Jumat, 30 Agustus 2013

MEMAKNAI KEMERDEKAAN INDONESIA

ENDANG KOMARA (Guru Besar Pendidikan Kewarganegaraan Kopertis Wilayah IV Dpk Pada STKIP Pasundan dan Sekretaris KORPRI Kopertis IV) Bulan Agustus 2013 menjadi momentum yang sangat istimewa. Karena keberkahan Ramadan (bulan Syawal 1434 H) dan kemerdekaan tumpah ruah mengisi setiap aktivitas kehidupan di bumi pertiwi ini. Rakyat Indonesia kini memperingati hari kemerdekaannya yang ke-68, namun masih jauh dari cita-cita yang telah dirintis oleh para pendiri bangsa (founding fathers). Mayoritas rakyat Indonesia ternyata masih belum menikmati kemerdekaan yang hakiki karena masih terbelenggu oleh ‘’penjajah’’ berupa kemiskinan (Data BPS per September 2011, jumlah penduduk miskin mencapai 29,89 juta orang/12,36%), ketidakadilan, dan korupsi. Di bidang ekonomi dan perdagangan, rakyat Indonesia hanya dijadikan pasar bagi produk-produk asing. Parahnya lagi, sebuah produk asing bukan hanya berasal dari sektor manufaktur, tetapi juga hampir semua sektor, termasuk pertanian. Padahal makna kemerdekaan pada hakikatnya bukan sekadar mengenang dan merefleksikan jihad pembebasan oleh para pejuang dari penindasan militer dan penjajahan kolonialis semata. Kemerdekaan mesti diletakkan sebagai upaya mewujudkan cita-cita bersama sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 pada Alinea Kedua yakni: ‘’Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu digarisbawahi, Pertama, Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai diktum pembebasan dari penjajahan, menandai fase awal yang mengantarkan bangsa Indonesia ke depan “pintu gerbang” menuju cita-cita berbangsa dan bernegara. Namun kini, setelah 68 tahun berlalu, Indonesia sudah tidak lagi berada di depan pintu gerbang, tetapi telah sampai dalam esensi kemerdekaan itu sendiri, yaitu berikhtiar merealisasikan cita-cita bersama sebagai mandat kemerdekaan, misalnya dengan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan (education for all), peningkatan daya beli masyarakat serta peningkatan taraf kehidupan kesehatan masyarakat. Kedua, cita-cita tersebut harus diimplementasikan melalui formulasi strategis, program kerja sistematis, kebijakan publik yang mengabdi pada kepentingan rakyat (public service oriented) dan agenda-agenda progresif yang realistik dan terukur. Tidak hanya itu, pada Sila Kelima Pancasila yaitu: ‘’Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’’. Secara filosofis, keadilan ekonomi sebagai faktor krusial terkait hajat hidup keseluruhan rakyat pada dasarnya berinisiasi dengan substansi kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi. Pada kondisi ini, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi bukan hanya diukur dari hitungan statistic ansich seperti penurunan angka kemiskinan semata, melainkan hadirnya kedaulatan ekonomi, merujuk pada kata ‘’berdaulat’’ sebagai salah satu poin cita-cita kemerdekaan, yakni pembangunan yang berprinsip di atas kaki sendiri (mandiri). Kemandirian ekonomi tidak berarti menutup diri dari percaturan ekonomi bangsa-bangsa di dunia, lantas mencakup seluruh kebutuhan ekonomi nasional hanya dari sisi domestik. Kemandirian ekonomi berarti mengelola secara mandiri aset-aset yang menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagaimana diamananatkan oleh UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 yaitu: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sedangkan Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 yaitu: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Bagaimanapun, kita sekarang harus mengakui ekonomi nasional masih sangat tergantung pada negara maju dan kekuatan asing. Bukankah ini indikator menunjukkan kesalahpahaman sistem nalar tentang positioning ekonomi nasional di tengah kontelasi ekonomi global. Kita perlu menyadari bangsa dan negara Indonesia kini berada pada titik terendah. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya kekuatan yang bisa mensejahterakan rakyat. Dulu, bangsa ini menjadi lemah, tetapi sebaliknya negara menjadi terlalu kuat. Sekarang, bangsa Indonesia menjadi lemah sementara negara juga lemah. Belum lagi, pemerintah dan legislatif yang tidak serius menyelesaikan aneka keruwetan persoalan bangsa yang kompleks ini. Dalam rangka mensyukuri hari kemerdekaan ke-68 ini setidaknya ada tiga makna penting yang dapat dijadikan inspirasi positif bagi terbangunnya good and clean governance. Pertama, kemerdekaan menjadi momentum penting dalam upaya untuk memerdekakan diri dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Kemerdakaan akan kehilangan makna di saat masih banyak warga masyarakat yang harus hidup di tengah-tengah ketidakmampuan dalam menghidupi diri dn keluarganya. Dalam hal ini pemerintah belum mampu bersinergi dengan baik untuk memecahkan satu persoalan mendasar ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, kemiskinan telah menjadi pintu masuk bagi terciptanya sumber daya manusia Indonesia yang minim kualitas dan minim integritas. Misalnya saja masih tingginya angka putus sekolah, masih rendahnya penyerapan tenaga kerja lulusan perguruan tinggi, hingga problematika tindak kekerasan yang terjadi di sekolah. Kedua, Kemerdekaan merupakan langkah awal bagi terwujudnya pemberdayaan seluruh pemangku kebijakan (stake holder) yang ada di masyarakat. Perjuangan kemerdekaan telah mengajarkan kepada kita, bahwa persatuan dan kesatuan adalah kunci bagi terbebasnya bangsa ini dari belenggu penjajahan. Sudah satnya kita mengisi kemerdekaan ini dengan menguatkan tekad dan merapatkan barisan, sehingga seluruh pemangku kebijakan yang ada di tengah-tengah masyarakat dapat berjalan beriringan dan saling memberikan kontribusi positif bagi terwujudnya bangsa Indonesia yang berdaulat. Bukan saatnya lagi kita mengedepankan ego bagi kepentingan pribadi dan golongan, mencari kesalahan bagi kebaikan diri sendiri, dan juga tertawa di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Saat ini adalah mari kita bersatu demi satu tujuan yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, serta gemah ripah loh jinawi. Ketiga, Kemerdekaan merupakan wadah bagi pembentukan karakter manusia yang jujur, amanah dan profesional. Nilai-nilai dasar itulah yang diharapkan dapat diinternalisasi sejak dini melalui kehidupan keluarga, masyarakat dan dunia pendidikan. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas, betapa para founding fathers republik ini telah memberikan contoh dan teladan bagi kita akan sikap dan perilaku terpuji serta tanpa pamrih, sehingga pada gilirannya bangsa ini diberkahi kemerdekaan oleh Allah swt dan terciptalah sebuah negara yang diidam-idamkan yakni baldatun toyibatun warobbun gofur. ***Semoga***