Minggu, 30 September 2018

PANCASILA & PUSARAN GLOBALISASI

ABSTRAK
Sebagai Ideologi yang hidup, Pancasila memiliki tiga indikator yaitu: adaptif-aktif bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Responsive bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mampu menerima atau mengakomodasi perubahan dengan menerima elemen-elemen sosial-budaya asing dengan maksud untuk memperkaya elemen-elemen sosial budaya sendiri, dan aplikatif bermakna bahwa nilai-nilai Pancasila dalam Sila-Sila Pancasila itu mampu diterapkan baik dalam bentuk perilaku, norma, maupun azas-azas hukum
Globalisasi sebagai sebuah konsep ekonomi global, melahirkan universitas bagi kehidupan masyarakat mulai dari lingkup paling kecil. Mitos globalisasi yang menyatakan bahwa dunia pada akhirnya terbuka lebar tentunya akan ada perubahan terhadap kebudayaan lokal dan hilangnya identitas jati diri bangsa. globalisasi dalam konteks kekinian dipandang berbeda oleh banyak kalangan. Pemahaman globalisasi sangat dekat dengan modernisasi. Pada masyarakat modern, arus globalisasi tidak terbendung dan tidak mampu ditolak. Pengasingan atau alienasi budaya tampak dalam peradaban yang semakin mengikuti perkembangan dunia yang global. Simbol-simbol yang tampak dalam cara berpakaian, cara komunikasi, Bahasa dan cara berpikir instan adalah pergeseran nilai budaya yang mau tidak mau terjadi seiring majunya pemikiran masyarakat modern.
Kata Kunci: Pancasila, ideologi. pusaran, globalisasi, pergeseran nilai.
I.              PENDAHULUAN
Nilai dasar yang fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap dan tidak berubah, dalam artian bahwa dengan jalan hukum apa pun tidak mungkin lagi untuk diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat nilai-nilai dasar yang fundamental, maka Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara hukum.  Apabila terjadi perubahan, berarti pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam pengertian seperti itulah maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan fundamental bagi negara Indonesia, terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sudah menjadi harga mati dan tidak dapat ditawar lagi bahwa Pancasila merupakan asas tunggal yang berlaku di negara Indonesia ini. Jangan sampai terdapat ideologi ‘tandingan’ Pancasila. Ideologi ‘tandingan’ memang secara terbuka akan sangat tidak mungkin ada, namun sedikit lambat laun dengan adanya masa keterbukaan sekarang ini, patut diwaspadai, karena perilaku sangat mungkin dapat terpengaruh ideologi-ideologi baru, dan nantinya akan mudah tertanam di masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu Pancasila harus menjadi landasan etika dan moral, salah satunya dengan menggalakan ‘Vaksinasi Pancasila’ dengan harapan masyarakat Indonesia menjadi orang-orang berkarakter, kuat, baik secara individual maupun secara social. Vaksinasi Pancasila bertujuan untuk membentuk pribadi mereka yang berakhlak, moral dan budi pekerti yang baik.
Untuk bisa menanamkan ideologi Pancasila maka setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan, seperti yang dijelaskan oleh Anam (2018), pertama, menginjeksi aparatur negara dan elit politik dengan budaya serta nilai-nilai Pancasila. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir perilaku ‘klaim’ atas dirinya ‘parpol’ lebih baik daripada ‘parpol’ yang lain. Pada kenyataannya, banyak elit parpol yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dan berujung pada pemidanaan pelakunya. Begitu pula di lembaga yudisial, seperti hakim dan jaksanya yang juga ditangkap tangan oleh KPK karena diditeksi melakukan hubungan tidak wajar dengan pihak-pihak yang sedang ditangani kasusnya. Tidak kalah hebatnya lagi adalah area lembaga eksekutif seakan-akan lupa akan nasib pemilih atau konstituennya. Sehingga pengamalan Pancasila harus segera dimulai dari lembaga-lembaga pemerintahan maupun elit parpol sebagai wujud komitmen perwujudan nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan di setiap lini kehidupan mereka masing-masing.
Kedua, menanamkan nilai-nilai Pancasila di kalangan remaja penerus bangsa melalui doktrinasi Pancasila. Hal ini bisa dilakukan dengan doktrinasi bahwa ‘Negara Indonesia’. Negara yang memang sejak awal didirikan untuk masyarakat Indonesia yahg harus dipertahankan serta dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi, mengembangkan seluruh sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara yang menginginkan agar masing-masing warga negaranya dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin.Kemudian, negara yang berkomitmen memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial). Upaya ini diharapkan mampu menumbuhkembangkan sikap Pancasilais. Doktrinasi tersebut sangatlah penting, Karena apabila ditinjau dari sisi psikologisnya, remaja yang dimaksud pasti sedang memulai mencari jati diri. Terutama ketika mereka dapat membedakan hal-hal yang baik-benar dan buruk, menganalisis norma-norma yang membimbing tingkah lakunya, dan mensintesiskan nilai-nilai yang mereka peroleh saat memilih nilai-nilai tersebut dan nilai-nilai tersebut nantinya akan melekat kuat di dalam sanubarinya.
Ketiga, revitalisasi Pancasila lewat kontrol media baik cetak maupun elektronik.  Asumsi yang perlu ditegaskan dari pemakaian media ini adalah sebagai alat revitalisasi. Ini disebabkan karena media massa di era global bukan hanya alat atau media penyebar informasi, pembentuk opini public, penghibur masyarakat, namun dapat dijadikan media pengawasan terhadap kekuasaan yang berjalan di wilayah pemerintahan. 
Sebegitu pentingnya media massa dikarenakan media massa masih terdapat beberapa tugas yang mestinya harus dilakukan setiap waktu. Terlebih ketika pusaran Pancasila di era demokrasi ini membutuhkan komitmennya. Komitmen itu antara lain yaitu, media massa harus menginformasikan dalam pengertian ‘’surveilance’’ atau ‘’monitoring’’ mengenai apa yang terjadi di sekitar masyarakatnya. Media massa harus mendidik mengenai makna dan manfaat dari fakta dengan tetap mempertahankan obyektivitasnya dalam menganalisis fakta itu. Media massa juga harus menyediakan platformuntuk publik mengenai wacana politik, memfasilitasi pembentukan opini public, dan menyiapkan opini balikan dari mana saja datangnya, media massa juga memberikan publisitas kepada pemerintah dan institusi lainnya.
Di sini media massa berperan sebagai ‘’warchdog’’,  terakhir media massa dalam masyarakat demokratis melayani sebagai suatu saluran untuk kepentingan pemberdayaan (advocacy) mengenai berbagai titik pandang politik. Bahkan media massa itu sendiri telah dilindungi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 2009 tentang Pers dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang harus menjaga moralitas, nilai agama, jati diri bangsa di lingkungan masyarakat majemuk yang memiliki sejunlah perbedaan. Ini berkaitan dengan komonikasi antar budaya, dan menghindarkan selisih paham antar perbedaan-perbedaan guna menyesuaikan diri untuk menghadirkan media massa yang bermakna bagi nuda dan bangsa.
Bangsa Indonesia memiliki nilai budaya luhur, yang dapat dijadikan pilar dan filter terhadap berbagai pengaruh yang negative, serta sebagai pendukung bagi nilai dan pengaruh, yang membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh adalah ‘’Pela Gandong’ di Ambon untuk landasan kerukunan, pepatah ‘’guru kencing berdiri, murid kencing berlari’’ untuk simbul keteladanan, ‘’rawe-rawe rantas malang-malang putung’’ sebagai simbul kebersamaan, dan silih-asah, silih-asih dan silih-asuh untuk acuan pendidikan masyarakat. Bukankah nilai budaya ini juga akan menjadi faktor pendukung sekaligus pilar terhadap pusaran globalisasi.
Menurut Salim (1990) terdapat 4 (empat) bidang kekuatan gelombang pusaran globalisasi yang paling menonjol antara lain:
1.    Kekuatan pertama yang membuat dunia menjadi transparan dan sempit adalah gelombang perkembangan IPTEK yang amat tinggi.  Kekuatan ini Nampak antara lain penggunaan computer dan satelit. Dengan teknologi ini sekarang orang dapat dengan cepat dan menghimpun informasi denia dengan rinci tentang segala hal, misalnya kekayaan laut, hutan dan lain-lain. Dengan kemajuan IPTEK yang begitu kuat pengaruhnya sehingga dapat mengubah perspektif atau sikap, pandangan dan perilaku orang. Dengan kemajuan teknologi ini pula sekarang orang dapat berkomunikasi dengan cepat di mana pun mereka berada melalui handphone, internet dan lain-lain.
2.    Kekuatan kedua adalah kekuatan ekonomi.  Ekonomi global yang terjadi saat ini demikian kuat, sehingga peristiwa ekonomi yang terjadi di suatu negara akan dapat dengan mudah diikuti dan mempenagruhi negara lain. Globalisasi dalam ekponomi Nampak sebagai suatu keterkaitan mata rantai yang sulit untuk dilepaskan. Krisis moneter yang melanda beberapa negara tidak terlepas dari kegiatan ekonomi dunia.
3.    Hal ketiga yang banyak disoroti saat ini adalah masalah lingkungan hidup. Kita masih ingat tentang peristiwa kebakaran hutan di Indonesia yang berdampak dunia. Pengaruh asap kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra dapat dirasakan di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan bahkan Filipina. Dampaknya sangat terasa dis eluruh dunia, di mana semua penerbangan ke Indonesia tertunda karena adanya gangguan asap.
4.    Politik merupakan kekuatan keempat yang dirasakan sebagai kekuatan global. Misalnya konflik di Palestina, Syiria dan Irak sangat dirasakan secara global di negara-negara lain, baik dalam segi politik maupun ekonomi. Adanya kekisruhan politik dalam negeri juga berdampak besar terhadaop perkembangan pariwisata, perdagangan dan sebagainya.

II.             PEMBAHASAN 
A.  Pancasila
Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki fungsi yang sangat fundamental. Seperti dijelaskan oleh Purwito Adi (2016), Pancasila selain bersifat yuridis formal juga bersifat filosofis. Sifat yuriidis formal yang mengharuskan setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan pada Pancasila sebagai sumber hukum materiil. Sedangkan sifat filofis, menjadikan Pancasila sebagai falsafah negara juga sebagai pedoman perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti dijelaskan oleh Driyarkarsa (2006), bahwa Pancasila sebagai weltanschauung, yaitu sebuah falsafah atau pandangan hidup yang mampu merealitaskan nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat, dapat menjadi ideologi terbuka yang bersifat aktual, dinamis, antisipatif, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Cita-cita dan nilai-nilai mendasar dalam Pancasila bersifat tetap dan tidak berubah.
Pada sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai basis nilai filosofis hubungan negara dan agama di Indonesia sebagai sebuah ‘local genius’ bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Makna tersebut tidak dapat dipisahkan dengan makna agama di Indonesia, karena nilai-nilai agama di Indonesia sudah ada sejak dahulu. Sila ini pun tidak dimaksudkan bahwa negara Indonesia didasarkan pada suatu paham tertentu, atau bahkan negara tidak berhak mencampuri ruang aqidah warga negaranya. Hal ini juga berarti negara harus menjamin hak yang paling asasi pada setiap warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Menurut Soekarno, bagsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang mempunyai kepercayaan akan suatu ‘zat’ yang baik yaitu Tuhan. Sehingga sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk mempunyai suatu kepercayaan yang dirmuskan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan alasan bahwa nilai atau prinsip ke-Tuhan-an dapat menjadi pengikat kesleuruhan manusia dan masyarakat Indonesia. Sila ini menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan dalam setiap agama yang diakui di Indonesia. Oleh karena itu, sekalipun Globalisasi membawa sebuah liberalisasi di Indonesia, bangsa Indonesia menolak yang disebut atheism dan juga propaganda anti agama.
Manusia dalam pusaran Globalisasi cenderung menggunakan sesuatu dengan berlebihan tanpa arah. Hal ini mengakibatkan perilaku konsumtif dan pada akhirnya melahirkan hedonism yang diartikan mendasarkan baik atau buruknya tindakan atas dasar tujuan yang akan diusahakan yaitu kenikmatan. Prinsip hedonisme menurut Paulus Wahana (2016), bahwa kesenangan merupakan sesuatu yang baik dan hal tersebut menjadi tujuan hidupnya. Sedangkan hal yang membuat kesusahan, penderitaan, atau tidak menyenangkan adalah hal yang tidak baik dan harus dihindari. Sikap yang hanya menekankan tujuan kenikmatan akan meng-alienasi manusia terhadap linkungan sosialnya.
Sila kedua Pancasila pada prinsipnya adalah bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan sebuah sikap dan perilaku manusia yang sesuai dnegan kodrat hakikat manusia yang berbudi, sadar nilai dan budayanya. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan juga makhluk social. Soekarno melalui bukunya yang berjudul ‘’Tjamkan Pantjasila’’ (1964) membahas tentang kemanusiaan dalam konteks yang konkret yaitu mengenai identitas diri. Rasa peri-kemanusiaan merupakan sebuah resultan dari pertumbuhan rohani, kebudayaan. Pertumbuhan tersebut bermula dari tingkat yang paling rendah hingga yang lebih tinggi tingkatannya, sehingga dapat dikatakan bahwa peri-kemanusiaan merupakan evolusi dalam perasaan batin manusia.
Nilai persatuan memiliki makna untuk menumbuhkan rasa nasionalisme cinta tanah air. Bangsa Indonesia terdiri darai bermacam suku bangsa dan budaya. Kemerdekaan Indonesia didapatkan dan diperjuangkan oleh seluruh warga negara Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa dan budaya dalam sebuah semboyan bhineka tunggal ika. Perenungan terhadap sila keiga adalah hakikat bahwa persatuan merupakan tema penting untuk mencapai kemerdekaan, kesadaran akan persatuan, memperkuat rasa nasionalisme demikian juga sebaliknya. Nilai kerakyatan erat dengan konsep civil society atau masyarakat siplil yang diturunkan dari gagasan Aristoteles,Koinonia Politike yang berarti sebuah komunitas warga negara yang dipersatukan dalam sebuah pemerintahan atau negara yang sah. Masyarakat sipil harus dibentuk terlebih dahulu sebagai syarat untuk membentuk suatu tatanan negara Indonesia yang demokratis. Beberapa konsep yang diberikan oleh para pendiri bangsa yaitu masyarakat yang kooperatif oleh Hatta; sistem kekeluargaan dalam membentuk masyarakat sipil sebagaimana yang digagas oleh Soekarno; dan sistem masyarakat integratif yang digagas oleh Soepomo. Sehingga dalam pusaran Globalisasi ini, pembentukan masyarakat sipil yang bergotong royong akan mengarahkan dan mewujudkan nilai kerakyatan sebagaimana dalam sila keempat Pancasila. Seklaipun globalisasi dapat membentuk masyarakat yang individualistik, tetapi jika ketiga prinsip ini menjadi satu kesatuan utuh yang menjadi jiwa dan spirit masyarakat Indonesia, maka tidak akan sulit untuk mewujudkan nilai kerakyatan.
Pada sila terakhir yaitu sila kelima. Keadilan sosial atas bangsa Indonesia, semestinya lahir dan meratanya kepentingan rakyat. Bagaimana globalisasi telah memisahkan secara tegas dan menciptakan kelas dalam masyarakat, maka nilai keadilan sosial menjadi hal yang tidak akan pernah bisa dicapai dalam tataran kehidupan global. Kehidupan yang tidak menginginkan adanya kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, namun hanya kepentingan pasar yang aakan memperkaya segelintir kelompok dan semakin memiskinkan sebagian besar rakyat Indonesia.
B.  Pusaran Globalisasi
Dalam berbagai literature dan kenyataan praktek hubungan antar subyek hokum internasional baik pada level negara-bangsa, organisasi (IGO; International Government Organization dan INGO: International Non Government Organization) maupun pada level individual, proses globalisasi banyak ditandai oleh hubungan dalam persoalan bisnis dan perdagangan. Kaum politisi dan birokrat yang lebih banyak memfokuskan pada tataran ‘’policy’’ dan ‘’decision making’’memang menunjukkan aktivitas ‘’lower profile’’ bila dibandingkan dengan pelaku bisnis. Dengan aspek bisnis, kaum politisi dan birokrat adalah kelompok pemegangotoritas dan pembuat serta pemutus kebijakan sedangkan yang bertindak sebagai pelaku langsung adalah kelompok pelaku bisnis itu sendiri. Selain itu, dalam kenyataannya otoritas politisasi dan birokrat dapat terbawa oleh arus kekuatan politik globalisasi yang mengakibatkan para politisi dan birokrat tidak berdaya. Dalam situasi demikian, pelaku bisnislah yang tampil, bahkan dengan mesin globalisasi: technology, the capital markets and management (Micklethwait & Wooldridge, 2000:29), globalisasi telah menjadi kekuatan komersil (commercial forces) yang disebut kapitalisme modern seperti munculnya: the internet, the foreign-exchange market, mergers, and foreign direct investment seolah sebagai topan yang menggganyang semua aspek kehidupan global.
Masing-masing dari kekuatan komersial ini memiliki kekuatan, tetapi hal yang menjadikan keunggulan pada tiap mesin globalisasi ini adalah gerakan kebersamaan yang begitu rapi. Teknologi informasi sebagai alat pendukung dalam manajemen informasi dan system informasi merupakan sarana yang sangat bermanfaat dalam proses globalisasi. Namun perlu ditekankan bahwa teknologi bukanlah alat yang sangat penting atau menentukan teknolgi tergantung pada manusia dan kreativitasnya. Teknologi hanyalah sebagai daya pikir dari orang dibelakangnya.
Walaupun sekelompok orang berpendapat bahwa teknologi seringkali mengotori bumi sehingga ada kontradiksi antara teknologi dan globalisasi, tetapi kelompok lainnya menyamakan teknologi sebagai ‘’Big Brother’’dengan batas kebebasan manusia; bagi mereka mesin adalah cara untuk menjaring data, untuk melakukan mata-mata terhadap musuh negara dari luar angkasa. Teknologi telah melakukan subversif ke seluruh dunia, melatih sikap hidup wiraswasta dan bahkan menentang perusahaan-perusahaan raksasa, memberikan kekuatan kepada manusia untuk berhubungan dan melepaskan diri dari tirani kekuasaan di suatu tempat.
Teknologi sebagai mesin globalisasi dimotori oleh perangkat computer, telepon dan televisi. Tanpa ketiga perangkat teknologi ini seolah tidak ada globalisasi. (Micklethwait & Wooldridge, 2000:35). Bahkan Stever & Muroyama (1988:1) menyatakan bahwa dampak perubahan teknologi pada struktur ekonomi global sedang membuat transformasi besar bagaimana perusahaan dan bangsa-bangsa mengelola produksi, menjual barang, menginvestasikan modal, dan mengembangkan produk baru dan proses perusahaan. Bahkan Stever & Muroyama (1988) lebih lanjut menyatakan bahwa percepatan inovasi teknologi selain membentuk ekonomi global juga menimbulkan konflik kepentingan nasional guna memlihara keuntungan komparatif dan komoetitif. Di samping itu, John Chamber, bos Cisco Systems menyatakan bahwa internet akan mengubah orang bagaimana hidup, kerja, bermain dan belajar. Revolusi industry telah membawa orang kenal dengan mesin-mesin pabrik maka revolusi internet akan memperkenalkan orang kepada pengetahuan (knowledge) dan informasi.
Dua kata kunci di atas, pengetahuan dan informasi, sangat penting dalam proses globalisasi. Wilson (Sapriya dkk, 2008) mendefinisikan informasi sebagai data yang diperoleh menjadi bentuk tertentu yang dapat digunakan untuk mendukung keputusan atau tindakan lainnya. Prosesnya dapat berupa berbagai bentuk: pengumpulan, pemetaan, analisis, susunan dan sebagainya. Informasi dapat akurat bila berdasarkan jumlah; namun dapat subyektif bila berupa pendapat. Kata kunci kedua adalah pengetahuan. Hal ini akan mencakup segala aktivitas hingga suka duka salesman di lapangan. Anggaplah semua pengetahuan tentang bisnis, sejarahnya, arah masa depannya, teknologinya dan semua aspek yang ada dalam kepala setiap orang yang terkait dengan organisasi.
Definisi di atas mengindikasikan bahwa data adalah bahan mentah untuk informasi sedangkan informasi adalah bahan mentah untuk pengetahuan. Proses perubahan ini terjadi dalam suatu sistem yang disebut  sistem informasi. Dengan kata lain, sistem informasi adalah cara mengubah data menjadi informasi dan selanjutnya menjadi pengetahuan (knowledge). Semua sistem memiliki masukan (input), proses (processing), dan keluaran (output). Faktor pendukung agar sistem informasi berjalan dengan baik, maka teknologi informasi menjadi faktor penting namun tidaklah menentukan. Teknologi memberi banyak peluang untuk mendayagunakan walaupun hanyalah alat. Teknologi bukanlah alat yang paling penting atau menentukan, teknologi tergantung pada manusia dan krativitasnya. Teknologi tidaklah sebaik daya piker dari orang dibelakangnya.
‘’Capital Markets’’sebagai mesin globalisasi merupakan dampak atau hasil revolusi dalam teknologi. Saat ini, ‘’global capital markets’’ telah menjadi motor dalam ekonomi makro. Perputaran modal saat ini lebih besar dari masa sebelumnya. Pergerakannya lebih cepat dan rasio modal untuk barang yang diperdagangkan lebih besar namun dampak negative dari kesalahan akan lebih menghancurkan. Sebagai contoh, terjadi di Indonesia. Pasar bukan hanya mengikat ekonomi dan mengubah struktur perusahaan melainkan juga mengubah sistem politik secara keseluruhan. Kecuali, apa yang dialami oleh Korea Selatan. Banyak orang yang mengkhawatirkan apa yang terjadi pada sistem perbankan di Korea Selatan. Korea Selatan adalah salah satu negara yang menggunakan modal asing  tahun 1990-an walaupun membatasi peran bank asing dalam pasar dalam negeri. Hal ini diikuti oleh Thailand dan Indonesia. 
Mesin ketiga dari globalisasi adalah ‘’management’’. Gagasan manajemen adalah bentuk lain dari pengelolaan teknologi dan tekanan ‘capital market’ yang kuat terhadap perusahaan. Micklethwait & Wooldridge (2000:67) mengidentifikasi empat disseminator virus manajemen yang dikenal oleh Graef Crystal, ialah: perusahaan multinasional, konsultan manajeme, sekolah-sekolah bisnis, dan para pemikir manajemen. Contoh bentuk perusahaan multinasional adalah Toyota dan general Motor (GM). Salah satu cara penting untuk menularkan gagasan manajemen ke seluruh dunia adalah dengan pelatihan. Perusahaan di Eropa, Nestle telah mengekspor system magang ke Amerika Latin. Universitas Motorola memiliki sejumlah kampus, antara lain di Beijing. Pusat Pelatihan Nestle, Rive-Reine, di La Tour de Peilz, melatih sejumlah orang yang berasal dari 60 negara.

III.           PENUTUP
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
A.   Sekalipun Bangsa Indonesia telah memiliki Ideologi Pancasila sebagai ruh yang hidup di jiwa masyarakatnya, namun setidaknya di era globalisasi yang terbuka ini, memberi kesempatan terhadap ideologi-ideologi baru ingin masuk dan mempengaruhi sikap dan pandangan terhadap bangsa Indonesia sendiri. Radikalisme yang dapat dilihat dengan mata telanjang merupakan virus yang mau tidak mau harus dihempaskan di muka bumi ini terutama atas nama bangsa Indonesia yang majemuk berbhineka tunggal ika. Penanaman ideology moderat merupakan hal penting karena pengaruh-pengaruh paham radikal sudah bertebaran bebas dalam pengaruhnya. Bahkan dunia pendidikan harus ikut berpartisipasi dalam mencegah paham radikal. Pemahaman yang kuat terhadap radikalisme setidak-tidaknya harus segera di injeksikan terhadap tiga unsur vital yang nantinya dapat berpengaruh terhadap perjuangan ideologi Pancasil. Ketiga unsur tersebut adalah, pertama, para pejabat pemerintah dan elit parpol, keduapara generasi muda penerus bangsa, ketigaadalah media massa guna alat revitalisasi informasi. Injeksi ideologi dan upaya pencegahan tersebut akan menjadi sebuah teori belaka ketika rakyat Indonesia tidak berkolaborasi secara baik. Kolaborasi setidaknya mengabaikan urusan kepentingan kaum mayoritas maupun kaum minoritas mereka masing-masing untuk sesaat.
B.   Kolaborasi itu telah ditunggu sebagai Ideologi terbuka namun juga tidak berarti keterbukaan tersebut bisa diterjemahkan terbuka terhadap ideology radikal. Injeksi mememrlukan kesolidan antara umat Muslim sebagai mayoritas dengan umat lain (agama/kepercayaan) sebagai minoritas. Kesolidan itu berupa saling berintegrasi mencegah radikalisme serta berkomitmen bahu membahu meluluhlantahkan radikalisme. Indonesia negara yang sejuk, damai, dan ber-Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun satu jua. Sedangkan ‘’doktrinasi’’ dalam arti positif bukanlah hal yang mustahil dapat diterapkan, karena ketiga unsur yang harus didoktrin tersebut setidaknya memiliki kandungan ‘pelaku-pelaku’ yang masih baik dan berkomitmen. Komitmen tersebut perlu setiap saat datagih oleh diri kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Ideologi Pancasila.
C.   Penyebab munculnya proses globalisasi antara lain: nilai-nilai inti universal (perdamaian, HAM, demokrasi, pembangunan berkelanjutan); tata ekonomi baru; budaya sebagai tirai; pilat-pilar pendidikan untuk International Understanding (learning to know, learning to do, learning to live together, learning to be) dan;  Kerjasama Antarbangsa.
D.  Pusaran globalisasi telah menjadi kekuatan komersil yang disebut kapitalisme modern seperti munculnya: the internet, the foreign-exchange market, mergers, and foreign direct investment seolah sebagai topan yang mengganyang semua aspek kehidupan global.














DAFTAR PUSTAKA

Adi, Purwito. 2016. Buku Ajar ‘’Pancasi’’. Malang: Universitas Kanjuruhan Malang 
Choirul, Anam. ‘’Pancasila Sebagai Sistem Terbuka’’, online: http://choirul_umam,staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/46988/bab3-pancasila_sebagai_sistem_etika.pdf.
Driyarkara. 2006. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Micklethwait, John dan  Wooldridge, Adrian. 2000. Future Perfect: The Challenge and Promise of Globalization. New York: Crown Publishers.
Salim, Emil. 1990.  Kebudayaan Nasional dalam Jurnal Pendidikan. Nomor 2. Malang: Universitas Negeri Malang. 
Sapriya, Rahmat dan Dadang Sundawa. 2008. Konsep Dasar PKn. Bandung: Laboratorium PKn UPI.
Stever, H. Guyford & Muroyama, Janet H. (Eds.). 1988. Globalization of Technology: International Perspectives, Washington: National Academy Press.







1 komentar: