Minggu, 08 Januari 2017

GURU PEMBELAJAR & PENDIDIKAN KARAKTER ENDANG KOMARA Guru Besar Sosiologi Pendidikan, Ketua STKIP Pasundan, Wakil Ketua ABPPTSI Jabar-Banten, Ketua Korpri Kopertis Wilayah IV



Guru merupakan contoh (patten) bagi para peserta didik, maka tampilan guru sangat berpengaruh terhadap kelanjutan pembelajaran peserta didiknya. Guru dapat menyajikan proses pembelajaran yang menarik, memberi motivasi dan menginspirasi, diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman guru yang senantiasa diperbaharui dengan berbagai masukan positif yang didapat dari berbagai sumber belajar. Pengetahuan dan pengalaman dapat diperoleh dari buku, mass media, kegiatan seminar maupun melalui pelatihan pendidikan. Dalam proses belajarnya guru dituntut menghasilkan karya dan inovasi yang dapat mencerahkan untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga dapat menumbuhkan semua potensi peserta didik dan mereka bukan sekadar bisa meraih, tapi bisa melampaui cita-citanya. Guru bukan hanya seorang pengajar, tetapi lebih dari itu guru merupakan pendidik. Sebagai pendidik, guru harus memiliki berbagai kemampuan sebagai kompetensi yang harus dimiliki sebagai pendidikan profesional. Baik kompetensi pedadogik, kepribadian, sosial maupun profesional.
Pada Upacara Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 25 November 2015, Dr Anies Baswedan mengajak seluruh guru untuk menjadi guru pembelajar, guru yang selalu hadir sebagai pendidik dan pemimpin bagi anak didiknya. Guru yang hadir mengirimkan pesan harapan, guru yang makin menjadi contoh tentang ketangguhan, optimisme dan keceriaan. Guru merupakan pembelajar, maka saat guru melupakan kebiasaannya ini maka reduplah sebuah proses pendidikan. Guru harus terus belajar dan selalu belajar untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, secara bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Dengan demikian guru dapat memelihara, meningkatkan dan memperluas pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan proses pembelajaran secara profesional. Pembelajaran yang berkualitas diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik. Guru pembelajar adalah guru yang selalu hadir sebagai pendidik dan pemimpin bagi anak didiknya, guru yang selalu hadir mengirimkan pesan harapan, guru yang makin menjadi contoh tentang ketangguhan, optimisme dan keceriaan. Guru pembelajar adalah guru yang menjadikan siswa belajar; atau dengan kata lain ‘’membelajarkan peserta didik’’. Seperti halnya guru pengajar, guru pembelajar juga menyiapkan rencana penyampaian bahan ajar kepada peserta didik. Guru pembelajar adalah guru yang ideal yang terus belajar dan mengembangkan (upgrade) diri di setiap saat dimanapun. Guru terus belajar mengembangkan diri bukan untuk pemerintah atau kepala sekolah, tapi memang sejatinya setiap pendidik atau guru adalah pembelajar. Hanya dari guru yang terus belajar dan berkarya akan muncul generasi sepanjang hayat yang terus-menerus berkontribusi pada masyarakat dan lingkungannya.
Menurut  Hosnan (2016), ada lima macam guru pembelajar yaitu, pertama guru pembelajar kreatif, yakni guru yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang memberi kesempatan kepada individu untuk menciptakan ide-ide asli  atau adaptif fungsi kegunaannya  secara penuh untuk berkembang. Kedua, guru pembelajar produktif yakni guru yang dapat menciptakan suatu kegiatan yang menghasilkan sesuatu atau produk, berupa hal yang baru yang didapat  dari membaca, benda, tulisan, dan hal baik lainnya. Ketiga, guru pembelajar inovatif, yakni  guru dengan memberikan hasil kerja yang baik yang dapat diperoleh dengan menggali sumber informasi baru atau menciptakan sesuatu yang dapat memberikan perkembangan bagi dunia pendidikan dalam jumlah optimal melalui pelaksanaan kerja yang efektif dan efisien. Keempat, guru pembelajar berkarakter, yakni seorang guru yang memiliki sifat tidak mudah goyah, teguh dan mempunyai ketangguhan dalam ilmu pengetahuan yang terus bertahan dalam kerasnya kehidupan di masyarakat. Kelima, guru pembelajar yang harmoni, yakni guru yang dapat membangun dan membentuk keselarasan dengan orang lain yang mempunyai karakter.    
Pendidikan karakter tidaklah muncul begitu saja, tidak pula hadir sekadar merespons kondisi moral anak bangsa yang cenderung berorientasi material ketimbang nilai. Tetapi akar pendidikan karakter telah ada seiring dengan terbangunnya peradaban dan perkembangan psikologi manusia itu sendiri. Dewantara (1977) secara psikologis menjelaskan hubungan antara jiwa atau kebatinan dan watak atau karakter manusia. Karakter merupakan paduan dari semua tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Kekhususan tanda tersebut tergantung dari tenaga yang ditimbulkan oleh jiwa (kebatinan), di mana jiwa manusia itu terbentuk dari gabungan antara angan-angan, rasa dan kemauan (cipta, rasa, dan karsa).
Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa yang harus dibangun melalui proses pembelajaran mencakup 18 karakter, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Hasan dkk (2010) menambahkan bahwa dalam pengembangan karakter dan budaya sekolah, nilai-nilai tersebut dapat ditambah atau dikurangi tergantung dari kebutuhan masyarakat yang dilayani di sekolah dan hakikat materi Standar Kompetensi (KD) dan Kompetensi Dasar (KD) dan materi bahasan suatu mata pelajaran. Meskipun demikian, ada lima nilai yang diharapkan menjadi nilai minimal yang dikembangkan di setiap sekolah yaitu: nyaman, jujur, cerdas, tangguh dan kerja keras.
Ada beberapa alasan mengapa perlunya pendidikan karakter diimplementasikan dalam  konteks pendidikan. Pertama, dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan menjadi semakin kompleks merupakan tantangan baru bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia  memasuki milenium ketiga sekarang ini. Persinggungan budaya lokal dan nasional akan menghadapi dilema yang amat besar jika pengaruh budaya asing tidak segera disaring melalui gerakan peduli budaya. Kepedulian terhadap budaya sendiri akan memperkuat pemahaman tentang nilai-nilai kelokalan yang dapat menyaring hadirnya pengaruh budaya asing yang dapat membawa dampak terhadap dangkalnya pemahaman kita terhadap nilai-nilai keindonesiaan secara menyeluruh. Kedua, adanya kenyataan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari pespektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi yang cerdas individual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa yang merupakan identitas kolektif, dan bukan pribadi. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, mandiri, kreatif, supaya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, Ketiga, pendidikan yang diselenggarakan saat ini masih didominasi oleh berbagai dogma, dalil-dalil, atau ajaran yang diperoleh dari Barat. Padahal secara kultural, pendidikan yang diselenggarakan harus tergali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri. Berbagai pemikiran Ki Hajar Dewantara yang telah tertuang dalam berbagai referensi seharusnya dapat dikaji kembali agar dapat dirumuskan dan diimplementasikan.   
Melalui guru pembelajar dan pengembangan pendidikan karakter diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik yang memiliki sikap dan perilaku hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa serta hubungannya dengan alam sekitar. *** Semoga ***.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar