam perjalannya selalu berseberangan. Cerita Galileo Galile (1564-1643), pencetus topografi bumi yang bulat – atas maklumat otoritas gereja, ia dihukum gantung karena telah berani mengutak-atik ranah sacral bagi otoritas gereja. Saat itu, lembaga agama dan monarkhi mendominasi lingkup sains. Peradaban manusia kala itu menempatkan agama vis a vis sains. Puncaknya adalah ketika agama ‘dianaktirikan’ dalam perkembangan sains. Masa itu dikenal dengan istilah enlighment (masa pencerahan). Pencerahan adalah pembebasan manusia dari belenggu mitos kebenaran, yang biasanya berasal dari agama. Masa pencerahan identik juga dengan lahirnya positivism, yaitu faham yang menentang hegemoni agama atas sains. Ia telah mengakhiri riwayat metafisika dan menggantikannya dengan rasionalitas sains dengan klaim bebas nilainya. Hal ini kemudian diikuti oleh keunggulan akal atas wahyu, rasio atas emosi, dan fakta atas mitos, Sains modern berangkat dari epistemologi sekuler yang cenderung mengabaikan wailayah sakral manusia. Namun dalam perkembangannya, pemanfaatan sains terbukti cenderung eksploitatif dan destruktif. Keadaan ini memancing kritikan dari tokoh-tokoh agama yang humanis. Sains dikembangkan kemudian adalah yang mengakui nilai-nilai universal kemanusiaan dan syarat dengan nilai etis.
Peran agama tersingkir dari kegiatan pengembangan sains, dilatarbelakangi oleh karena doktrin agama, khususnya yang berasal dari kaum fundamentalis Kristen (Gereja) yang dalam realitas sosialnya, mereduksi kebebasan intelektual manusia. Menurut Abuddin Nata (2000:34)4, ciri utama aliran fundamentalis Gereja adalah paham tentang supernaturalisme konservatif. Yaitu, Pertama, kebebasan mutlak dan tiadanya kesalahan pada Kitab Suci Injil (Holy Bible). Kedua, kelahiran Jesus dari Ibunda Maria yang suci. Ketiga, penebusan dosa umat manusia oleh Jesus. Keempat, kebangkitan Jesus secara jasmaniah yang turun ke bumi. Dan kelima, ketuhanan Jesus Kristus. Butir pertama dari doktrin yang merupakan rukun iman kaum fundamentalis itu timbul sebagai reaksi terhadap teori evolusi dalam kejadian manusia yang dikemukakan oleh ahli biologi Inggris, Charles Darwin. Jika pendapat ilmu penegatahuan itu diterima, maka empat pilar doktrin keimanan itu akan mengalami ancaman, karena bias ditarik kesimpulan bagi hal-hal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Kemungkinan (eksklusifisme) sains atas agama tersebut semakin menunjukkan gejala kenisbian tatkala para ilmuwan yang mendalami bidang keilmuan (khususnya sains), semakin ia menemukan nuansa spiritual di dalamnya. Dan karenanya, semakin tinggi keyakinan mereka terhadap keberadaan Allah. Albert Einstein, tetap mempertahankan agama kendati sibuk memecahkan persoalan ilmiah. Bahkan dari lubuk hati dalamnya, pastilah Tuhan tidak melempar dadu dalam menciptakan alam semesta. Maurice Bucaile dalam Tutik dan Trianto (2008:94)5, ilmuwan asal Perancis tertarik terhadap Islam karena mendalami kajian Biologi dan mendapatkan hubungan dengan beberapa doktrin agama. Dalam bukunya ‘’The Bible, The Qur’an and Science’’, ia mengatakan: Sementara terdapat kesalahan yang amat kentara dalam Bible, saya tidak mendapati satu kesalahan pun dalam Al-Qur’an. Bahkan ilmuwan atheispun tetap mengakui adanya Tuhan, walaupun dalam versi Tuhan mereka berbeda dengan yang diajarkan para teolog. Charles Townes, peraih Nobel pada 1964 berpendapat bahwa banyak orang merasakan bahwa pastilah ada sesuatu yang Maha Pintar di balik kehebatan hukum alam. Pendapat senada diungkapkan John Polkinghorne, ahli Fisika yang sekarang menjadi pendakwah Gereja Anglikan, ‘’Jika anda menyadari bahwa hukum alam telah melahirkan jagat raya yang begitu teratur, maka hal itu pastilah tidak terajadi semata-mata karena kebetulan. Pastilah ada tujuan di balik itu semua.’’
Berdasarkan konsepsi tersebut, semakin nyata bahwa antara Islam dan sains tidak ada dikotomi (pertentangan). Konflik yang tercatat dalam dokumen sejarah antara umat Kristiani dengan lembaga sains, seperti dipaparkan di atas tidak memiliki keterkaitan sama sekali dalam Islam. Iman dan rasionalitas berpadu dalam Islam. Sains, teknologi, ekonomi, politik, semua itu tercakup dalam ajaran Islam. Etika dan nilai-nilai Islam merupakan perpaduan yang meliputi seluruh aktivitas manusia. Ringkasnya, Islam merupakan sebuah sistem yang menyentuh seluruh aspek perilaku manusia.
Belakangan ini muncul gagasan untuk merumuskan pendekatan baru sebagai pendekatan alternatif terhadap ketimpangan yang terjadi. Pendekatan yang diajukan tampaknya masih harus diuji kembali relevansi dan elanvitalnya bagi konstruksi citra kemanusiaan. Pendekatan yang dikemukakan oleh, misalnya, Arnold Toynbee dan Spengler yang merekomendasikan, bahwa untuk mempersoalkan kemanusiaan yang semakin rumit dan meluas diperlukan pengembangan tata nilai baru, pandangan dan sikap baru, cara-cara serta pranata baru masih perlu dipertanyakan kembali.
Wacana yang dikemukakan oleh keduanya melalui analisis historis di atas nampaknya masih sangat universal. Jika yang dimaksudkan oleh keduanya dengan sesuatu yang bersifat ‘’neo’’, ‘baru’ tetap berkutat pada positivisme dan ideologi lain sebagai produk formulasi pemikiran manusia modern, tak diragukan lagi kemampuannya justru akan tetap membuat manusia berada dalam untaian pergolakan pemikirannya dan senantiasa berada dalam lingkaran nestapa pemikirannya atau the Plight of modern, meminjam istilah Hossen Nasr. Karena bagaimanapun hebatnya pendekatan yang dirumuskan tanpa menyentuh dimensi transsendental akan tetapi melahirkan pandangan artificial, uncomprehensive, dan unwholistic.
Kendatipun demikian, upaya merumuskan nilai baru, pandangan hidup baru dan norma baru patut diberi apresiasi karena upaya itu menunjukkan adanya kesadaran untuk keluar dari titik krisis dan kemiskinan wacana spiritual serta upaya untuk menjadikan sebagai starting point of reverence bagi manusia. Karena nilai dalam dirinya menyiratkan makna universal sebagai kerangka acuan bagi manusia. Menurut Rokeach (1982:102)6 menyatakan: ‘’A value is enduring belief that a specific mode of conduct or and state of existence is personality or socially preferable to on opposite or converse mode of conduct or end state existence.’’
Demikian juga norma acapkali menimbulkan pengaruh dalam proses dialektika kehidupan manusia. Meskipun pengaruhnya bersifat subyektif, baik dalam affiliasi kelompok maupun individu. Norma merupakan patokan untuk berperilaku secara pantas yang diturunkan dari nilai dalam suatu kelompok masyarakat.
Sifat nilai dan norma yang bersifat subyektif sudah barang tentu melahirkan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Dalam masyarakat Islam, patokan nilai dan norma bersifat transcendental. Berpijak pada basis ontologis normatif, wahyu tanpa memasang kreatifitas manusia, karena ia (manusia) merupakan makhluk teomorfis. Nilai moralitas transendetal menjadi acuan terbaik untuk merealisasi potensi dirinya yang terkandung di dalamnya gagasan spiritual dan keduniawian manusia sepenuhnya terintegrasi dan terpadu untuk direfleksikan satu dengan yang lainnya.
Kemenduaan (kemajuan sebagai implikasi perubahan sosial budaya dan nilai, moralitas agama) hendaknya menjadi dua komponen yang saling menyingkapi satu sama lain. Dengan kata lain, bahwa harus ada titik temu dan titik sambung dari harmonisasi antara kedua matra, sehingga tidak timbul kepincangan yang pada akhirnya akan meruntuhkan sendi-sendi kemaslahatan kemasyarakatan.
Dalam konteks demikian agama muncul dan mempunyai peran ganda, yaitu untuk individu dan untuk masyarakat. Terhadap seorang individu, agama adalah jalan penyucian diri, sarana penyucian jiwa yang akan memberi berbagai pegangan dan pedoman untuk mencapai kesempurnaan hidup. Terhadap masyarakat, agama menjadi suatu sarana penting dalam tertib sosial dan norma-normanya yang sering amat efektif untuk membentuk suatu sistem sosial.

2. Kajian Empiris
Sudah sejak lama ujung barat laut Irian dan seluruh pantai utara penduduknya dipengaruhi oleh penduduk dari Kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram dan Key), maka adalah tidak mengherankan apabila suku-suku bangsa sepanjang pesisir pantai (Fak-Fak, Sorong, Manokwari dan Teluk Cenderawasih) lebih pantas digolongkan sebagai Ras Malanesia daripada Ras Papua. Zending atau misi Kristen Protestan dari Jerman (Ottow & Geissler) tiba di pulau Mansinam Manokwari 5 Februari 1855 untuk selanjutnya menyebarkan ajaran agama sepanjang pesisir pantai utara Irian. Pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari 50.000 orang menganut agama Kristen Protestan. Kemudian pada tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda membuka Pos Pemerintah pertama di Fak-Fak dan Manokwari dan dilanjutkan dengan membuka Pos Pemerintah di Merauke pada tahun 1902. Dari Merauke aktivitas keagamaan misi katholik dimulai dan pada umumnya disepanjang pantai selatan Irian. Pada tahun 1933 tercatat sebanyak 7.100 orang pemeluk agama katholik. Pendidikan dasar sebagian besar diselenggarakan oleh kedua misi keagamaan tersebut, dimana guru sekolah dan guru agama umumnya berasal dari Indonesia Timur (Ambon, Ternate, Tidore, Seram, Key, Manado, Sanger-Talaud, dan Timor), dimana pelajaran diberikan dalam bahasa Melayu. Pembagian kedua kelompok agama tersebut kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan.
Pendidikan mendapat jatah yang cukup besar dalam anggaran pemerintah Belanda, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun 1961. Akan tetapi pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja disektor perekonomian modern, dan yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai Belanda dan agama Kristen. Pada akhir tahun 1961 rencana pendidikan diarahkan kepada usaha peningkatan keterampilan, tetapi lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa ‘’Melayu’’ dijadikan sebagai bahasa ‘’Franca’’ (Lingua Franca), bahasa Belanda tetap diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari sekolah dasar, bahasa Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan.
Pada tahun 1950-an pendidikan dasar terus dilakukan oleh kedua misi keagamaan tersebut. Tercatat bahwa pada tahun 1961 terdapat 496 sekolah misi tanpa subsidi dengan kurang lebih 20.000 murid. Sekolah Dasar yang bersubsidi sebanyak 776 dengan jumlah murid pada tahun 1961 sebanyak kurang lebih 45.000 murid, dan seluruhnya ditangani oleh misi, dan pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib dalam hal ini. Pada tahun 1961 tercatat 1.000 murid belajar di sekolah menengah pertama, 95 orang Irian Belajar di luar negeri yaitu Belanda, Post Moresby, dan Australia dimana ada yang masuk Perguruan Tinggi serta ada yang masuk sekolah pertanian maupun sekolah perawat kesehatan (misalnya pada Nederland Nasional Institut for Tropica Agriculture dan Papua Medical Collega di Port Moresby).
Walaupun Belanda harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk membangun Irian Barat, namun hubungan antara kota dan desa atau kampong tetap terbatas. Hubungan laut danm luar negeri dilakukan oleh perusahaan Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) yang menghubungkan kota-kota Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Fak-Fak dan Merauke, Singapura, Negeri Belanda. Selain itu ada kapl-kapal kecil milik pemerintah untuk keprluan tugas pemerintahan. Belanda juga membuka 17 kantor Pos dan telekomunikasi yang melayani antar kota. Terdapat sebuah telepon radio yang dpat menghubungi Hollandia-Amsterdam melalui Biak, juga di tiap kota terdapat telepon. Terdapat perusahaan penerbangan Nederland Nieuw Guinea Luchvaart Maatschappij (NNGLM) yang menyelenggarakan penerbangan secara teratur antara Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayawijaya dengan pesawat DC-3, kemudian disusul oleh perusahaan penerbangan Kroonduif dan Koniklijk Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri di Biak. Sudah sejak tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi lapangan Internasional. Selain penerbangan tersebut, masih terdapat juga penerbangan yang diselenggarakan oleh misi protestan yang bernama Mission Aviation Fellowship (MAF) dan penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Katholik yang bernama Associated Mission Aviation (AMA) yang melayani penerbangan ke pos-pos penginjilan di daerah pedalaman. Jalan-jalan terdapat dis ekitar kota besar yaitu Hollandia 140 Km, Biak 135 Km, Manokwari 105 Km, Sorong 120 Km, Fak-Fak 5 Km, dan Merauke 70 Km.
Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku ‘’ASMAT’’ kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa local khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa local di Irian Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan ke dalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu: Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waosiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipilu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki.
Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi ke dalam empat kelompok di mana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri.
1) Penduduk Pesisir Pantai; Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.
2) Penduduk Pedalaman yang Mendiami Dataran Rendah; Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menagkap ikan di sungai, berburu di hutan di sekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.
3) Penduduk Pegunungan Yang Mendiami Lembah; Mereka bercocok tanam, dan memelihara babgi sebagai ternak utama, kadangkala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua. Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan ‘’Pesta Babi’’ sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroism dalam mencari keseimbangan sosial melalui ‘’Perang Suku’’ yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga terhadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe kedua.
4) Penduduk Pegunungan yang Mendiami Lereng-Lereng Gunung; Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, member eksan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih ‘’KANIBAL’’ hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

III. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perspektif sosial budaya masyarakat Papua dapat dilihat melalui perspektif teori evolusi, fungsionalisme struktural, diferensiasi struktur dan teori konflik.
2. Perubahan sosial budaya telah mengubah cara pandangan hidup seseorang terhadap orientasi sosial budayanya, dan hal tersebut akan mempengaruhi juga tingkat aspirasinya.
3. Transformasi sosial masyarakat Papua pada lazimnya terjadi karena adanya perubahan kondisi sosial primer yang menjadi unsur yang mempertahankan kesimbangan masyarakat, seperti unsur geografis, biologis, ekonomi, teknologi, agama dan politik.

CURRICULUM VITAE
Nama lengkap : Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si.
Tempat tanggal lahir : Purwakarta, 19 Juli 1964
Alamat kantor : Jl. Permana No. 32B 6648311 Cimahi
Alamat rumah : Jl Jati Indah IV/6 RT. 10 RW. 11 Kel. Gumuruh Kecamatan Batununggal Kota Bandung 40275 http://www.endangkomarasblog.blogspot.com
Email: endang_komara@yahoo.co.id
Pekerjaan : Dosen PNS Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan Cimahi dan Pembantu Ketua Bidang Akademik
Pangkat/Golongan : Pembina Utama Muda, IV/c
Jabatan Fungsional Dosen : Guru Besar Sosiologi Pendidikan
Pendidikan terakhir : S3 Universitas Padjadjaran, lulus 2003
Publikasi Ilmiah : Historia UPI, JPIPS, Suara Daerah, Tri Dharma, Jurnal Nasional Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Jurnal Mahkamah Konstitusi.

Bandung, 13 September 2009
Penulis





Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si.
NIP. 132007609

DAFTAR PUSTAKA


Alisyahbana, ST. 1981. Pembangunan Kebudayaan Indonesian Di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Prisma No. II (P3ES)
Arifin, Syamsul. 1998. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sipress.
Koentjaraningrat (1974). Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia. Jakarta: Bharata.
Nata, Abuddin. 2000. Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Konstribusi dalam Mengatasi Krisis Masyarakat Modern. Dikdaktika: Vol. 1 No. 3.
Rokeach. 1982. Teory and Problem of Psychology. New Delhi: Mc Graw Hill.
Soekanto, Soerjono. 1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta:Rajawali Pers.
Tutik, Titik Triwulan dan Trianto. 2008. Dimensi Transendental dan Transformasi Sosial Budaya. Surabaya: Lintas Pustaka Publisher.
Wonda, Sendius. 2009. Jeritan Bangsa: Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan. Yogyakarta: Galang Press.