Kamis, 16 Januari 2014

PEMBELAJARAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL Oleh: Endang Komara (Guru Besar Sosiologi Pendidikan Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan)

Abstrak Pembelajaran merupakan suatu bentuk interaksi yang bersifat edukatif antara guru dan siswa dengan mentransformasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan agar menghasilkan siswa yang mampu berkomunikasi, berfikir kritis dan bekerja sama dalam kehidupan sosial. Kearifan lokal merupakan pandangan hidup dalam ilmu pengetahuan serta berbagaai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi serta kesenian. I. Pendahuluan Pendidikan menurut Sagala (2010:3) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kearifan lokal dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai local wisdom / local knowledge / local genious yang artinya kebijakan setempat atau pengetahuan setempat atau kecerdasan setempat. Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa, komunikasi serta kesenian. Kearifan lingkungaan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat. Menurut Wietoler (Akbar, 2006) kearifan lokal yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkiungan sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat. Pembelajaran akan lebih bermakna apabila pembelajaran menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran student centered daripada teacher centered. Hal ini sejalan dengan pendapat Suparno (Darlia, 2010:2) bahwa belajar bukan sekedar kegiatan pasif menerima materi dari guru, melainkan proses aktif menggali pengalaman lama, mencari dan menemukan pengalaman baru serta mengasimilasi dan menghubungkan antara keduanya sehingga membentuk makna. Makna tercipta dari apa yang siswa lihat, dengar, rasakan, dan alami. Untuk guru, mengajar adalah kegiatan memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat keterlibatannya dalam kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, sebagian besar waktu proses pembelajaran berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Guru selalu berusaha agar kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dapat dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien. Guru juga berperan penting dalam perancang strategi pembelajaran. Guru yang profesional hendaknya merancang pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menarik. Indikator guru yang profesional sebagai peraancang pembelajaran diantaranya: (1) menguasai kurikulum dan perangkat pembelajaran, maksudnya guru harus tanggap dalam penguasaan kurtikulum, dan perangkat pembelajaran, (2) menguasai materi, (3) menguasai berbagai macam metode, dan (4) mempu mengelola pembelajaran. Kemampuan tersebut kurang dipahami oleh guru, sehingga pembelajaran akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang kurang memuaskan. Hal ini menuntut guru untuk kreatif dalam menentukan strategi pengelolaan pembelajaran dengan menetapkan model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran. II. Pembahasan A. Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal dan Pendidikan Karakter Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (locaI). Secara umum makna local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pemaknaan terhadap kearifaan lokal dalam dunia pendidikan masih sangat kurang. Ada istilah muatan lokal dalam struktur kurikulum pendidikan, tetapi pemaknaannya sangat formal karena muatan lokal kurang mengeksplorasi kearifan lokal. Muatan lokal hanya sebatas bahasa daerah dan tari daerah yang diajarkan kepada siswa. Tantangan dunia pendidikan sangatlah kompleks. Apalagi jika dikaitkan dengan kemajuan global di bidang sains dan teknologi, nilai-nilai lokal mulai memudar dan ditinggalkan. Karena itu eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa sangat perlu untuk dilakukan. Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifaan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak akan mati, karena semuanya merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari. Pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memleihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan sesuatu yang benar dan yang salah tetapi pendidikan karakter juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai baik dan biasa melakukan (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek ‘’pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action)’’. Pendidikan karakter menekanakan pada habit atau kebiasaan yang terus - menerus dipraktikkan dan dilakukan. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter berfungsi: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilain prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain: Takwa, bersih, rapi, nyaman, dan santun. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional, yaitu; (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan massing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah. Yakni bersih, nyaman, disiplin, sopan dan santun. Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Pengkategorian nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya perilaku seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosio-kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosiokultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual & emotional development); (2) olah piker (intellectual development); (3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Proses ini secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi. B. Landasan Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal 1. Landasan Historis Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam suatu lokal tertentu. Dalam perspektif historis, kearifan lokal dapaat membentuk sejarah lokal. Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan. Widja (Koentjaraningrat, 1986). Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuk mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan. Secara historis tradisi lisan banyak menjelaskaan tentang masa lalu suatu masyarakat atau asal-usul suatu komunitas. Perkembangan tradisi lisan ini dapat menjadi kepercayaan atau keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan terdapat upaya untuk mengabdikan pengalaman masa lalunya melalui cerita yang disampaikan secara lisan dan terus menerus diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan ini dilakukan dengan tujuan masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Tradisi lisan merupakan cara mewariskan sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, dalam bentuk pesan verbal yang berupa pertanyaan yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. 2. Landasan Psikologis Secara psikologis pembelajaran berbasis kearifan lokal memberikan sebuah pengalaman psikologis kepada siswa selaku pengamat dan pelaksana kegiatan. Dampak psikologis bias terlihat dari keberanian siswa dalam bertanya tentang ketidaktahuannya, mengajukan pendapat, presentasi di depana kelas, dan berkomunikasi dengan masyarakat. Dengan pemanfaataan lingkungan maka kebutuhan siswa tentang perkembangan psikologisnya akan diperoleh. Karena lingkungan meruapakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk di dalamnya adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman. 3. Landasan Politik dan Ekonomi Landasan politik dan ekonomi pembelajaran berbasis kearifan lokal ini memberikan sumbangan kompetensi untuk mengenal persaingan dunia kerja. Dari segi ekonomi pembelajaran ini memberikan contoh nyata kehidupan sebenarnya kepada siswa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena pada akhirnya siswa dididik dan disiapkan untuk menghadapi persaingan global yang menuntut memiliki keterampilan dan kompetensi yang tinggi di lingkungan sosial. 4. Landasan Yuridis Secara yuridis pembelajaran berbasis kearifan lokal mengarahkan peserta didik untuk lebih menghargai warisan budaya Indonesia. Sekolah tidak hanya memiliki peran membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkualitas dari segi kognitif, tetapi juga harus membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan tuntutan yang berlaku. Apa jadinya jika di sekolah peserta didik hanya dikembangkan ranah kognitifnya, tetapi diabaikan afektifnya. Tentunya akan banyak generasi penerus bangsa yang pandai secara akademik, tetapi lemah dalam pada tataran sikap dan perilakunya. Hal demikian tidak boleh terjadi, karena akan membahayakan peran generasi muda dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar sekolah dapat dimanfaatkan untuk kegiataan pembelajaran, seperti rasa nasionalisme yang akhirnya akan menimbulkan kecintaan terhadap budaya sendiri. C. Pendekatan ilmiah dalam Pembelajaran Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach). Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap (attitude), keterampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge). Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasii substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘’mengapa’’. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘’bagaimana’’. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensii sikap, keterampilan dan pengetahuan. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran. Pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pendekatan ilmiah apabila memenuhi 7 (tujuh) kriteria pembelajaran berikut; pertama, materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu, bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. Kedua, penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru siswa terbebas dari prasangka yang serta merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. Ketiga, mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. Keempat, mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan sama lain dari materi pembalajaran. Kelima, mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran. Keenam, berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung jawabkan. Ketujuh, tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya. Pendekatan ilmiah dalam pembelajaran meliputi antara lain: pertama, mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti menentukan objek apa yang akan diobservasi, membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi, menentukan secara jelas data apa yang perlu diobservasi baik primer maupun sekunder, menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi, menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar, menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi seperti menggunakan buku catatan-kamera-tape recorder-pedeo perekam dan alat tulis lainnya. Kedua, menanya. Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Kriteria pertanyaan yang baik adalah singkat dan jelas, menginspirasi jawaban, memiliki fokus, bersifat probing atau divergen, bersifat validatif atau penguatan, memberikan kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang, merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif dan merangsang proses interaksi. Ketiga, menalar. Istilah menalar dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Terdapat dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan simpulan daari kasus-kasus yang berisifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengamatan empirik. Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme (kategorial, hipotesis dan alternatif) Keempat, mencoba. Dimasudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan dan pengetahuan. Akativitas pembelajaran yang nyata antara lain: 1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum, 2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan, 3) mempelajari dasar teoretis yang relevan dan hasil eksperimen sebelumnya, 4) melakukan dan mengamati percobaan, 5) mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data, 6) menarik simpulan atas hasil percobaan; dan 7) membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan. III. Penutup Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: A. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan, kemahiran dan tabiat serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. B. Pembelajaran berbasis kearifan lokal harus berlandaskan secara historis, psikologis, politik dan ekonomi serta berlandaskan secara yuridis. C. Mudah-mudahan dengan menggunakan pendekatan ilmiah peserta didik diharapkan memiliki Standar Kompetensi Lulusan seperti: 1) Sikap, pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar serta dunia dan perabannya; 2) Keterampilan, pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkrit; 3) Pengetahuan, pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan berwawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan dan peradaban. DAFTAR PUSTAKA Akbar, Sa’dun. 2006. Pengembangan Kurikulum IPS. Malang: Pascasarjana Universitas Kanjuruhan. Kemendiknas. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Komara, Endang. 2014. Belajar dan Pembelajaran Interaktif. Bandung: Refika Aditama. Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Rabu, 15 Januari 2014

PENGEMBANGAN PROFESI GURU

Profesi guru harus dihargai dan dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini dikarenakan guru merupakan tenaga profesional yang mempunyai fungsi, peran dan kedudukan yang sangat penting dalam mencapai visi pendidikan 2025 yaitu menciptakan insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Guru yang profesional wajib melakukan pengembangan keprofesian secara berkelanjutan. Keprofesian berkelanjutan ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masa depan yang berkaitan dengan profesinya sebagai guru. Kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan dikembangkan atas dasar profil kinerja guru sebagai perwujudan hasil penilaian kinerja guru dan didukung dengan hasil evaluasi diri. Apabila hasil penilaian kinerja guru masih berada di bawah standar kompetensi yang dipersyaratkan dalam penilaian kinerja guru, maka guru diwajibkan untuk mengikuti program pengembangan keprofesian berkelanjutan yang diorientasikan sebagai hasil pembinaan dalam pencapaian standar kompetensi guru. Sementara itu, guru yang hasil penilaian kinerjanya telah mencapai standard kompetensi yang dipersyaratkan dalam penilaian kinerja guru, kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan diarahkan kepada pengembangan kompetensi untuk memenuhi layanan pembelajaran berkualitas dan peningkatan karir guru. Sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, pengembangan keprofesian berkelanjutan merupakan salah satu unsur utama yang diberikan angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan fungsional guru. Pelaksanaan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan diharapkan dapat menciptakan guru profesional, bukan hanya sekedar memiliki ilmu pengetahuan yang luas, tetapi juga memiliki kepribadian yang matang. Dengan demikian, guru mampu menumbuhkembangkan minat dan bakat peserta didik sesuai dengan bidangnya dan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Sehingga guru sebagai pembelajar abad ke-21 mampu mengikuti perkembangan ilmu dalam bidangnya dan dapat memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan standar kompetensi yang harus dimiliki peserta didik. Pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, secara bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitas guru. Dengan demikian, guru dapat memelihara, meningkatkan dan memperluas pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan proses pembelajaran secara profesional. Pembelajaran yang berkualitas diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik. Pengembangan keprofesian berkelanjutan mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan refleksi yang didesain untuk meningkatkan karakteristik, pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan. Melalui siklus evaluasi, refleksi pengalaman belajar, perencanaan dan implementasi kegiatan pengembangan keprofesian guru secara berkelanjutan, maka diharapkan guru akan mampu mempercepat pengembangan kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian untuk kemajuan karirnya. Tujuan umum pengembangan keprofesian berkelanjutan menurut Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd. (2012) adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah/madrasah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Sedangkan secara khusus tujuan pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah: pertama, meningkatkan kompetensi guru untuk mencapai standard kompetensi yang ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Kedua, memutakhirkan kompetensi guru untuk memenuhi kebutuhan guru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk memfasilitasi proses pembelajaran peserta didik. Ketiga, meningkatkan komitmen guru dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga professional. Keempat, menumbuhkan rasa cinta dan bangga sebagai penyandang profesi guru. Kelima, meningkatkan citra, hakrkat dan martabat guru di masyarakat. Keenam, menunjang pengembangan karir guru. Unsur-unsur pengembangan keprofesian berkelanjutan menurut Permenneg PAN dan RB Nomor 16 tahun 2009, unsur kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan meliputi: Pertama, pengembangan diri dengan cara mengikuti diklat kepemimpinan, diklat fungsional dan diklat teknis. Kedua, publikasi ilmiah yang meliputi presentasi pada forum ilmiah; publikasi ilmiah berupa hasil penelitian atau gagasan ilmu bidang pendidikan formal; publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan/atau pedoman guru. Ketiga, karya inovatif yakni karya yang bersifat pengembangan, modifikasi atau penemuan baru sebagai bentuk kontribusi guru terhadap peningkatan kualitas proses pembelajaran di sekolah dan pengembangan dunia pendidikan, sains/teknologi dan seni. Akhirnya, mudah-mudahan pengembangan keprofesian berkelanjutan ini diharapkan akan memberikan manfaat. Pertama, bagi peserta didik memperoleh jaminan pelayanan dan pengalaman belajar yang efektif. Kedua, bagi guru dapat memenuhi standard dan mengembangkan kompotensinya, sehingga mampu menghadapi perubahan internal dan eksternal dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik untuk menghadapi kehidupannya di masa depan. Ketiga, bagi sekolah/madrasah mampu memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi peserta didik. Keempat, bagi orang tua/masyarakat memperoleh jaminan bahwa anak mereka mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan pengalaman belajar yang efektif. Kelima, bagi pemerintah memberikan jaminan kepada masyarakat tentang layanan pendidikan yang berkualitas dan profesional. *** Semoga ***.

Sabtu, 04 Januari 2014

PEGEMBANGAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI Oleh: ENDANG KOMARA Guru Besar Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan dan Wakil Ketua Bidang Akademik (Dipublikasikan pada Rubrik Opini Pikiran Rakyat tanggal 16 Desember 2013)

Abstrak Pembangunan karakter bangsa secara fungsional memiliki tiga fungsi utama yaitu pertama, fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, kedua fungsi perbaikan dan penguatan, dan ketiga fungsi penyaringan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Bangsa Indonesia harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter. Karena pembangunan karakter inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya serta bermartabat. Pendidikan adalah upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran, dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup peserta didik, terutama di perguruan tinggi. Abstract Development of a functional national character has three main functions: first, the formation and development of the potential function, the second function of repair and reinforcement, and the third function of filtering the culture of other nations that do not conform to the cultural values and character of the nation's dignity. Indonesian nation must be built to put the character development. Because character development is what will make Indonesia into a great nation, advancing and victorious and dignified. Education is an effort to promote the growth of good character (inner strength, character), mind, and body of the child. The parts that should not be separated so that we can advance the perfection of life of our children, especially in college. A. Pendahuluan Permasalahan bangsa yang dihadapi saat ini meliputi: disorientasi dalam implementasi nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa dan melemahnya kemandirian bangsa. Hal tersebut perlu melakukan penguatan dan memperkokoh Empat Pilar Kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dilakukan melalui sosialisasi/penyadaran, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan dan kerjasama. Faktor-faktor penyebab degradasi karakter bangsa menurut Prof. Dr. H. Dadan Wildan, M.Hum (Staf Ahli menteri Sekretaris Negara RI) yang disampaikan pada Kegiatan Seminar Nasional dalam HUT Korpri ke-42 (29 November 2013) di Aula Kopertis Wilayah IV yakni, pertama, menonjolnya kepentingan kelompok dan golongan sendiri, sehingga kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara semakin dikesampingkan bahkan cenderung dikorbankan. Kedua, menguatnya semangat primordialisme dan tumbuhnya gejala separatis. Ketiga, penggunaan kekerasan dan pemaksaan atas dasar mayoritas sehingga menimbulkan konflik antar etnis. Keempat, lunturnya budaya penghormatan kepada simbol-simbol Negara (Bendera, Lambang Negara, Presiden dan lain-lain). Kelima, lunturnya semangat kepahlawanan dan perjuangan bangsa (heroisme). Keenam, munculnya sikap apatis terhadap proses pembangunan nasional. Ketujuh, maraknya euphoria otonomi daerah. Kedelapan, tidak ada rasa hormat dan kebanggaan terhadap Bapak Bangsa. B. Permasaalahan dan Tujuan Adapun permasalahan yang akan dipertanyakan adalah: “Bagaimana Pengembangan Karakter di Perguruan Tinggi”. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari tulisan ini adalah ingin mendapatkan gambaran mengenai pengembangan karakter di perguruan tinggi. C. Pembahasan 1. Isi Pendidikan Karakter Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi menusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh karakter masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari karakter bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Menurut Elkind dan Sweet (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: ‘’Character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Maksudnya, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti. Ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang kita inginkan bagi anak-anak kita, jelas bahwa kita ingin mereka bisa menilai apa yang benar, peduli secara mendalam tentang apa yang benar kemudian melakukan apa yang mereka yakini benar, bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam. Dengan demikian pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru/dosen, yang mampu memepengaruhi karakter peserta didik. Guru/dosen membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara-cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan pendapat diantara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara Barat, seperti pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan krafikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik. Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter bisa berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang. Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak, kepribadian, budi pekerti atau akhlak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari proses alamiah sebagai hasil yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan sejak lahir. Menurut Kevin Ryan dan Bohlin (2001) pendidikan karakter adalah sebagai upaya sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis. Selanjutnya ia menambahkan, ‘’Character to conceived has threeinterrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior’’. Karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills). Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah ‘’bawaan, hati, jiwa, kepribadian, karakter dan akhlak mulia, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak’’. Adapun berkarakter adalah kepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Setelah diadakan pengkajian dan rekonseptualisasi terhadap nilai isi pendidikan karakter merujuk kepada nilai-nilai agama, nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945, dan nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam adatr istiadat masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Menurut Pathurrohman, dkk. (2013:17-18), secara kurikuler, isi pendidikan karakter pada dasarnya terdiri atas: 1) nilai-nilai esensial karakter dan, 2) wahana pendidikan karakter yang merupakan substansi dan proses pendidikan mata pelajaran yang relevan. Nilai-nilai esensial karakter adalah sejumlah konsep nilai dan perilaku yang secara substantif dinilai sebagai substansi utama pendidikan karakter, antara lain sebagaimana yang telah dirumuskan dalam ‘’Pedomana Penanaman Karakter’’ sebanyak 56 butir, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1999. Selanjutnya, Sedyawati (1997:4) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan karakter merupakan terjemahan dari pengertian moralitas yang mengandung beberapa pengertian, antara lain adat istiadat, sopan santun dan perilaku. Oleh sebab itu pengertian karakter yang paling hakiki adalah perilaku. Sebagai perilaku, karakter meliputi sikap yang dicerminkan oleh perilaku. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623) yang dimaksud karakter adalah sifat-sifat kejiwaan; akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain: tabiat; watak. Budi merupakan alat batin yang merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik buruk, tabiat, akhlak, watak, perbuatan baik; daya upaya dan akal. Perilaku diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu yang berwujud dalam gerakan (sikap) tidak hanya badan tetapi jug ucapan. Pendidikan karakter berkaitan dengan sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa serta alam sekitar. Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh akktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia maupun lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Jadi karakter peserta didik merupakan suatu kualitas atau sifat baik menurut norma agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional yang terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan identitas individu, sebagai hasil dari pengalaman belajar peserta didik. Menurut Pathurrohman, dkk. (2013:19-20), ada 6 (enam) pilar penting karakter manusia yang dapat digunakan untuk mengukur dan menilai watak/perilakunya, yaitu: respect (penghormatan), responsibility (tanggung jawab), citizenship-civic-duty (kesadaran berwarganegara), fairness (keadilan), caring (kepedulian dan kemauan berbagi) dan tustworthiness (kepercayaan). Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diidentifikasi sebagai berikut: Tabel 1: Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Nilai Deskripsi 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya. 4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar. 10. Semangat Kebangsan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah air Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaana yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat Komunikatif/tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sam dengan orang lain. 14. Cinta Damai Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15. Gemar Membaca Kebisaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadaap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Sumber: Diadaptasi dari Pathurrohman, dkk. (2013:19-20) Karena terlalu banyak nilai-nilai karakter, maka Menteri Pendidikan Nasional telah memilih nilai-nilai inti (core values) yang akan dikembangkan dalam implementasi pendidikan karaakter di Indonesia. Nilai-nilai inti yang dipilih tersebut adalah: OTAK HATI Cerdas Jujur Tangguh Peduli Gambar 1: Nilai-Nilai Karakter yang Dipilih sebagai Nilai-Nilai Inti (Core Values) Gambar tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai pada kolom pertama bersifat personal, sedangkan nilai pada kolom kedua bersifat nilai sosial. Juga menunjukkan bahwa karakter seorang peserta didik amat ditentukan oleh perangai (trait) dari otak (head, mind), dan hati (heart). Hal itu bukan berarti aspek olah raga (kinestetika) dan olah rasa dan karsa tidak ikut menentukan tetapi keduanya juga ditentukan bagaimana pikiran dan hati berproses. 2. Pengembangan Karakter di Perguruan Tinggi Karakter peserta didik adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama, budaya, dan adat istiadat. Bahkan Stephen R. Covey (1999) mengemukakan bahwa: “… who planted the thought will reap the word, who plantedwords will reap deeds, who will actreap a habit, who will reap a habit sow a character, who planted a character will reap a destiny’’. Maksudnya siapa yang menanam pikiran akan menuai kata, siapa menabur perkataan akan menuai perbuatan, siapa yang bertindak akan menuai kebiasaan, siapa yang menabur kebiasaan akan menuai karakter, siapa yang menabur karakter akan menuai nasib. Kalimat bijak tersebut di atas menunjukkan bahwa suatu karakter akan terbentuk atau dapat diberdayakan dengan proses panjang. Proses terbentuknya suatu karakater bukan hanya diawali oleh proses berpikir yang menetap memiliki nalar kecerdasan yang berjalan normal, artinya yang dimaksud memacu pikiran, bukan asal berpikir, atau sembarang pikiran yang muncul dalam otak/nalar seseorang, tetapi telah terbentuknya pengetahuan, daya pikir yang cerdas. Daya nalar berjalan dengan baik, maka akan melahairkan suatu aktivitas atau kegiatan/perbuatan sebagai hasil dari berpikir. Aktivitas dan berbuat ini mamtikan gerakan-gerakan fisik. Semua struktur tubuh fisik bekerja sesuai dengan arahan dari otak pikirannya. Karakter tidak akan tumbuh dengan tiba-tiba dan bersifat instan tetapi justru memerlukan perubahan (change) tubuh, yang terus menerus sebagai perirntah dari pikirannya. Setelah terlatih dan terus menerus berpikir dan berbuat, maka akan muncul habitus atau pembiasaan; orang bisa karena biasa. Dipastikan apabila pikiran-pikiran yang timbul dilandasi atau diselimuti atau berada dalam koridor musyrik, dipengaruhi setan, perbuatan yang sama dengan setan, perbuatan tidak berakhlak yang ujungnya berkarakter musyrik setaniah dan karakter yang bertentangan dengan akhlak karimah. Secara filosofis, manusia yang pandai bertanya, sebenarnya ia sedang berpikir; murid/peserta didik yang pandai bertanya; pada hakikatnya menempati posisi lebih tinggi derajatnya daripada murid/peserta didik yang pandai menjawab. Murid yang pandai menjawab adalah pasif, sedangkan siswa yang pandai bertanya adalaha dinamis dan daya nalaranya kritis. Tentunya isi pertanyaan bukan hanya sekedar bertanya tanpa isi, tanpa referensi dan fakta. Seperti Bani Israil terhadap Nabi Musa As, pertanyaan-pertanyaannya bukan berdasarkan pikiran dan akal sehat, bukan mencari kebenaran, tetapi menghindari dari jeratan hukum yang akan diberikan, dan itulah contoh pertanyaan berpikir yang diselimputi arahan setan. Manusia bertanya pada hakaikatnya berpikir dan belajar ingin tahu sesuatu. Belajar dan pembelajaran esensinya memiliki tiga makna, yaitu sesuatu aktivitas disebut belajar atau sesuatu itu terjadi pembelajaran, apabila lahirnya pengetahuan baru, lahirnya kemampuan baru dan lahirnya perubahan baru. Tumbuhnya pikiran yang melahirkan perkataan, perbuatan, kemudian tumbuh dana muncul habitus/kebiasaan yang akhirnya akan terbentuk karakter, memerlukan waktu terus menerus dan kondisi lingkungan yang mendukung, di samping ditunjang dengan keteladan dan motivasi yang tinggi dan cermat. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang komprehensif, di dalamnya memuat ilmu pengetahuan, budi pekerti (akhlak, karakter), kreativitas dan inovatif. Bahkan Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan pertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Bangsa berkarakter yakni bangsa yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan Pancasila yang bercirikan tangguh, kempetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi Iptek yang semuanya dijiwai oleh IMTAQ kepada Tuhan yang Maha Esa. Adapun langkah-langkah strategis pengembangan karakter bangsa yakni, pertama membangun sikap, moral, dan etika segenap komponen bangsa sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 agar dapat meredam kepentingan kelompok dan golongan sendiri, dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Kedua, menggugah kesadaran segenap komponen bangsa untuk menerima, menghormati dan menghargai segala bentuk keragaman bangsa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa dalam naungan Bhineka Tunggal Ika. Ketiga, mensosialisasikan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara secara masif untuk membangun kehidupan nasional yang harmonis sekaligus mengoptimalkan pendidikan karakter yang sejalan dengan proses reformasi dan tidak indoktrinasi. Keempat, meningkatkan rasa hormat kepada simbol-simbol Negara (Bendera, Lambang Negara, Presiden dan lain-lain), kepada para pahlawan dan perjuangan bangsa (heroisme). Menurut Soemarno Soedarsono (2012), bahwa substansi inti pengembangan karakter bangsa di Perguruan Tinggi untuk mewujudkan Visi Indonesia 2025 yaitu, pertama, National and Character Building yaitu wawasan kebangsaan yang berorientasi masa depan, jati diri yang tangguh di era global serta kemandirian, daya saing dan akhlak mulia. Kedua, Unity and Nation Harmony yaitu persatuan dan harmoni sosial yang makin kokoh, membangun bangsa Indonesia yang bersatu, adil dan makmur dalam tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan yang harmonis dan wawasan kebangsaan yang kukuh. Ketiga, National Stability, yaitu stabilitas nasional yang makin mantap dan dinamis yang mendukung penyelenggaraan pembangunan di segala lini. Keempat, Democracy and Society yaitu demokrasi dan keterbukaan yang makin maju dan makin matang dalam penyelenggaraan kehidupaan berbangsa. Demokrasi yang makin santun dan bermartabat. Demokrasi yang memfasilitasi kokohnya masyarakat madani yang egaliter. Kelima, Law and Order yaitu hokum dan ketertiban yang konsisten dan berkeadilan. Hukum yang ditegakkan tanpa pandang bulu. Keenam, Economy Growth yaitu pertumbuhan ekonomi yang makin tinggi ditopangh oleh kemampuan nasionaal dalam menyelenggarakan aktivitas ekonomi yang makin produktif dan makin mandiri. Ketujuh, People Welfare yaitu kesejahteraan rakyaat yang makin meningkat dengan keberhasilan pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memajukan taraf hidup masyarakat. Kedelapan, Good Governance yaitu pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan pemberantasan korupsi yang terus dilanjutkan dan diterapkan secara konsisten. Kesembilan, Intensive Regional Development, yaitu pembangunan daerah di seluruh wilayah tanah air harus berjalan makin intensif. Tidak boleh ada satu pun daerah yang tertinggal terlalu jauh dibandingkan daerah lainnya. Kesepuluh, Global Partnership, yaitu kemitraan dan kerjasama global yang dikembangkan dengan mengedepankan prinsip kerjasama dan kemitraan yang terbuka, saling menguntungkan dan berkeadilan. D. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Membangun sikap, moral dan etika segenap komponen bangsa sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 agar dapat meredam kepentingan kelompok dan golongan sendiri dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Juga menggugah kesadaran segenap komponen bangsa untuk menerima, menghormati dan menghargai segala bentuk keragaman bangsa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa dalam naungan Bhineka Tunggal Ika. 2. Mensosialisasikan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika) secara masif untuk membangun kehidupan Nasional yang harmonis sekaligus mengoptimalkan pendidikan karakter yang sejalan dengan proses refeormasi dan tidak indoktrinasi. 3. Akhirnya mudah-mudahan kunci sukes pengembangan karakter bangsa di masa depan akan melahirkan stabilitas politik yang mantap, integrasi-kerukunan sosial-dan harmoni yang serasi, demokrasi-keadilan dan kesejahteraan yang nyata, kepemimpinan dengan visi ke depan dan kemitraan global (partnership) yang erat. DAFTAR PUSTAKA Fathurrohman, Pupu, Aa Suryaman, Fenny Fatriany. 2013. Pengembangan Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama. Depdikbud. 1997. Petunjuk Pelaksanaan Wawasan Wiyatamandala. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kepeserta didikan Ditjen Dikdasmen. Sedyawati, Edi, dkk. 1999. Pedoman Penanaman Karakter Luhur. Jakarta: Balai Pustaka. Soedarsono, Soemarmo. 2012. Nation & Character Building di Bumi Indonesia: Saatnya Indonesia Bangkit dari Keterpurukan. Jakarta: Kompas Gramedia. Wildan, Dadan. 2013. Peran PTS dalam Mempersiapkan dan Mengembangkan Karakter Bangsa untuk Mewujudkan Visi Indonesia 2025. Makalah Seminar Nasional HUT KORPRI Ke-42. Bandung: Korpri Kopwil Wilayah IV.