Minggu, 06 April 2014

PEMILU DAN PEMIMPIN BANGSA

ENDANG KOMARA Guru Besar Sosiologi Pendidikan Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan dan Sekretaris Korpri Kopertis Wilayah IV Pemilihan Umum merupakan salah satu pilar demokrasi sebagai wahana perwujudan kedaualatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang dihasilkan dari Pemilu diharapkan menjadi pemerintahan yang mendapat legitimasi yang kuat dan amanah. Sehingga, diperlukan upaya dan seluruh komponen bangsa untuk menjaga kualitas Pemilu, baik 9 April 2014 (Memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD) maupun 9 Juli 2014 (Memilih Presiden dan Wakil Presiden). Pemilihan umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD harus dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Menurut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi (2013) bahwa semangat Pemilu itu dapat terwujud apabila seluruh komponen bangsa saling bahu-membahu mendukung pelaksanaan Pemilu sesuai aturan perundang-undangan dan penghormatakan hak-hak politik setiap warga negara. Upaya memperbaiki kualitas pelaksanaan Pemilu merupakan bagian dari proses penguatan demokrasi serta upaya mewujudkan tata pemerintahaan yang efektif dan efisien. Suksesnya Pemilu bukan hanya bersandar pada integritas penyelenggaraan Pemilu dan peserta Pemilu semata (sekitar 50 juta dari 180 juta pemilih 2014 adalah pemilih pemula). Namun harus didukung pula oleh seluruh pemangku kepentingan Pemilu demi terciptanya sinergitas yang kuat dan saling berkesinambungan. Terlebih pasal 126 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu diatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan bantuan dan fasilitas penyelenggaraan Pemilu. Oleh karena itu, persamaan persepsi antar pemangku kepentingan Pemilu dalam upaya mewujudkan Pemilu yang demokratis, mutlak diperlukan. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu di Tanah Air dewasa ini adalah menurunkan tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Kondisi itu setidaknya dapat terlihat dari beberapa pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) sebelumnya, yaitu Pemilu 1999 dengan tingkat partisipasi politik masyarakat mencapai 92,74 persen, pemilu 2004 mencapai 84,07 persen, dan pemilu 2009 dengan tingkat partisipasi masyarakat sebesar 71 persen. Fenomena menurunya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu setidaknya juga dapat tergambarkan dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2013. Setidaknya, angka partisipasi masyarakat berkisar antara 50-70 persen. Sinergitas dari seluruh pemangku kepentingan Pemilu sangatlah diharapkan. Terutama, dalam rangka memberikan sosialisasi yang tepat kepada masyarakat tentang arti pentingnya Pemilu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tentu berharap partisipasi politik masyarakat akan tetap tinggi pada Pemilu 2014, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pendidikan Politik dianggap penting oleh hampir semua masyarakat dan dianggap sebagai penentu perilaku politik seseorang. Penilaian ini didasarkan bahwa pendidikan politik sebagai alat untuk mempertahankan sikap dan norma politik serta meneruskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, baik melalui akulturasi informal maupun melalui pendidikan politik yang direncanakan untuk menunjang stabilitas sistem politik. Menurut Rusadi Kantaprawira (1988:54) memandang, pendidikan politik sebagai salah satu fungsi struktur politik dengan tujuan meningkatkan pengetahuan politik rakyat agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Dalam perspektif ini, pendidikan politik merupakan metode untuk melibatkan rakyat dalam sistem politik melalui partisipasi dalam menyalurkan tuntutan dan dukungannya. Pengetahuan politik yang membawa orang pada tingkat partisipasi tertentu dalam sistem politik tidak cukup hanya berdimensi pengetahuan, tetapi lebih merupakan paduan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dikembangkan bersama-sama. Senyawa ketiga elemen inilah yang lazim disebut melek politik (political literacy) yang menentukan tingkat keterlibatan individu dalam sistem politiknya. Menurut Idrus Affandi dalam Launching Bukunya berjudul Pendidik Pemimpin, Mendidik Pemimpin, Pemimpin Pendidik pada tanggal 2 April 2014 di Universitas Pendidikan Indonesia, bahwa aspek pengetahuan seseorang dikatakan melek politik apabila sekurang-kurangnya menguasai tentang: Pertama, informasi dasar tentang siapa yang memegang kekuasaan, dari mana uang berasal, bagaimana sebuah institusi bekerja. Kedua, bagaimana melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan pengetahuan. Ketiga, kemampuan memprediksi secara efektif bagaimana cara memutuskan sebuah isu. Keempat, kemampuan mengenali tujuan kebijakan secara aktif baik yang dapat dicapai ketika isu (masalah) telah dipecahkan. Kelima, kemampuan memahami pandangan orang lain dan pembenahan mereka tentang tindakannya dan pembenaran tindakan dirinya sendiri. Komponen sikap yang membentuk melek politik paling tidak berekenaan dengan sikap tentang kebebasan, toleransi, fair, menghargai kebenaran, menghargai pemikiran dan aspek lain yang biasa disebut nilai prosedural (procedural value). Sedangkan dari aspek keterampilan (skills) seseorang dikatakan melek politik jika ia tidak hanya berperan sebagai penonton yang baik, tetapi mereka mampu berpartisipasi aktif atau bahkan tidak terlibat dalam politik uang, politik sesaat, serangan pajar dan sebagainya. Seseorang yang melek politik pun memiliki toleransi terhadap pandangan orang lain dan dapat memikirkan perubahan dan bagaimana metode yang tepat untuk dapat menguasainya. Penulis salah satu partisipan yang ikut menyumbang tulisan pada memperingati Milad 60 Tahun Prof. Dr. Idrus Affandi, SH, tanggal 2 April 2014 di Universitas Pendidikan Indonesia, bahwa figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dari suri teladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah saw., sebagaimana firman-Nya: ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.’’ (Q.S. Al-Ahzab:21). Sebenarnya setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasullah saw., yang maknanya; ‘’Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinanya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan akan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.’’ (Al-Hadist). Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya empat sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni: siddiq, tabligh, amanah dan fathanah (STAF). Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya. Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegoisasi. Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya. Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya. Pemimpin bangsa ke depan sekurang-kurangnya memiliki empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama, memiliki akidah yang benar (berideologikan Pancasila). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Ketiga, memiliki akhlak yang mulia. Keempat, memiliki perencanaan, manajerial dan administratif dalam menjalankan tugas profesinya. *** Semoga ***.